PENAWAR LUKA YANG MENGGODA (4)

THIS WORK BELONGS TO NURMOYZ (Nurmoyz)
VOTE DAN KOMEN YANG BANYAK

🔥🔥🔥

Aku baru saja sampai di area dapur pagi ini, bermaksud ingin membuat sarapan seperti rutinitas setiap hari. Sambil berjalan aku mengikat rambut panjang bergelombangku tinggi-tinggi agar tak merepotkan aktivitas memasak nantinya. Namun, tiba-tiba seseorang menarik aku masuk ke kamar mandi dekat dapur dengan gerakan cepat. Refleks aku memekik kaget karena tindakan itu.

"Apa yang-" teriakan ku terputus begitu tangan besar Rafa membekap mulutku agar tak menimbulkan suara. Mata kami pun berpandangan dalam jarak sangat dekat. Aku bisa merasakan deru napas laki-laki itu membelai wajahku dengan ritme yang teratur, berbeda dengan jantungku yang sudah berdetak tak karuan. Sorot mata Rafa menyiratkan kemarahan. Entah apa lagi yang ingin coba dia lakukan sampai harus berbuat seperti ini. Rafa pun melepas bekapan tangannya setelah melihatku cukup tenang.

"Apa yang kamu lakukan, Raf? Udah aku bilang berhenti bersikap kayak gini," ucapku dengan nada pelan tapi penuh peringatan, aku marah dan frustrasi karena Rafa tak mau menyerah menggodaku. Jika seperti ini terus aku benar-binar bisa tenggelam dalam dosa yang dia tawarkan. Aku harus bagaimana Tuhan?  Sepertinya laki-laki ini benar-benar tak menghiraukan penolakanku tempo hari.

"Sst ... jangan bicara terlalu kencang atau Mas Alex akan memergoki kita di sini," gumam Rafa berusaha meredam suaranya. Beberapa kali dia mengawasi keadaan di luar dari celah pintu yang sedikit terbuka, sebelum akhirnya benar-benar mengunci kamar mandi.

"Kenapa kemarin kamu nggak datang?" Mata Rafa menatap lurus ke arahku, menuntut penjelasan. Aku memang mengabaikan permintaannya untuk datang ke hotel Nirwana, karena tak ingin semudah itu percaya pada kata-kata siapa pun, walau dia adik iparku sendiri. Belajar dari pengalaman keluarga Lesmana yang dikhianati banyak orang, bahkan oleh kerabat terdekat kami, trauma itu masih membekas sampai sekarang. Hingga aku menjadi wanita yang tak mudah membuka hati pada orang baru.

"Aku udah berulang kali menegaskan kalau aku nggak akan semudah itu percaya." Aku menatap Rafa dengan pandangan berani dan penuh keyakinan, agar dia tahu aku bukan wanita lemah yang mudah disuruh-suruh siapa saja.

"Kayra, jangan bodoh, kamu harus tahu segalanya tentang Alex, atau dia akan terus me-"

"Kayra, aku berangkat!" Tiba-tiba suara Alex terdengar dari luar. Panggilannya memotong kalimat Rafa. Seketika rasa khawatir mendominasi pikiranku kala membayangkan Alex memergoki kami berdua di dalam kamar mandi dengan posisi sangat intim dan saling menempel.

Aku dan Rafa akhirnya saling menatap untuk mengatur situasi. Dari mimik wajahnya, dia tak terlihat takut sama sekali. Bahkan terkesan biasa saja seolah jika Alex memergoki, itu bukan masalah besar. "Bagaimana ini?" Aku bergumam sambil menatap Rafa dengan perasan khawatir dan takut yang kian mendominasi, degup jantungku sudah tak beraturan. Situasi kami saat ini benar-benar seperti orang yang tengah berselingkuh. Laki-laki tampan dengan polo shirt berwarna putih di depanku bukanya menjawab, malah memerhatikan aku sedari tadi. Entah apa yang Rafa pikirkan di situasi genting seperti sekarang.

"Kayra, kamu di mana!" Alex kembali memanggil namaku sambil bergerak ke sana ke mari karena suara sepatunya yang bergesekkan dengan lantai terdengar di telinga. Sampai akhirnya kenop pintu kamar mandi seperti diputar. Jantungku semakin berdetak menggila.

"Jawablah," perintah Rafa dengan suara sangat pelan setelah cukup lama kami diam. Lalu aku pun memutar kenop pintu dan membukanya sedikit, untuk memperlihatkan bagian wajah agar bisa bicara dengan Alex.

"A-aku lagi buang air, Mas, perutku masih sakit, maaf," jawabku, Alex masih berdiri menjulang di depan pintu. Laki-laki yang sudah rapi dengan  jas kantor itu, hanya mengarahkan tatapan datar lalu mengangguk.

"Aku berangkat dulu ... nggak perlu membuat sarapan karena aku ada meeting penting pagi-pagi sekali," ujarnya, kemudian memutar tubuh.
Syukurlah dia tak curiga dengan tingkahku yang janggal, padahal sedari tadi aku tengah bergerak-gerak gelisah sambil berusaha menahan desahan karena ulah Rafa di dalam sana. Baru kali ini aku merasa beruntung memiliki suami yang cuek sepertinya.

"I-iya ... ah ..." Aku langsung mengatupkan bibir ketika tanpa sadar desahan itu keluar dari mulut akibat ulah Rafa yang kini tengah menggerayangi bagian kakiku, lalu bergerak naik hingga ke paha. Seperti orang bodoh tanpa sadar aku membuka satu kaki lebuh lebar hingga dapat merasakan Rafa kini mengusap selangkanganku, Dalam hati aku mengumpat karena tindakannya.

Belum cukup menggodaku dengan semua sentuhan itu, kini aku merasakan bibir Rafa mulai mengecupi tanganku yang ada di balik pintu, lalu mengulum dan menjilat jarinya satu persatu. Mulutnya yang terasa hangat dan basah saat mengulum jari-jari itu, membuat vaginaku berdenyut menginginkan lidahnya bermain di liang senggama. Dasar iblis sialan.
Pekikan itu tak pelak membuat Alex urung melangkah, dia kembali memutar kepala ke arahku lalu berucap. "Ada apa?" tanyanya sambil menatap heran.

"Perutku sakit lagi ... Mas kalau mau berangkat hati-hati." Akhirnya hanya kalimat itu yang aku ucapkan, seolah ingin agar Alex cepat pergi.
Untungnya dia masih belum curiga, hanya membalas ucapanku dengan anggukan.

Aku menatap kepergian Alex hingga deru suara mobil benar-benar terdengar menjauh. Entah apa yang aku pikirkan sampai harus seperti ini, padahal bisa saja aku keluar tadi agar tak perlu meladeni Rafa. Bahkan meski aku sadar di dalam kamar mandi kini Rafa sudah bergerilya menciumi bagian belakang telinga dan leherku.

Ketika aku melihat Alex sudah benar-benar tak Ada, aku mendorong tubuh Rafa sekuat tenaga dan mengarahkan tatapan tajam padanya. "Hentikan, Rafa, apa kamu gi-"

Seolah tak mengizinkan aku melampiaskan rasa marah, Rafa tiba-tiba menerjang dan melumat bibirku dengan rakus. Sedang lengan berototnya menahan tanganku di atas kepala agar aku tak memberontak. Awalnya aku berusaha menolak, tapi lagi-lagi aku kalah dengan hasrat yang mulai menerjang tanpa ampun, kala lidah Rafa mulai bergerilya menyusuri leher dan sesekali menjilat daun telingaku. Lalu turun ke bawah di area dadaku.

"Egh ... Raf, please ...," cicitku dengan napas yang mulai tersengal karena permainan tangan Rafa di putingku yang sudah menegang. Sesuatu di bawah sana mulai terasa basah dan menginginkan sesuatu yang lebih. Mendengar desahan dari bibirku, Rafa akhirnya menjauhkan kepalanya dari ceruk leher, napas kami sama-sama terengah karena dikuasai gairah.

Entah kenapa tindakannya membuatku merasa sedikit kecewa.
Ketika matanya menatapku dengan pandangan sendu dan lembut, aku sedikit tertegun. Ada apa dengannya? Kenapa setiap kali melihatku dia seolah tengah menahan rasa sakit dan kerinduan?

"Aku menginginkanmu, perasaan ini udah benar-benar nggak bisa aku bendung, Kayra. Tahukah kamu berapa lama aku menunggu hari ini datang? Ketika kita bisa sedekat ini dan saling mendekap?"

"Apa maksud kamu, Raf? Kenapa kata-katamu selalu ambigu? Aku bingung harus bagaimana jika seperti ini. Tolong ... jangan membuat aku bimbang dan gelisah lagi. Aku takut terbuai dengan godaanmu dan berakhir mengkhianati perjanjian suci dengan Tuhan."

Bukannya menjawab pertanyaanku, Rafa justru mengecup keningku cukup lama. Lalu menempelkan hidung kami. Deru napasnya membelai wajahku. Matanya menatap aku penuh perasaan.

"Lupakan sejenak tentang Alex, bukalah hatimu untuku agar aku bisa memberi tahumu apa itu cinta sebenarnya. Aku sudah cukup mengalah sama Kakakku selama ini. Dengan harapan dia akan memperlakukanmu dengan baik. Tapi ternyata kamu hanya dijadikan pajangan dan samsaknya di rumah ini. Sudah cukup kesabaranmu, Kayra, aku hanya ingin kamu menyadari, bahwa Alex bukan laki-laki yang pantas untuk wanita sebaik dirimu. Kamu berhak bahagia dan merasakan dicintai."

Ada jeda sejenak ... perasaanku tiba-tiba jadi campur aduk karena ucapan Rafa. Ada bagian hatiku yang mulai terusik karena ucapan laki-laki ini memang benar adanya. Mataku mulai terasa panas kala bayang-bayang penderitaan tiga tahun pernikahan dengan Alex terputar di kepala bagai kaset rusak.

"Tolong ... jangan tahan lagi perasaanmu untukku, agar aku bisa sepenuhnya memberikan seluruh diriku. Nggak peduli kehadiranku pada akhirnya hanya jadi pelampiasan untukmu, setidaknya ...," Rafa menggantung kalimat, matanya menatapku penuh hasrat dan ... cinta. Mangkinkah seperti itu? Sebab aku melihat ketulusan di matanya kala laki-laki itu mengucapkan semua kalimat tadi. Mendengar ungkapan hati Rafa perasaanku campur aduk. Antara bahagia, terharu, sekaligus sakit secara bersamaan.

Selama ini belum ada yang pernah mengatakan semua kalimat seperti itu dengan tulus. Bahkan Alex sekali pun yang notabene adalah suamiku. Yang aku tahu dia menikahiku hanya untuk sesuatu yang entah apa. Sedang Rafa ... laki-laki yang bahkan tak pernah aku kenal dengan baik ini, seolah justru mengenalku cukup lama. Bahkan tahu bagaimana menderitanya aku selama ini, mataku kembali memanas.

"Setidaknya izinkan aku menjadi penawar lukamu, agar sakit ini bukan hanya kamu yang mer-"

Persetan dengan norma dan dosa ... persetan dengan janjiku di hadapan Tuhan, yang aku tahu saat ini, aku sudah tak mampu lagi membendung perasaanku untuk Rafa. Aku menginginkan laki-laki ini bukan hanya sekedar jadi penawar lukaku. Aku butuh dia agar bisa bernafas tanpa rasa sesak lagi.

Aku mencium bibirnya tanpa pikir dua kali. Benar-benar hanya ciuman biasa karena aku sekedar menempelkan bibir kami. Namun, kali ini aku meluapkan semua perasaanku pada Rafa. Aku berjinjit agar bisa mengalungkan tangan ke leher dan menekan tengkuk Rafa untuk bisa memperdalam ciuman. Aku hanya ingin dia tahu bahwa kehadirannya perlahan mampu mengobati luka ini dan aku memang butuh dia.

Setelah cukup lama, akhirnya aku melepas ciuman. Mata kami saling menatap dalam, dan lembut, seolah tak ada lagi keraguan untuk saling mengungkapkan rasa rindu dan hasrat. Tanpa ragu tanganku bergerak untuk mengusap pipinya, sedang mataku menatap lurus ke matanya.

"Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan apa akhir dari kisah ini. Tapi aku ingin mempercayaimu, tolong obati luka ini agar aku tak merasakan kesakitan lagi."

Setelah mengatakan itu, Rafa meraih tengkukku dan mendaratkan ciuman di bibir. Aku tak menolak lagi, justru menerima dengan segala rasa yang aku miliki untuknya. Ciuman yang awalnya lembut pun akhirnya berubah saling menuntut. Sampai akhirnya aku merasakan Rafa membopong tubuhku keluar dari kamar mandi tanpa melepas pagutan. Aku benar-benar menyerah dan pasrah dengan apa yang ingin laki-laki ini lakukan. Beruntung pekerja di rumahku hari ini tak datang, jadi aku dan Rafa bisa leluasa bercinta di mana pun kami mau.

***

Sudah mulai hot ya. Stay tuned.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top