Y E S H A
Y E S H A
Iez duduk di salah satu kursi di pinggiran kolam renang. Matanya menatap pantulan bayangan langit yang ada di air, tapi pikirannya menerawang, berlarian ke sana ke sini.
Dia mengenal Yesha sejak kecil dan dia tahu semua yang telah dialami oleh gadis itu. Dia memahami Yesha lebih baik dari pada kedua orangtua Yesha. Tapi terkadang, dia sadar kalau dia sudah melampaui batasnya sebagai seorang teman. Dia terlalu ikut campur dalam hidup Yesha dan membuat gadis itu ketergantungan padanya.
“Nggak tidur?” tegur Amora.
Amora duduk di kursi lain di samping Iez, kedua tangannya memeluk dirinya sendiri untuk menepis rasa dingin yang menerpa tubuhnya.
“Belum. Ada beberapa berkas yang harus aku periksa, kamu?” jawab Iez sambil menatap laptop dan beberapa buah map yang tergeletak di bangku santai di dekat kolam renang.
“Lo pikir gue bisa tidur saat gue dicap sebagai komplotan pencurian?” jawabnya sinis lalu terkekeh miris.
Gadis berpipi tembem itu ikut terkekeh. Sedikit rasa nyeri menyergap perasaan Iez. Dia dan Amora benar-benar sial karena sudah mengenal dan terikat dengan gadis keturunan konglomerat tersebut. “Yesha udah tidur?”
Amora hanya menjawab dengan anggukan kecil. “Dia terlihat … agak lelah.”
“Hm.”
Hening. Mereka kembali pada pikiran mereka masing-masing. Menimbulkan kecanggungan yang amat terasa bagi Amora. Dia baru saja bertemu dan berkenalan dengan gadis bernama Iez yang ternyata adalah teman Yesha sejak kecil. Amora merasa kecil sekarang. Dia berpikir kalau dia yang mengenal Yesha sejak awal duduk di bangku SMA tahu betul segala hal tentang gadis itu, tapi ternyata, ada orang lain yang tahu lebih banyak darinya dan … yang lebih memiliki arti daripada dirinya di hati Yesha.
“Yesha udah punya rencana?” ucap Amora, menepis segala perasaan cemburu di hati.
“Kamu memang cocok sama Yesha.”
Mendengar jawaban datar dan aneh yang keluar dari mulut Iez membuat Amora menatap heran pada gadis di sampingnya.
“Aku akan mengurusnya. Nggak bakal ada catatan apapun tentang kamu di kepolisian. Lagipula ini hanya akal-akalan Pak Daniel buat nemuin Yesha, kamu tahu maksudku, ‘kan?” jawab Iez.
Amora menghela napas lega. Untuk beberapa saat mereka kembali membeku dalam diam. Sejujurnya, Amora tidak puas dengan jawaban Iez. Maksudnya, apa Yesha sudah punya rencana tentang perjodohannya?
“Dia sudah punya rencana untuk perjodohannya,” jawab Iez seolah menjawab pemikiran Amora barusan.
“Rencana gimana?”
Iez menggidikkan bahunya tak yakin. “Yesha harus berdebat dulu dengan orangtuanya, setelah itu baru dia mengambil keputusan. Itu yang dia katakan.”
Amora kembali menelan ketidak puasan atas jawaban Iez. Kenapa gadis yang ada di depannya ini selalu mengatakan sesuatu setengah-setengah?
“Menurut elo, apa yang terjadi antara Yesha dan bokap-nyokapnya?” tanya Amora dengan suara pelan. Dulu, dia ingat, kalau Yesha tidak seperti sekarang.
“Mereka mengalami perang dingin, selama tiga tahun ini.” Iez melipat kedua tangan di depan dada, tubuhnya dia rendahkan sedikit untuk bersandar pada punggung kursi. Membahas tentang Yesha, dia tahu beberapa hal tidak menyenangkan dalam hidup gadis itu dan dia merasa tidak nyaman.
“Perang dingin?”
Iez mengangguk. “Selama sembilan belas tahun Yesha menjadi sosok yang selalu menurut dengan apa yang dikatakan orangtuanya, tapi sejak tiga tahun yang lalu dia berubah.”
“Apa yang terjadi sama dia?”
“Dia muak dengan orangtuanya yang tidak pernah memberinya kesempatan untuk melakukan apa yang dia inginkan.”
Amora terkejut. Dia tidak tahu tentang hal ini, sedikit pun. Saat bertemu dengan Yesha, tak ada raut wajah sedih dan tertekan dari Yesha. Hanya saja, gadis itu berubah sejak tiga tahun yang lalu dan Amora tidak tahu alasannya.
“Rasa muaknya memuncak saat tahu kalau dia akan menggantikan Pak Daniel di perusahaan.”
“Itu wajar, ‘kan? Perusahaan orangtua diwariskan pada anaknya sendiri?” Amora melirik raut wajah Iez yang terkesan biasa saja dengan segala kelakuan ajaib keluarga Yesha.
“Menurut kita itu wajar, tapi nggak buat Yesha,” jelas Iez. “Dia nggak suka memikirkan urusan-urusan berat seperti perusahaan.”
“Tapi dia mampu, Yez. Dia itu pinter, nggak mungkin dia nggak bisa ngurusin masalah perusahaan,” sanggah Amora.
Iez menumpukkan kaki kanannya di atas kaki kiri, lalu menatap pekat kedua manik mata Amora. “Aku bilang dia nggak suka, bukan nggak bisa.”
“Tapi dia bisa belajar buat suka, ‘kan? Nggak mungkin dong selamanya dia kayak gini. Siapa yang bakal nerusin perusahaan itu kalau Yesha nggan mau dan nggak belajar?” bela Amora kukuh. Kali ini dia merasa benar—tidak—dia benar.
Iez menggidikkan bahunya lagi, lalu menarik salah satu sudut bibirnya. “Sayangnya hal itu yang membuat Yesha mendirikan dinding batasan pada orangtuanya.”
Sekali lagi Amora menatap bingung pada Iez.
“Pak Daniel juga mengatakan apa yang kamu katakan barusan. Yesha bisa belajar untuk bekerja dan menyukai pekerjaan itu, tapi dengan tegas Yesha menolaknya. Lalu peperangan ini terjadi.”
Gadis betubuh setinggi 163 sentimeter itu menggaruk telinga. Keluarga Yesha lebih rumit daripada kehidupannya. “Apa nggak ada yang bisa kita lakuin, supaya Yesha mau nerusin perusahan Pak Daniel?”
“Jangan lakuin apapun!” larang Iez dengan suara pelan namun terkesan tegas. “Tetaplah menjadi Amoranya Yesha yang seperti sekarang, hanya dengan cara itu kamu bisa ngebantu dia.”
“Ngebiarin mereka berada dalam perang dingin yang nggak berujung kayak gini?” sergah Amora kesal.
Iez menjawab dengan anggukan. “Biarin mereka nyelesain masalah mereka sendiri, kita nggak punya hak buat ikut campur. Sadar atau tidak, kita sudah melewati batas, Amora. Jadi jangan lakukan apa pun, cukup seperti ini. mengerti?”
Amora memejamkan matanya. Dia sangat menentang sikap Iez yang sekarang, gadis itu tahu masalah yang dialami oleh Yesha, tapi kenapa dia tidak membantu Yesha sama sekali dan memilih menjadi penonton. Kesal, dia memilih berdiri dari duduknya, lalu melangkah menjauhi Iez.
“Karena kamu spesial, Amora!” ucap Iez dengan nyaring, membuat Amora menghentikan langkahnya. “Karena hanya kamu satu-satunya teman yang akan terus mengikutinya meskipun kamu menolak untuk mengikutinya.”
Jantung Amora berdetak lebih cepat saat Iez mengatakan kalimat itu. Kalimat yang menyadarkannya kalau dia adalah seseorang spesial bagi Yesha, bukan seseorang yang selalu dijadikan pelarian Yesha.
“Karena kamu berharga buat dia. Dengan hanya melihat kamu sebentar aja, semangatnya akan kembali terisi dan dia bisa melupakan masalahnnya untuk sejenak.”
Seperti tersambar petir dengan kekuatan ribuan watt, tubuh Amora bergetar. Seberharga itukah dirinya? Ternyata dia salah paham pada Yesha selama ini. Menganggap bahwa dirinya hanyalah seorang pelarian seorang Yesha, karena dia begitu menyukai Yesha.
“Jadi … tetaplah seperti itu, seperti Amora yang disukai Yesha. Cukup seperti itu. Jangan mencoba untuk ikut andil dalam permasalahan pelik mereka.”
*
Di belahan dunia yang lain, di sebuah apartemen bergaya klasik dengan sebagian besar dinding dan lantainya berwarna hitam abu-abu. Dua orang laki-laki kembali beradu pendapat untuk masalah yang sama sejak dua minggu yang lalu.
“Kita sudah membahas ini sejak dua minggu yang lalu, sebaiknya kamu berhenti mencari alasan untuk menolak,” ucap seorang laki-laki setengah abad itu dalam Bahasa Korea.
Sementara laki-laki yang terlihat lebih muda di depannya hanya bisa mendengus kesal.
“Kamu tahu pasti apa konsekuensinya jika kamu menolak. Appa harap kamu bisa mengambil keputusan dengan bijak.”
Laki-laki muda tadi segera naik ke lantai dua setelah ayahnya keluar dari apartemen. Wajah laki-laki itu mengeras, rahangnya saling beradu dan hembusan napas berat terus keluar dari lubang hidungnya.
“Ini wajar. Hal seperti ini sering terjadi di dunia bisnis. Ini demi perusahaan,” gumamnya seraya meminum wine yang baru saja dituangnya.
“Aku hanya perlu menikahi gadis itu dan appa akan menyerahkan perusahaannya padaku. Itu mudah. Aku bisa melakukannya.”
Laki-laki berkulit putih itu terus meyakinkan dirinya untuk setuju dengan permintaan kolot dari ayahnya. Ya. Dia bisa.
*
Seorang laki-laki berumur sekitar empat puluhan tengah asik dengan secangkir kopi dan sebungkus kacang bawang di warung kecil yang ada di dalam gang sebuah perumahan. Sedangkan laki-laki berumur dua puluhan beberapa meter di samping warung tengah berbicara dengan seseorang di ujung telepon sana.
“Saya sudah berada di lokasi, Pak,” lapornya dengan nada pasti. “Dan kendaraan itu memang ada di rumah ini,” sambungnya.
“…”
“Baik, Pak.”
“Gimana?” tanya laki-laki berumur itu setelah melihat rekannya mengakhiri panggilan telepon.
“Mereka akan tiba sebentar lagi.”
Laki-laki tadi menganggukkan kepalanya, lalu kembali menyesap kopi yang ada di depannya. “Ini rumah teman kamu, ’kan, Ki?”
“Iya, Pak. Tapi teman saya berada di rumah mertuanya sekarang. Mungkin hanya adiknya saja yang berada di rumah ini,” jawab laki-laki bernama Kiki itu.
“Apa hubungan adik teman kamu dengan gadis yang kita cari ini, Ki?”
Kiki menggeleng. “Saya juga tidak tahu, Pak Fery.”
Lima belas menit berselang. Beberapa mobil polisi tiba di depan rumah Iez. Setidaknya ada enam orang yang keluar dari dua mobil itu.
“Pak!” Hormat Kiki pada seorang laki-laki yang terlihat lebih berwibawa dan dijawab dengan anggukan oleh laki-laki itu.
“Saya akan mengetuk pintu. Saya kenal dengan pemilik rumah ini, jadi kita bisa mengajak mereka untuk bekerja sama dengan tenang,” sambung Kiki.
“Kerjakan!” jawab laki-laki tadi dengan suara beratnya.
Kiki mengangguk, lalu berjalan menuju pintu rumah Iez yang tertutup rapat itu.
Tok … tok … tok.
*
“Yez, ada yang ngetok pintu,” ucap Amora yang sedang menonton acara TV di ruang keluarga bersama Yesha.
Iez yang sedari tadi berada di dapur segera berlari menuju pintu. Tapi tiba-tiba saja langkahnya terhenti, tanpa sengaja dia melihat ke arah jendela dan di sana ada beberapa mobil polisi yang terparkir rapi di depan sebuah warung. Iez menghela napasnya dan sekian detik kemudian gadis itu membuka pintu.
“Selamat siang! Yez, kami dari kepolisian. Bisakah kamu membantu kami dalam menjalankan tugas?” ucap Kiki dengan tegas.
Iez tidak langsung menjawab. Gadis itu keluar dari rumahnya dan perlahan dia menutup pintu dari luar, tangan kanannya dia gunakan untuk menahan gagang pintu. Mata Iez menjelajahi setiap wajah kokoh para aparat polisi yang kini berdiri tegak di depan rumahnya.
“Kalian bisa melakukannya dengan tenang, ‘kan?” Bukannya menjawab pertanyaan Kiki barusan, Iez malah meminta para aparat polisi itu menuruti kemauannya.
“Kami akan mengurusnya,” jawab Kiki tanpa peduli dengan ucapan Iez barusan.
“Lakukan dengan tenang!” Nada suara gadis itu berubah dingin, aura di sekitarnya juga berubah mencekam. Beberapa aparat polisi menatap tak suka kala gadis berusia dua puluhan itu memerintah seakan memiliki kuasa lebih atas diri mereka.
“Aku akan membiarkanmu masuk dan aku akan menyiapkan minuman untuk kalian.” Sekali lagi nada suara Iez berubah akrab. “Jadi jangan berisik!” Ucapan dingin yang keluar dari mulut Iez membuat beberapa anggota polisi yang mendengarnya merasa tersinggung.
“Tolong jaga cara bicara Anda, Mbak!” protes Pak Fery. Ucapan dingin yang keluar dari mulut Iez membuat Pak Fery tersinggung dan dia tidak suka jika ada warga biasa mengganggu pekerjaan mereka.
“Dan tolong jaga sikap Anda, Tuan!” balas Iez dengan menatap tajam pada Pak Fery.
“Kami akan tenang. Jadi kami harap, Anda bisa bekerja sama dengan kami,” sahut Pak Huda, laki-laki yang kepala kepolisian setempat.
Tanpa menjawab lagi, Iez segera berbalik dan membuka kedaua daun pintu rumahnya. “Silahkan masuk!” ajaknya lalu berjalan masuk.
Delapan laki-laki dari kantor kepolisian itu menurut masuk ke dalam rumah Iez dengan perasaan canggung. Ada rasa malu di hati mereka karena mereka menurut tunduk pada seorang gadis biasa.
“Yes. Kayaknya kamu udah ketahuan, deh,” ucap Iez agak nyaring.
“Seriusan? Kok cepet banget?” sahut Yesha dari ruang tengah.
Setelah mengajak mereka duduk di ruang tamu, Iez berlalu ke dapur untuk membuatkan mereka minuman, seperti janji Iez sebelumnya.
“Whoaaa!!!” Yesha berdecak kagum saat melihat siapa yang ada di ruang tamu rumah Iez.
Sedangkan gadis lain yang ada di belakangnya terhenyak takut. “Apa bokap lo bakalan ngebunuh kita?”
“Nggak!” geleng Yesha dengan cepat. “Setelah ini elo nggak bakal terlibat dalam adegan pelarian gue lagi,” sahut Yesha pasti.
Iez keluar dari dapur dan membagikan beberapa es jeruk pada semua aparat polisi. “Jadi apa catatan laporan mereka di kepolisian?” tanya Iez pada aparat polisi.
“Laporan orang hilang,” jawab Pak Huda.
Iez mengangguk paham, sedangkan Amora terlihat menghela napas lega.
“Sebenarnya saya kurang bisa menerima kasus ini,” protes Kiki dengan tidak hormatnya. “Siaran TV memberitakan kalau ini adalah kasus pencurian sebuah motor. Tapi ketika sampai di kepolisian, laporan kasus ini berubah menjadi pencarian orang hilang,” sambungnya.
“Kasus melarikan diri, lebih tepatnya,” jawab Yesha dengan wajah agak kesal ketika mendengar protes keras dari Kiki.
“Kiki!” tegur Pak Huda.
“Kamu bisa protes pada pelapor, bukan pada kami,” sahut Iez dengan nada tak kalah kesalnya.
“Siapa yang akan menjemput mereka?” Iez mengalihkan topik pembicaraan.
“Pak Idwar. Beliau sedang di perjalanan,” sahut laki-laki lain yang lebih muda dari Pak Fery.
“Pak Idwar?” Yesha bertanya dengan raut heran.
“Kenapa kepala sekretaris yang ngejemput kita? Biasanya, ‘kan, cuma pengawal?” sambar Amora.
*
04112015
Repost 10022016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top