Petak Umpet

Petak Umpet.

06.12 a.m.

Sebuah tali tambang berukuran sedang dilemparkan melalui jendela dari salah satu kamar di lantai dua. Seiring dengan lemparan tali itu, sesosok orang berpakaian serba hitam menengok keluar untuk memastikan keberhasilan tahap pertama pekerjaannya. Wajahnya ditutupi masker berwarna putih, dia mengenakan sebuah topi berwarna hitam yang ditutupi lagi dengan topi jaketnya dengan niat agar tak seorang pun yang mampu mengenalinya.

Hanya bermodalkan bantuan tali tambang yang baru saja dia lemparkan dan pengalamannya selama ini, sosok itu segera turun dari jendela. Tahap kedua berhasil dengan sempurna seperti biasanya. Setelah memijakkan kaki di atas tanah, tanpa membuang waktu sosok itu menyusuri sisi-sisi dinding rumah hingga dia tiba di depan pintu garasi. Dengan berhati-hati dia membuka pintu garasi dan sebuah kendaraan Yamaha R15 berwarna abu-abu sudah menyambutnya.

Layaknya maling profesional, dia berhasil membawa kendaraan tersebut beserta sebuah helm dan kunci kontaknya. Tanpa menunggu lama, dia segera membawa hasil curiannya itu keluar dari pagar rumah.

“Gue bener. Cuma maling bego yang nggak bisa ngemaling di rumah ini,” ucap seorang gadis dari balik helm.

Gadis itu segera menyalakan motornya dan segera melarikan diri. Sekilas dia menyunggingkan senyum tipis saat melihat beberapa pengawal yang mengejarnya dari pos jaga di sisi lain lingkungan rumah dengan berlari.
*

Tok … tok … tok.

“Cepetan buka!” teriak seorang gadis berpakaian serba hitam di depan sebuah rumah kontrakan kecil.

“Bentar!” jawab seorang gadis dari dalam. Dari nada suaranya, gadis si pemilik rumah tersebut agak kesal karena harus menerima tamu rusuh di pagi hari.

Tak lama berselang, keluarlah seorang gadis yang masih mengenakan handuk di tubuhnya. “Yesha!” ucap gadis tadi setengah kaget. “Ngapain lo ke sini pagi-pagi?” sambungnya dengan nada kesal.

Yesha Argantara. Dua puluh dua tahun. Sarjana Ekonomi. Pengangguran—memilih untuk menjadi pengangguran. Anak tunggal dari seorang pengusaha ternama di Indonesia. Dan … gadis penuh kejutan.

“Cepetan pake baju!” serobot Yesha sembari mendorong gadis itu kembali masuk ke dalam rumah.

“Elo kenapa lagi sih, Yes?” keluh gadis itu kesal. Pasalnya dia sudah sering mengalami hal seperti ini. Memang, dulu, saat dia masih duduk di bangku SMA, dia sangat menyukai dan selalu mengikuti Yesha ke mana pun gadis itu pergi. Akan tetapi, sekarang dia lelah.

“Kita harus pergi dari sini. Se-ce-pat-nya!” Seperti orang kesetanan, Yesha membongkar lemari temannya dan memilihkan baju.

“Lo main petak umpet lagi sama bokap-nyokap lo?” Gadis itu mengenakan baju dengan terburu-buru.

“Gue yakin, seyakin-yakinnya orang yang yakin. Bokap-nyokap gue bakal ngebunuh gue kalau mereka nangkep gue hari ini,” jelas Yesha pasti.

“Dan elo ngajak gue supaya lo punya temen di saat kematian lo, gitu?” keluhnya sambil meronta-ronta. “Wah! Hebat banget, ya, lo. Kalau mau mati jangan ajak-ajak gue ngapa, Yes. Ish!”

“Udah, deh. Jangan banyak protes!”

Yesha memasangkan helm berwarna hijau dan sebuah sepatu flat berwarna putih pada temannya yang sudah selesai mengenakan pakaian. Tanpa basa-basi berlebihan, Yesha menarik lengan gadis tersebut dan tak acuh pada gerutuan kesal sang teman. “Ayo!”

Tak mau memiliki masalah dengan orangtua Yesha, gadis tadi menghempaskan tubuhnya ke lantai, menolak apa pun yang akan dilakukan Yesha kali ini. “Lo kok jahat banget sama gue? Kok lo ngajak mati bareng sih, Yes?”

Yesha berbalik, meraup tangan lain gadis itu lalu menariknya berdiri. “Berisik banget sih lo, Amora. Ayo, cepetan!”
*

“Kita mau kemana?” tanya Amora dengan suara seraknya. “Seenggaknya, lo bisa nggak ngasih gue waktu buat pake make-up dulu? Muka gue parah banget ini, Yes.”

Sedangkan gadis yang diberi pertanyaan tersebut hanya diam dan terus menyeret Amora untuk naik ke motornya. Mendapat respon seperti itu membuat Amora memilih diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

Ya! Amora sudah terbiasa menjadi pelarian Yesha karena permainan petak umpetnya bersama orangtuanya. Entah itu naik gunung, menyelam ke laut, terjun di udara atau hanya pergi dengan motor seperti ini.

Mereka sadar bahwa mereka pasti akan tertangkap oleh anak buah orangtua Yesha. Tapi dua gadis bodoh itu selalu saja melakukan pelarian semacam ini. Namun kali ini Amora terlihat lebih bingung dengan tujuan mereka karena sekarang dua gadis itu baru saja berlayar dengn kapal besar.

“Kita pergi ke rumah temen gue. Bokap-nyokap gue pasti nggak bakal nemuin kita,” jelas Yesha.
*

“Iez!” panggil Yesha saat tiba di depan rumah temannya.

“Yesha!” sahut gadis yang dipanggil Iez itu, ada sedikit raut kaget dari wajah gadis itu saat melihat Yesha datang ke rumahnya.

“Gue kangen sama elo!” teriak Yesha seraya memeluk Iez dengan erat.

Masih dengan ekspresi kagetnya, Iez membalas pelukan Yesha. “Iya. Anggep aja aku juga kangen sama kamu.”

“Gue sama temen gue mau nginep di sini beberapa hari, boleh?”

“Boleh-boleh aja sih, tapi….”

“Apa?”

“Kok kamu bau sih? Nggak mandi, ya?” Iez segera melepas pelukannya dengan paksa.

Yesha hanya nyengir lebar dan menerobos masuk ke rumah Iez bersama Amora. Gadis itu memutuskan untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu sebelum memulai ceritanya.

Benar saja. Tubuh Yesha dan Amora lengket dan bau karena selama lebih dari dua puluh empat jam tidak mandi. Yeah, dimana mereka harus mandi? Kapal memang menyediakan kamar mandi, tapi … you know what I mean?

“Lo udah lama kenal sama Yesha?” Amora menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu setelah menyelamatkan kedua nyawa ponselnya yang mati sejak semalam.

Iez menaruh nampan berisi tiga gelas jus melon di atas meja, lalu duduk di seberang Amora. “Lumayan sih, kenapa?”

“Lo tau nggak, kalau dia sama bokap-nyokapnya itu kayak kucing sama tikus sekarang?”

Iez mengernyitkan dahinya tak paham. “Maksudnya?”

“Tuh anak sekarang suka ngabur gitu dari rumah,” jelas Amora. “Gue nggak tau kenapa, yang pasti dia berubah songong gini sejak tiga taunan yang lalu.”

“Ngabur?”

“Iya. Kayak sekarang, dia ke sini karena kabur dari rumah.”

“Oh…,” gumam Iez, seolah teringat sesuatu, “aku tau kok dia kenapa.”

“Kenapa?”

“Lebih baik kita nunggu dia aja cerita, nanti aku jelasin penyebabnya.”

Amora terpaksa mengangguk. Sebenarnya, selama ini dia bingung dengan sifat Yesha yang berubah total. Seorang Yesha yang pendiam dan penurut kini berubah menjadi sosok gadis yang ceria tapi suka main kabur-kaburan seperti ini.

“Lo nggak kerja?” ucap Amora memecah keheningan mereka.

“Nggak. Gue libur, lusa baru masuk,” jawab Iez.

Amora meneguk minumannya. Ada perasaan aneh tersendiri saat dia bicara denga Iez, rasa seperti dia merasa torpojok padahal mereka hanya membicarakan hal sepele.

“Cepetan mandi, lo!” Yesha melemparkan handuknya pada Amora.

Gadis yang disuruh mandi itu mengerucutkan bibirnya lalu menyilangkan tangannya di depan dada. “Gue nggak mau mandi sampe lo cerita alasan kita ke sini.”

Yesha duduk di samping Amora. Meneguk setengah gelas jus yang dibuatkan untuknya lalu bersendawa nyaring. “Ah! Betapa menyenangkannya hidup gue!”

“Oh! Betapa menyedihkannya hidup gue!” keluh Amora seraya mengacak-acak rambutnya.

“Jangan lo acak-acakin rambut elo, Mo. Makin jelek, tahu nggak?” cela Yesha.

“Ini semua gegara elo, tahu nggak?” balas Amora dengan barbarnya.

“Udah. Mandi sana, bau!”

“Cerita dulu, baru gue mandi.”

Yesha melotot kesal. “Ya udah. Nggak usah mandi, bau!”

Gadis lain yang melihat adegan itu hanya bisa tersenyum miris. Yesha benar-benar bersikap ‘beda’ pada orang-orang tertentu. Dia akan menjadi sosok pendiam dan hanya bicara seperlunya pada orang yang tidak terlalu dia suka, menjadi gadis ceria pada mereka yang baru mengenalnya, dan menjadi dirinya sendiri yang cerewet pada orang-orang terdekatnya. Begitulah, Yesha.

Setelah berdebat panjang dengan Amora antara mandi atau cerita, akhirnya Yesha mengalah.

“Gue mau dijodohin sama bokap-nyokap gue,” ucap Yesha datar.

Kedua gadis yang mendengar pernyataan itu sama-sama melotot tajam. “Seriusan?”

“Dijodohin sama siapa?” sambar Amora tak sabar.

“Jelasin ke aku secara detail!” sambung Iez.

Yesha menghela napasnya. Agak aneh rasanya bercerita tentang kehidupannya pada Amora, meskipun dia yang membawa Amora saat pelariannya.

“Secara nggak sengaja gue ngedenger perdebatan bokap-nyokap gue kalau mereka mau ngejodohin gue sama anak temen mereka,” jelas Yesha.

“Namanya?” tanya Amora.

“Gue nggak tau, susah nyebut namanya. Sejenis ‘can-can’ gitu.”

“Terus? Kenapa mereka mau ngejodohin elo?” sela Iez.

“Mereka mau ngatur hidup gue lagi. Mereka pikir, dengan menikahnya gue sama seorang CEO, gua bakalan terjun ke dunia bisnis,” jawab Yesha menirukan ucapan ibunya semalam.

“Cuma itu?”

Yesha menggeleng pasti. “Mereka mau ngasingin gue, mereka udah nggak tahan ngadepin kelakuan gue.”

“Itu juga hasil nguping?”

“Nggak. Itu spekulasi gue sendiri,” jawab Yesha lalu nyengir lebar.

“Hm. Spekulasi kamu agak berlebihan. Terus apa rencana kalian, sebelum kalian ketangkep?”

“Ketangkep?” toa Amora.

Iez mengangguk. “Yesha jadi buronan. Pelaku pencurian motor silver dari rumah Presiden Direktur MIA Group.”

“Astaga! Kelakuan bokap gue!” keluh Yesha. Yesha tahu betul bagaimana sepak terjang kekuasaan sang ayah yang ikut berperan dalam adegan petak umpet ini.

“Seriusan? Gue bakal kena imbasnya juga dong?” sugut Amora.

“Tentu aja. Komplotan pencurian,” sahut Iez tanpa berpikir imbas dari ucapannya pada Amora.

“Uh! Hidup gue kok berantakan gini sih?” lonjak Amora.

Gadis berambut pendek itu meronta-ronta di atas sofa. Ada sedikit rasa marah pada Yesha di hatinya karena selalu membawanya dalam masalah seperti ini. Tapi juga ada rasa khawatir di dalam sana, khawatir pada Yesha.
*

03112015
Repost 09022017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top