Mood

Mood

Duduk di balkon apartemennya sambil memandangi matahari yang mulai menepi, mendengarkan alunan lagu-lagu dari Taylor Swift dan memindahkan potongan-potongan cake yang ada di atas meja sudah menjadi kebiasaan baru Yesha selama di Seoul.

Selalu seperti itu, tak ada perubahan. Dia mulai bosan dengan alur kehidupannya yang terus berulang tanpa ada tantangan, sangat berbeda dengan kehidupannya saat di Jakarta dulu.

Mungkin rasa bosan ini akan hilang saat Kim Chan Ha ada bersamanya, menghabiskan waktu berdua. Tapi saat laki-laki itu bekerja, hidup Yesha kembali membosankan. Juga, ada beberapa hal yang tidak bisa dia lakukan, tentang pekerjaan dan rahasianya.

Kalian tahu? Setelah setahun menikah dengan Kim Chan Ha, laki-laki itu belum percaya seutuhnya dengan Yesha. Kenapa demikian? Karena Kim Chan Ha masih memasang banyak kamera tersembunyi di apartemen mereka dan masih menyuruh anak buahnya untuk memata-matai Yesha.

Yesha bisa saja, ralat, Yesha sangat ingin protes dan meminta Chan Ha menghentikan aksi spy-nya, tapi dia ingin Chan Ha melakukan hal tersebut karena sudah percaya pada Yesha, bukan karena diprotes.

Yesha meletakkan kepalanya di salah satu pinggiran single sofa dan menjuntaikan kakinya di sisi lain. Sampai kapan kamu mau menyembunyikan pekerjaan kamu dari CEO Kim? Ucapan Se Young kemarin siang kembali terngiang di telinganya.

Yesha mengangkat kedua tangannya ke udara, memandang kedua cincin yang melingkar sempurna di jari-jari manisnya. Jauh di lubuk hati gadis itu, dia sangat ingin membagi rahasia besarnya pada Kim Chan Ha. Bukankah seharusnya tak ada hal yang disembunyikan dalam pernikahan? Ya. Itu benar. Hanya saja, ada satu hal yang terus menjadi penghalang kejujuran, kepercayaan Kim Chan Ha.

“Sampai kapan?” gumamnya pelan tapi masih bisa ditangkap oleh alat penyadap suara di ruangan itu.

Tangan indah itu turun lalu mengusap kalungnya, kalungnya yang sama dengan milik Kim Chan Ha. “Ini nggak bener!” gumamnya lagi.

Jutaan pertanyaan dan pernyataan memenuhi seluruh rongga kepalanya, hal-hal positif dan negatif yang akan dilontarkan Kim Chan Ha jika laki-laki itu mengetahui rahasianya.

Yesha ingat betul kejadian saat dia dikurung karena Kim Chan Ha marah dia pergi dengan El, kakak angkatnya. Karena tekanan yang diterima Yesha, gadis itu kehilangan kontrol dirinya sendiri.

“Kamu jahat! Kamu mukulin kakak aku! Kamu jahat! Aku membencimu, Kim Chan Ha!”

Yesha berteriak dengan kedua tangan memukul dada Chan Ha, sedangkan laki-laki itu hanya bisa mengeratkan pelukannya, memikirkan cara yang mungkin bisa menenangkan Yesha.

“Maafin aku.... Aku yang salah karena udah jahat sama kamu, juga sama El. Kamu boleh memukulku sepuasnya, tapi jangan benci aku, em?”

Pukulan Yesha berhenti. Dia diam di dalam pelukan Chan Ha merasakan debaran jantungnya dan debaran jantung orang yang memeluknya.

“Aku menyayangimu, Yesha. Aku tidak akan bisa hidup jika kamu membenciku. Tolong, maafin aku.”

Yesha membenarkan posisinya. Hari itu dia kembali sadar setelah mendengar kalau Kim Chan Ha menyayanginya. Ah, ternyata perasaan Yesha terbalas. Meskipun paginya dia demam dan harus di rawat inap.

Mungkin dia bakalan seneng banget saat tahu kalo gue punya banyak perusahaan. Atau dia bakal marah besar karena gue ngebohongin dia. Tapi gue nggak bohong apa-apa. Gue emang nggak mau kerja kok, perusahaan itu urusan El sama Iez. Tapi tetep aja dia ngerasa diboongin.

“Argh!” geram Yesha. Kesal karena memikirkan hubungannya dengan Kim Chan Ha yang begitu rumit.

“Mikirin apa, sih?”

Yesha membelalak. Suara khas itu berhasil membangunnya dari lamunan. Sontak dia menoleh ke arah pintu dan mendapati sosok Kim Chan Ha sudah bersandar di kusen pintu.

“Sejak kapan kamu di sana?” ucapnya sambil membenarkan posisi duduk. Dalam hati berdoa semoga Chan Ha baru datang, dia tidak yakin bisa menjawab pertanyaan laki-laki itu jika dia mendengar monolognya tadi.

“Baru aja. Kamu mikirin apa sampai kamu nggak nyadar aku datang?” Chan Ha menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi santai di samping kiri Yesha. Posisi Chan Ha yang menghadap sang istri membuatnya bisa mengamati setiap gerakan kecil Yesha.

“Mikirin kamu,” jawabnya tanpa berpikir terlebih dulu. Baru setelah seper-sekian detik, Yesha sadar akan ucapannya.

Kim Chan Ha terkekeh. “Aku lebih suka jawaban seperti itu. Em … entar malam kita makan di luar, itung-itung bales gombalan garing kamu.”

Yesha mengerucutkan bibirnya. Tadi dia tidak sengaja, bukan menggombal, ish. “Kok dadakan, sih?”

“Kenapa?”

“Kamu yang kenapa? Biasanya ngabarin  aku dulu kalo ngajak makan di luar.”

“Em…,” sejenak Chan Ha berpikir, “lusa aku ke New York. Ada kerjaan di sana.”

Wajah Yesha yang tadi mengerucut malu berubah murung. Dia tidak pernah ditinggalkan oleh Chan Ha ke luar negeri. Kim Chan Ha selalu bisa lolos dari semua pertemuannya di luar negeri, tapi kali ini laki-laki itu tidak bisa berbuat apa-apa.

“Empat hari aja, em?” Diambilnya sebelah tangan Yesha, lalu diusapnya lembut.

“Aku boleh ikut, nggak?”

“Kenapa? Kamu nggak mau pisah dariku?”

Yesha mendelik. Posisinya berubah yang tadi duduk menghadap pagar balkon, kini menghadap pada Chan Ha. Apa menurut Kim Chan Ha, dia sedang merayu sekarang? Aish.

“Maaf, Sayang. Aku sengaja membuat jadwalku padat selama di sana supaya aku bisa pulang lebih cepat. Seharusnya jadwal kunjunganku di sana adalah seminggu, tapi aku membuatnya menjadi empat hari,” jawab Chan Ha panjang lebar.

“Aku nggak boleh ikut, ya?”

Chan Ha meraih kedua tangan Yesha, menumpuknya di atas tangan kirinya dan tangan kanan Chan Ha menepuk-nepuk  gemas. “Awalnya aku mau ngajakin kamu, tapi aku udah terlanjur bikin jadwal aku sepadat itu. Aku nggak janji bisa nemenin kamu selama di sana. Jangan marah, em?”

“Aku nggak apa-apa kok, yang penting aku bisa sama kamu. Aku bisa kok jalan-jalan sendiri.”

“Bukan itu, Sayang. Aku percaya kalo kamu bisa beradaptasi dengan cepat kalo kamu ikut, tapi aku yang nggak bisa.”

Yesha mengernyitkan dahinya. “Kok gitu?”

“Kamu itu cantik, aku takut mata mereka melompat dari tempatnya kalo liat kamu jalan sendirian. Belum lagi kalo mereka godain kamu, entar kalo kamu kenapa-kenapa gimana?”

Dia terdiam. Ucapan Kim Chan Ha barusan berhasil membuat jantungnya kocar-kacir ke mana-mana. Yesha malu dan bahagia sekaligus.

“Tapi….” Yesha tak melanjutkan kalimatnya. Dia yakin dia tak akan kenapa-kenapa karena para pengawalnya pasti akan menjaganya. “Ya udah, deh. Aku nggak ikut,” putus Yesha.

“Tapi….” Yesha kembali melanjutkan kata-katanya sebelum Chan Ha memberi respons. “Kabarin aku setiap hari. Pagi, siang, sore, malam, tengah malam, subuh juga.”

Chan Ha terkekeh geli mendengar kecerewetan Yesha. Hal yang baru kali ini dia dapati. “Kok kamu jadi gini, sih?”

“Apanya?”

“Cerewet!”

Yesha membulatkan matanya tak percaya. “Cerewet?”

Chan Ha semakin tertaawa melihat ekspresi tak terduga dari Yesha. Dia bergerak mendekati Yesha dan menangkup wajah manis Yesha dengan kedua tangannya. “Aku suka kamu kayak gitu sama aku. Aku yakin itu artinya kamu sayang sama aku.”
*

Sudah tiga hari Kim Chan Ha berada di New York dan meninggalkan Yesha sendirian di Seoul dengan perasaan yang tak bisa dilukiskan. Semakin hari Yesha semakin cerewet dan posesif pada Chan Ha. Sedikit saja Chan Ha terlambat menghubunginya maka ia akan menghujani Chan Ha dengan pertanyaan dan spekulasi tak masuk akal.

Terkadang dia menangis sendiri. Bersedih karena berbagai pikiran negatif bergumul di dalam otaknya tanpa bisa ia cegah. Yesha sadar akan hal itu, seharusnya dia tidak berlebihan seperti ini, tapi … Yesha tidak tahu.

“Maaf, aku terlambat.”

Sapaan singkat itu membawa Yesha kembali ke alam nyata. Berpikir tentang Kim Chan Ha yang baru tiba di Seoul besok lusa, membuat Yesha lupa kalau saat ini dia sedang berada di salah satu kafe ternama, menunggu seorang teman.

Noe wae geurae?”

Yesha mengangkat kepala, menatap sosok berjaket hitam di depannya. “Se Young-ah….”

“Em?” Tanpa canggung, Park Se Young duduk dan menyeruput asal bubble tea yang tadi dipesan Yesha terlebih dahulu.

“Apa aku harus mengatakan rahasiaku padanya?”

Se Young mengernyit. “Siapa? CEO Kim?”

Yesha mengangguk. Membenarkan tebakan asal Park Se Young. Laki-laki itu seolah tahu apa saja yang ada di pikirannya dengan mudah, semuanya.

“Aku rasa kamu tahu jawabannya, Yesha. Hanya saja kamu belum percaya seutuhnya pada CEO Kim.” Se Young menatap mata coklat milik Yesha, mata yang menyiratkan kebimbangan.

Perempuan bernama Yesha itu akhir-akhir ini sangat sering menjadi topik obrolannya dengan Iez. Mereka berdua mengerti kalau Yesha menyukai Kim Chan Ha, tapi Yesha terlalu memikirkan banyak hal yang mungkin berujung bencana untuk mereka.

“Dia juga belum percaya padaku.” Dia menundukkan kepala, lalu kembali berucap, “Laki-laki berjas krim yang duduk di samping perempuan berbaju merah muda, mereka masih mengawasiku hingga saat ini.”

Se Young memutar kepalanya, mencari dua orang yang tadi disebut oleh Yesha tanpa takut kalau orang-orang itu sadar jika tengah diperhatikan.

“Mereka masih mengawasiku, itu artinya Chan Ha belum mempercayaiku.”

“Tapi kamu juga melakukan hal yang sama pada Chan Ha, padaku juga,” protes Se Young.

“Mereka hanya menjaga kalian dan mereka tidak akan melaporkan kegiatan kalian kalau aku tidak bertanya. Aku hanya tidak mau kalian terluka.”

Diturunkannya kacamata hitam yang sedari tadi masih bertengger di hidung mancungnya. “Aku rasa kalian harus membicarakan masalah penguntitan ini. Kapan CEO Kim pulang?”

“Besok lusa dia datang. Aku akan berusaha membicarakannya dengan Chan Ha.”

Se Young mengelus puncak kepala Yesha lembut. “Aku akan mendukungmu. Jangan terlalu banyak berpikir, aku dengar kamu tidak suka melakukannya.”

Yesha menyunggingkan senyuman. “Aku tidak suka berpikir? Siapa yang mengatakan hal itu?”

“Iez yang mengatakannya.”

“Tch. Dia mulai menyebarkan gosip murahan padamu.”

“Aku rasa dia benar. Baru kali ini aku melihatmu berpikir keras setelah kita berteman selama setahun,” tandasnya. “Ah! Dua kali. Yang pertama saat kamu mulai mencintai CEO Kim.”

“Berhenti mengejekku, Tuan!” Yesha membulatkan mata. Itu sangat memalukan jika diungkit saat ini, Ya Tuhan!

Park Se Young terkekeh geli. “Aku pikir, aku harus mengabadikan momen ini. Ayo kita berfoto!” Se Young mengambil ponselnya tanpa memperhatikan mata Yesha yang semakin membulat.

“Ya!!! Park Se Young!”

“Bagus! Tahan ekspresi seperti itu.” Se Young bersiap mengambil foto dan hanya dengan satu ketukan, foto mereka sudah diabadikan.

Klik.

“Aku akan mem-posting-nya di SNS.”

Secepat kilat Park Se Young melarikan diri dari kafe tersebut, meninggalkan Yesha dengan wajah merah karena kesal dan malu. Astaga! Wajahnya yang tadi benar-benar aib sekali.
*

Yesha menggeliatkan tubuh dan seketika rasa nyeri mulai menyergap kepalanya. Tadi malam dia baru bisa tidur jam tiga subuh karena terus memikirkan Chan Ha.

Perempuan itu juga merasa aneh karena sifatnya sangat bertentangan dengan kebiasaannya selama ini. Dulu dia selalu bisa menahan emosinya, meskipun dia  marah atau senang, Yesha masih bisa menahannya agar tidak lost control seperti sekarang.

Frustrasi memikirkan sifat anehnya beberapa hari ini, Yesha membalik tubuh kesamping kanan. “Ommo!!!” teriak Yesha dengan mata melotot kaget saat melihat seseorang yang meringkuk di dalam selimut.

Orang itu bergerak asal sambil mendekati tubuh Yesha. Perlahan dia menyembulkan kepalanya dari balik selimut. “Good morning, Honey!” ucap laki-laki itu lalu mengecup bibir Yesha.

Yesha tersentak hebat. Tubuhnya mematung. Kapan dia sampai di apartemen? Kapan dia masuk kamar? Kenapa dia tidak menyadari kalau ada seseorang tidur di sampingnya? Hanya itu yang ada di pikiran Yesha saat ini.

“Kenapa? Kamu nggak seneng aku pulang?”

Yesha mengerucutkan bibir, menutupi rasa bahagia yang tiba-tiba saja menyeruak di hatinya. “Seneng kok. Kamu kapan kamu nyampe?”

“Jam setengah lima tadi.  Kamu nggak mau meluk aku?”

Pertanyaan itu membuat Yesha tersadar, lalu ia terkekeh kecil. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera dia menautkan tangan mungilnya di pinggang Kim Chan Ha. “Aku kangen sama kamu. Kangen pake banget.”

Kim Chan Ha hanya berdehem dan membalas pelukan Yesha hingga tak ada lagi jarak antara mereka berdua. Dia ingat dengan jelas, percakapannya dan El beberapa hari yang lalu. Percakapan yang membuatnya, membuka mata lebih lebar terhadap Yesha.

“Awalnya aku hanya kasian dengan hidupnya, tapi setelah mengenalnya lebih jauh aku benar-benar menyayanginya.”

“Aku menyayanginya, sangat. Tapi sedikit pun aku tidak pernah berniat menjadikannya sebagai kekasih, pendamping hidup. Aku hanya menginginkan dia sebagai adikku.”

“Yes…. Misalnya aku mau meminta sesuatu padamu, gimana?” Chan Ha berucap dengan raut keraguan terlukis jelas dari matanya.

“Minta apa?”

“Kalo aku mau kita…,” Kim Chan Ha menarik napasnya secara kasar, “mempunyai bayi, gimana?”

Yesha melongo. Kim Chan Ha sukses membuatnya menganga tanpa sadar. Hidungnya kembang kempis meraup oksigen yang terbatas di kamar itu. Chan Ha menarik sudut bibirnya sedikit, lalu menangkup bibir Yesha dengan kedua jarinya. “Kalo kamu belum siap, kita bisa menundanya.”

Yesha menggeleng keras. “Kamu mau punya bayi? Kenapa?”

Chan Ha berpikir sebentar. Alasannya ingin memiliki bayi…. “Saat di New York, aku melihat banyak klien bisnisku pergi bersama keluarga kecilnya. Aku mau seperti mereka dan aku mau punya anak dari kamu.”

“Serius?”

“Iya. Jadi?”

“Kenapa nggak ada adegan romantis kayak waktu kamu ngelamar aku, dulu?”

Sontak Kim Chan Ha terkekeh dan melepaskan pelukannya. Tangannya mulai menjelajahi wajah manis Yesha. “Kita nggak perlu adegan romantis, pada akhirnya kita akan berakhir di ranjang ini,” gumamnya sambil tertawa nyaring.
*

Tiga minggu berlalu setelah perjalanan bisnis Kim Chan Ha di New York dan selama itu pula hubungan Kim Chan Ha dan Yesha semakin membaik, bahkan terlampau baik.

Sesekali mereka berkunjung ke rumah Presdir Kim atau makan di luar setiap akhir pekan. Chan Ha semakin posesif pada Yesha, berbanding terbalik karena Yesha sudah bersikap biasa saja. Sepertinya sifat posesif Yesha beberapa minggu yang lalu telah berpindah pada Chan Ha.

“Boleh, ya? Ya? Ya?” goda Yesha dengan puppy eyes-nya.

“Nggak!” sahut Chan Ha, matanya masih sibuk memandang semua berkas yang ada di atas meja.

Laki-laki itu bukan Kim Chan Ha yang dia kenal. Hal itu yang selalu dikatakan Yesha pada dirinya sendiri saat sifat cerewet plus posesif Chan Ha muncul. Dia selalu seperti itu pada segala hal yang dilakukan Yesha dan akan bertambah seribu kali lipat jika Yesha membahas atau minta ijin untuk jalan-jalan dengan Se Young.

Apa dia cemburu? Yesha menggeleng keras. Dia sudah menceritakan tentang hubungan Park Se Young dengan Iez, tak mungkin dia masih menganggap Se Young sebagai saingannya.

Yesha menghentak-hentakkan kakinya kesal tapi Chan Ha belum menoleh dan berpikir kalau Yesha sudah keluar dari kantornya.

“Ya?” Tiba-tiba Yesha duduk di pangukuan Chan Ha. “Mwo-ya?

Secepat kilat Yesha mendaratkan bibirnya di atas bibir milik Chan Ha, mencium sang suami untuk menggodanya, tapi laki-laki itu tidak membalas. Saat itu Yesha menyadari kalau Chan Ha tidak akan memberinya izin untuk bertemu dengan Se Young dan hal tersebut membuatnya … kecewa.

Dia segera bangkit dan berlari menuju ruang istirahat yang ada di belakang meja kerja Chan Ha. Setelah menghempaskan pintu yang akhirnya menimbulkan dentuman keras, Yesha langsung masuk ke bawah selimut dan menutup seluruh tubuhnya.

Sebenarnya Yesha heran, apa yang membuat Kim Chan Ha begitu tidak menyukai Park Se Young? Hanya Se Young teman akrabnya selama di Seoul, apa Chan Ha tidak bisa memahaminya?

“Yes!”

“Kamu marah?”

Yesha mendengus kesal di balik selimut.  Ya iyalah marah. Eh! Nggak juga sih! Maksudnya, siapa yang nggak kesel waktu nggak dikasih izin buat jalan-jalan sama satu-satunya temen yang paling asik di tempat ini.

“Aku nggak tahu harus ngomong apa, yang pasti aku nggak suka kalo kamu bersikap kayak gini,” ucapnya tanpa perasaan.

Kim Chan Ha sadar betul kalau dia telah keterlaluan karena melarang Yesha bertemu Se Young, hanya saja dia tidak bisa mengontrol perasaannya yang sekarang. Perasaannya sangat kacau, mood-nya berubah-ubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Juga untuk yang pertama kalinya, dua hari yang lalu dia mengamuk di kantor karena seorang office boy membuat kopinya terlalu manis, alhasil semua karyawan menatapnya takut.

“Sampai kapan pun, aku nggak bakal ngijinin kamu ketemu sama Se Young,” sambungnya lalu keluar dari kamar setelah menghempaskan pintu.

Yesha terduduk di ranjang dengan perasaan aneh bercampur heran. “Kesurupan setan apa tuh anak?”

Eh? Emang setan di Korea suka masuk ke tubuh orang juga, ya?
*

“Permisi. Ada pak Ferrel ingin bertemu dengan Presdir.”

Iez sudah kembali bertugas di kantor utama Mark Group sejak lima bulan lalu. Di perusahaan ini memang ada ruangan khusus untuk pimpinan mereka yang hanya datang beberapa kali ke kantor dalam sebulan. Walaupun Iez sudah kembali ke kebiasaan lamanya di kantor sendiri, tapi dia masih memantau pekerjaan Amora atas perintah Pak Daniel.

Seorang laki-laki berjaket hitam masuk ke ruangan Iez, tanpa mengucapkan apa-apa laki-laki itu segera memberikan sebuah amplop yang isinya cukup tebal. Iez memandang amplop cokelat itu lalu mengernyitkan dahi, dia mengalihkan pandangan pada Ferrel yang masih berdiri di depannya.

“Ini laporan yang belum kami laporkan selama dua minggu ini,” ucap Ferrel seolah paham arti pandangan Iez.

Iez mengambil amplop itu dan mengeluarkan isinya. Mata gadis itu seketika membelalak kaget dengan apa yang dilihatnya barusan, rahangnya mengeras, suara tarikan napasnya terdengar jelas di telinga Ferrel.

“Namanya Lee Ha Na, adik dari Lee Baek Hoo. Dia baru kembali dari New York dua minggu yang lalu, tidak memiliki pekerjaan dan sekarang tinggal di salah satu apartemen mewah di Seoul,” jelas Ferrel.

Ferrel merasakan aura mencekam di dalam ruangan itu, ditambah lagi saat dia melihat ekspresi datar Iez yang sedang melihat semua data yang berhasil dia dan teman-temannya temukan.

“Mereka pertama kali bertemu saat Kim Chan Ha berada di New York yang dalam perjalanan bisnis.”

“Dia pernah berkunjung ke kantor utama Chan Group dua kali dan sisanya mereka bertemu di apartemen Lee Ha Na atau di ruangan private sebuah restoran.”

“Siapa aja yang tau hal ini?” Ucapan Iez berhasil membuat Ferrel menggidik ketakutan, suaranya menyiratkan kemarahan.

“Hanya Direktur dan anggota timku,” ucapnya agak begetar. “Maaf karena baru melaporkan hal sepenting ini.”

Perlu diingat. Para pengawal yang menjaga Yesha, Iez, El, Kim Chan Ha, Amora, Park Se Young, dan seluruh keluarga Yesha bukanlah pengawal biasa. Mungkin pekerjaannya terlihat sangat rendah ‘sebagai pengawal’ tapi jika mereka berada di kantor pusat mereka memiliki jabatan yang tinggi.

Kelebihan lainnya, mereka tidak mengawal kliennya secara terang-terangan, mereka berbaur dengan masyarakat dan klien tersebut tidak tau kalau dia sedang dikawal.

Mereka juga memiliki hak untuk memilih siapa yang akan menerima laporan mereka atau mereka dapat melakukan tindakan tanpa perintah jika hal itu mendesak. Mereka memang dituntut menjadi lebih bijak dalam memutuskan sesuatu karena hal itu bisa berdampak pada perusahaan.

“Nggak perlu minta maaf, kerja kalian bagus.”

“Apa yang harus kami lakukan selanjutnya?”

Iez memejamkan matanya, jarinya diketuk-ketukkan ke atas meja. Dia harus memilih, memberitahukan Yesha tentang hal ini atau tidak, keduanya memiliki risiko.

“Apa mereka memiliki hubungan khusus?” Hanya itu pertanyaan Iez ketika ia membuka mulut setelah lama berpikir.

“Kami belum memastikannya. Kami ingin melakukan penyadapan, tapi kami harus mendapat ijin dari Presdir telebih dahulu.”

Iez mendengus. “Jangan beritahukan hal ini pada Yesha, kecuali dia menanyakannya. Lakukan penyadapan atau apa pun agar inormasi ini akurat. Aku nggak mau berspekulasi sendiri tanpa adanya bukti.”

Ferrel keluar dari ruangan itu setelah mendapat arahan dari Iez, sedangkan Iez masih melihat satu persatu foto yang ada di hadapannya. Foto-foto mesra Kim Chan Ha dengan seorang gadis bernama Lee Ha Na.
*

Entah. Anee gatau ini chapter isinya apaan😂😂terlalu banyak cubaan yang menghampiri anee akhir-akhir ini. Nghoahahaaa.
*

05123015
Repost 07052017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top