Part 17
"Ih ngomong apa sih?" Mata Gia hampir keluar dari cangkangnya. "Gile! Ngapain juga ngasih skor sama dia?"
"Yaelah sensi amat," protes Disa. "Cuma nanya doang." Senyum Disa menggoda.
Gia berpikir sebentar, "Kalo Jae 8, dia boleh-lah 7 saja." Sebelah alis Gia terangkat, "Tapi kalo minggu lalu jadi kutonjok, skornya jadi 4." Giliran Gia yang terbahak.
Beruntunglah Dean, aksi tonjok menonjok itu tak pernah terjadi. Gia teringat larangan pelatihnya. Bela diri hanya digunakan kalo kita sedang dalam kondisi terdesak saja, tidak boleh menggunakannya sembarangan. Gia hanya boleh menggunakannya untuk melindungi diri saat terancam. Latihan kontrol emosi membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Sudah dua kali Gia hampir saja meluapkan emosinya ketika Dean sengaja membuat ulah.
"Tapi Dean nggak pernah melawan ya, padahal kamu hampir memukulnya." Tangan Disa sibuk menyeka mulutnya dengan tisu.
"Malu kali ngelawan cewek," keduanya terbahak. Gia puas bisa menertawakan Dean, meski saat ini sedang tidak beradu mulut dengannya. Sementara sudut matanya mencuri pandang ke sudut ruangan.
Sementara dari sisi lain, mata Gia melihat empat orang bergerak mendekat ke mejanya. Dingin menyusuri seluruh punggungnya. Tatapan Gia penuh isyarat saat menemukan sahabatnya yang berubah membeku. Dia bisa merasakan, tak lama lagi masalah akan datang.
Seolah tak peduli, Gia menempelkan pipet pada bibir. Berusaha menghilangkan gugup yang menjalar di sekujur tubuhnya. Meski tak melakukan apapun, tatapan Kashi yang penuh kebencian sudah cukup menjelaskan apa yang sebentar lagi akan terjadi.
"Barusan kamu ngomongin Dean apa?" Kashi melipat kedua tangannya tepat di depan Gia.
Cairan yang memenuhi mulut segera mengalir setelah Gia menggerakkan tenggorokannya. "Nggak ngomongin apa-apa," bantah Gia sambil menggeleng.
"Kamu pikir, aku budeg?" tuduh Kashi.
"Ya kalik, salah denger." Gia berusaha acuh untuk menutupi detak jantungnya yang tak beraturan.
"Guys, kalian dengar juga kan apa yang dikatakan kacrut ini barusan?" Kashi menelengkan kepala. "Kurasa kamu juga nggak budeg," lanjut Kashi setelah temannya membenarkan ucapannya.
Gia menatap tepat ke mata Disa setelah merasakan kakinya sedang diinjak. "Cuma ngomongin sesuatu yang nggak penting kok," tenggorokan Gia kembali bergerak. "Lagian kita ngomongin Dean, kenapa kamu yang sewot sih?"
"Dengar ya! Aku nggak suka ya kalo ada orang yang ngejelekin Dean." Kashi bergerak lebih dekat ke arah Gia. "Kamu ngaca dong! Kamu itu nggak pantas sekolah di sini." Kashi melambatkan ucapan, sengaja menekankan suaranya. Gia semakin jijik saat mendapati bibir Kashi mencibir dan terus bergerak ke kanan dan kiri.
Bola mata Kashi terus bergerak menatap dari ujung rambut sampai ujung kaki Gia. Ngilu menyusuri sekujur tubuhnya saat menyadari tatapan merendahkan itu tak segera beralih darinya. Tubuh Kashi hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya, membuat aroma tubuhnya tajam menusuk ke indra penciumannya. Sementara tangan kirinya berusaha memegang jus jeruk, ketiga temannya tersenyum angkuh dibelakang.
Gia merasa dikuliti, Kashi sudah berhasil mencuri perhatian siswa lain yang berada di dekat mereka. Gia mengangkat tubuh, membuat dirinya sejajar dengan Kashi. Selama ini dia memilih mengacuhkan Kashi, karena memang tak mau membuat hubungan mereka menjadi semakin buruk.
Tapi tidak untuk kali ini, Gia nggak mau orang yang ada didepannya ini terus mengatur hidupnya. Gia menemukan Disa yang sedang didepannya meringis ngeri. "Kalo nggak tahu masalahnya diam saja," Gia bisa melihat Kashi terkejut saat melihat dirinya berdiri.
Terlalu rumit kalau harus memikirkan alasan orang lain membenci. Sebaik apapun yang kita lakukan kalau memang sudah ada benci tak akan pernah terlihat baik. Semua terlihat dibuat-buat saja sebagai alasan untuk mencari masalah.
"Masuk sekolah ini nggak cukup cuma modal otak saja!" Kashi kembali melihat Gia dari ujung rambut hingga ujung kaki Gia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top