Part 23
Kening Gia berkedut, sementara sekujur tubuhnya gemetar. Matanya tak berhenti menatap Dean yang masih diam terpaku. Gia kembali merasakan lengannya ditarik Disa, mengajaknya segera berlalu. Tapi Gia masih penasaran apa yang akan dilakukan Dean. Tangannya kembali menepis tangan Disa yang masih menggamit lengannya.
Heran menyelimuti pikiran Gia, melihat Dean dengan mulut yang masih terkunci. Tak seperti biasanya Dean hanya terpaku dengan mulut yang masih terkunci. Entah kenapa Gia menjadi peduli, seolah membuka pikiran Dean tentang Kashi menjadi sesuatu yang penting untuknya. Gia tak habis pikir, kenapa yang dilakukan Kashi yang dianggapnya berlebihan justru membuat Dean bangga?
"Kenapa diam?" tanya Gia memancing kemarahan Dean, namun tetap tak ada suara yang keluar dari mulutnya. "Benar kan yang aku bilang? Masih ada yang mau diomongin?"
Semilir angin membuat wajah Gia pias. Tapi anak rambut Dean yang berkibar tertiup angin mengingatkannya pada adegan slow motion film korea yang pernah dilihatnya di tv. Mulut Dean masih terkunci, menatap jauh ke dalam mata Gia. Desiran halus itu kembali menyelimuti hati Gia saat matanya beradu. Rambut panjang Dean menutup sebagian tulang rahangnya yang kuat. Tubuh jangkungnya kurang berisi tapi terlihat cukup kuat. Sorot kebencian kembali terlihat jelas di matanya.
Sebenarnya hati Gia menciut setiap kali melihat mata coklat Dean menatapnya. Tapi dia bukan tipe orang yang mudah diinjak tanpa alasan yang jelas. Tubuh Gia bergetar hebat tapi dia terus bertahan, terlihat lemah hanya akan membuatnya semakin diinjak. Dia harus melakukan sesuatu untuk menghentikan Dean agar berhenti mengganggunya.
Ya, tentu Dean senang sekali melihat kejadian tadi, musuhnya sedang ditertawakan orang lain di depan umum. Mungkin Dean merasa menang tanpa harus melakukan apa-apa.
Pikiran Gia sibuk memperkirakan apa yang sedang dirasakan Dean saat melihatnya beradu mulut dengan Kashi. Apalagi penyebab pertengkaran itu karena dirinya. Gia merasa bodoh telah meladeni ucapan Kashi. Tiba-tiba Gia menyesali pembalasan yang telah dilakukannya pada Kashi. Bukan hal mudah kalo dia harus menelan ludahnya lagi, harusnya tadi bisa menghindar seperti sebelumnya.
Tubuh Gia lemas seketika. Dia tak akan bisa memutar waktu meski sangat menginginkannya, seperti dia tak akan pernah bisa menarik lagi kata-kata yang terlanjur keluar dari mulutnya. Dia sudah memuntahkan semua kekesalannya pada orang-orang yang selama ini membuatnya tertekan. Dean yang masih membeku membuat Gia ingin segera meninggalkannya menuju kelas.
"Kalian ngapain di sini?" sebuah suara memecah keheningan.
Ketiganya menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Yustin sedang berdiri tidak jauh dari pintu kelas sebelah. Pertengkaran membuat ketiganya tak mendengar bunyi bel. Yustin masih berdiri dengan mendekap tiga buku besar di dadanya. Mata yang bersembunyi di balik kaca itu terus melihat dengan tatapan menyelidik. Sesekali Yustin menggeser tubuh untuk memberikan jalan pada murid lain yang terlambat masuk kelas.
"Hm... anu Bu, ini tadi habis dari toilet." Disa tersenyum datar menunjukkan barisan gigi putihnya yang rapi. Yustin hanya membalas dengan tatapan datar dari balik kacamatanya. Seolah tahu ada yang sedang berusaha disembunyikan darinya.
"Kamu habis menangis ya Gia?" tatapan Yustin masih tetap menyelidik. Telunjuk kanannya mendorong bagian tengah frame hitam. Kedua alisnya bertaut, memastikan penglihatannya tidak salah. Manik hitam matanya bergeser ke kanan dan kiri, menemukan ketegangan di wajah Disa dan Dean.
Gia berdehem sebelum menjawab pertanyaan Yustin, "Tidak, Bu." Gia menelan ludah untuk menghilangkan serak di tenggorokannya. "Mata saya sakit," lanjutnya.
"Yakin? Bukannya tadi kamu baik-baik saja?" Yustin kembali mendesak Gia dengan pertanyaan. Tatapan matanya masih belum beralih dari wajah Gia.
"Dean mengganggu kamu lagi ya?" tanya Yustin tiba-tiba, membuat ketiganya hanya bertukar pandang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top