Part 22

Hati Gia tersentuh, melihat sahabatnya yang nggak berhenti membelanya di depan Dean. Diusapnya tangan Disa yang masih mencengkeram lengannya. Gia bisa merasakan basah pada kulitnya mereka yang saling bersentuhan. Sudut mata Gia melirik ke arah sahabatnya yang tampak gusar. Bibir yang baru saja mengeluarkan bentakan itu terlihat bergerak secara intens jika diperhatikan dengan baik.

Dean tersentak dengan ucapan Disa, "Memang kenyataannya begitu, kenapa kamu yang marah?" Tatapan mata Dean beralih ke arah Disa. "Kamu sendiri kenapa betah temenan sama dia?"

Disa tak berhasil menutupi rasa terkejut, sudut matanya menangkap duka saat melirik orang yang ada di sampingnya. "Nggak ada alasan yang tepat untuk tidak menjadikan Gia sebagai sahabat," hembusan napas kasar keluar dari hidung Disa. "Justru nggak ada cukup alasan yang pantas untuk menjadikan orang yang resek kayak kamu sebagai teman."

Sementara Gia masih menahan mualnya yang datang dan pergi, matanya terus tertuju pada wajah Dean. Sesaat sorot matanya memendam luka, tak lama kemudian Gia bisa melihat kebencian yang memuncak saat Disa menyebutnya dengan sahabat. Ingatan Gia merekam semua yang dilihatnya dengan baik. Kini nama Dean mulai mendominasi catatan yang ada di benaknya.

Catatan yang tak pernah dibaginya dengan siapa pun, termasuk Disa. Tangan kanan Gia mengusap wajahnya yang basah. Tubuh Gia rasanya tak bertulang. Dadanya sudah tak sanggup kalau harus menerima hinaan lagi.

"Aku menyayangi Gia, seperti menyayangi diriku sendiri." Telunjuk Disa menunjuk ke arah Gia dan dadanya bergantian, sebelum menghempaskan tangan ke udara. Sementara tubuhnya masih bergetar, mengumpulkan sisa keberaniannya. "Wajar kalo kamu nggak punya teman dekat karena kamu menilai orang cuma dari luarnya doang." Disa terus meracau.

Dean terlihat semakin meradang, "Apa tadi kamu bilang?" Sesaat kemudian dia tergelak hingga bahunya terguncang. Diam-diam dia membenarkan ucapan Disa. Kepalanya sempat menoleh ke belakang sebelum menatap Disa dengan tajam.

"Coba diingat! Ada nggak teman yang bener-bener dekat sama kamu?" Disa setengah berteriak membuat siswa lain yang melintas menoleh.

Mulut Dean terkunci, dia tak menemukan satu pun nama temannya yang bisa disebut sahabat. Satu per satu temannya semakin menjauh mendekati kenaikan kelas 11. Memang semua sibuk mengejar nilai menjelang penjurusan. Bahkan Tundra, teman sebangkunya kini sedang sibuk mengejar nilai untuk masuk IPA. Sedangkan hanya Dean sendiri yang belum menentukan jurusan yang akan diambil.

Ingatan Dean kembali pada kejadian dua tahun yang lalu. Deretan piagam menghiasi rak bukunya. Dean tak menemukan dirinya yang dulu. Teman dekatnya pun menjauh satu per satu. Bahkan Dean kini hampir tak mengenali dirinya sendiri. Dia tak lagi menjadi kebanggan orangtuanya.

Dean jadi merasa kehilangan masa depan. Satu per satu wajah teman yang dulu pernah dekat melintas di benaknya. Sampai akhirnya semua berubah setelah dia menemukan sesuatu yang bisa merubahnya menjadi seperti sekarang. Sejak saat itu sulit baginya untuk percaya dengan orang lain.

"Ada tuh, kamu lupa kejadian barusan?" Dean kembali membohongi dirinya sendiri. Dia mengingatkan Disa yang telah mencoba berani melawannya.

Gia kembali mengepalkan tangan. Hembusan angin tak berhasil menghapus wajahnya yang masih merah. Kelopak matanya dipenuhi cairan bening yang membuat manik di dalamnya terasa semakin perih. Namun Gia menahannya agar tidak meluncur bebas ke pipi coklatnya yang halus. Dia tak mau musuhnya melihatnya mengis untuk kedua kali.

"Dibela gitu saja kamu sudah bangga," sindir Gia. Dia tidak bisa membiarkan Disa yang masih terus membelanya. "Kalian sama jahatnya." Gia berhasil membuat wajah Dean semakin terbakar.

Sudut mata Gia menangkap perubahan di wajah Dean. Ada penyesalan disana, memang seharusnya Dean tak mengikutinya. Kenapa sih harus ketemu orang kayak Dean? Gerutu Gia dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top