Epilog
Bagian ini susah diedit. Jadi anee pake POV El. Setingnya waktu itu El ngomong sama Kim Chan Ha. Keutt.
*
Epilog
Sejak awal aku tidak pernah memiliki waktu untuk mencinta dan dicinta. Cinta? Suatu hal yang menyatukan dua insan, dua raga, dua jiwa, kedalam satu rasa. Aku tidak pernah memiliki waktu untuk merasakan ‘cinta’ itu, bahkan sampai saat ini.
Jadi tak apa jika sekarang aku tak bersama dengannya. Orang yang aku cinta tapi dia tidak mencintaiku. Orang yang mencintaiku tapi aku terlalu sakit karena perbuatannya. Cinta kami tak sama. Cinta kami tidak datang pada waktu yang tepat.
Rasa sakitku semakin dalam, menorehkan sejuta luka di relung jiwaku yang tak berbentuk lagi. Aku sudah mati. Mati bersama hilangnya janin yang ada di perutku, Alkara Argantara.
-Yesha Argantara-
*
Ini salahku! Ya!
Aku belum cukup hancur selama ini karena menunggunya dan ini adalah kesempurnaan dari kehancuranku. Dia tidak ingin bersamaku lagi. Dia tidak mempunyai alasan untuk bersamaku lagi.
Aku tidak bisa melepaskannya. Aku tidak bisa merelakannya. Aku tidak bisa mengikhlaskannya.
Tidak cukup jika aku hanya bisa melihatnya tanpa bisa memilikinya. Aku ingin dia. Aku ingin Yesha-ku.
Apa kami, aku-dia, memang tidak bisa bersama dalam satu rasa yang sama? Tuhan! Bisakah engkau membalik perasaannya lahi, untukku?
-Kim Chan Ha-
*
Melihat matahari dengan muka berseri, aku tak bisa.
Melangkah tenang dengan baju necis sepatu mengkilap, aku tak bisa.
Memandang orang berlalu lalang di trotoar tepi jalan, aku tak bisa.
Bahkan bermimpi menjaddi seperti mereka pun, aku tak bisa.
Belajar dan mengukir prestasi di sana-sini, aku tak bisa.
Bermain dengan bebas tanpa pandang bulu, aku tak bisa.
Bekerja tanpa harus menerima hinaan dan cercaan, aku pun tak bisa.
Lalu, apa yang aku bisa ?
‘Ku tak bisa, ‘ku tak bisa, ‘ku tak bisa, itulah yang selalu terngiang di telinga.
Aku merasa seperti sampah … tiada lagi artiku bagi dunia!
Mengejar bayang pun tak sanggup aku, ‘palagi harus kukejar realita.
Bisakah aku bermimpi seperti mereka?
Takut, takut, dan takut, itulah rasa yang terus membayang di benakku.
Gemetar, gelisah, dan kecewa, selalu membayang ketika aku mengingat mereka.
Pukulan, hujatan, hinaan, dan ejekan, tak hentinya aku terima.
Tapu aku tiada bisa berbuat apa-apa.
Terkadang aku bertanya … makhluk apakah mereka ?
Yang senantiasa membuatku merasa tertolak dan terhina tiada tara.
Bahkan ‘kutolak diriku yang serasa mayat hidup tiada berdaya.
Sekali lagi kutanya diriku sendiri, bisakah aku bermimpi seperti mereka?
-Bisakah Aku Bermimpi Seperti Mereka karya Erick Susanto Tjandra dalam buku Teriakan Suara Hati-
*
Setelah mengetahui tentang rencanamu dengan Lee Ha Na, dia memaksa Iez untuk membawanya pergi. Saat itu Iez hanya mementingkan perasaan Yesha dan membawanya pergi ke Paris, ke apartemen Xavier. Aku tahu kamu mendatangi tempat itu sehari setelah mereka terbang ke Jerman.
Saat di Paris, dia hanya berdiam diri di kamar. Tidak makan dan hanya minum air putih, dia selalu muntah-muntah setiap pagi atau ketika ada makanan yang masuk ke dalam perutnya.
Dia terus mengurung diri di kamarnya dan membuat kami khawatir. Akhirnya aku meminta Iez untuk menemuinya, mungkin jika Iez yang bicara padanya dia akan lebih hidup.
Tapi itu diluar ekspetasiku, saat aku kembali ke apartemen Xavier aku melihat apartemen itu hancur seperti habis digulung tsunami. Aku menemukannya meringkuk di pojokan dapur, tangannya penuh dengan darah dari bekas jarum infus dan ada beberapa pecahan kaca yang bersarang di sana.
Aku membawanya ke kamar, mengobati tangannya, lalu membaringkannya di tempat tidur. Ingin sekali aku bertanya, apa yang terjadi padanya? Tapi dia lebih dulu bertanya padaku tentang jam tidurku dan Iez, aku hanya menjawab seadanya.
Words Company.
Nama itu melintas di penglihatanku. Aku segera menyambar sebuah berkas yang berserakan di lantai. Setelah aku teliti sebentar, aku mengerti kalau itu adalah berkas rencana kerjasama dengan Words Company, sebuah perusahaan ternama yang berpusat di New York.
Aku bertanya tentang berkas itu pada Yesha, bukannya menjawab dia malah menangis. Beberapa saat kemudian dia menceritakan perengkaran pertamanya dengan Iez, pertengkaran yang diakibatkan karena keegoisannya dan cara pikirnya yang sempit.
Aku menghubungi Iez setelah berhasil menidurkan Yesha. Perempuan keras itu sampai di apartemen setelah dua jam dan membawa masalah baru.
“Gue bakal ngabulin semua permintaan lo, tapi gue juga punya tiga persyaratan.”
Aku terperangah. Nada datar dan dingin itu meluncur deras dari mulut seorang Iez. Seseorang yang selalu bersikap lembut dan penuh kasih sayang itu pada Yesha kini berubah total.
Yesha hanya mengangguk mengiyakan. Sekali lagi aku tersentak. Yesha yang selalu meminta apa saja pada Iez dan tidak suka dibantah, kini mengangguk menurut.
“Gue bakal ngasih tahu bokap-nyokap lo semua hal tentang elo.”
Seketika wajah tenang Yesha berubah merah, dia melotot kesal pada Iez. “Lo gila, hah? Susah payah gue nyembunyiin ini dari mereka dan sekarang lo mau ngebongkar hal ini ke mereka?!” teriak Yesha, dia sudah berdiri dari duduknya.
“Gue!!!” balas Iez tak kalah nyaring, gadis itu juga sudah berdiri dari sofa yang tadi didudukinya. “Gue yang susah payah nyembunyiin rahasia ini! Gue yang udah kerja keras buat ngejaga rahasia ini! Gue berhak ngebongkar rahasia ini! Bukan elo!!!”
Yesha mengepalkan kedua tangan yang ada di sisi tubuhnya, pandangannya tertuju ke bawah. Perlahan dia kembali duduk di tepi kasur. “Apa persyaratan yang kedua?” ucapnya pelan.
Iez menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa, meredam emosi yang tiba-tiba saja naik karena teriakan Yesha. Sedangkan aku masih tetap tertahan di samping pintu kamar, menjadi saksi bisu dari perang elit ala double-yes ini.
“Belajarlah mengurus perusahaan.”
Sejenak ruangan ini diselimuti keheningan. Meskipun aku memiliki kecerdasan tapi aku tidak tahu apa yang pernah mereka lalui bersama, dulu. Dan sekarang aku sangat penasaran dengan apa yang sedang mereka pikirkan.
“Lo nggak bisa terus-terusan ngandelin gue sama El. Ada kalanya lo harus ngurus perusahaan lo sendiri. Gue cuma gak mau lo kecolongan kayak waktu itu,” ucapan Iez sudah mulai tenang.
“Waktu lo nggak tepat buat ngebahas perusahaan, Yez,” gumam Yesha.
“Waktu gue tepat. Kapan lagi gue bisa ngebahas hal ini? Selama ini lo selalu menghindar dan ngedekti diri lo sendiri buat menjauh dari urusan perusahaan. Ini perusahaan elo dan gue mau elo ngawasin gue, supaya gue nggak ngorupsi duit perusahaan,” sahutnya tajam.
Kesal. Tentu saja. Yesha hidup demi dua hal itu dan dia harus mengorbankan tujuan hidupnya demi terkabulnya permintaannya pada Iez. Dia mati akal. Kenapa tiga permintaan itu sangat sulit diraihnya sekarang?
“Oke! Gue belajar ngurus perusahaan!” putus Yesha, setitik senyum terukir di bibir Iez.
“Lo cuma ngontrol laporan mereka dan ngebuat keputusan. Gue sama El bakal bantuin lo,” jawab Iez.
El mengangguk, membenarkan ucapan Iez barusan.
“Yang ketiga, lo harus terapi lagi.”
Duar!!!
Sebuah bom atom berhasil meledak di atas kepala Yesha. Sama seperti kejadian saat dia kuliah dulu, Iez menganggapnya gila. “Lo bener-bener nganggap gue orang gila? Jadi selama ini lo nurutin permintaan gue karena lo nganggap gue gila?” sergah Yesha.
Iez berdiri dari duduknya. “Jawabannya sama kayak kejadian empat tahun yang lalu.”
Yesha berdecak.
“Ini harga yang harus lo bayar buat perceraian lo. Gue tunggu kalian besok pagi di bandara, kalau kalian nggak datang itu artinya nggak akan ada perceraian.”
Singkatnya, keesokan harinya aku dan Yesha datang ke bandara, menyanggupi persyaratan Iez. Setibanya kami di Jerman, kami segera menuju rumah sakit yang memang sudah dipersiapkan Iez.
Yesha menjalani beberapa pemeriksaan di seluruh tubuhnya, memastikan ada atau tidaknya penyakit fisik di tubuhnya. Tapi hal yang yang kami temukan lebih buruk dan memperburuk mental Yesha.
Janin Yesha berhenti berkembang di usia enam minggu. Alka meninggal saat dia berada di dalam kandungan.
Setelah kejadian itu, Yesha kehilangan kontrol dirinya. Dia selalu mengamuk, menghancurkan apa saja yang ada di depannya, dan beberapa kali dia mencoba melakukan bunuh diri.
Kami mencoba menyembunyikan hal ini dari dunia selama dua bulan, tapi kami tidak bisa melakukannya. Bukan! Kami bisa melakukannya, tapi Yesha tidak akan bisa sembuh jika kami menyembunyikannya.
Akhirnya kami memutuskan untuk memberitau orangtua Yesha tentang keadaan anak mereka saat itu. Awalnya Pak Daniel sangat geram denganku dan Iez, bahkan Bu Gisha selalu pingsan saat melihat Yesha mengamuk.
Kami memaksa mereka untuk mendengarkan penjelasan kami, tentang kehidupan Yesha yang selama ini dilaluinya sendiri. Walau dengan adu emosi dan adu mulut yang tiada henti, mereka bisa menerimanya. Mereka akan membantu Yesha untuk sembuh.
Sejak saat itu, sejak kedua orangtua datang menemui Yesha, dia berhenti memberontak, berhenti menyakiti dirinya sendiri. Dia menjadi lebih tenang, tapi ketenangannya kembali mengusik kami. Karena dia tenang dan terlarut dalam ketenangannya, kesendiriannya.
Sebulan kemudian, Iez membawa Amora untuk menemui Yesha. Satu-satunya harapan kami agar Yesha bisa sembuh, jika saja hal itu gagal, kami tidak tau lagi harus berbuat apa. Dan usaha kami berhasil, Yesha sedikit lebih hidup. Hanya saja di dalam hidup Yesha saat itu hanya ada Amora, bukan kami.
Bulan terus berganti dan entah bagaimana caranya, aku dan Amora terikat satu rasa yang sama. Kami menikah dan hanya dihadiri oleh keluarga terdekat karena saat itu Yesha masih belum pulih benar, kami tidak mungkin mengadakan acara besar-besaran.
Seiring berjalannya waktu, kesehatan Yesha semakin membaik walaupun kadang dia suka menyendiri dan kembali terlelap dalam kesendiriannya. Kami melakukan segala hal untuk mengembalikannya, tapi entah kenapa dia tetap berada di titik itu.
Lalu sebuah keajaiban terjadi, mungkin aku berlebihan jika menyebut ini keajaiban. Tapi ini benar-benar keajaiban.
Hari itu aku baru saja menjemput Amora pulang dari rumah sakit. Dengan senyum cerianya Yesha menyambut kami, maksudku, aku, Amora dan bayi kecil kami.
Apa aku boleh memberikan nama untuknya?
Aku hanya mengangguk karena aku tak sanggup berkaa apa-apa lagi, aku sangat senang saat itu, lebih adri kaa sangat senang.
Namanya Alkara. Seperti nama calon anakku. Apa boleh?
Aku kembali mengangguk. Alkara Morael Xylver. Kuputuskan itu adalah nama anakku, anak kami.
Yesha divonis sembuh dari depresinya. Kami tinggal di London. Yesha sangat menyukai anak itu, bahkan dia selalu tidur bersama Kara.
Saat usia Kara satu tahun, Amora dan Yesha memutukan untuk tinggal di rumah Xavier di pedalaman Perancis. Sedangkan aku mengurus perusahaan baru kami.
Yesha kami kembali. Yesha yang ceria, baik hati dan menebar kebahagiaan pada lingkungannya. Tanpa beban pikiran, tanpa kesedihan, hanya ada kebahagiaan.
Tapi kami tahu satu hal, dia masih menyimpannya. Perasaan cinta dan luka yang pernah singgah di hatinya.
*
Kerjasama antara Chan Group and Zarathastra Company menimbulkan reaksi positif dari berbagai kalangan.
Begitulah laporan utama di setiap berita yang ada di berbagai media massa. Mereka puas! Yesha dan Kim Chan Ha.
Rencana kerjasama yang telah mereka susun dalam beberapa minggu terakhir berhasil mendapat respon positif. Hal ini tentu saja akan menaikkan harga saham dan keuntungan yang berlipat bagi mereka.
Ya! Seperti ini. Mereka hanya perlu seperti ini.
Tak ada yang menyakiti dan disakiti. Yesha dan Kim Chan Ha.
Dua insan dengan sejuta rasa sakit. Dua insan yang harus merasakan rasa yang selalu bertentangan. Dua insan yang tak bisa bersatu.
Tapi kali ini mereka menyatukannya. Menyatukan hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain.
Bekerja sama dan bersatu dalam hal bisnis bukanlah hal yang buruk. Setidaknya mereka punya tujuan yang sama dalam hal ini.
*
Dia terluka. Lebih dari luka yang dialami Kim Chan Ha, laki-laki itu baru mengetahuinya. Deritanya tak sebanding dengan derita yang dilewati Yesha. Wajar saja jika dia memilih untuk tidak menerima Kim Chan Ha lagi.
Mengikhlaskan? Mungkinkah Kim Chan Ha bisa melakukannya?
Dia tak tau. Hanya saja, mungkin dengan cara ini dia bisa membahagiakan Yesha. Satu-satunya alasan yang tersisa, meskipun alasan itu lemah.
Aku akan mengikhlaskannya. Tapi aku akan tetap mencintainya.
*
--Reuni Akbar SMA Castla: Pengalaman adalah guru dari segala guru--
“Selamat malam, Presdir Amora,” sapa seorang laki-laki berambut coklat. “Mau berdansa denganku?” ajaknya sembari menjulurkan tangan kanannya.
“Dengan senang hati, Direktur Arga,” sambut Amora.
“Wah!” sambut laki-laki lain yang tengah menggandeng perempuan bergaun biru muda. “Sejak kapan kalian berdua seakrab ini? Bukannya dulu elo nggak suka sama Amora?”
“Apa kalian nggak tahu kalau gue sama Presdir Amora punya bisnis kafe?” jawab Arga yang sedikit kesal karena acara dansanya terganggu.
“Mulai deh pamernya!” gerutu perempuan tadi.
“Hei Ga, Rey, Vina,” sapa laki-laki lain yang tengah menggandeng Yesha, “dan hei Presdir Amora,” godanya.
“Hei, Dimi. Apa kabar?” sapa Amora pada laki-laki tadi.
“Kabar baik, Amora yang manis dan cantik.”
Yesha mengernyit geli. “Sejak kapan most-wanted SMA Castla mau melakukan omong kosong macam ini pada dua orang makhluk aneh di SMA Castla?”
“Sejak pengumuman bahwa lo adalah pemilik perusahaan besar, Yes,” jawab perempuan lain yang baru datang. “Berhati-hatilah! Beberapa dari mereka berniat merebut hati lo.”
“Kayna!” teriak Yesha saat melihat perempuan itu, Yesha segera berlari memeluk perempuan tadi.
“Apa kabar, Yes?”
“Em, baik, kamu? Kemana Nell?”
“I’m here. Missing me?” sahut laki-laki berkemeja abu-abu yang tengah menggendong Kara.
“Wah!!!” Yesha menatap kagum laki-laki itu. “Kapan kita berdebat di kelas lagi, Tuan Penipu,” sahutnya tanpa malu.
“Wah! Lo masih ingat waktu gue jadi penipu dulu?” kekehnya geli.
“Berenti meratiin dia, ada gue di sini.” Dimi merangkul bahu Yesha dengan posesif.
“Ternyata pengumuman waktu itu sangat berpengaruh, Yes. Sikap mereka berubah drastis sama lo, ‘kan?” ucap Nell sambil menggoda Kara yang berada di gendongannya dengan cubitan-cubitan di pipi.
“Sikap mereka memang berubah 180 derajat, sampai-sampai mereka nggak sadar kalau mereka ke acara ini bersama pasangan mereka.” Suara perempuan lain datang.
“Argh! Sayang, hentikan!” teriak Dimi saat telinganya dijewer dari belakang.
“Dasar suami mata baskom, liat yang bening aja udah ngacir ke mana-mana, lo nggak liat perut gue udah gede gini gara-gara ulah lo dan lo mau ngegodain cewek lain?” gerutu perempuan itu tanpa melepaskan jewerannya.
“Sayang, Sayang, aku nggak akan gitu lagi. Aku cuma ngucapin salam sama Yesha yang baru balik ke Indonesia,” bela Dimi dengan tangan bertangkup.
“Nggak ada!”
“Udah, deh Sean. Dia cuma bercanda kali,” bela gadis lain yang tengah menuntun seorang anak laki-laki berumur enam tahun.
“Nggak, Vin. Emosi gue tiap liat dia kecentilan gitu,” gerutu Sean.
Kayna mengibas-ngibaskan tangannya. “Nggak usah mikirin mereka, Sean hamil anak kedua dan kehamilannya kali ini benar-benar bikin semua orang emosi.”
Mereka yang mendengar ucapan Kayna barusan hanya terkekeh dan membenarkan ucapannya barusan. Perlahan mereka segera pamit dan membubarkan diri, tak tahan melihat sifat kekanak-kanakan Sean yang baru mereka ketahui beberapa bulan ini.
“Apa liat-liat?” ucap Kayna telak saat mengetahui Nell sedang menatapnya dengan pekat.
Nell menggeleng kuat. “Semoga lo nggak kayak dia.”
Yesha kembali terkekeh. Pasangan unik, pasangan yang memberinya pelajaran berharga selama sekolah dulu, pasangan yang sangat tegar dan pasangan yang paling romantis dengan cara mereka sendiri.
“Ayo sama Mommy, Baby.” Amora mengulurkan tangannya pada Kara dan gadis kecil itu segera menyerbu uluran tangan sang ibu.
“Oh, ya! Apa kalian melihat di mana El?” tanya Amora.
“El di depan ruang musik, sama Kim Chan Ha dan Bang Nara,” jawab Nell seadanya.
“Oh?” sentak Kayna, matanya berbinar menatap Yesha. “Lo balikan sama Kim Chan Ha, si cogan Kuriya?”
Yesha mengusap dahinya, perempuan di depannya ini memang punya otak yang berlebihan pintar. Sedangkan Nell hanya bisa menggeleng-geleng, meruntuki kekasihnya yang masih saja bertanya padahal dia sudah yakin hal itu tanpa bertanya.
“Gue mau ke ruang musik, kalian terusin aja acara gossip-gosipannya.”
“Jadi?” tanya Kayna lagi tanpa peduli sindiran Nell barusan.
Yesha mengangguk pasrah. “Setelah kerjasama perusahaan berhasil, dia lebih sering mengunjungi Kara dan Alka. Semuanya terjadi begitu saja dan begitulah.”
Kayna menangkup kedua pipi merah Yesha dengan lembut. “Lo masih cinta sama dia?”
Yesha kembali mengangguk, lalu menggembungkan pipinya malu. “Awalnya gue pikir, gue nggak punya alasan lagi buat balik sama dia. Tapi ternyata satu-satunya alasan gue balik sama dia ya … karena gue cinta sama dia.”
Kayna mengusap pipi Yesha. “Lo pantas bahagia. Jadi kalian sudah menikah? Tanpa mengundang kami?”
“Belum!” kekeh Yesha. “Kami belum menikah, mungkin nanti, tahun depan dan yang pasti aku akan mengundang kalian.”
Kayna menarik tangannya, lalu melipatnya. “Apa ini happy-ending?”
Yesha membalikkan badannya, mereka berjalan menuju ruang musik. “Gue juga nggak tahu.”
“Anggap ini happy-ending karena lo udah laluin semua cerita buruk di hidup lo, em?”
“Mungkin!” Yesha kembali mengembangkan senyuman manisnya. “Bagaimana kamu dan Nell?”
“Like usually. Kita masih sibuk sama kerjaan,” jawab Kayna tanpa beban.
“Kalian tidak berniat untuk menikah? Sudah berapa lama kalian bersama?”
Kayna tertawa, kali ini suaranya sampai menggema di lorong sekolah. “Gue bahkan lupa sudah berapa lama bareng dia. Gue bakal mengundang lo kalau gue nikah sama dia.”
“Jadi lo udah happy-ending?”
Kayna kembali tertawa. “Lo ngebalikin pertanyaan gue barusan.”
“Gue juga nggak tahu. Masih banyak orang gila yang mau nyelakain gue sama Nell. Jadi kami harus membereskan mereka dulu,” jawab Kayna.
“Mau gue bantuin?”
“Em?”
“Gue punya beberapa orang yang bisa bantuin lo buat beresin mereka dan ngejaga orang-orang lo.” Kali ini Yesha dengan antusias mempromosikan perusahaan miliknya.
“Jangan becanda, Yes. Lo nggak tahu sekuat dan sebanyak apa mereka.”
“Anak buah gue nggak selemah itu. Lo cuma perlu modal duit dan lo semua aman.” Piks. Promosi akut.
“Oke! Call! Susun berkas kerjasamanya.”
“Oke!”
Mereka terus berjalan tanpa memikirkan tatapan-tatapan kagum dari alumni-alumni lain yang ada di lorong sekolah itu.
*
1. Kara anak siapa? Udah kejawab. Anaknya El Xylver dan Amora.
2. Apa yang dilalui Yesha selama kabur? Udah dijawab juga.
3. Permintaan Yesha ke Iez? Udah di terima dengan persyaratan.
4. Kim Chan Ha berhenti mencoba menggapai Yesha? Benar. Kim Chan Ha hanya mengunjungi Kara dan Alka, semuanya terjadi tanpa diduga. *jangan tanyakan bagaimana.
5. Apa cerita ini happy-ending?
Ini adalah akhir dari segala akhir.
Ya. Akhirnya aku kembali menyatukan Kim Chan Ha dan Yesha. Kenapa?
Entahlah! Aku tidak suka membuat adegan dimana seseorang terlihat begitu memohon dan mengemis cinta. Jadi aku ending-kan di saat Yesha menolak untuk kembali pada Kim Chan Ha.
Kemudian aku menyatukan mereka kembali dengan cara yang berbeda. Berbeda karena kalian bebas berimajinasi tentang bagaimana mereka kembali bersama. Kalian bebas membayangkan bagaimana cara Kim Chan Ha dan Yesha kembali menumbuhkan benih-benih cinta itu lagi.
Oke! Cukup cuap-cuap. Semoga epilognya berkesan dan yah begitu.
Salam cintah dari yess. Bhay.
*
Ah. Thanks buat para pembaca yang sudah mau mampir dan membaca ulang cerita ini, dahal ini cerita repost___- aku tanpa kalian hanya kumpulan hama yang baru netas dan ketiup angin. Ilang. Abis gak ada sisanya. Nghoahahaaaa.
pebriani_pulungan
LastLolly
indrigoodee
RaTjuy
HWB1529A
IQhoomSlalucyankmzth
rexchoco
Yoselva_Silvester
Kita ketemu lagi di lapak lain, kalau ada rejeki, nghoahahaaaa. Halapiyuwoooo bebh.
*
20012016
Repost 12052017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top