Part 10

"Eh Gi, kamu makan apa doyan sih?" Disa mendorong gelasnya yang hampir kosong. Telapak kirinya memegang bibir mangkok yang penuh kepulan asap. Keluar suara mendesis dari mulutnya, menahan panas kuah bakso.

"Laper nih," jawab Gia singkat dengan mulut penuh. Bibirnya tampak mengkilat dan basah. Tiga sendok sambal yang dituangnya ke mangkok berhasil membuat kedua pipinya terbakar.

Gia tak berhenti melahap isi mangkok di depannya. Pikirannya kacau teralihkan sejenak, namun tak lama kemudian bayangan wajah Dean kembali melintas. Hari ini si mata coklat itu kembali mengendalikan mood-nya. Kantin mulai penuh, membuat udara semakin panas.

Leher Gia terasa kebas, terlalu lama menunduk membuat tengkuknya pegal. Sambil mengelap mulutnya dengan tisu makan, pandangan beredar menyusuri setiap sudut kantin. Matanya menatap selintas setiap sisi ruangan. Namun dia kembali menatap sudut ruangan saat mengetahui seseorang sedang memperhatikannya.

Ujung rambut belakang yang hampir menutup kerah baju seragam membuatya sangat mudah untuk dikenali. Hampir setiap hari menatap punggung Dean, membuatnya hapal setiap gerak tubuh yang dilakukan cowok itu. Setelah beradu pandang selama beberapa detik, Dean bersikap tak peduli. Gia mendapati Dean kembali tertawa dengan teman-temannya di sudut ruangan.

Apa hanya aku yang merasakan dunia hampir kiamat dengan keputusan Bu Yustin tadi? Otak Gia tak berhenti membuat kemungkinan-kemungkinan yang dirasakan Dean. Sebentar, kenapa aku jadi peduli sama dia? Gia mengusap wajahnya dengan tisu tak hanya untuk menghilangkan peluh di dahinya, tapi juga untuk menghilangkan nama Dean dari pikirannya.

"Kamu kenapa sih?" Gia tak menyadari, ternyata Disa sudah mengamatinya sejak tadi. Bola matanya bergerak menatap Gia dan sudut kantin bergantian. Dia tahu betul siapa yang sedang dilihat Gia di sana.

"Ng...nggak apa-apa," tiba-tiba gugup menjalar di seluruh tubuh Gia.

"Tadi di dalam Dean membuat ulah lagi ya?" Tatapan Disa berada tepat di mata Gia.

Gia mengalihkan pandangan ke arah jus mangga di tangannya. Disa seolah telah berhasil membaca pikirannya. Sulit rasanya menyimpan rahasia dari sahabatnya ini. "Ya begitulah."

"Dia ngapain lagi? Kan ada Bu Yustin, dia masih berani membuat masalah." Disa kembali menyesap cairan dari dalam pipetnya.

"Ada Bu Yustin atau nggak, nggak akan ngaruh. Sepertinya memang dia benci banget sama aku." Gia menghembuskan napas panjang, tangan kanannya melempar gumpalan tisu ke tempat sampah yang diletakkan tidak jauh dari mejanya.

"Sebenarnya kamu pernah bikin masalah apa sama dia?" selidik Disa.

Gia mengangkat kedua bahunya. "Menurut kamu apa?" Kini giliran jus mangga dingin yang mengalir di kerongkongannya. "Urusanku di sekolah ini ya cuma soal pelajaran, kamu sama Jae. Udah nggak ada lagi."

Jantung Gia berdentam lebih keras saat menyebutkan nama Jae. Semburat merah menghiasi bagian atas tulang pipinya. Jae, setiap kali nama itu disebut selalu meninggalkan desiran halus di dlaam dadanya. Tanpa sadar kepala Gia kembali menoleh ke kanan dan kiri, hari ini dia belum bertemu dengan Jae sama sekali.

"Iya memang nggak ada sih," Disa berhenti sebentar. "Hidup kamu lempeng-lempeng aja kayaknya."

"Eh, kamu lihat Jae nggak?" Gia coba mengalihkan pembicaraan.

"Cie...ternyata dari tadi tuh nyariin Jae ya? Dibela-belain jalan muter lewat depan ruang OSIS," goda Disa.

Gia hanya mengangkat kedua alisnya. Kedua pipinya meranum. Percuma saja Gia menyimpan rahasia dari sahabatnya, sama sulitnya menyimpan binar mata saat nama Jae disebut. Disa sering menggodanya dengan memanggil nama Jae tiba-tiba. Padahal yang dipanggilnya tak ada di sana.

"Kenapa sih nggak jadian aja?" Selidik Disa lagi.

Hati Gia yang masih gamang merasa tercubit. Dia sendiri sulit menemukan jawabannya. Perjuangan Jae sudah tidak diragukan lagi. Bahkan Jae hampir tak pernah absen dari hadapannya. Gia hanya menunggu waktu yang tepat. Dia yakin, Tuhan memang telah mengirimkan Jae untuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top