His Smile

His Smile

Sebuah rumah mewah berpagar bata setinggi dua setengah meter menyambut Yesha dan Kim Chan Ha. Agak sedikit terlambat karena Yesha lupa akan acara sore ini dan baru pulang sejam sebelum Chan Ha menjemputnya. Yah walaupun laki-laki bertelinga lebar itu menggerutu kesal, tapi Yesha tidak peduli.

Aigo. Ini pertama kalinya kamu mengajak Yesha ke acara bisnis, aku sungguh tersanjung Chan Ha-ya,” sambut seorang pria yang rambutnya sudah mulai memutih di beberapa bagian di depan pintu utama rumah tersebut.

Kim Chan Ha dan Yesha menunduk sedikit, tanda memberi salam pada si tuan rumah. Setelah itu Chan Ha tidak bicara sama sekali dengan pria yang tadi menyapanya.

Anyeonghaseyo,” sapa Yesha canggung. Dalam hati menggerutu karena Chan Ha benar-benar kurang ajar kali ini. Dia datang ke sini atas ajakan laki-laki itu dan sekarang … ayolah, perkenalkan mereka sebagai orang ketiga.

“Kamu mengeti bahasa korea?” Pria itu bertanya seolah memastikan kekagumannya.

“Ya. Sedikit.” Yesha tersenyum ragu. Orang yang kini berada di depannya benar-benar memiliki aura seorang pembisnis sejati dan Yesha agak enggan padanya.

“Aku Oh Kyung Soo, pamannya Kim Chan Ha. Panggil saja aku samchon. Ayo kita masuk. Yang lain sudah menunggu.” Oh Kyung Soo masuk terlebih dahulu, menuntun Chan Ha dan istrinya ke taman yang ada di halaman belakang rumah.

“Tolong jangan membuatku seperti orang canggung berada di tempat ini,” desis Yesha pelan.

Kim Chan Ha, dia tidak menjawab. Orang itu hanya berdehem mengiyakan ucapan atau protesan Yesha barusan. Wah. Yesha terbakar sekarang.

Ya! Kim Chan Ha….” Seorang laki-laki berjari lentik melambaikan tangannya sambil berteriak kencang dari salah satu sisi taman. Penjepit daging yang tadi dipenggang oleh laki-laki itu dia letakkan asal, lalu bergeges menghampiri Chan Ha.

“Ah, Baek Hoo. Dengan siapa kamu kali ini? Mana kekasihmu?” sambar Chan Ha akrab.

Lee Baek Hoo, Direktur Pemasaran Chan Group. Teman abadi Chan Ha sejak kecil. Baek Hoo tahu segalanya tentang Chan Ha dan Chan Ha tahu segalanya tentang Baek Hoo. Sebelum kabar pernikahan Kim Chan Ha, beberapa gosip beredar kalau mereka berdua adalah pasangan gay karena hanya kepada Baek Hoo—si laki-laki berwajah cantik itu—Chan Ha mengembangkan senyum manisnya.

“Kekasih, apa?” Seketika Baek Hoo kehabisan kata-kata. Chan Ha tahu benar kalau sahabatnya ini tengah dekat dengan seorang artis ternama, jadi tak apa jika dia menggodanya sebentar.

Chan Ha menarik lebar kedua sudut bibirnya. Dia tersenyum geli ketika melihat wajah mulus Baek Hoo memerah.

O-mi-gat! Dia senyum? Senyum? Sama cowok? Apa dunia sebentar lagi akan kiamat?! batin Yesha meledak.

“Apa dia istrimu itu? Si traveler Yesha?” Perhatian Baek Hoo terpusat pada perempuan bergaun hitam selutut di samping Chan Ha. “Hai. My name is Lee Baek Hoo, call me baby.”

Yesha membulatkan mata. Kedua sudut bibirnya tersenyum berat, menahan ledakan tawa yang nyaris saja meluncur karena ocehan Baek Hoo. Wah! Berani-beraninya dia menggoda istri temannya sendiri.

“Baek, temani dia ngobrol. Aku ada beberapa urusan dengan samchon,” pinta Chan Ha, lalu segera masuk ke dalam rumah bersama Oh Kyung Hyun.

“Jadi … apa yang kamu lakukan selama di Korea?” Dengan senyum lebar, Baek Hoo mulai meluncurkan aksinya, bicara banyak hal.

“Cuma berkeliling sampai lupa waktu,” jawab Yesha sambil terkekeh, ingat akan kekesalan Kim Chan Ha beberapa jam yang lalu.

“Serius? Jalan kaki?”

“Tidak. Kamu pikir aku bisa bertahan hidup jika hanya jalan kaki? Aku meminta Chan Ha membelikan sepeda.”

“Ya. Benar. Tidak mungkin jalan kaki setiap hari.” Baek Hoo membenarkan. Mengingat bagaimana Chan Ha menceritakan tentang perempuan yang merengek meminta sepeda untuk berkeliling dengan ancaman kabur dari rumah.

“Yep.”

“Kamu Yesha, ‘kan?” Seorang perempuan bergaun putih dengan sedikit aksen hitam di roknya menghampiri Yesha.

“Ah, iya?” Yesha  mengerutkan dahi seolah bertanya siapa pada Baek Hoo.

“Aku Yoo Mi Rae, istri Oh Kyung Hyun.” Dia memberikan gelas berisi wine merah pada Yesha, lalu kembali berucap, “Bagaimana Korea?”

“Korea?” Yesha melemparkan pandangannya pada Baek Hoo sekali lagi. “Dingin!” jawab Yesha sambil bertingkah seperti orang menggigil.

“Oh, ya?” Mi Rae terkekeh menyambut jawaban Yesha. “Apa Jakarta tidak dingin?”

“Jakarta mah panas, kaga ada dingin-dinginnya.” Yesha menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya membulat kala tersadar dia kelepasan bicara dengan logat dan bahasa gaul Jakarta.
*

“Dimana Yesha?” Kim Chan Ha baru kembali setelah mengurus beberapa pekerjaannya dengan Oh Kyung Soo. Hanya sekitar setengah jam berada dalam satu ruangan dengan pria berumur itu, Chan Ha sudah bisa mengambil keputusan dengan senyum puas. Pekerjaan akan menjadi sangat mudah jika kedua belah pihak saling mengerti, begitu kata Kim Chan Ha.

“Dia ke toilet,” jawab Mi Rae sambil memberikan segelas minuman pada Chan Ha.

“Dia bilang padaku kalau itu adalah panggilan jiwa yang sangat penting,” sambung Lee Baek Hoo menirukan ucapan Yesha sebelumnya.

Chan Ha tersenyum tipis, salah satu tangannya meraih minuman yang diberikan oleh Mi Rae lalu meneguknya pelan. “Thanks Mi Rae-ssi.”

Yoo Mi Rae mengangguk pelan, lalu pergi setelah tamu lain memanggilnya.

“Kamu ada acara, besok pagi?”

Baek Hoo mengerutkan dahi, mencoba mengingat jadwal kerjanya besok pagi. “Aku ada rapat setelah makan siang, seingatku aku tidak punya pekerjaan paginya. Kenapa?”

“Datanglah ke ruanganku. Ada beberapa hal yang harus kita bahas tentang proyek di Manila.”

Tanpa menyanggah titah sang atasan, Baek Hoo mengangguk setuju. “Itu Yesha.” Baek Hoo mengalihkan arah obrolannya ketika menangkap sosok Yesha menghampiri Kim Chan Ha.

Chan Ha berbalik. Manik matanya menangkap ada yang berbeda dari Yesha setelah keluar dari toilet, wajah perempuan itu agak pucat.

“Chan Ha, apa kita bisa pulang sekarang?” ucapnya pelan saat sudah berada di dekat suaminya.

“Gue nggak enak badan.”
*

Aroma makanan seketika memenuhi rongga penciuman Kim Chan Ha sesaat setelah ia melangkah keluar dari kamar. Chan Ha meneruskan langkahnya menuju ruang tengah apartemennya. Dari sana laki-laki yang masih mengusap rambut basahnya itu melihat Yesha.

Tch! Tadi malam dia seperti orang mau mati, gerutunya dalam hati.

Wajar saja, jika mengingat bagaimana wajah pucat dan kesakitan Yesha tadi malam, tak mungkin perempuan itu bisa beraktifitas seperti biasanya di dapur.

Jalanan terlihat senggang malam ini. Park In melajukan mobilnya, bergegas agar dia dan dua penumpangnya segera sampai di apartemen sang atasan. Tubuh Yesha mendadak demam juga menggigil secara bersamaan, wajah pucat istri atasannya itu mengeluarkan banyak keringat. Dan Park In tahu, kalau dia harus bergerak cepat.

“Yesha, bangun. Kita sudah sampai di apartemen,” ucap Chan Ha sambil menepuk pelan bahu Yesha. “Yesh, bangun.”

Perlahan, mata Yesha terbuka. Tidak terlalu kentara, namun Chan Ha tahu kalau Yesha tengah meringis kesakitan saat perempuan itu menggigit ujung bibirnya.

Kim Chan Ha keluar dari pintu yang tadi sudah dibukakan oleh Park In, dia beralih ke sisi lain mobil lalu membukakan pintu untuk Yesha.

“Aku bisa berjalan sendiri,” tolak Yesha pelan ketika Chan Ha mencoba untuk memapahnya.

Dengan helaan napas pelan, Chan Ha menarik tubuhnya. Membiarkan Yesha berjalan masuk ke gedung apartemen sambil tertatih sendiri. Sesungguhnya, Chan Ha sangat ingin membawa Yesha ke rumah sakit, dia tidak ingin hal buruk terjadi pada perempuan itu, akan tetapi Yesha menolah rumah sakit dengan tegas.

“Tumben lo bangun cepet.”

Seketika, Chan Ha kembali pada kenyataan. Ucapan Yesha barusan mampu menyadarkannya dari lamunan tentang kejadian tadi malam.

“Gue laper. Tadi malem gue nggak makan dan itu semua … karena elo.” Kim Chan Ha menyeret tubuhnya menuju dapur dan duduk di salah satu kursi secara asal.

“Hari ini lo kemana?” tanyanya ketus, tidak berniat sedikit pun untuk menatap wajah Yesha.

Yesha membulatkan mata. Tubuhnya yang tadi membelakangi Chan Ha saat mengambil sup, kini berbalik. “Kok jadi angker, ya, kalau lo yang nanya?”

“Kenapa? Lo geer?” Chan Ha menyuap nasinya saat Yesha duduk di depan laki-laki itu. “Minggu depan ulang tahun perusahaan. Di sana, akan ada acara bazar. Gue sudah daftarin elo jadi salah satu sponsornya. Jadi, waktu lo jalan-jalan, beli sesuatu yang bisa elo sumbangin di acara itu.”

“Em, bazar, ya? Oke.”

“Orangtua lo akan hadir di acara itu, mereka juga menginep di sini. Jadi lo harus pindahin barang-barang lo ke kamar gue.”

“Ah! Bonyok gue emang selalu ngajak berantem,” gerutu Yesha pelan. Mereka benar-benar tidak bisa berhenti untuk mengganggu hidup tenangnya.

“Ngomong-ngomong orangtua, kenapa appa eomma nggak pernah ke sini?” sela Yesha.

Chan Ha mendengus. Diletakkannya sepasang sumpit yang sedari tadi bertengger di tangannya ke atas meja. “Mereka orang sibuk, mereka nggak akan datang ke sini kalau nggak penting.”
*

“Jadi aku harus nyumbang apa?” tanya Yesha pada seseorang melalui sambungan telepon. Saat ini dia tengah bersantai ria di salah satu warung kopi di dekat apartemen, Yesha malas berkeliling hari ini.

“Bentar, ya.” Orang itu mematikan teleponnya tanpe menjawab pertanyaan Yesha barusan.

Perempuan tersebut membulatkan mata, menatap kesal ke arah layar ponsel yang sudah menampilkan display home.

Wah! Dia matiin telepon gue! gerutunya kesal. Dia terus memaju-mundurkan bibir merah mudanya tanpa sadar di mana dia sekarang, menenangkan pikiran karena teleponnya diputuskan sepihak oleh Park Se Young.

“Orang-orang akan menganggap kamu aneh jika kamu terus melakukan itu.”  Secara tiba-tiba Park Se Young sudah duduk di samping Yesha. Menjawil pipi Yesha lembut, kemudian terkekeh sendiri.

“Tch.”

Se Young menyeruput kopi yang ada di tangan kanan Yesha dan meminumnya tanpa peduli kalau orang yang di hadapannya sekarang adalah istri dari pemilik perusahaan musik yang manaunginya.

“Tch!”

Wae?” ucap Se Young agak kesal.

Yesha hanya menatap heran pada kelakuan Se Young yang jauh dari kata seorang idola tampan dengan kelakuan berantakan. “Apa kamu tidak merasa jijik? Itu bekas minum aku, ‘kan?”

“Tidak!” Se Young menggeleng. “Kamu jijik?”

Yesha juga menggeleng.

“Mau mencarinya denganku, aku tidak mempunyai pekerjaan hari ini?”

“Serius?”

“Kamu mau menyumbang apa?” tanya Se Young. Mereka sudah berada di mobil Se Young dan mulai memikirkan barang-barang yang akan Yesha sumbangkan di acara ulang tahun perusahaan Kim Chan Ha.

“Awalnya aku mau memilih antara barang bagus atau barang mahal,” jelas Yesha.

“Jadi?”

“Aku pilih barang yang diinginkan.”
*

Kim Chan Ha dan Lee Baek Ho sedang minum kopi bersama di atap kantor. Jam istirahat siang kali ini, mereka habiskan untuk saling bergosip ria. Yeah. Laki-laki juga perlu berbicara tentang kehidupannya pada orang terpercaya.

“Kamu sudah memberitau Yesha tentang bazar?” tanya Baek Ho. Kedua tangannya menggenggam gelas kopi plastik dan bertumpu pada pagar atap.

“Ya.”

“Apa yang akan dia sumbangkan?”

Chan Ha menggeleng. “Entahlah. Mungkin dia masih mencarinya.”

“Dia cepat beradaptasi dengan tempat ini,” puji Baek Hoo terhadap perempuan berdarah asli Indonesia tersebut, sedangkan Chan Ha hanya bisa tersenyum tipis menanggapi pujian temannya.

“Dia tidak merepotkan?”

Chan Ha kembali tersenyum. “Ya. Dia tidak pernah menggangguku. Salah satu hal yang aku suka darinya, setidaknya dia tidak membuatku stres.”

“Baguslah. Dalam acara ini, aku harap seseorang tidak akan mengacaukannya.”

“Aku yakin mereka akan melakukan apa saja agar aku jatuh.”

“Kamu tidak berniat merombak semuanya? Sistem perusahaan kamu saat ini … kamu tahu, ‘kan?”

Kim Chan Ha yang sedari tadi hanya berdiri di sisi Lee Baek Hoo, memutar kepalanya menghadap Baek Hoo. “Jika aku melakukannya, maka ayahku, ayah Kyung Hyun, dan mendiang ayahmu, mereka juga akan mendapat dampak yang besar.”

Baek Hoo terdiam di tempatnya. Dia tahu betul maksud ucapan Chan Ha, akan tetapi…. “Jadi apa rencanamu?”

“Aku akan membiarkannya, selama itu masih di bawah kontrol.”

“Menurutmu, begitu?”

Sang CEO mengangguk lemah dan Baek Hoo tidak menjawab lagi. Mereka berdua mengerti, akan dampak yang akan terjadi dengan atau tanpa perombakan sistem perusahaan.

“Yoo Mi Rae, dia akan menjadi penanggung jawab acara kali ini, kamu tidak khawatir?” Baek Hoo memecah kecanggungan antara mereka berdua. Ahhh. Dia tidak suka begini.

“Dia ahlinya, kita tidak perlu khawatir.”

“Bukan dia, tapi Yesha.”

“Berdoa saja, semoga dia tidak akan menonjol di antara yang lain.”

“Semoga saja.”
*

“Serius kamu mau membeli semua itu?” Se Young tercengang saat melihat daftar pembayaran yang harus dibayar Yesha.

“Iya. Lagipula mereka akan membelinya dengan setengah harga, ini pasti laku,” jawab Yesha sambil memberikan kartu pembayarannya pada kasir.

“Wah, daebak!”

“CEO Kim Chan Ha, menurutmu dia laki-laki seperti apa?” tanya Se Young gugup. Mereka tengah berjalan menuju mobil van Se Young sambil menyedot masing-masing segelas bubble tea.

“Dia berlebihan,” jawab Yesha.

“Berlebihan?”

“Dia berlebihan saat bekerja, berlebihan dalam bertanggung jawab, berlebihan saat makan dan berlebihan saat bergadang.”

Se Young mengernyitkan dahi bingung.

“Jika kamu tinggal serumah dengannya dia selama satu minggu, kamu akan mengerti apa maksudku.”
*

“Bhahahaaa….” Terdengar tawa teras Lee Baek Hoo dari ruang kerja Kim Chan Ha. “Awalnya aku pikir istri kamu akan menyumbangkan baju, sepatu atau tas branded, tapi ternyata … bhahahaaa….” Baek Hoo kembali tertawa tanpa sanggup menyelesaikan kata-katanya.

“Ya, pikirannya memang masih seperti anak-anak,” jawab Chan Ha tak acuh, sambil merapikan bajunya.

“Tapi kalau dipikir-pikir, aku rasa dia menyumbangkan barang yang tepat.”

Eomma appa akan datang hari ini, aku mau tahu bagaimana reaksi mereka jika melihat sumbangan Yesha.”

“Jika barang-barang itu laku berat, aku rasa Yesha akan semakin mencolok.”

“Benar. Ah, anak itu. Apa kamu sudah memeriksanya lagi, jangan sampai barang-barang sumbangan Yesha disabotase.”

“Aku akan memeriksanya sekarang.”

Lee Baek Hoo segera menuju tempat panitia bazar tanpa menunggu perintah kedua dari Chan Ha. Dia memeriksa satu per satu stand-stand tersebut dan benar saja, barang-barang sumbangan milik Yesha masih belum ada di tempatnya.

“Kenapa barang-barang dari Yesha-ssi tidak ada?” teriaknya pada beberapa orang panitia.

Mereka yang menyadari arah ucapan Baek Ho kalang kabut, berpencar untuk mencari di mana barang-barang milik Yesha.

“Seseorang sudah membawanya tadi, dia yang bertanggung jawab untuk meletakkan di stand milik Yesha-ssi,” jawab salah seorang yang terlihat sebagai penanggung jawab.

“Tapi di sana tidak ada, siapa yang membawanya? Temukan barang-barang itu sekarang. Kalau tidak, aku akan melaporkan kalian semua pada CEO Kim,” ancamnya tak tanggung-tanggung.

Karena mendengar beberapa keributan, Yoo Mi Rae yang baru keluar dari ruangan panitia datang menghampiri Baek Ho. “Ada apa, Direktur Lee?”

“Barang-barang Yesha belum ada di tempatnya.” Baek Hoo menurunkan nada suaranya, berusaha setenang mungkin saat bicara dengan wanita multi-talenta tersebut.

“Kamu serius?” Mi Rae terlihat kaget. “Apa kamu sudah memastikannya?”

“Tentu saja. Suruh anak buahmu menemukannya segera, kalian akan mendapat masalah jika CEO Kim mengetahui hal ini.”
*

“Dengan ini, acara bazar amal dalam rangka memperingati hari ulang tahun Chan Group dibuka,” ucap seorang pembawa acara.

Bersamaan dengan itu para petinggi perusahaan segera memotong pita tanda acara sudah dibuka untuk umum. Di sana berjejer Direktur Produksi Oh Kyung Hyun, Presiden Direktur Kim Chan Joo, CEO Kim Chan Ha, Direktur Pemasaran Lee Baek Ho dan Direktur Umum Byun Joon Dae.

Para tamu dan seluruh karyawan Chan Group memberikan tepuk tangan atas pembukaan acara bazar amal itu.

“Saat eomma melihat mereka, eomma merasa bangga memiliki permata berharga seperti mereka,” ucap seorang wanita setengah baya pada Yesha.

Dia adalah ibu Chan Ha, namanya Emelin Dirgantara. Wanita asli keturunan Indonesia, seperti Yesha yang sangat simpel dalam berpakaian tapi tetap terlihat sangat elegan. Dia adalah pribadi yang sangat lembut dan cerdas.

“Em, mereka memang berharga,” jawab Yesha.

“Kamu beruntung bisa memiliki dia, Yesha,” sambung seorang wanita yang duduk di samping Bu Emelin.

Gisha Rahma, dia adalah ibu Yesha. Penampilannya sedikit lebih ribet dari pada Bu Emelin dengan berbagai jenis pakaian branded, namun tak kalah elegan dari Bu Emelin.

Acara pembukaan acara sudah selesai, kini mereka sedang berjalan-jalan melihat seluruh stand untuk umum yang di buka di samping kantor mereka.

“Yesha, apa yang kamu sumbangkan, Sayang?” tanya Bu Emelin.

Eomma, mah, apa kalian mau melihatnya?” tanya Yesha senang. Bu Emelin  dan Bu Gisha mengangguk bersemangat.

“Ayo!” ajak Yesha.

Mereka bertiga  berjalan lebih dulu menuju stand milik Yesha sedangkan Chan Ha, Presdir Kim, Presdir Daniel dan beberapa karyawan mengikuti mereka dari belakang.

Dari kejauhan Yesha menunjuk sebuah stand yang dipadati banyak remaja perempuan. “Itu, di sana!” ucap Yesha.

Ommo, kamu menyumbangkan CD artis?” tanya Bu Gisha terkejut.

“Bukan hanya CD dari C Entertaiment eommoni, dia juga menyumbang beberapa aksesoris yang biasa di pakai oleh artis-artis C Entertaiment,” ralat Baek Hoo.

“Wah, kenapa sampai kamu kepikiran hal seperti ini?” Bu Emelin terlihat begitu senang.

Yesha tersenyum senang. “Karena uang aku nggak terlalu banyak, jadi aku hanya memaksimalkan uang yang aku punya untuk hal yang diinginkan banyak orang.”

“Hahahaaa….” Presdir Kim tertawa seraya mengusap kepala Yesha. “Kamu memang mempunyai otak seorang pembisnis, Yesha,” pujinya.
*

07112015
Repost 15022017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top