BAYI TITIPAN

“Apa kalian benar-benar ingin mengurus bayi ini?”

Lamat-lamat kudengar suara seorang, entah siapa. Sekelebat kenangan hadir di memoriku. Bau anyir dari tubuh ibu masih tercium. Saat itu, ia sedang menggendongku menyebrangi jalanan yang ramai dengan kendaraan.

“Iya, Dok. Kami tidak bisa meninggalkannya sebatang kara.” Terdengar suara seorang wanita. Lembut dan menenangkan. Sentuhan hangatnya berulang kali singgah di dahiku.

“Kalian sanggup?”

“Kami akan berusaha sekuat tenaga, Dok.”

“Baiklah, kalau itu sudah jadi keputusan kalian. Untuk nutrisi, sementara ini berikan saja susu formula. Perhatikan juga kondisi psikisnya. Silahkan googling untuk mencari tahu.”

“Baik, Dok.”

Tubuh lemahku pun berpindah ke dalam dekapan hangat. Sejujurnya aku takut. Dia bukanlah Ibu. Namun, belaian lembutnya membuatku nyaman.

***

Hari-hariku berputar penuh bahagia. Kedua pasangan itu, Eko dan Ratih, memperlakukanku bak intan permata. Mereka menyiapkan tempat tidur khusus untukku. Dilengkapi dengan selimut hangat dan boneka Teddy Bear berwarna cokelat muda. Mereka tidak pernah abai dengan kebutuhanku. Bahkan saat aku menangis di tengah malam karena haus, Ratih dengan sigap menyiapkan susu untukku. Dalam dekapannya aku pun menyesap tetes demi tetes cairan putih itu.

Tidak hanya kebutuhan dasar, pasangan itu juga memenuhi kebutuhan jiwaku. Mereka sering menggendongku, mengajak bermain, hingga sekedar ngobrol. Aku merasa sangat bahagia. Perlahan-lahan, kenangan pada Ibu mulai memudar.

Hingga di satu pagi yang cerah.

“Ratih, Calandra baru saja melahirkan.”

“Terus?”

“Aku rasa, ada baiknya kita menitipkan Vergesya padanya. Hanya untuk beberapa hari.”

“Untuk apa?”

“Vergesya juga butuh asi.”

“Tapi, hampir sebulan ini Vergesya baik-baik saja dengan susu formula.”

“Vergesya tetap butuh asi untuk pertumbuhannya.”

“Bagaimana jika Calandra menolak?”

“Ibu mana yang akan menolak bayi semanis Vergesya?”

Jeda kosong berlalu hingga beberapa detik. Belaian Ratih di tubuhku terasa mulai melemah.

“Kamu sudah izin sama Yono?”

Eko mengangguk.

“Ya udah, kita coba. Tapi, hanya dua hari, ya. Terus, kita lihat hasilnya.”

“Oke, Sayang.”

Tubuh mungilku pun pindah ke tangan Eko. Dengan hati-hati, ia meletakkanku di keranjang berselimut. Pria itu lalu bergegas membawaku ke rumah baru, dimana seorang ibu baru tengah menyusui anak-anaknya.

***

Kau tahu rasanya menjadi bayi titipan? Mungkin kau tak tahu karena kau tak pernah mengalaminya. Bahkan jikapun pernah, mungkin ingatan masa kanakmu telah menguap di udara. Semetara bagiku, kenangan itu begitu berbekas. Seperti pahatan di dinding pohon jati. Terus membekas bahkan hingga sang pohon ditumbangkan oleh para penebang liar.

Detik-detik di rumah baru menghadirkan siksa bagiku. Meski buram, aku bisa melihat sosok Calandra yang ada di hadapanku. Ia sedang memeluk bayi-bayinya, menyusui dengan penuh kasih sayang. Ia mengacuhkanku dengan amat. Seolah-olah aku hanya benda mati yang numpang tidur di kasur empuknya. Sementara Yono, dia terlalu sibuk dengan gadisnya. Setelah menyiapkan makan dan minum untuk Calandra, pria itu segera pergi dengan seorang gadis berambut panjang.

Sepeninggal Yono, aku berulang kali menangis, mencoba menarik perhatian  Calandra. Namun ia tetap bergeming. Aku tak menyerah. Saat lapar dan dahaga tak mampu lagi kutahan, tangisanku pun mulai mengeras. Namun berkali-kali juga, ia hanya membuang muka. Hingga akhirnya aku lelah dan mulai tertidur. Kumimpikan Ibu datang menghampiriku. Dia memelukku dalam dekapan yang sangat hangat.

***

Aku terbangun ketika seseorang menggendong tubuh mungilku. Namun, aku tak sanggup membuka mata. Tangisku sepanjang hari hingga malam, telah menyedot seluruh energi dalam ragaku.

“Sejak kapan Vergesya kaya gini, Yon?”

Ah, itu suara Eko.

“Aku juga nggak tahu, Ko. Semalam aku pulang larut. Pas tadi mau ngasih makanan ke Calandra, aku lihat Vergesya tidur. Tadinya aku kirain cuma tidur biasa. Tapi, pas udah siang dia masih gitu juga, aku jadi curiga.”

“Kayanya, Vergesya sakit, deh. Lihat! Dia lemes banget. Biasanya nggak gini. Aku bawa pulang aja, ya.”

“Ya udah. Maafin aku, ya, Ko. Aku beneran nggak tahu kalo bakal jadi kaya gini. Sampein maafku ke Ratih.”

“Iya, Yon. Nggak apa-apa. Salahku juga, kok.”

Aku masih bisa menyimak pembicaraan Eko dan sahabatnya, sebelum pria itu berlari sambil mendekapku dengan erat. Aku kembali tertidur.

“Kenapa jadi gini?”

Aku kembali terbangun saat mendengar suara bergetar milik Ratih.

“Aku nggak tahu, Sayang.”

“Padahal waktu dibawa ke rumah Yono, Vergesya sehat dan bugar. Pasti Calandra nggak mau ngasih asinya ke Vergesya." Ratih mulai terisak.

"Udah, Sayang. Kita rawat Vergesya lagi, ya. Sama seperti saat pertama kali kita merawatnya. Semoga Vergesya, bisa segera pulih."

Aku masih mendengar Ratih dan Eko berbincang tentangku. Tak lama kemudian, sebuah dot diselipkan di bibirku. Aku menyesapnya sekali, dua kali. Namun, aku tiba-tiba berhenti. Entah mengapa, aku kehilangan nafsu makan. Padahal perutku terasa lapar.

"Vergesya, ayo minum." Suara Ratih mulai serak diiringi tetesan air yang jatuh ke tubuhku.
***
Aku bermimpi indah. Dalam mimpiku, ibu melemparkan bola padaku. Kami pun bermain lempar tangkap bola hingga lelah. Ibu lalu membimbingku berbaring di atas Dandelion Root.

"Vergesya, apakah kau akan kembali pada Ratih dan Eko?"

Aku buru-buru menggeleng. "Bolehkah aku bersama ibu saja?"

"Tak rindukah kau pada Ratih dan Eko?"

"Mereka memang baik, Bu. Tapi, mereka bukan orang tuaku. Tak ada yang bisa menggantikan kasih sayangmu. Maka, kumohon jangan usir aku." Aku mulai terisak.

"Kau tidak perlu kembali jika tak ingin. Waktumu memang sudah habis."

Ibu pun mendekapku, dan mulai menjilati seluruh tubuhku.

***

"Kenapa Vergesya harus mati, Ko?"

"Sabar, Sayang. Kamu harus ikhlas."

"Tapi, ini pertama kalinya aku merawat bayi kucing. Hampir berhasil, jika saja kita tidak membawanya ke rumah Yono."

"Sudahlah, Sayang. Ayo, kita kuburkan Vergesya di halaman belakang. Setelah itu, kita ke pet shop. Kamu bebas memilih kucing baru sebagai pengganti bayi kucing bernama Vergesya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top