A PASSIONATE AGE GAP (5)
THIS WORK BELONGS TO FIELSYA (Fielsya)
Vote dan Komen yang banyak
🔥🔥🔥
Almira’s POV
Aku mengerjap beberapa kali, mencoba membuka mata dan menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke netra, saat kurasakan sentuhan-sentuhan halus di pipi dilanjutkan dengan sebuah kecupan hangat di kening.
“Morning,” sapa Kak Rico seraya menampilkan seulas senyum.
Ya Tuhan, pemandangan ini indah banget. Untuk pertama kalinya, aku tidur dengan Kak Rico, tetapi dalam situasi yang berbeda. Terakhir kami tidur bareng, tepat satu hari sebelum dia mengucapkan ijab-qabul untuk Mbak Reva. Waktu tak ada yang spesial di antara kami, betul-betul murni hanya sebatas kakak dan adik. Tak ada sentuhan dan pergumulan.
Kali ini kami tidur bersama setelah percumbuan panas selama beberapa jam. Ya, kami melakukannya beberapa kali sampai kami betul-betul merasa lelah dan ngantuk.
Tubuh kami hanya dibalut selimut warna abu rokok yang cukup tebal. Tapi, tetap dapat kurasakan hangatnya kulit Kak Rico dari dalam sini.
Aku tersipu malu karena netranya masih intens menatapku. Tangannya yang tadi mengelus pipi kini sudah berada di depan dadaku. Jujur saja, aku tak berani membalas tatapannya. Ada rasa malu sekaligus senang yang berpadu dalam hati ini.
“Kenapa malu gitu? Aku udah lihat dan rasain semuanya. Jadi nggak usah malu lagi,” ledeknya seraya meremas lembut payudaraku dari atas selimut. Walaupun benda itu tebal dan cukup membuat tubuh ini merasa hangat, tapi remasan Kak Rico cukup terasa.
“Ish ... apaan sih? Siapa coba yang malu? Biasa aja,” sahutku sambil membuang muka, nggak pengen Kak Rico makin meledekku.
Aku hendak terbangun, ingin duduk dan menyandarkan kepala di pundak Kak Rico, tetapi area intimku terasa sangat ngilu. Aku memekik, dan untungnya kakak angkatku ini menyadari apa yang tengah aku rasakan. Dengan cekatan dia membantuku untuk bangkit dengan menopang tubuh ini hingga aku bersandar pada headboard.
“Al, aku minta maaf ya udah bikin kamu kesakitan,” ucapnya yang kurasakan begitu tulus.
Pandangannya tak sedikit pun berpaling dariku, lalu sedetik kemudian beralih merangkul pundakku dan merebahkan kepalaku di pundaknya. “Aku harap kamu nggak pernah menyesal atas apa yang sudah kita lakukan semalem, Al.”
Aku meraih satu tangannya yang lagi nganggur, dan meletakkannya di atas perutku. “Aku nggak pernah nyesel, karena aku memang mencintai Kakak. Aku rela melakukan apa pun untuk kebahagiaan Kak Rico, sekali pun itu artinya harus merelakan tubuhku. Aku nikmatin banget apa yang kita lakukan semalam. Tapi, ada yang pengen aku tanyain ....”
“Mau tanya apa?” tanyanya mungkin penasaran. Beberapa kali dia juga mengecup puncak kepalaku, entah apa tujuannya.
“Semalem Kak Rico bilang, I love you, boleh tahu, itu serius atau karena hanya terbawa suasana?” tanyaku yang sejujurnya aku ingin mendengar jawaban bahwa dia juga mencintaiku.
Aku tahu aku egois. Iya, aku juga pamrih dan anggap saja menyogok Kak Rico agar dia mau membalas cintaku dengan menyerahkan tubuh ini untuk dia nikmati. Nggak masalah kalau itu hanya di bibir, setidaknya aku memiliki sedikit harapan untuk bisa memilikinya. Berbagi dengan Mbak Reva? Nggak masalah juga buatku, yang penting aku tetap bisa menikmati persetubuhan dengan Kak Rico. Aku nggak bisa lagi membuang perasaan ini, nggak peduli akan sesakit apa nantinya. Yang aku tahu, bahagiaku hanya ada pada kakak tercintaku ini.
Dia hanya terdiam. Rasanya menyesakkan saat tak sepatah kata pun meluncur dari mulutnya. Ingin rasanya ‘ku menangis, atau memaksanya bersuara.
“Nggak perlu dipikirin jawabannya, nggak perlu dijawab juga. Aku paham, aku ngerti, Kak Rico sangat mencintai Mbak Reva. Jadi sudah sangat jelas kalau apa yang Kakak ungkapin semalam itu hanya karena kebawa suasana aja,” ucapku yang membuat hati ini makin terasa nyeri.
“Al, nggak gitu ....”
“Aku juga paham kok, Kak, apa yang kita lakukan semalam harus secepatnya aku lupain. Maaf, aku udah berharap lebih.” Aku hendak beranjak ke kamar mandi dan mengguyur seluruh tubuh, berharap apa yang kami lakukan semalam dapat luntur dari ingatanku seiring aliran air yang membasahi dari kepala hingga kaki. Namun, apa yang aku harapkan tak berjalan mulus, nyeri itu masih terasa hingga membuatku memekik saat akan menginjakkan kaki ke lantai.
“Bandel sih, udah tau masih sakit, tapi sok-sokan mau turun. Kalau kamu mau mandi, biar aku yang mandiin.” Kak Rico dengan sigap langsung menggendong tubuh ini ke kamar mandi.
Jantung ini berdegup kencang lagi, perasaanku makin tak keruan. Di satu sisi hati, mungkin aku kesal karena Kak Rico tidak menggubris perkataanku, tetapi sisi hati yang lain, nggak munafik, aku kembali membayangkan bagaimana nikmatnya bersetubuh di bawah guyuran shower dengan posisi berdiri.
Ya, aku bukanlah wanita yang betul-betul polos, walaupun aku bisa menjaga keperawananku hingga tadi malam, aku juga sangat menyukai cerita atau film dan series bergenre dewasa. Jadi, sudah pasti aku mengetahui banyak gaya yang bisa dilakukan saat bercinta.
Kak Rico menurunkanku tepat di bawah shower, kemudian menghidupkan air hingga membasahi tubuhku. Kuusap seluruh tubuh yang bisa kujangkau dengan tangan, termasuk area yang diapit oleh pahaku. Tampak jelas masih ada sisa-sisa darah keperawananku yang mulai mengering. Aku tertegun untuk sejenak, kembali menyadarkan diri bahwa ini bukanlah mimpi. Aku betul-betul telah menyerahkan kehormatanku kepada lelaki yang sangat aku cintai sejak belasan tahun lalu.
Aku yang sedang fokus membersihkan sisa-sisa darah itu dibuat terkejut, mana kala Kak Rico suda berlutut di hadapanku. Dengan sangat hati-hati dia membantuku membersihkannya, sesekali dia juga mencoba menggoda dengan menyentuh klitorisku.
“Shhh ... ah,” lenguhku saat dia mulai memainkan liang senggamaku dengan lidahnya.
Kucengkeram bahunya sebagai tumpuan agar tubuh ini tak goyah saat Kak Rico mulai memainkan hal yang lebih jauh lagi.
“Kak, udah ... jangan dilanjut,” pintaku. Bukan ingin menolak, hanya saja aku sengaja memancing agar dia mau menjawab dulu pertanyaanku. Sayangnya hal itu tidak terjadi.
Kak Rico masih terus menyesap dan menusuk-nusuk area intimku dengan lidahnya. Bahkan saat ini dia mengangkat salah satu kakiku ke bahunya. Hal ini tentu saja membuat dia makin leluasa untuk membangkitkan hasratku.
Tak bisa kupungkiri, rasa nyeri itu memang masih ada, tetapi kenikmatan permainan lidah kakakku itu tak sebanding dengan sakit yang kurasakan. Setelah merasa puas, dia pun menurunkan kakiku dan kembali bangkit. Tanpa aba-aba, dia lantas menyesap gundukan kenyal yang bisa kupastikan bahwa kini sudah menjadi favoritnya.
Dari semalam, payudaraku tak pernah luput dari perhatiannya. Jujur saja aku merasa bangga, karena rupanya ukuran yang nggak jauh lebih besar dari milik Mbak Reva justru bisa menjadi candu suaminya. Kubiarkan dia melakukan apa pun pada dadaku. Aku hanya bisa mendesah atau justru makin menahan kepalanya agar tak segera menyelesaikan permainannya di sana.
Dengan tetap menyusu secara bergantian pada kedua payudaraku, Kak Rico perlahan menggesekkan kejantanannya pada liang senggamaku. Sedikit terkejut memang saat aku merasakan bahwa ternyata miliknya itu sudah sangat mengeras dan siap untuk mengoyakku kembali.
“Mmmhhh ... Al, aku nggak tahan lagi untuk memasuki kamu,” ucapnya dengan napas tersengal, dan detik berikutnya kejantanannya sudah lenyap dari pandangan dan berayun manja menghunjam organ intimku.
“Ah, Kak ... yang ini agak sakit,” keluhku yang memang merasa kurang nyaman dengan posisi kami saat ini.
“Tapi enak nggak?” tanyanya frontal. Aku hanya terdiam, tersipu malu, dan bingung harus menjawab apa.
Kak Rico lantas melepaskan kejantanannya dari vaginaku. Dia membalikkan tubuhku, dan membuatku sedikit menunduk dan bertumpu pada dinding kamar mandi. Dengan posisi membelakangiku, dia kembali menghunjamkan miliknya tanpa ampun di dalam sana.
Awalnya memelukku dari belakang seraya meremas dan memilin putingku. Selanjutnya beralih ke pinggul dan makin menggerakkan pinggulnya dengan cepat, membuat kejantanannya makin terasa menusuk hingga terasa ke dalam rahimku.
Kami beradu desahan, dan suara itu menggema memenuhi kamar mandi, beradu cepat dengan suara gesekan antara kulit kami. Aku berusaha mencari pegangan yang lebih kuat, karena aku tidak yakin, hanya menahan tembok saja aku bisa bertahan dalam posisi ini.
“Oh, Kak ... lebih cepet lagi. Aku pengen pipis lagi,” ucapku yang masih saja menyamakan orgasme dengan buang air kecil.
“Argh, tunggu Sayang, dikit lagi. Tahan dulu, kita keluar bareng. Kamu harus jadi milikku, Al,” racaunya yang makin mempercepat tempo permainan.
Desahan keras terlontar dari mulut kami masing-masing saat merasakan ledakan yang cukup dahsyat. Kejantanannya masih menyesakkan vaginaku mana kala Kak Rico mendapat pelepasannya. Namun kali ini spesial, karena dari total lima kali bercinta, untuk pertama kalinya kami meledak dalam waktu yang sama. Liang senggamaku pun makin terasa hangat oleh cairan cinta kami.
***
Penasaran dengan kelanjutannya? Baca semua karya kami yakni:
1. Pulau Terpencil (Aditya-Luna)
2. Daddy's Ecs (Darius-Anya)
3. Sweet Revenge (Kevin-Clarissa)
4. Meet Me at Pavilion (Abisena-Gendhis)
5. Passionate Age Gap (Rico-Almira)
6. Obsessed (Danu-Maya)
Hanya dengan Rp. 80.000 kamu bisa baca semua cerita ini.
Klik ini:
https://karyakarsa.com/Thewwg/series/hot-age-gap-romance
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top