Part 15

Sementara Gia sibuk dengan pikirannya, bibir Disa malah mencebik. "Tadi ngapain sih kalian teriak di ruang Bu Yustin?" Disa menoleh ke arah Mbak Ning, sudah tidak ada yang antri membeli jusnya. "Kamu sama Dean ribut lagi?"

Gia mengangkat kepala, jus mangga tak berhasil menyembuhkan tenggorokannya yang terbakar. Peluh masih mengalir di dahinya. Sebuah kipas angin tua masih berputar di atas kepalanya. Anginnya tak terlalu kencang tapi sangat berjasa mengurangi gerah penghuni kantin.

"Aku juga mau," sela Gia ketika sahabatnya memberikan isyarat ke Mbak Ning untuk menambah pesanannya.

Kepala Gia kembali berdenyut saat mengingat permintaan Bu Yustin. Tak lama kemudian merubah posisi duduknya menyandar ke dinding sambil mencuri pandang ke pojok ruangan. Matanya terpejam dalam hitungan detik sambil menghirup napas dalam. Matanya kembali bertemu dengan mata Dean, sedang tertawa bersama temannya. Suaranya memenuhi ruangan, menarik perhatian orang yang ada di sekitarnya. Beda dengan temannya yang penasaran dengan obrolan mereka, Gia justru ingin sekali meremas-remas wajah Dean.

"Aku disuruh jadi guru privat Dean." Gia menerima jus mangga kedua dari Mbak Ning, sementara tangan kanannya mengulurkan sejumlah uang.

"Apa?" Disa tersedak. Jus mangga yang sudah masuk ke mulutnya membasahi meja membuat hidungnya menjadi panas.

Tangannya sibuk menarik tisu dari kotak. Cepat-cepat membersihkan sisa jus di sekitar mulut dan mengelap sisanya yang masih tercecer di meja. Bola matanya hampir keluar, melihat deretan gigi putih yang dipamerkan Gia. Tak pernah terlintas dalam pikiran, sahabatnya ini harus bersama Dean setiap hari. Disa buru-buru menyesap kembali pipetnya setelah membersihkan mulutnya.

"Nggak nyangka kan?" seloroh Gia saat melihat Disa menggeleng pelan.

"Aku nggak bisa bayangin," Disa mengerjapkan matanya.

"Apalagi aku," jari Gia memainkan pipet jusnya. "Nggak tahu deh nanti gimana cara ngedepin dia, dodolnya sudah kelewatan."

"Iya bener," ucap Disa membenarkan.

"Masa iya ulangan kemarin jawabannya nggak ada yang bener sama sekali."

Mulut Disa membulat bersamaan dengan matanya yang melotot sempurna. "Sebego-begonya aku nggak sampek deh kaya gitu."

"Kali saja dia nenek buyutnya bego," jawab Gia asal.

"Wah harusnya kasus kayak dia itu yang menangani harusnya sudah guru BK, kok malah dilimpahin ke kamu." Tangan kiri Disa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Mereka sudah kehabisan akal, Dis." Telapak tangannya mengulur ke arah Disa. "Bagi permen dong, pedesnya nggak hilang...hilang."

"Kamu cari alesan kek," tegas Disa seraya mengulurkan permen ke arah Gia. "Biar dicariin guru privat lain. Bokapnya kan tajir."

"Nggak usah ngajarin, aku sudah bilang tadi." Mulut Gia terus bergerak, sibuk menyesap permen. "Bu Yustin bilang biar aku sekalian belajar buat persiapan olimpiade."

"Bukannya fokus malah ambyar," kesal terpancar di wajah Disa.

Setelah mengunyah permen, perut Gia mendadak mual saat membahas Dean. Apalagi saat mencuri pandang tak ada rasa bersalah sama sekali di wajahnya. Ada saja yang dia jadikan alasan untuk mencari masalah dengan Gia. Sudah seperti ketombe yang terus nempel di kepala, semakin digaruk jadi semakin bertambah gatal.

Mata coklat Dean cukup menjadi satu-satunya alasan untuk mau berhadapan dengannya. Gia merasakan ada sesuatu memendang ulu hatinya. Tangan kirinya menutup mulut, menahan mual yang terus berdesakan di tenggorokannya.

"Eh ngerasa nggak sih, gengnya Kashi dari tadi ngliatin kita?" bisik Disa.

Gia mencuri pandang dengan sudut matanya. Sedangkan kepalanya masih menyandar ke dinding kantin. "Nggak cuma ngliatin kita saja, pojok ruangan juga tuh."

Dia mengikuti gerakan dagu Gia yang menatap ke sudut ruangan. Meski sebenarnya dia tahu maksud Gia.

"Ngerasa nggak sih, disini udaranya jadi tambah panas?"

Wajah Disa menunduk menatap gelas jusnya. Matanya tak berhenti mencuri pandang ke seberang meja sebelah kanan. Tapi kondisi Gia tidak memungkinkan untuk diajak meninggalkan kantin secepatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top