DADDY'S ECS (3)

THIS WORK BELONGS TO AYANA_ANN (Ayana_Ann)

Vote dan komen yang banyak.

🔥🔥🔥

Hujan yang semula turun malu-malu, mendadak beringas tanpa aba-aba. Anya duduk di serambi belakang rumah Darius dengan mata tertuju pada layar ponsel.

[Jadi, ommu nggak kenapa-kenapa, kan?]

Anya mengangguk. "Nggak apa-apa."

[Tapi bisa-bisanya kamu sampai meninggalkan aku begitu saja?] dengkus Gary ketus. [Padahal, kesempatan seperti ini jarang banget buat kita.]

"Aku tahu," ucap Anya. "Maaf, ya, Sayang."

[Sekedar jalan bareng aja sulit, Sayang. Ketemu cuman kalau di kampus.] Gary masih sebal.

"Nanti aku cari waktu." Anya juga bingung sendiri-bisa-bisanya dia memilih menghampiri Darius. Ketimbang bermesraan bersama Gary.

[Cari waktu, cari waktu ...] decih Gary. [Aku tuh ngerasa kayak berjuang sendiri dalam hubungan ini.]

"Kok ngomongnya gitu, sih?" protes Anya.

[Ya, aku ngerasanya gitu kok.]

"Sayang-"

[Aku tiap butuh atau kangen kamu, kamu nggak pernah ada, lho!] sela Gary. [Alasanmu itu-itu aja ... mama kamulah, urusan keluargalah. Kamu udah gede, Anya. Bukan anak TK lagi.]

Anya terdiam.

Mungkin Gary benar. Tetapi, tidak bisa Anya pungkiri-dia masih mempriotaskan mamanya. Dulu Deswita berjuang membesarkan Anya meski sebatang kara. Kini, Anya seolah-olah bertukar peran, ialah pendamping mamanya. Anya sadar, Deswita cuma punya dirinya.

"Kalau gitu ... kita ketemuan sekarang?" tawar Anya.

Gary kembali mendengkus. [Nggak perlu. Aku sudah di rumah.]

"Terus gimana?"

[Nggak gimana-gimana,] sahut Gary.

"Aku sudah berupaya memperbaiki, lho," timpal Anya.

[Sudah nggak mood,] tanggap Gary dingin. [Ya udah, aku matiin dulu.]

"Sayang? Gar-" Belum selesai Anya bicara, Gary pun memutus sambungan video call mereka. "Huuh ..." desahnya frustrasi.

Dengan layu, Anya lantas meletakkan ponsel ke atas meja. Kemudian memangku wajah menggunakan kedua telapak tangan. Netranya nyalang ke arah bulir air yang jatuh dari atas kanopi.

"Ngelamun terus!" Dari belakang Darius datang sambil menepuk pundak Anya.

"Humm." Anya cemberut.

Darius menyodorkan kotak makanan kepada Anya. "Makan," katanya.

"Nggak, ah," tolak Anya.

"Kamu bawa banyak banget. Mana bisa Om habisin sendiri."

"Mana tahu kalau Carmen sama Aletta nggak ada!" decih Anya. "Aku ke sini juga demi mereka." Matanya menyipit sinis. "Bukan demi Om."

Darius terkekeh.

"Lagian kenapa Om nggak angkat teleponnya Mama, sih? Mama mikir Om sakit berat sampai nggak bisa bangun," lanjut Anya ngomel-ngomel.

"Ya ... gimana, ya ..." Darius menyandarkan punggungnya. "Terkadang, seseorang butuh waktu untuk sendirian."

"Tapi Mama khawatir," sahut Anya.

"Om tahu." Darius melempar senyum lembut. "Dan karena itu, Om mau bilang maaf sekaligus makasih untuk perhatian kalian."

Anya sebenarnya masih marah, tetapi emosinya mereda kala mendapati sunggingan dari bibir Darius.

Mereka pun sama-sama hening untuk beberapa menit.

Mata Anya melirik Darius secara sembunyi-sembunyi. "Kenapa ..." celetuknya ragu. "Carmen dan Aletta lama banget di rumah kakek neneknya, Om?"

Garis melengkung itu masih terpatri pada raut Darius, hanya saja sorotnya berganti kepedihan. "Karena anak-anak ikut mamanya semua."

"M-maksud Om?"

"Om sama tante Rahma sudah ketok palu," aku Darius.

Mata Anya melotot. "S-sudah ce-"

"Yaps." Darius mengangguk.

"Kita semua nggak tahu Om ..." kata Anya setengah membisik.

"Memang Om sengaja nggak cerita siapa-siapa, kan ..." tawa Darius demi menyembunyikan getir.

"Mama pasti ..."

"Mamamu pasti heboh," terka Darius. "Makanya Om agak males cerita ke siapa pun. Menurut Om, apa yang terjadi pada kehidupan pribadi Om, nggak berpengaruh sama kerjaan." Ia berdeham parau. "Membayangkan banyaknya pertanyaan dari orang-orang, atau bahkan pandangan penuh kasihan mereka bikin Om nggak nyaman. Om tahu, mereka peduli tapi--I don't know ..."

Anya tertunduk. "Walau begitu, memangnya Om nggak anggap mama sebagai keluarga apa?"

"Eits! Jangan salah paham, Anya!" sanggah Darius. "Om sudah menganggap mamamu itu seperti mbak sendiri. Justru, Om cuma nggak mau bikin dia kepikiran. Mamamu dari luar kelihatan kuat, tapi aslinya sangat sensitif. Dia pasti lebih kepikiran ketimbang Om yang menjalani."

Anya menelan saliva.

Ia kembali membingkai Darius lekat-lekat.

Mamanya dan Darius saling memahami satu sama lain. Bukankah itu sebuah pertanda kalau mereka bisa saja berjodoh? Darius merupakan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Paham betul watak Deswita. Pun sebaliknya dengan Deswita.

Namun, mengapa kini ada ganjalan dalam relung Anya? Dia sendiri bingung menjabarkannya.

"Mama memang baik hati, Om," ujar Anya. "Wanita sebaik Mama, justru belum pernah merasakan cinta sejati sampai sekarang." Ia bersikeras mengesampingkan perasaannya.

Darius terkikik. "Mau bagaimana? Tiap kali Om kenalin dengan seseorang, mamamu selalu nggak antusias. Kurasa, cinta bukan hal penting baginya."

"Mungkin ..." Anya menahan napas. "Yang mama mau bukan mereka ..." Intonasinya memelan, "tapi Om."

Bola mata pekat Darius sontak memenjarakan bayangan Anya. "Maksudmu?"

Anya memilih membuang muka. "Maksudku, kalik aja Om dan mama itu soulmate!"

"Astaga!" Darius terbahak, kemudian mengacak-acak rambut lurus Anya yang berponi rata. "Om tadi bilang kalau udah anggap mamamu sebagai mbak sendiri! Saudara, Anya!"

"Tapi kalian bukan saudara betulan," sanggah Anya.

"Memang. Tetapi, tetap saja baik Om mau pun mbak Deswita saling menyayangi seperti kakak adik kandung," jelas Darius. "Nggak ada yang namanya intensi lain."

"Mana Om tahu ..." Anya bersikukuh.

Darius sontak mencibir. "Kenapa? Pasti kepingin, ya, punya daddy tiri keren macam Om?" godanya.

"Howek!" Anya membuat ekspresi mual.

"Ngaku aja!" kelakar Darius. "Udah ganteng, awet muda, imut-imut lagi! Bener-bener 'duren' alias Duda Keren! Husband and daddy material."

Anya melengos. Ia memilih masuk ke dalam rumah. "Narsistik."

Darius mengikuti seraya terpingkal geli.

"Eh, anyway," kata Darius menghentikan tawa. "Tadi pacar kamu?"

"Om nguping?!" Anya membeliak gusar.

"Nguping sama nggak sengaja dengar itu beda, ya," dalih Darius.

"Huh!" geram Anya.

"Cowok kayak begitu lebih baik jangan terlalu dipikirin, Nya," ujar Darius. Ia menjatuhkan bokong pada sofa ruangan tengah.

"Tuh, kan, Om nguping!"

"Lelaki sejati seharusnya tidak pernah meminta kamu memilih antara dirinya atau keluargamu," lanjut Darius tak peduli. "Mamamu itu yang menjaga kamu dari lahir sampai sebesar ini. Penuh darah dan air mata. Sementara, dia nggak ada kontribusinya apa pun dalam kehidupanmu-kok berani-beraninya protes?"

"Gary baik, kok!" bela Anya.

"Baik tiap ada maunya. Kalau nggak diturutin, terus ngambek?" prengut Darius. "Om ini juga cowok, ngerti jalan pikirannya. Cuma, nggak sepantasnya dia egois."

Anya mengambil tempat di sisi Darius. "Yang egois itu aku. Aku nggak selalu ada buat dia."

"Kenapa harus kamu yang selalu ada buat dia? Kenapa nggak dia aja yang berusaha selalu ada buat kamu?" pungkas Darius. "Kalau dia gentle, mainlah ke rumah-kenalan sama mbak Deswita. Wong mamamu, lho, nggak medeni*."
(*mamamu kan tidak menakutkan)

"Aku yang larang," terang Anya.

"Bukan berarti kamu larang, terus dia mengiakan. Laki-laki itu harus dilihat dari action-nya. Bukan omongan semata. Sekedar ngomong manis aja, chatgpt juga bisa!"

"Gary khawatir mama nggak bisa menerima dia," jabar Anya.

"Belum tahu sudah ciut duluan!" sinis Darius. "Dia belum jadi suamimu tapi udah ngatur-ngatur. Dasar!"

"Ih, kok, Om yang keki, sih?" tanya Anya. "Aku paling tahu Gary dari pada Om."

Darius menarik napas dalam. Tentu saja dia posesif kepada Anya---dia sudah menyaksikan tumbuh kembang Anya dari lahir sampai sebesar ini.

"Kamu bela dia terus, Nya? Kamu sudah memberikan terlalu banyak buat dia?" tebak Darius.

Anya salah tingkah. "M-memberikan banyak gimana? Ya, pacaran sewajarnya aja."

Darius berusaha meredam emosi. Kalau semakin dikekang, seseorang malah berpotensi tidak jujur, bahkan berbohong.

"Kalau sama Om, santai aja, Nya," pancing Darius. "Om orangnya nggak kolot-ngerti banget kehidupan anak muda zaman sekarang. Om ini open minded." Bullshit, sih.

"Orang emang nggak gimana-gimana!" kilah Anya.

Darius tahu Anya menyembunyikan sesuatu. Dia hafal gelagat gadis itu.

"Alah," kata Darius acuh tak acuh. "Kalau udah making love juga nggak masalah padahal. Namanya juga gelora asmara kawula muda."

Pipi Anya bersemu merah. "Takut ketahuan Mama terus dia marah, atau kecewa sama aku."

Got it! Jadi memang benar---Anya dan Gary sudah pernah bersetubuh!

Darius mati-matian mempertahankan raut datar. "Sama dia yang pertama?" selidiknya.

Anya menjawab dengan anggukkan.

"Dia memperlakukan kamu dengan baik?" tanya Darius lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Memarahi Anya justru akan membuat gadis itu menjauh darinya.

"Baik, sih ..." jawab Anya.

"Huh? 'Sih'?" Darius mengernyit.

"Hmm ..." Jantung Anya berdegup kencang. Membicarakan soal seks pada Darius membuatnya rikuh.

"Ngomong aja sama Om," bujuk Darius.

"Aku ..." kata Anya malu. "Belum pernah keluar kalau main sama dia."

DEG! Dada Darius bergemuruh. Dia pikir, Anya akan menceritakan perilaku buruk Gary. Mana sangka bila Anya justru mengungkapkan bahwa Gary belum bisa memberikan orgasme!

Darius menelan saliva. Darahnya berdesir tak mampu terkontrol. Ternyata isi pikiran Anya tidak polos-polos amat.

"Terus?" Darius berdeham.

"Aku bisa orgasme kalau main sendiri pakai jari," ungkap Anya.

Darius hampir tersedak. "Oh, hahahaha!" Ia menyembunyikannya dengan tawa palsu.

"Jadi aku pura-pura aja keenakan kalau lagi main sama Gary. Demi menjaga perasaannya." Anya menerawang jauh. "Kurasa, kontol nggak seenak itu."

"Nggak semua," pungkas Darius. "Bisa jadi karena manuver Gary kurang ciamik."

"Manuver kurang ciamik?" tanya Anya penasaran.

Darius sebisa mungkin melenyapkan kecanggungannya. Paling tidak, Anya punya tempat yang tepat untuk berkonsultasi soal seksualitasnya.

"Gerakan dia nggak rapi, pengendalian diri kurang, posisi juga bisa berpengaruh," ujar Darius. "Nanti ketika kalian lebih dewasa pasti paham. Learning by doing. Makanya, kamu jangan berpusat seolah dia satu-satunya."

"Jadi, maksud Om, aku boleh eksplorasi ke berbagai cowok setelah sama Gary?"

"Y-ya nggak gitu juga!" Darius kelimpungan.

"Tapi, ini, kan, tubuhku. Aku bebas mau bagaimana aja," seru Anya.

"Memang tubuhmu, tetapi tetap harus bertanggung jawab terhadap dampaknya. Jangan sampai kamu yang banyak dirugikan," sergah Darius.

Anya merenung. "Hmm, I see ..." Ia lalu menatap Darius. "Terus, sebelum sama tante Rahma-Om pernah ngewe sama berapa cewek?"

"Uhuk!" Darius menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal. "Om lupa, tapi ya adalah beberapa."

"Om bisa muasin mereka?"

"Bisa dong!" sahut Darius jumawa.

Anya terkekeh satir. "Kali aja mereka juga fake orgasm kayak aku."

"Om tahu mana yang pura-pura mana yang betulan," timpal Darius.

Anya semakin berdebar.

Perbincangannya bersama Darius terlalu gamblang dan melanggar batasan. Namun, Anya penasaran. Dan, tertantang.

"Tahu dari mana?" kejar Anya.

"Dari beceknya, kedutan di dalamnya, dan rata-rata kalau udah Om bikin crot, mereka bakal lemes kelonjotan. Tapi, nagih lagi." Darius meringis.

"Oh ..." Napas Anya mulai memberat.

Afeksi Anya pada Darius memang telah berubah semenjak beberapa minggu lalu. Ia menganggap Darius sebagai pria dewasa yang cukup menggoda.

Entah mengapa Anya dulu tak sadar kalau Darius punya tubuh tinggi dan atletis. Darius juga good looking dengan berewok yang memenuhi sebagian wajah. Kalau diamati sekarang---Darius itu seksi.

Kok bisa Tante Rahma menggugat cerai lelaki semenawan Om Darius?

"Jadi, kamu suka fingering?" Gantian Darius yang mengintrogasi.

Anya mengangguk malu. "Salah, ya?"

"Nggak kok. Namanya manusia pasti butuh pemuasan diri. Tapi, kalau keseringan nggak baik juga."

"Nggak sering, paling waktu Gary ngajak VCS aja," jawab Anya.

"Sering?" tatap Darius.

"Akhir-akhir ini nggak. Terakhir, minggu lalu kayaknya," terang Anya.

Darius bergeming.

"Waktu ... kamu pakai lingerie pink itu?"

"O-Om ingat?!" Anya memerah padam.

"Ingatlah. Om bukan Dory keleus!" kekeh Darius. "Lagi pula, pemandangan itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilupakan."

"T-tapi Om nggak bahas ...?"

"Kamu mau Om bahas hal itu di depan mamamu? Mana mungkin," sahut Darius.

"Iya, juga," ucap Anya mafhum.

"Beruntung banget si Gary karena kamu sangat cantik." Darius berdiri dan mengusap puncak kepala Anya.

Sekujur tubuh Anya bak tersengat listrik akibat sentuhan dan pujian biasa yang dilayangkan Darius.

"Om mau ke mana?" buru Anya.

"Mandi. Dari pagi belom mandi." Darius melangkah masuk ke dalam kamarnya. "Kenapa? Kamu mau ikut?" godanya. "Dulu kamu sering, lho, Om mandiin!" Ia mulai terkekeh sendiri.

Anya serta merta bangkit dan melangkah mendekat.

"Kalau aku mau, gimana?"

***

Penasaran dengan kelanjutannya? Baca semua karya kami yakni:

1. Pulau Terpencil (Aditya-Luna)
2. Daddy's Ecs (Darius-Anya)
3. Sweet Revenge (Kevin-Clarissa)
4. Meet Me at Pavilion (Abisena-Gendhis)
5. Passionate Age Gap (Rico-Almira)
6. Obsessed (Danu-Maya)

Hanya dengan Rp. 80.000 kamu bisa baca semua cerita ini.
Klik ini:

https://karyakarsa.com/Thewwg/series/hot-age-gap-romance


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top