Lagu itu....
Lagu itu....
Seorang gadis berumur tujuh tahun sedang asik memainkan pianonya di sebuah ruang musik. Anggap begitu karena ruangan tersebut dipenuhi oleh beberapa jenis alat musik seperti gitar, drum, keyboard dan peralatan lainnya.
Cara berpakaiannya memang terlihat sederhana tapi kalian tidak tau apa yang ada di balik pakaiannya. Ya. Produk asli yang hanya dibuat khusus dan satu-satunya di dunia.
Rambut hitam pekatnya terurai indah mengikuti alunan musik yang dia mainkan. Jari jemarinya yang jenjang menekan tuts piano dengan penuh keanggunan. Sungguh sosok yang sangat sempurna untuk ukuran seorang anak tujuh tahun.
“Argh!” Sebuah pukulan keras dari penggaris kayu sepanjang satu meter dan memiliki ketebalan satu sentimeter itu berhasil mengenai punggungnya.
“Salah! Ulangi!” teriak seorang wanita berumur tiga puluhan pada si anak.
Jemari anak kecil itu bergetar hebat. Dia mengigit bibirnya menahan sakit akibat pukulan yang baru saja dia dapatkan. Perlahan gadis tadi mulai mengulang permainan pianonya.
Every night in my dreams.
I see you, I feel you.
That is how I know you go on.
Dia menekan tuts piano sambil menyanyikan liriknya dalam hati. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulang kesalahan yang sama yang ia buat sebelumnya.
Far across the distance.
And speces between us.
You have come to show….
“Argh!”
“Salah! Kenapa kamu selalu salah di bagian itu? Ulang!” teriak wanita itu sambil memukul pinggul si gadis.
Sakit! Mamah tolongin Yesha, mah! Yesha sakit!
“Berenti tante!” ucap seorang gadis yang baru masuk ke ruangan itu, gadis berusia sama dengan Yesha.
“Jangan ganggu aku, Anak Kecil! Dia benar-benar bodoh. Bagaimana mungkin dia nggak bisa menyelesaikan satu lagu dalam waktu enam bulan?”
Si gadis kecil itu berdiri di antara Yesha dan wanita tadi. Dia menangkup kedua tangannya memohon agar wanita itu tidak memukul Yesha. “Tante, Iez mohon jangan pukul Yesha lagi, Tante!”
“Aku tidak akan mukul putri itu lagi. tapi jika dia membuat kesalahan, maka aku akan memukulmu,” ucap wanita itu sambil memukul kaki kanan Iez.
Iez meringis. Wajahnya memerah menahan sakit, namun dia tidak boleh membiarkan tantenya menang dan menyiksa Yesha lagi.
“Jangan!” Yesha berdiri. Merentangkan kedua tangan untuk melindungi Iez dari guru les musiknya.
“Pukul aku aja, Bu Sasa. Jangan pukul Iez. Aku yang salah.”
Bu Sasa geram. Kelakuan dua anak kecil itu seolah mempermainkannya. Dia membuang kayu tadi ke sembarang arah lalu menarik rambut Yesha dan Iez, membawa mereka menuju halaman belakang rumah tersebut.
“Masuk!” Didorongnya tubuh Yesha dan Iez ke dalam gudang yang ada di belakang rumah, lalu menguncinya dari luar. Dia benci anak kecil sok pahlawan dan dia benci Yesha.
“Yes!” panggil Iez saat sadar kalau Yesha tengah tersungkur di lantai kotor ruangan itu. Dengan langkah cepat sambil menahan rasa sakit di lututnya, Iez membantu Yesha untuk bangun.
“Sakit…,” ringis Yesha. Dia menangis tanpa suara. Hanya ucapan pelannya sedikit parau. “Tolongin Yesha, mah! Sakit!”
*
“Sakit….”
Chan Ha mengerutkan kening. Tidurnya terganggu dengan suara orang melirih sambil berkata sakit. Matanya masih terpejam, suara itu bukan bunga tidur, suara itu sangat nyata.
“Tolongin Yesha, mah! Sakit!”
Kim Chan Ha membuka mata. Spontan memalingkan wajah dan melihat Yesha yang meringkuk di sampingnya. Meskipun ruangan itu agak gelap, Chan Ha yakin sekali kalau wajah Yesha sangat pucat saat ini. Butiran peluh membasahi seluruh wajahnya.
“Yes, kamu kenapa?” Chan Ha bangun dari posisinya, lalu mengoyang-goyangkan tangan kanan Yesha, mencoba membuat perempuan itu sadar. “Yes….” Saat itu Chan Ha menyadari satu hal, ada air mata di sudut mata kekasihnya.
Chan Ha meletakkan punggung tangannya di dahi Yesha. Benar saja. Dia demam, seperti sebelum-sebelumnya. Chan Ha bergegas menuju dapur untuk mengambil air hangat dan handuk, dia sudah tahu penyebab Yesha demam. Pasti karena dia sedang dalam masa period. Pantas saja tadi dia merasa tidak nyaman.
“Cepat sembuh, Yesha.”
*
“Yesha, sepulang sekolah kamu ke kantor ibu dulu, ya? Ibu mau memberimu contoh-contoh soal untuk olimpiade matematika SMP nanti.”
Brak.
Tubuh Yesha bergetar, terkejut saat setumpuk buku langsung berhamburan di atas mejanya. “Mumpung lo mau ikut olimpiade, kerjain deh tugas kita-kita. Itung-itung lo balajar,” ucap salah satu dari tiga gadis yang berdiri di depan Yesha sekarang.
Yesha menunduk, memandangi puluhan buku yang berserakan di mejanya. Buku tugas teman-teman sekelasnya. “Argh!” Dia meringis, kesakitan saat seseorang menjambak rambutnya.
“Ngerti nggak lo?” teriak gadis berkacamata.
Sambil mengangguk, Yesha berkata, “Iya.”
“Bagus!” Dia melepaskan rambut Yesha sambil mendorong kepalanya ke depan. “Bedain tulisan lo. Gue nggak mau bu Rani ngira gue nyontek.”
Para gadis itu pergi meninggalkan Yesha yang masih terpaku dengan buku-buku di depannya. Ingin sekali dia berteriak marah, lalu membalas semua perlakuan buruk dari seluruh teman-temannya. Namun dia urungkan. Yesha tidak memiliki waktu untuk marah pada mereka.
“Mau-maunya dia diperintah sama Joy and the geng, ngeri gue,” bisik seorang laki-laki di pojok ruangan.
“Iya. Kasian, sih, ngeliat dia digituin, tapi kadang gue jijik sama dia,” sahut seorang gadis.
“Kenapa? Gegara dia adalah si tuan putri?” sahut gadis lain.
“Apalagi? Makin jijik aja gue kalo satu kelompok sama dia terus dia ngerjain semua tugas kelompok dengan alasan nggak bisa ngerjain bersama.”
“Karena jadwal les dia yang bejibun?” ujar laki-laki tadi.
“Iyalah. Heran gue. Dia nggak bisa ninggalin jadwal les dia sekali-kali, ya?”
“Tutor dia ’kan yang paling mahal se-Jakarta, mana mungkin dia bolos.”
“Auh!” Gadis itu berdiri dari tempatnya. “Kantin aja deh. Panas gue di sini, yang ada ntar makin benci gue sama dia.”
Dua gadis itu keluar dari kelas dan si anak laki-laki tadi merebahkan kepalanya di atas meja. Sedangkan Yesha yang sedari tadi mendengarkan obrolan mereka hanya bisa mengigit bibir.
Dia dibenci oleh semua orang.
*
Yesha meringis pelan, dia merasakan tubuhnya sakit di segala sudut. Dia benci jika kenangan tersebut datang, karena pada saat itu Yesha menjadi Yesha yang sebenarnya. Yesha si penakut dan mudah diperalat orang lain. Perlahan dia membuka matanya, mengedarkan pandangan ke seluruh antero kamar.
Deg.
Dia juga membenci dampak dari dari kenangannya….
Yesha segera bangun dari tidurnya, berlari menuju kamar mandi tanpa peduli apa-apa lagi. Yang dia perlukan sekarang adalah memuntahkan segala isi perutnya.
Kaget, Chan Ha yang tertidur di samping Yesha terlonjak bangun, lalu menyusul Yesha ke kamar mandi. “Yesha!”
Yesha mengerang menahan rasa sakit di perut dan kerongkongannya. Mulutnya terasa asam, tubuhnya lemas seketika.
Chan Ha mengusap punggung sang istri dengan lembut. “Udah?” ucapnya. Sebelah tangannya membantu memegangi rambut Yesha.
Yesha mengangguk. Dengan dipapah Chan Ha, Yesha kembali ke kamar setelah si suami membersihkan wajahnya.
“Chan Ha-ya, apa kamu bisa mengambilkan tas yang kupakai tadi malam?”
Tanpa menyahut Chan Ha segera mengambil tas yang ada di atas sofa. “Ini?”
Sekali lagi Yesha mengangguk. Dari dalam tas, dia mengeluarkan sebuah botol obat berwarna putih tanpa ada lebel produksinya.
“Itu obat apa?”
Yesha meminum obatnya tanpa menjawab pertanyaan Kim Chan Ha. Setelah merebahkan tubuhnya di kasur dengan posisi miring menghadap Chan Ha, lalu berucap, “Obat anti-depresi.”
Chan Ha membelalak. “Anti-depresi?”
“Hanya sesekali.”
Dengan embusan napas berat, Chan Ha merapatkan dirinya pada Yesha. Membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. “Kenapa?”
Diam. Tak ada jawaban yang ia terima. Chan Ha paham. Bukan hanya dirinya, orang lain, Yesha juga memiliki sesuatu yang berbekas di hidupnya. “Nggak apa-apa kok, kalo kamu nggak bisa cerita sekarang. Tapi kalo kamu sakit kamu harus bilang sama aku, em?”
Yesha melingkarkan kedua tangannya di tubuh Chan Ha. Sejenak berpikir, apa dia harus bercerita atau memendamnya sendiri. Akan tetapi, jika dia tetap merahasiakan semua ini, hubungannya dengan Chan Ha tidak akan memiliki kemajuan. Hanya seperti ini, tidak ada kemajuan.
“Lagu itu…,” ucap Yesha, matanya tertutup seiring dengan kenangan pahit yang kembali datang dalam pikirannya. “Aku benci lagu itu.”
Kim Chan Ha menunduk, menatap puncak kepala Yesha. Ingin dia bertanya kenapa, tapi pertanyaannya tertahan.
“Lagu yang nggak pernah bisa aku selesain seumur hidupku dan lagu yang…,” Yesha kembali menggantung ucapannya membuat Chan Ha semakin bertanya-tanya, “mengawali segala bencana dalam hidupku.”
*
“Argh!”
Yesha meringis kesakitan. Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit. Perih. Yesha sangat ingin membuka mata untuk melihat apa yang sedang terjadi, tapi dia tak kuasa.
“Argh!”
Ringisnya lagi. Dia merasakan ada seseorang mencengkram dagunya dengan sangat kuat. Yesha ingin melawan, tapi tubuhnya sangat tidak berdaya. Dia yakin kalau tangan dan kakinya sudah diikat pada sebuah kursi.
“Merasakan sakit, Nona?”
Suara ini. Yesha sangat mengenalnya. Suara yang pernah dia temui semasa kecil. Suara si biang keladi dari segala kekacauan dalam hidupnya, suara Bu Sasa.
Mau apa dia? ucapnya tanpa suara.
“Apa kamu sudah merasa puas karena berhasil menjebloskanku ke penjara, Nona?”
Ya. Wanita jalang itu berhasil dijebloskan ke penjara karena Iez mengadukan perbuatannya pada Pak Daniel. Wanita itu juga berhasil membuat orangtuanya tidak mempercayainya lagi, sehingga Yesha harus menuruti semua perkataan orangtuanya, termasuk segala jadwal harian yang ibunya buat.
“Tapi sayangnya aku sudah keluar, sekarang, Nona.”
Wanita itu mendekatkan wajahnya pada wajah Yesha. Yesha bisa merasakan napasnya, napas dari pemicu bencana dalam hidupnya.
“Aku sudah mengawasimu bertahun-tahun. Mencari celah agar supir sialanmu itu meninggalkanmu dan aku berhasil, aku mendapatkanmu lagi.”
Cengkramannya semakin kuat, Yesha merasa wajahnya di paksa mendongak.
“Awalnya aku hanya ingin menghancurkan ibumu, karena dia sudah mengambil kekasihku, ayahmu. Tapi…,” dia menggantung ucapannya, tangan kanannya yang bebas mencengkram bahu Yesha dengan kuat, “aku rasa dia akan semakin menderita jika aku menghabisi anaknya.”
Wanita itu melepaskan cengkramannya dan membiarkan wajah Yesha menunduk. Yesha bisa mendengar langkah kaki wanita itu menjauhinya. Dengan sangat pelan, si gadis menghembuskan napas lega. Setidaknya dia bisa jauh dari wanita iblis itu untuk sesaat.
Deg.
Sebuah benda berujung tajam dan dingin berhasil menusuk ke perut bagian kiri Yesha. Sontak saja dia membuka mata, berusaha untuk membuka mata. Dari pandangannya yang buram, Yesha bisa melihat cairan berwarna merah mengalir dari ujung pisau yang masih menancap di perutnya.
Tuhan. Apa benar ini jalan hidupku?
Kenapa terasa begitu berat, tuhan?
Ini menyakitkan. Jiwa dan ragaku, benar-benar sakit.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Tuhan.
Kekangan. Cibiran. Hinaan. Bahkan kekerasan yang mereka lakukan padaku, kapan itu akan berakhir?
Apa Kau tidak akan mengirimkan malaikat penyelamat untukku, Tuhan?
Apa Kau akan mengirimkan malaikat pencabut nyawaku?
Apapun keputusanMu, bisakah kau melakukannya dengan cepat?
Aku sudah tak mampu lagi bertahan, Tuhan.
Perlahan Kau mengambil segala kemampuanku. Bisakah Kau segera mengakhiri derita ini?
Aku mohon, Tuhan!
*
Chan Ha memeluk Yesha semakin erat. Dia pernah melihat luka tusuk itu di perut Yesha. Awalnya Chan Ha pikir itu adalah luka karena operasi usus buntu, tapi dia tidak pernah berpikir tentang adanya kenangan yang lebih pahit dibaliknya.
Lalu … hal yang lebih mengejutkan lagi untuk seorang Kim Chan Ha adalah kenyataan bahwa bercak hitam yang ada di belakang tubuh Yesha itu bukanlah tanda lahir seperti dugaannya, tapi bekas luka lebam yang pernah diderita Yesha semasa kecil.
“Sekarang semuanya bakal baik-baik aja. Kamu nggak akan ngalamin hal itu lagi,” ucap Chan Ha sembari mendaratkan kecupan di puncak kepala Yesha.
*
Karena lagu itu dia mukulin gue dan Iez habis-habisan.
Karena lagu itu orangtua gue nggak percaya lagi sama gue. Mereka ngatur segalanya buat gue. Menjarain gue dengan kegiatan yang mereka susun.
Karena lagu itu mereka ngebuang gue ke tempat ini, sama lo, Kim Chan Ha.
Tapi kenapa? Apa salah gue?
Gue selalu sayang sama mereka, bahkan saat semua orang jijik sama gue karena ulah mereka.
Gue selalu hadir di pesta perusahaan dan bersikap manis, padahal mereka tahu gue nggak suka pesta.
Gue selalu kabur dari rumah saat gue hancur, supaya mereka nggak ngeliat kehancuran gue.
Sedikit pun. Mereka nggak tau tentang gue. Mereka nggak kenal sama gue. meskipun gue anak mereka.
*
29112015
Repost 26042017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top