Beautiful Day
Beautiful Day
Se Young berdiri di balkon hotel tempatnya dan Iez menginap semalam. Sambil menikmati segelas susu madu, dia kembali mengingat obrolan panjangnya dengan Iez tadi pagi, tepat setelah mereka bangun dari tidur.
“Apa yang kamu ketahui tentang Yesha?”
Begitulah Iez dan itulah yang disukai Se Young dari Iez. Perempuan di depannya itu selalu menjadi lebih sensitif jika membahas tentang hal yang ia sukai—Yesha—seolah Yesha adalah dunianya sendiri.
“Geunyang!” jawab Park Se Young malas-malasan.
“Mwosun geunyang?” ucapnya dengan nada sedikit ditinggikan. Lipatan dahinya terlihat. Se Young tahu jika kekasihnya ini sedang dalam masa ‘kepo’ akut.
Se Young mengangkat tubuhnya dari kasur, bersila di atas ranjang dan meninggalkan Iez yang masih bergelung dengan selimut. “Jangan mengganggunya. Dia sedang menyukai seseorang.”
“Dia bilang apa?” Iez turut bangun, duduk di samping Se Young. Masih dengan selimutnya.
“Semuanya. Tentangnya yang suka mata coklat CEO Kim, tentangnya yang lebih suka tatapan dingin CEO Kim, tentangnya yang selalu menyukai aroma CEO Kim.” Se Young tersenyum, teringat akan ucapan yang dilontarkan Yesha padanya beberapa bulan yang lalu.
“Apa lagi?”
“Tentangnya yang tidak diatur oleh CEO Kim, tentangnya yang tidak pernah diprotes meskipun masakannya tidak enak, tentangnya yang selalu menyuruh anak buahnya untuk menjaga CEO Kim. Ingat saat aku liburan di pulau Jeju beberapa bulan yang lalu?”
Iez mengangguk antusias. Membicarakan Yesha sama artinya dengan menjaga perempuan itu dari bahaya. Jadi kali ini, dia harus tahu apa pun itu.
“Seperti yang kamu katakan sebelumnya, Yesha adalah teman yang sangat menyenangkan. Dia bersosialisasi dengan baik, bahkan dengan nenekku.” Se Young mengangkat sudut bibirnya, membayangkan bagaimana Yesha yang dengan semangat mengurus neneknya. “Tapi dibalik keceriaannya, dia menangis.”
Di bawah naungan langit gelap, dia duduk di sebuah meja panjang di taman belakang rumah milik keluarga Park. Perempuan itu memeluk erat lututnya dan menyandarkan kepalanya di lutut. Isak tangisnya terdengar, tidak meraung, dia hanya menangis dalam diam yang dia usahakan.
“Yesha.”
Park Se Young sadar akan panggilan pelannya tidak mampu didengar oleh Yesha, itu sebabnya ia memilih untuk duduk di samping si perempuan. Memutuskan untuk membiarkannya menangis.
“Apa kamu tidak bisa berbagi?” Di saat semua kesedihan itu mulai mereda, Se Young berucap. Dia melihat Yesha mengusap air matanya lalu berbalik menatap si pemilik suara.
“Apa aku harus berbagi?”
Se Young mengernyit aneh. Bukankah kita harus berbagi untuk mengeluarkan emosi kita? Meskipun tidak mendapat solusi, setidaknya kita merasa lega. Begitu pendapatnya, tapi bagaimana dengan pendapat Yesha?
Yesha menghela napas pelan, tapi masih mampu untuk dilihat oleh Se Young. Saat itu dia tahu, jika Yesha memang orang yang memiliki banyak beban rahasia di pundaknya.
“Aku punya dua mawar.” Dia memulai ceritanya. Bukan! Lebih tepatnya, dia menyuruh Se Young untuk memilih. “Ada mawar merah dan mawar putih, kamu pilih yang mana?”
Sekali lagi, idola Korea itu mengernyit, lalu menatapnya bingung.
“Pilih saja, aku akan menceritakan keduanya.”
“Mawar putih.” Se Young memilih asal. Yang dia tahu, Yesha menyukai semua jenis mawar. Jadi apa pun pilihannya, dua hal itu berarti untuk Yesha.
“Aku dan orangtuaku tidak memiliki hubungan yang baik seperti kalian.”
Se Young tersentak. Satu kalimat yang benar-benar tidak memerlukan waktu untuk dimengerti. Bukan seperti Yesha. Biasanya dia akan berbicara dengan kata-kata aneh untuk mengungkapkan perasaannya, tapi sekarang….
“Aku iri dengan kalian!” ucapnya tanpa emosi, mata indah Yesha menatap hamparan langit luas. “Ibumu membuatkan dan mengajariku memasak … tapi ibuku tidak pernah melakukannya untukku.” Yesha diam. Digigitnya bibir bawanya, tanda bahwa ia menahan emosi yang bergejolak besar di dalam diri.
“Ah!” Dia membuang napasnya dengan berat. “Aku pikir aku menyukai seseorang.”
Sekali lagi, Park Se Young tersentak. Dia menatap dalam mata Yesha dari sisi kiri. Yesha benar-benar aneh malam ini.
“Kim Chan Ha?”
“Kamu sudah tahu?”
“Em … apa kamu sudah mengatakannya, tentang perasaanmuu?”
Dia menggeleng pelan. “Aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku secara langsung. Dia bertahan denganku walaupun kami tidak saling bicara saat bersama, dia membiarkanku melakukan apa pun yang aku mau dan dia membiarkan aku mengacak-acak ruangan pribadinya.”
Se Young mengerut. Ini aneh. Terlalu aneh. “Sepertinya otak kamu benar-benar tidak beres. Bagaimana caranya kamu menyukai seseorang yang tidak peduli pada kamu?”
“Karena hanya dia yang bertahan denganku.”
Dia kenapa? Apa yang terjadi sama dia?
“Se Young-ah, aku punya banyak rahasia dan kalau rahasia itu terbongkar beberapa orang akan terluka. Bisa kamu menjaga salah satu rahasiaku?” ucapnya sambil tersenyum manis. Hilang sudah raut gundah dan kesedihan yang tadi menghiasi wajah putihnya.
“Rahasia apa?”
Sejenak Se Young terdiam, menyadari satu hal. Dia menyimpan rahasianya demi menjaga orang lain dan harus kehilangan kebahagiaannya.
Kebahagiaan? Lihatlah wajahnya! Tidak ada sedikitpun kebahagian di wajahnya, tidak ada! Tapi kenapa sebelumnya dia selalu terlihat bahagia dan menebarkan kebahagiaannya pada orang lain?
“Rahasiakan hal yang kita bicarakan malam ini, dari siapapun.”
Yesha tersenyum. Dia memohon. Terlihat jelas dari matanya. “Ya! Aku akan merahasiakannya dan hubungi aku kalau kamu ingin berbagi.”
“Aku juga menyukaimu, Park Se Young.”
“Huh?”
“Kamu nomer dua,” ucapnya tanpa menghilangkan senyum khas seorang Yesha.
*
Mendapatkan pemandangan indah setelah bangun dari tidur nyenyak memang menjadi keberuntungan bagi Yesha. Ya! Dia bisa menikmati wajah indah itu sekarang, tanpa harus menahan perasaan.
Yesha melepaskan pelukannya dari pinggang Chan Ha lalu mengusap lembut alis tebal milik Chan Ha. “Kenapa dia punya bulu mata sepanjang ini?” Perlahan tangannya berpindah ke bulu mata sang suami dan bermain di sana.
“Itu geli.”
Suara Kim Chan Ha menyadarkan lamunan Yesha, dengan cepat dia menjauhkan tangannya dari wajah Chan Ha. Yesha merona. Dia baru melakukan hal ini untuk pertama kalinya dan dia … tertangkap basah. “Lo udah bangun?”
Chan Ha hanya menjawab dengan geraman halus lalu mengeratkan pelukannya.
“Kenapa lo masih merem?”
“Lo pasti malu kalo gue ngeliat muka lo yang udah blushing gitu,” jawabnya singkat, tapi tepat pada sasaran.
“Gue nggak blushing!”
“Lo blushing. Mending lo mandi sekarang deh, dari pada gue harus melakukan hal yang mungkin bisa membuat kita terlambat turun ke bawah.”
Ucapan Chan Ha kali ini bukan hanya berhasil membuat wajahnya semakin memerah, tapi juga sukses membuatnya melonjak bangun dan berlari ke kamar mandi. Chan Ha membuka matanya dan terkekeh senang setelah berhasil membuat Yesha salah tingkah.
*
“Ada apa dengan ekspresi kalian?” tegur Presdir Kim.
Kim Chan Ha hanya menatap ayahnya datar, sementara Yesha sudah menjadi kepiting rebus. Perempuan itu malu. Ayolah. Rencana kedua mertuanya sukses dan hal tersebut sangat tidak elit dijadikan sebagai bahan ejekan mereka.
“Lebih baik menanyakannya pada Yesha. Kita tidak akan mendapat jawaban akurat dari Chan Ha,” usul Bu Emelin. Presdir Kim mengangguk setuju. “Jadi?”
Yesha membulatkan matanya dan terus menyuap sarapannya tanpa menoleh pada Presdir Kim maupun Bu Emelin.
“Apa kalian sudah baikan?” sambung Presdir Kim.
Sontak saja Yesha terbatuk sup yang masih ada di mulutnya. Dengan sikap ogah-ogahan Chan Ha menepuk-nepuk pundak Yesha, hal itu tentu saja membuat orangtuanya menyeracau tidak jelas.
“Kami sudah baikan,” jawab Chan Ha sambil menjauhkan tangannya dari pundak Yesha. “Jadi, kami boleh kembali ke apartemen, ‘kan?” Dia mengambil alih pembicaraan, tahu jika dia terus diam yang ada Yesha akan matang karena malu.
“Tentu saja—” Bu Emelin menggantung kalimatnya sambil menatap Chan Ha dan Yesha bergantian, “tidak!”
“Kalian boleh kembali minggu depan,” sela Presdir Kim. Setidaknya dua anaknya sudah berbaikan. Hal itu cukup untuk membuat masa depan keluarganya menjadi lebih baik.
Chan Ha mendengus kesal. “Kita harus bertahan di sini seminggu lagi. bersabarlah, Yesha.”
Presdir Kim dan Bu Emelin tertawa ringan melihat tanggapan Kim Chan Ha. Mereka hanya ingin memastikan kalau anaknya benar-benar sudah berbaikan. Melihat mereka yang saling tidak membutuhkan dan seenaknya sendiri membuat Presdir Kim dan Bu Emelin tidak nyaman.
Hubungan suami istri bukan seperti ini. Itu kata mereka.
Suami istri itu harus saling membutuhkan dan menjaga keharmonisan rumah tangga, bukannya seperti dua musuh yang sedang perang dingin.
Chan Ha berdiri dan mengambil jas yang tadi disampirkannya di kursi. “Aku tidak makan malam di rumah malam ini.”
Ucapan Chan Ha membuat Presdir Kim dan Bu Emelin naik darah seketika. Sudah baikan apanya? Mereka meragukan perdamaian dua umat.
“Yes, aku jemput kamu jam lima, kita dinner di luar.” Chan Ha keluar tanpa peduli efek dari ucapannya.
Efek dari ucapannya? Setelah naik darah seketika diucapannya yang pertama, maka Presdir Kim dan Bu Emelin mendapat serangan jantung setelah ucapan Chan Ha yang kedua. Tanpa dikomandoi tatapan mereka langsung beralih pada Yesha.
“Eomma, appa. Nae molla. Keumanhae jebal,” protes Yesha dengan wajah yang semakin matang.
*
Mereka tiba di sebuah restoran berbintang di pusat kota Seoul dan sekarang mereka diantar menuju ruangan VVIP pesanan Chan Ha. Mudah saja bagi Chan Ha untuk mengurus hal seperti ini, dia hanya perlu mengangkat telepon di kantornya dan memesan ruangan romantis seperti yang sekarang dilihat oleh Yesha.
Ruangan yang tidak terlalu besar namun tidak juga kecil, pas. Dinding-dindingnya berwarna putih yang dihiasi ukiran-ukiran abstrak berwarna emas di sudut-sudutnya. Di tengah ruangan itu ada meja bulat dan dua kursi berwarna coklat kayu.
Chan Ha mempersilahkan Yesha untuk duduk di kursi yang sudah sedikit dimundurkannya. Dengan senyum senang, Yesha duduk di kursi tersebut. Menikmati setiap sikap manis yang diberikan oleh Chan Ha padanya.
“Apa kamu begitu menyukainya?” Chan Ha memecah kesunyian yang sedari tadi menggerogoti ruangan itu.
Yesha kembali melebarkan senyumnya. Dia menyukainya. “Em, aku suka.” Semburat merah di pipi Yesha tak dapat lagi ia hindari. Dia menyukainya.
“Ini nggak romantis-romantis banget, kok lo seneng banget gitu?” Chan Ha menyeruput white wine miliknya, senyum Yesha menular pada Kim Chan Ha.
“Ini yang pertama buat gue.”
“Pertama?”
Yesha mengangguk. “Dulu gue nggak punya waktu buat kencan sama orang yang gue suka.”
“Bagus deh!” ujarnya ketus sambil menahan senyum. Dalam hati Chan Ha bersorak, dia adalah yang pertama.
Hanya sampai situ obrolan singkat mereka sebelum digerogoti oleh kesunyian. Canggung. Ini pertama kalinya untuk Yesha dan ini diluar prediksi kehidupan Kim Chan Ha.
Kim Chan Ha berdehem. Bersikap seolah dia bisa mencairkan suasana sunyi tersebut. “Mau ikut gue?”
“Kemana?” Pertanyaan Yesha dijawab dengan sebuah tarikan menuju balkon ruangan yang mereka tempati.
“Whoaaa!” seru Yesha saat dia mendapat terpaan angin sejuk dan pemandangan yang lebih indah dibanding saat mereka melihatnya dari dalam ruangan.
“Yes!” panggil Chan Ha.
Yesha menoleh. Tak dapat ditutupi lagi kalau wajah Chan Ha sekarang benar-benar terlihat sedikit kacau, bingung, dan gugup. Yesha mengerutkan dahi, takut jika laki-laki di depannya merasa tidak nyaman. “Kenapa lo? Sakit?”
“Loe tahu, ’kan kalo gue nggak bisa romantis?” ucap Chan Ha tanpa menjawab pertanyaan Yesha.
“Emang, keliatan!” timpal Yesha. Dia berbohong. Sebenarnya semua yang diberikan Kim Chan Ha padanya saat ini sudah sangat romantis untuk seorang Yesha.
Kim Chan Ha menundukkan pandangannya. Tangan kanannya mulai meraba pagar pembatas balkon. Yesha semakin heran melihat Chan Ha yang tidak melanjutkan ucapannya. “Woi, sakit lo?”
Seketika setelah Yesha berucap, puluhan balon berwarna putih sudah ada di atas kepala mereka dan sebuah cincin berlian terikat di tali yang di pegang oleh Chan Ha. Yesha hampir saja terjatuh kalau saja tangan kiri Chan Ha tidak memeganginya, kakinya benar-benar lemas sekarang.
“Will you marry me?” ucap Chan Ha tanpa keraguan sedikitpun.
Yesha tak bisa mengucapkan apapun, bibirnya bergetar dan pipinya, tentu saja sedang terbakar.
“Hei, jawab! Gue tahu kalau ini nggak banget, tapi seenggaknya gue udah nyoba,” ucap Chan Ha sambil menepuk lembut pipi Yesha.
“Bukannya kita udah nikah?”
Chan Ha terkekeh lembut. Yesha terlalu polos. “Kita emang udah nikah, tapi gue belum pernah ngelamar elo.”
Yesha kembali diam. Kamus bahasa yang ada di otaknya sudah terbakar oleh rasa bahagia.
“Jadi?”
Yesha mengangguk pelan. “Gue mau!”
Senyum lebar menghiasi wajah tampan Chan Ha. Pengorbanannya tidak sia-sia. “Boleh gue pasangin cincinnya?”
“Ya.”
Kim Chan Ha memberikan tali balon yang tadi mengikat cincin di tangannya pada Yesha. Dengan degup jantung yang tidak lagi terkontrol, Chan Ha menempatkan cincin tersebut pada jadi manis lain milik Yesha.
“Boleh gue cium?” Chan Ha berucap untuk mengembalikan kesadaran Yesha dari lamunannya.
Untuk kali kedua Yesha hampir terjatuh, hal itu membuat Chan Ha tertawa kecil. Chan Ha menipiskan jarak tubuhnya pada Yesha. “Awas balonnya jangan sampe lepas!” Chan Ha memperingatkan.
*
Taudahhhh....
*
18112015
Repost 21042017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top