MEET ME AT PAVILION (1)

This work belongs to Lovelly (LoVelly09)

Vote dan komen yang banyak.

🔥🔥🔥


“I’m really sorry, Gendhis. Aku khilaf. Trust me, i really love you.”

Aku mendengus sinis saat teringat ucapan bernada iba,  dari cowok berwajah oriental campur Pakistan yang sempat kupanggil ‘Babe’  selama 6 bulan ini.

“Aku juga nggak akan ngelakuin itu kok kalau kamu mau ngelakuinnya sama aku.”

Salah satu sudut bibirku spontan tertarik ke atas, kembali mengendus untuk kedua kalinya.

Mataku masih terpejam, sembari berusaha meredakan rasa sakit yang mencabik-cabik dadaku. Tetes air hujan yang beradu dengan kaca jendela mobil seperti berirama dengan tangisku. Perjalanan pulang ke rumah terasa begitu panjang, seolah-olah setiap kilometer mengukir luka di hatiku.

Aku tidak pernah menyangka, liburan musim panas kali ini akan menjadi mimpi buruk. Setelah berbulan-bulan menahan rindu di London, aku kembali ke Indonesia dengan semangat ingin bertemu, Riko, kekasihku.

Aku sudah membayangkan momen bahagia kami, dan pelukan hangat darinya. Namun justru yang aku dapatkan adalah tontonan porno di atas sofa.

“Sialan!” umpatku ketika teringat bagaimana Riko melesakkan miliknya dalam-dalam sambil menampar keras pantat wanita yang entah siapa namanya itu.

Riko selalu berkata jika hanya mencintaiku dan tidak akan meninggalkanku. Semenjak kami memutuskan berpacaran 6 bulan yang lalu, Riko tidak berhenti mengajakku untuk berhubungan intim. Aku selalu menolaknya, karena ya… aku tidak menginginkannya saja.

Aku akan melakukannya dengan pria yang benar-benar mampu membuat dadaku berdebar. Meskipun sudah berpacaran selama 6 bulan, Riko belum pernah membuat jantungku berdebar.

Lalu mengapa aku menangis?

Itu karena perkataan Riko yang sangat membuat hatiku panas. Dia berkata kalau aku sudah tidak perawan, sehingga takut ketahuan dan tidak bisa memuaskannya.

Kurang ajar sekali dia, bahkan aku bisa beberapa gaya bercinta. Tentu saja aku mempelajarinya dari film kesukaanku ‘Fifty shade of Grey.’

Semoga saja aku segera bertemu dengan Christian Grey-ku yang bisa membuat jantungku selalu berdebar setiap melihatnya.

“Hah!” Aku menghela napas untuk melonggarkan dadaku yang sesak.

Meskipun berpacaran dengan Riko hanya untuk mencari teman mengobrol setiap malam, tetapi aku tetap merasa patah hati. Memang tidak sesakit yang dikatakan orang-orang. Hanya sedih sedikit saja.

“Dasar cowok brengsek!” umpatku pelan.

Di kursi kemudi, Mas Abisena, ajudan Papa diam seribu bahasa.

Aku tahu dia memperhatikanku dari kaca spion sedari tadi. Pandangan matanya tajam, seperti ingin tahu.

“Kenapa ngeliatin aku seperti itu?” tanyaku sambil menarik ingus. “Jangan bilang apa-apa soal ini sama Papa.”

Mas Abisena tidak menjawab, hanya mengangguk pelan seperti biasa. Pria itu memang tidak banyak bicara. Sikapnya tenang, selalu sigap dan aku benci mengakuinya, cukup tampan dengan wajah tegas dan lesung pipi yang sangat jarang kelihatan. Mas Abisena itu jarang tersenyum. Sepertinya senyuman dia itu berbayar deh.

Kalau tidak salah ingat, Mas Abisena punya darah Belanda dari kakek buyutnya. Perpaduan Jawa sama Belanda. Itu pun jika memoriku tidak salah mengulang cerita Papa 3 tahun yang lalu, sebelum aku hijrah ke London.

“Jangan bilang juga kalau aku habis nemuin Riko, tambahku seraya melirik ketus ke arah spion, mengintip wajah Abisena yang masih fokus dengan kemudinya.

Papa sama sekali tidak menyukai Riko sejak pertama kali aku menceritakan hubungan kami. Menurut Papa, putra Gubernur DKI itu kurang cocok untukku. Ternyata
insting Papa sangat tepat.

“Iya,” jawab Mas Abisena dengan suara bariton yang terdengar berwibawa. Dia adalah lulusan terbaik, taruna Akmil di Magelang.

Jangan tanya aku tahu dari mana, tentu saja dari Papa, Surya Tirto Atmojo, menteri pertahanan yang sangat menyayangi ajudannya itu seperti anak sendiri.

Aku kembali melemparkan wajahku pada jendela, mengamati butiran air hujan yang senantiasa beradu dengan jendela.

“Pakai ini, Dik.” Suara Mas Abisena membuatku menoleh ke arahnya.

Pria yang lebih cocok aku panggil Om itu, mengulurkan sapu tangan setelah menepikan mobil. Aku tidak langsung mengambilnya. Kuamati sapu tangan dan wajah Mas Abisena secara bergantian.

“Ini,” ucapnya masih menyodorkan benda berwarna biru itu. “Tisunya habis,” tambahnya.

“Terima kasih,” gumamku pelan.

Mendapatkan sapu tangan, seolah kembali mengundang air mataku datang. Aku menangis lagi. Kali ini lebih keras, sampai sapu tangan Mas Abisena basah karena air mata dan ingusku.

Aku terus menangis mengingat perlakuan Riko yang sangat merendahkan harga diriku. Ditambah dia berselingkuh dengan wanita yang tidak lebih cantik dariku.

“Dasar, lelaki buaya!” umpatku dalam hati sambil bersungut-sungut.

“Matcha.” Suara bariton Mas Abisena kembali membuatku menoleh.

Entah darimana pria itu mendapatkan segelas matcha hangat yang selalu berhasil memulihkan suasana hatiku. Mataku melirik ke bahunya yang sedikit basah. Lalu aku melemparkan pandangan ke luar jendela. Rupanya kami sedang berhenti di depan kafe favoritku.

“Pak Surya sudah menunggu di rumah. Sebaiknya suasana hatimu segera membaik, sebelum beliau curiga,” ucap Abisena.

Tidak banyak berpikir, aku langsung mengambil minuman hangat itu dan meneguknya perlahan. Lantas mobil melaju dengan kecepatan rata-rata.

Saat kami sampai di depan rumah, hujan masih mengguyur, tetapi sudah cukup reda. Mas Abisena mematikan mesin mobil dan menoleh.

“Saya izin sebentar keluar,” katanya meminta izin.

Aku mengernyit, tetapi tidak bertanya lebih jauh. Aku melihatnya keluar dari mobil, berjalan dengan langkah mantap menuju jalanan yang basah.

Rasa penasaran membuatku memanjangkan leher dan mengintip dari balik kaca.

Mas Abisena berjongkok di tengah jalan, di antara rintik-rintik hujan. Mataku membelalak saat melihat Mas Abisena memindahkan anak kucing yang basah kuyup ke pinggir jalan.

“Ku-kucing? Tampangnya dingin, tapi hatinya Hello kitty,” cicitku lirih.

Mataku seolah enggan berhenti memperhatikan pria matang itu. Kemeja hitam yang  menempel pada tubuh kekarnya, menampilkan postur tegap khas seorang prajurit. Dalam rintik hujan, gerakannya tetap tenang. Dia melipat lengan kemeja hingga ke siku seraya melonggarkan dasi yang sedari tadi melilit leher.

Dalam sekali gerakan, dasinya terlepas begitu saja. Sesaat, aku seolah terhipnotis oleh pria tampan di hadapanku itu. Heran deh, kenapa air hujan bisa menambah kadar ketampanannya?

“Kenapa dia terlihat begitu berbeda?” gumamku tanpa sadar.

Tidak lama kemudian, Mas Abisena kembali ke mobil. Dia membuka pintu belakang dan mengeluarkan payung hitam besar.

“Silahkan,” ujar Mas Abisena lirih.

“I-iya,” ucapku yang mendadak terbata.

Aku keluar dari mobil, dan payung besar itu segera melindungiku dari derasnya air hujan. Bau tanah basah dan udara dingin menyergap. Sesekali aku mendongak dan menatap wajahnya yang tetap tenang di bawah payung.

Karena fokus menatap wajah Mas Abisena yang memiliki rahang tegas dan hidung mancung itu, aku tidak memperhatikan langkah. Hingga akhirnya aku tersandung.

“Aw!” jeritku yang nyaris terjerembab di atas tanah basah.

Dengan sigap Mas Abisena mengait pinggangku. “Kamu tidak apa-apa?”

Aku terdiam sejenak, saat mata kami bertemu beberapa saat. Sepasang iris almond Mas Abisena menatapku dalam-dalam. Wajahnya seperti memancarkan kekhawatiran, membuat jantungku tiba-tiba berdetak dengan cepat.

“Dek Gendhis,” panggil dia sekali lagi.

“A-aku. Aw,” aku merasakan pergelangan kakiku sedikit nyeri. “Kakiku sa-sakit.”

Mas Abisena melirik kakiku yang mengenakan sepasang heels. Kemudian spontan dia membopongku.

“Kamu tidak mungkin berjalan, aku bantu sampai masuk ke rumah,” ucapnya seraya berjalan dan memastikan tubuhku tidak terkena air hujan sedikit pun.

Sontak kedua tanganku mengalung di leher Mas Abisena. Mataku masih menatap wajahnya dari bawah dengan lekat.

Baru kali ini aku mendapatkan perlakuan manis dari seorang pria. Mas Abisena benar-benar gentle dengan memberiku sapu tangan, minuman kesukaanku, dan tidak segan menggendongku saat aku kesakitan.

“Sejak kapan, Papa punya ajudan setampan dan segagah ini?” batinku tanpa mengingat jika pria ini adalah calon suami Mbak Sekar.

TO BE CONTINUED….

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top