Like a Glass
Like a Glass
“Apa kamu suka tinggal di sini, Yesha?” Bu Gisha memulai percakapannya dengan Yesha setelah mereka selesai makan malam bertiga. Yesha beserta ayah dan ibunya, sedangkan Chan Ha mendapat panggilan mendadak dari kantor.
Tanpa merasa perlu untuk menjawab, Yesha hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Bu Gisha. Kedua tangannya sibuk mencuci peralatan makan, dia tidak berniat memiliki beberapa obrolan dengan sang ibu, namun pola pikirnya berbeda dengan pola pikir Bu Gisha.
“Mamah pikir, keputusan mamah sama papah udah bener dengan membuat kamu tinggal di sini.” Bu Gisha duduk di salah satu kursi di belakang meja makan, memperhatikan gerak-gerik si anak yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Kamu lebih mudah diatur saat kamu sudah menikah dan pindah dari Jakarta. Mamah senang karena kamu bisa berbaur dengan baik di sini, terutama kamu bisa menjadi seseorang yang mencolok di acara perusahaan suami kamu.”
“Mamah nggak penasaran sama perasaan aku?” tanya Yesha tanpa menoleh pada ibunya.
“Hem?”
Yesha menghentikan pekerjaannya, secara perlahan melepaskan sarung tangan karet yang sedari tadi ia pakai untuk mencuci, kemudian berbalik menatap sang ibu. “Apa Mamah mau tahu, tentang perasaan aku?” ucapnya datar, jika diperhatikan lagi, bibir bawah Yesha bergetar karena menahan emosi yang hampir meledak di hadapan Bu Gisha.
Bu Gisha mengangkat sebelah alisnya bingung. Selama ini, Yesha hanya melakukan peran sebagai anak yang hanya menjawab pertanyaan dari orangtuanya dan anak yang suka protes serta pembangkang, bukan seorang anak yang akan menanyakan hal seperti sekarang.
Yesha menundukkan kepalanya, menghela napas pelan untuk menenangkan diri. Sebelah tangannya bergerak ke belakang, mengambil sebuah gelas kotor yang belum sempat ia cuci, lalu….
PRANG….
“Apa-apaan kamu ini, Yesha?!” bentak Bu Gisha saat melihat gelas kaca itu berserakan di lantai dapur.
Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah Yesha dan Bu Gisha. Tepat di ruang tengah, Pak Daniel membelalak kala melihat pecahan kaca di dekat istri dan anaknya.
“Ada apa, Mah, Yes? Kalian tidak apa-apa?” tanyanya khawatir, layaknya seorang ayah yang selalu menjaga keluarganya.
Yesha menarik kedua sudut bibirnya, menampilnya senyum sinis khas dirinya yang belum pernah dilihat oleh Bu Gisha maupun Pak Daniel. “Aku nggak suka, Mah. Aku nggak pernah suka keputusan kalian, sejak dulu. Satu per satu, hati aku pecah berantakan seperti gelas itu saat kalian membuat keputusan yang harus aku turuti tanpa bisa aku tolak. Aku nggak menyukai keputusan kalian, apa pun itu.”
“Apa yang kamu katakan, Yes?” ucap Pak Daniel saat mengerti arah ucapan Yesha. Dia tahu kalau saat ini akan terjadi suatu hari, tapi haruskah saat ini? Saat di rumah Kim Chan Ha, setelah acara penting perusahaan.
Perempuan berusia dua puluhan itu menyeringai. Dia tersenyum namun dari raut wajahnya terlihat rasa sakit luar biasa. “Kenapa Mamah baru nanya sekarang, tentang perasaan aku? Aku suka atau tidak?”
“Kenapa Mamah bertingkah seperti kita selalu melakukan pekerjaan dapur bersama? Ngobrol layaknya keluarga harmonis? Mamah mau pamer kalau kita ini keluarga sempurna, pada Chan Ha?” cecarnya, kemudian terkekeh sendiri.
Bu Gisha terdiam, tak bisa menjawab. Dia mengerti maksud dari ucapan anaknya tersebut. Yesha benar. Tidak seharusnya dia bertanya setelah apa yang ia lakukan selama ini pada anak semata wayangnya, akan tetapi … apa salah jika ia ingin bertanya sekarang? Setidaknya dia bisa berbicara dengan nyaman pada anaknya setelah Yesha menjadi istri orang lain.
“Mam—”
“YESHA!!!”
Teriakan Pak Daniel berhasil mengalihkan perhatian dua perempuan beda usia itu. Bu Gisha berpaling dengan wajah yang sudah memerah karena menahan air mata, sedangkan Yesha kembali menyeringai sinis.
“Kenapa, Pah?” tanyanya dingin. “Papah lupa, penyebab aku bersikap seperti ini?”
“Yesha! Berhenti! Apa kamu tidak mengerti kalau mamahmu itu ingin memperbaiki hubungan denganmu?” ucap Pak Daniel tegas.
“Sejak aku mulai membangkang,” ucap Yesha dengan nada tinggi. Suaranya menggema ke seluruh ruangan, seolah ia ingin memberitahu pada seluruh penghuni rumah kalau dia sudah muak dengan orangtuanya sendiri.
“Sejak saat itu Papah selalu menangkapku, memarahiku, menghukumku.” Pandangan Yesha yang sejak tadi tertuju pada sang ayah kini beralih, menatap tajam sosok sang ibu.
“Saat itu, apa kalian pernah bertanya bagaimana perasaanku? Apa kalian pernah mendengar keluhanku? Alasan aku menjadi anak pembangkang?” Suara dingin Yesha berubah pelan, dia melirih miris, kehidupannya benar-benar selalu dibatasi oleh orantuanya sendiri.
“Papah tahu, Yesha. Papah mengerti perasaanmu. Kami melakukan semua itu hanya untuk menjagamu, Sayang.” Sedikit demi sedikit, Pak Daniel melangkah mendekati sang putri.
Perempuan itu menggeleng pelan. Bibirnya bergetar menahan tangis dan emosi secara bersamaan. “Papah, nggak pernah mengerti sama aku. Buktinya, Papah dan Mamah mengambil semuanya dari aku. Kehidupanku, kebebasanku, dan orang-orang kepercayaanku.”
“Papah tidak—”
“Papah melakukannya!!!” teriak Yesha tepat di depan Pak Daniel. “Papah mengancam Amora dan Iez di belakangku. Papah melakukannya!”
Plak.
“Pah!” teriak Bu Gisha, syok akan tindakan Pak Daniel yang diburu amarah. Sedangkan Pak Daniel masih melotot tajam pada sosok anak perempuan satu-satunya itu.
“Jangan memotong ucapanku, Yesha!”
“Tch.” Yesha menyunggingkan senyum saat merasakan perih yang menjalar di salah satu sisi wajahnya. “Setelah mengancam dan mengikat mereka dengan perjanjian yang lebih menguntungkan Papah, selanjutnya kalian membuangku ke tempat ini. Menyerahkanku pada laki-laki asing yang tidak pernah peduli aku berada di rumah atau tidak.”
“Aku…,” Yesha mencondongkan tubuhnya, menatap wajah Pak Daniel dari dekat, “selalu penasaran, bagaimana akhir dari kehidupan kalian dengan pola pikir yang seperti ini?”
“Tentu saja. Kalian tidak akan punya akhir yang bahagia.”
Plak.
“Apa seperti ini caramu bicara dengan orangtuamu, Yesha?!”
Yesha memutar kepalanya ke sebelah kanan, memperhatikan raut wajah Bu Gisha yang sudah kacau karena emosi. “Ya. Aku seperti ini, Nyonya Gisha.”
*
Matanya terasa berat, seolah ada lem di sana. Yesha menggerakkan tubuh lelahnya perlahan, akibat menangis dalam diam semalaman. Kalau saja Kim Chan Ha tidak memeluknya, mungkin ia tidak akan bisa tidur dan melanjutkan tangisan sampai pagi.
Perempuan bersurai hitam itu membuka kedua kelopak matanya perlahan, lalu mengerjap untuk menyesuaikan cahaya pagi. Kesadarannya sedikit demi sedikit kembali dan kini dia sudah seratus persen sadar kalau dia telah tidur di dalam pelukan seorang CEO Kim Chan Ha yang tingkat kegantengannya luar binasah.
What the—dia meluk gue?! Gitu?! teriak Yesha dalam hati.
Dengan segala harga diri yang ia miliki, Yesha berniat menggulingkan Chan Ha dari hadapannya, namun sedetik kemudian niatnya berubah. Tak apa jika ia memandang wajah sempurna milik suaminya ini sebentar. Dalam hati dia berterima kasih kepada Tuhan karena telah memberikan sebuah pemandangan maha dahsyat di pagi hari untuk Yesha.
Liat! Jidat dia kek lapangan pesawat. Alis dia tebel, greget pengen minta. Hidungnya mancung, rahangnya sempurna, dan bibirnya…. Oke, gue blushing sekarang, ucapnya dalam hati dengan semangat membara.
“Lo sakit?” ucap Kim Chan Ha ketika dia berhasil menemukan Yesha ketika bermain puluhan rubik di ruang kerjanya. Ruang kerja yang berada di belakang walk in closet. Ruang kerja milik Kim Chan Ha yang harusnya tidak bisa terbuka oleh orang lain dan ruang belajar yang menyimpan banyak rahasianya.
Yesha melempar sebuah rubik berbentuk prisma dan ditangkap dengan mata melotot oleh Chan Ha. “Apa gue keliatan kayak orang sakit?”
“Lo nggak nangis, gitu?” Kim Chan Ha mendekat ke arah Yesha, lalu duduk di samping perempuan yang asik dengan rubik-rubik milik suaminya. “Kedua pipi lo, nggak apa-apa?”
“Lo liat?”
Chan Ha memutar-mutar sisi rubiknya secara acak, namun perhatiannya tetap tertuju pada Yesha. “Gue pikir, lo keterlaluan sama ucapan lo barusan.”
“Itu harga yang pantas mereka dapatkan atas kesabaran gue selama dua puluh tahun. Jangan membahasnya. Perasaan gue lagi nggak enak.”
“Lo nyakitin perasaan mereka, Yesha,” ucapnya pelan, lalu menyerahkan rubik yang tadi ia pegang pada Yesha. “Dia orangtua lo.”
“Tch!” Dia meraih rubik prisma tersebut, lalu kembali berujar, “ Lo pikir gue nggak tahu, kalau kita sama-sama menyakiti perasaan orangtua kita sendiri?”
Chan Ha menarik kedua sudut bibirnya, dia tersenyum simpul. “Lo pikir gue nggak tahu, apa alasan lo membangkang? Lo kekanak-kanakan, Yesha,” balasnya dengan desisan menghina.
Yesha mengangkat pandangannya, menatap kedua manik milik Kim Chan Ha tajam. Tersinggung akan ucapan yang terlontar begitu mudah dari bibir seksi milik Chan Ha. “Sedangkan elo, tergila-gila dengan duit dan rela kawin sama cewek kekanak-kanakan untuk mengambil semua warisan dari bokap lo? Elo … lebih menjijikkan, Kim Chan Ha.”
Yesha tersadar dari lamunannya ketika salah satu kaki Chan Ha menindih kakinya. Seketika dia terkejut luar biasa, ada detak yang berbeda di dalam hati Yesha sekarang. Sebuah detak seperti orang takut, tapi detak itu sedikit menyenangkan.
“Apa yang lo pikirin? Alasan kekanak-kanakan lo?”
Suara berat khas laki-laki dewasa itu menggema indah di rongga pendengaran Yesha. Sedetik kemudian dia tersadar kembali dari suara yang menghipnotisnya dalam sedetik tersebut.
Dia sudah bangun? Sejak kapan? batin Yesha.
Sadar akan kebodohannya, Yesha bergerak asal, mencoba melepaskan diri dari kukungan Chan Ha. Namun apa yang dipikirkan oleh dua insan beda jenis itu berbeda. Yesha ingin menjauh karena malu dan kejadian ini berdampak tidak baik untuk kesehatan mental dan fisiknya. Sedangkan Chan Ha ingin tetap seperti sekarang, menurutnya Yesha sangat pas dijadikan guling.
Akan tetapi, aksi berontak Yesha terhenti kala Kim Chan Ha mendekapnya erat di depan dada. Desiran lembut menjalar ke setiap inci tubuhnya. Degup jantung Yesha berlarian ketika ia merasakan hembusan napas Chan Ha yang mirip dengan seseorang.
“Aaarghhh!”
Teriakan melengking itu mengisi setiap sudut ruangan. Teriakan yang bercampur dengan isak tangis seseorang. Entah sudah berapa lama ia mengeluarkan emosinya. Entah sudah berapa lama ia berteriak dan menangis seperti orang kesetanan. Yang dia tahu, saat ini ia berada di titik di mana dirinya ingin menghilang dari peredaran.
Di ruangan itu, di ruangan dua kali tiga meter. Dia bersembunyi di pojokan, di antara kumpulan pakaian wanita. Pakaian yang ia sukai aromanya, raspberry, dia suka.
“Gue mau dia deket sama gue. Gue suka kamar ini, aroma kamar ini, semua benda yang ada di tempat ini, dan gue suka berada di sini. Karena hanya dia yang mengerti gue. Hanya dia yang mau mendengarkan keluhan gue. Cuma dia yang menanggap gue sebagai manusia, tidak dengan mereka.”
“Gue cuma mau jalan-jalan kayak teman-teman gue, gue nggak mau les dan ikut pelajaran tambahan setiap hari.”
“Gue juga mau punya pacar, terus malam mingguan, bukan pergi ke acara bisnis perusahaan.”
“Gue mau bebas dari orangtua gue.”
Dia merapatkan pelukan pada kedua kakinya yang terlipat, membuat dirinya semakin masuk ke dalam salah satu walk in closet.
“Mah, Pah. Apa kalian mendengar bisikan orang-orang itu? Orang-orang yang tidak menyukaiku. Mereka bilang, aku adalah putri kerajaan yang tidak bisa disentuh. Mereka mengejekku karena terlalu sibuk mengurus pendidikan dan menghadiri acara perusahaan. Apa kalian tahu itu, Mah, Pah?”
“Apa kalian tidak mendengarnya? Apa kalian tahu, bagaimana mata mereka melihatku? Mereka menertawakanku, menatap rendah padaku. Mereka tidak mau berteman denganku.”
Ucapan lirihnya terhenti ketika dia melihat pergerakan lain di ruangan tersebut. Ada seorang perempuan yang berdiri tepat di depannya, dia tersenyum saat orang itu duduk bersila beberapa detik kemudian.
“Waktunya keluar, Yesha,” ucapnya lembut. Dia adalah orang yang aku suka, orang yang selalu ada dan percaya padaku, orang yang menganggapku sebagai manusia, Iez.
“Mereka sudah menggila. Harusnya kamu tidak melarikan diri dari rumah seperti ini.”
Pandangan Yesha yang tadi sepenuhnya tertuju pada Iez berpaling. “Nggak!” putusnya. Dia melarikan diri agar bebas dari kedua orangtuanya dan dia tidak berniat kembali pada mereka setelah ini.
Iez mendengus. Dia memang sudah menduga hal ini dan dia sudah menyiapkan cara lain agar Yesha mau menuruti ucapannya. Semua ini dia lakukan untuk Yesha, untuk kebaikan Yesha.
“Oke. Aku bakal ngizinin kamu tinggal di sini, tapi aku punya syarat.” Iez mengulurkan tangannya, mengusap pelan rambut acak-acakan Yesha.
“Apa? Apapun itu bakal gue lakuin, gue bisa ngelakuin apapun buat lo.”
Perempuan berkaos hijau itu mengangguk, kemudian menjawab, “Kita harus singkirin depresi yang ada di kepala kamu terlebih dahulu.”
Yesha menjauhkan tubuhnya, dia terkejut dengan permintaan Iez yang bermakna lebih. “Yes, loe nganggap gue gila?”
“Satu bulan aja, setelah itu aku akan memberimu hadiah yang bakalan kamu suka.”
***
Maapin😖😖aku males banget ngetik. Selalu mumet liat tulisan di latty. Maapkan daku😩😩 dahal udah janji bakal apdet seminggu sekali. Jan bully dd😭😭😭
08112015
Repost 02032017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top