Part 16

"Nggak cuma gerah, aselik mual nih," membenarkan ucapan Disa sambil membungkam mulutnya.

"Kamu makan apa kesetanan sih?" Disa semakin cemas melihat Gia yang terus memijit keningnya sendiri.

"Otakku nggak bisa diajak mikir kalo laper," telunjuk kanan dan jempol Gia menjepit bagian tengah kedua alisnya.

"Modus!" desis Disa.

Akhir-akhir ini, mual sering menyerang perut Gia setiap kali mendengar nama Dean. Tak lama kemudian nyeri akan menyerang kepalanya. Butuh lima belas sampai tiga puluh menit untuk membuatnya kedua bagian tubuhnya itu nyaman kembali. Cepat diraihnya ujung pipet untuk membasahi tenggorokannya lagi.

Setelah merasakan perutnya lebih baik, Gia menatap lurus ke dalam mata Disa. "Kenapa sih di dunia ini harus ada cowok yang nyebelin kaya dia?" ditariknya kedua ujung bibirnya dengan paksa. "Coba saja kalo dia bisa semanis sikap Jae. Nggak bakalan deh aku kaya gini."

"Kamu kenapa sih? Pucet banget," Disa semakin khawatir, tatapannya meneliti.

Tahu apa yang sedang dipikirkan sahabatnya, Gia hanya menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, bentar lagi juga baikan. Tunggu sepuluh menit lagi ya, baru kita balik ke kelas."

Senyum yang sekilas mampir di bibir Gia segera kembali surut. Kedua tangannya menopang kepala di atas meja sambil terus memijit bagian kening.

"Serius Gi, kamu...nggak apa-apa?" Kedua alis Disa bertaut.

Jemari Gia berhenti bergerak, mukanya tampak kuyu saat menatap Disa. "Please, jangan ngomongin Dean dulu ya," tatapan Gia memohon.

"Wah, segitunya kamu benci sama dia. Jangan terlalu dalam memendam kebencian, Gi." Disa menempelkan pipet ke bibirnya. "Nggak bagus buat kejiwaan sama otak."

"Ngeri amat sih!" protes Gia.

"Eh, serius. Kalo kamu nggak mati rasa ya paling jadi jatuh cinta sama dia." Disa mengerlingkan mata. "Makanya, jangan sampai kamu kemakan omongan sendiri."

"Hah! Aku belum buta, Dis." Bola mata Gia memutar ke atas.

Disa hanya terkekeh sambil menyeruput kembali minuman dingin di depannya. Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada membuat Gia jengkel dengan membahas Dean. Nama yang sudah berhasil menghuni daftar hitam dalam kamus Gia. Sebenarnya Disa sendiri tak punya keberanian setiap kali melihat kedua teman sekelasnya saling melempar kata. Disa lebih baik diam atau menarik lengan Gia untuk menyingkir sebelum keributannya menjadi semakin parah.

Kalo ada planet lain yang bisa digunakan untuk bersembunyi dan menjauh dari Dean, sahabatnya itu pasti lebih memilih melarikan diri kesana. Sekolah yang seluas hampir dua hektar membuat Gia merasa sempit saat berada satu tempat dengan musuhnya.

Kalau ada debu yang masuk ke mata bisa membuat pandangannya kabur setiap kali Dean melintas di depannya, Gia rela. Asalkan itu bisa membantunya terbebas dari adu mulut dengan Dean. Gadis berambut sebahu itu segera menyesap pipet sebelum kupu-kupu yang berjejalan di perut memaksa memuntakan semua mie ayam yang baru saja dilahapnya.

"Aku nggak bisa bayangin, setiap hari kamu bakalan bareng sama dia." Disa meraih tumpukan kertas yang terletak tidak jauh dari siku Gia. Telunjuknya bergerak membalik sudut kanan atas kertas untuk melihat tulisan angka dengan tinta merah.

"Nggak ada ya punya Dean?" Gia menatap sekilas kertas yang dipegang Disa, kemudian menggeleng pelan. "Bu Yustin juga nggak bakal setega itu biarin hasil ulangannya jatuh ke siswa lain."

"Aku saja nggak kebayang harus ribut sama dia setiap hari." Gia memutar dua bola matanya.

"Mungkin bisa tonjok-tonjokan." Disa tergelak.

Bibir Gia membentuk lengkungan, mengingat kejadian minggu lalu terakhir kali bertengkar dengan Dean. Untuk kedua kalinya Gia hampir memukul rahang Dean ketika cowok itu ketauan menyembunyikan sepatunya saat jam olah raga. Gia masih mengingat gerakan-gerakan yang dipelajarinya saat mengikuti ekskul taekwondo di SMP dulu.

"Nggak lucu kan, siswi teladan kena skor gegara berantem?" gelak Disa lagi. Sedangkan Gia hanya tersenyum kecut.

"Eh Gi, menurut kamu nih, Dean punya skor kegantengan berapa?" Kedua alis Disa bergerak-gerak dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top