Aku Menyukainya
Aku menyukainya
Satu keluarga itu duduk di ruang keluarga setelah acara makan malam. Hal yang sangat ditekankan oleh Bu Emelin dan menjadi kewajiban mereka selama beberapa minggu tinggal di rumah Presdir Kim.
“Bagaimana dengan tender proyek terbaru di Manila?” tanya Presdir Kim. Memang dia sudah melepas semua pekerjaan kantornya, tapi dia masih merasa wajib mengetahui bagaimana perusahaannya berjalan saat ini.
“Aku rasa akan susah,” jawab Chan Ha seadanya. Tender kali ini terasa berat untuk dimenangkan, ada satu perusahaan yang kemungkinan besar menjadi penghalang Chan Group dengan proyek ini.
Yesha meletakkan teh yang baru dibuatnya dari dapur ke hadapan keluarga Kim. Menyuguhkannya satu persatu dengan tata karma yang baik, lalu ikut duduk di samping Kim Chan Ha.
“Kenapa?” Bu Emelin ikut bicara. Hidup bersama pria yang mengabdikan diri dalam dunia bisnis selama lebih dari dua puluh tahun, membuatnya sedikit mengerti mengenai urusan perusahaan.
“Dyne Corporation juga menjadi salah satu pelelang, kita akan merugikan diri sendiri jika ikut pelelangan itu.”
Presdir Kim membuang napas berat, paham benar dengan apa yang dimaksudkan oleh sang anak. “Dia melakukan berbagai cara untuk menang.”
“Ya.” Chan Ha membenarkan. Perusahaan yang menjadi saingannya kali ini adalah perusahaan besar, namun perusahaan yang besar dengan kelakuan kotor seperti mereka, tidaklah patut untuk menjadi kebanggaan. “Sialnya mereka selalu berhasil menyapu bersih kotorannya tanpa diketahui orang lain.”
“Memangnya, apa yang mereka lakukan?” tanya Bu Emelin, tak paham dengan arah obrolan anak ayah itu.
“Mereka melakukan segala cara untuk memenangkan tender. Entah itu mencuri strategi perusahaan lain, melakukan kekerasan, sampai mengancam panitia penyelenggara. Demi kemenangan, mereka melakukan banyak hal.”
“Apa kamu punya saksi?” Yesha yang sedari tadi diam dan menonton acara televisi, mulai ikut dalam obrolan bisnis itu.
Chan Ha menoleh sekilas pada Yesha, heran karena perempuan itu mendengarkan pembahasannya. “Beberapa kali aku mengutus seseorang untuk mengikutinya dan aku punya buktinya, setelah dia memenagkan lelang maka semuanya jejaknya hilang.”
“Bagaimana dengan bukti yang kamu miliki?” sambar Presdir Kim. Teh yang tadi dibuatkan oleh Yesha perlahan habis dia minum.
“Aku masih memilikinya.”
Yesha tak acuh, dia kembali memperhatikan acara televisi, tidak berminat untuk kembali menyahut.
*
“Cari semua sepak terjangnya selama di perusahaan, gue mau datanya sudah ada besok.” Yesha menahan amarahnya, dia tidak bisa berteriak dan menggeram sesuka hati di rumah ini. Rahasianya harus tetap menjadi rahasia. Kim Chan Ha, Presdir Kim, Bu Emelin, atau siapa pun itu, mereka tidak boleh tahu siapa Yesha yang sebenarnya.
“Dan suruh elo, temuin gue di Seoul besok,” ucapnya lagi sambil menurunkan nada bicaranya.
Yesha keluar dari toilet dan segera menghempaskan tubuhnya di kasur. Seharian jalan-jalan mengelilingi beberapa tempat di Seoul membuatnya agak lelah. Belum lagi dia lelap menuju alam mimpi, Yesha merasakan ada pergerakan di kasurnya membuat perempuan itu membuka mata. Dia memandang pekat ke dalam mata laki-laki yang ada di depan sekarang.
“Kenapa?”
“Kenapa loe jadi nggak punya ekspresi kalo ngomong sama orang lain?” Tak melepaskan perhatiannya pada sosok Kim Chan Ha, Yesha bangun dari posisi tidurnya, lalu bersandar pada punggung kasur.
Chan Ha mengernyitkan dahi, kemudian dengan cepat mendatarkan ekspresinya. “Lo ngejek gue?”
“Tch! Gue cuma nanya kali.”
Chan Ha hanya diam dan lebih memilih untuk memejamkan mata, dia butuh istirahat setelah bekerja seharian.
“Lo mau denger pendapat gue?” Yesha mencondongkan tubuhnya, mendekati wajah Chan Ha yang terlihat sangat kelelahan.
Dia menyentuh dahi Chan Ha pelan dan menggerakkan jari telunjuknya. “Di sini, ada jutaan kata yang nggak bisa diucapin.”
“Di sini,” Yesha menurunkan sentuhannya ke mata Chan Ha, “ada jutaan ekspresi yang ditutupi iris cokelat.”
Laki-laki itu menepis tangan Yesha. “Lo ngomong apa?” ucapnya setelah menatap tajam pada sang istri.
Yesha tersenyum, tangannya yang tadi menggantung di udara kembali bergerak menuju wajah Chan Ha. “Di bibir ini…,” ucapannya menggantung. Sejenak dia diam, mengusap bibir bawah Chan Ha yang sedari tadi dipandangnya. “Selalu bertingkah sok kuat buat nutupin masalahnya.”
Kim Chan Ha membulatkan mata, ada setitik kekesalan di dalam sana saat mendengar penuturan sok tahu perempuan di depannya.
“Tch! Pengecut!” gumam Yesha.
Chan Ha mendelik, kesal dengan penghinaan secara langsung dari Yesha. Namun belum sempat ia membalas ucapan Yesha, sebuah tubrukan kuat menimpa tubuhnya. Yesha menindih tubuh Kim Chan Ha dan menikmati bibir tanpa aba-aba.
*
Bu Emelin sedang menyiapkan sarapan pagi bersama seorang asisten rumah tangga yang sudah mengabdi pada mereka sejak Chan Ha kecil. Dari jauh, terdengar langkah kaki tergesa-gesa dan berlari ke arah dapur.
“Eomma, mianhae. Aku kesiangan.”
“Nggak apa-apa!” sahut Bu Emelin sambil memasukkan beberapa bumbu ke sup yang dimasaknya. Yesha segera menyiapkan peralatan makan di meja yang tak jauh dari Bu Emelin dan Jang Ahjumma berada.
“Apa yang kamu lakukan tadi malam hingga kamu kesiangan?” Tanpa menoleh Bu Emelin bertanya dengan nada berpura-pura tidak tahu, padahal dia sudah mencurigai sesuatu dari beberapa bercak merah di bawah leher Yesha.
“Huh?” Yesha berhenti melakukan kegiatannya dan memandang Bu Emelin.
“Apa kamu tidur dengannya?” tanyanya frontal.
“Ne?” Kali ini Yesha memelototkan matanya. “Maksudnya?”
Bu Emelin terkekeh kecil bersama Jang Ahjumma ketika melihat ekspresi terkejut Yesha. “Kalian belum melakukannya?”
“Eomma!” rengek Yesha sesaat setelah ia sadar ke arah mana obrolan pagi hari ini bermuara.
“Sepertinya itu benar.”
Yesha menghampiri Bu Emelin untuk memeluknya, agar mertuanya itu berhenti menggodanya. “Aku malu, jangan bertanya lagi.”
“Apa kamu nggak merayu dia?”
“Eomma, hajima!”
Bu Emelin tertawa, bahkan Jang Ahjumma tidak bisa menutupi tawanya dan berakhir bersama Bu Emelin.
“Apa yang kalian lakukan? Sepertinya ada yang aku lewatkan pagi ini.” Presdir Kim menempatkan diri di belakang meja, dia melirik istrinya yang terlihat begitu senang, sedangkan menantunya tengah cemberut.
“Yesha…,” ucap Bu Emelin di sela tawanya.
“Eomma, jebal!”
“Yesha kenapa?” sambar Kim Chan Ha, dia heran kenapa pagi buta seperti ini dapur sudah terlalu ramai, tidak seperti biasanya.
“Tidak! Dia hanya mengajakku jalan-jalan.” Bu Emelin mengedipkan mata pada Yesha, kedipan yang bermakna ambigu.
*
“Lo nggak tahu?” Yesha mengetuk-ngetuk berkas yang ada di depannya dengan ujung jari.
Yesha dan Iez memang sudah janjian akan bertemu di sebuah kafe di dekat rumah orangtua Chan Ha. Setelah suaminya berangkat bekerja, dia meminta izin untuk bertemu seseorang di luar pada kedua orangtua Kim Chan Ha.
“Aku kecolongan, seingatku aku selalu dapat kerjaan mendadak setiap memeriksa berkas dari dia,” jelas Iez. “Aku memeriksanya tadi malam dan skandal dia emang cocok sama kerjaan mendadakku.”
“Lo nggak ngawasin dia?” Nada bicara Yesha mulai meninggi. “Gue ngasih lo kepercayaan supaya lo bisa ngawasin mereka, tapi?”
“Bukannya kamu yang ngawasin dia, dia itu direktur perusahaan. Aku hanya ngecek pekerjaan besar dia, aku pikir dia tanggung jawabmu.”
“Nggak! Dia bawahan lo. Gue cuma ngawasin orang-orang penting buat gue dan dia tidak termasuk.”
Iez diam dalam pikirannya. Dia memang menyukai pekerjaannya saat ini, sangat. Namun … haruskah perempuan di depannya sekarang memberikan pekerjaan sebanyak ini padanya?
“Pecat dia!”
“Tapi mereka punya lelang proyek di Manila dan dari proyek itu kita akan mendapat untung yang besar. Mereka sudah menyusun strategi luar biasa untuk proyek itu, kamu masih mau memecatnya?”
“Ah! Biarin dia ikut lelang itu.” Mendadak Yesha berubah pikiran. Ucapannya yang tadi bernada tinggi berubah halus. Dia meminum minumannya, lalu kembali berkata, “Awasi dia, ikuti semua pergerakan dia, kumpulin semua bukti tentang korupsi yang dia lakukan. Kita akan melakukan pembersihan setelah pelelangan proyek ini selesai.”
“Jangan sampai lupa untuk memeriksa semua transaksi yang pernah dia lakukan, dia pasti memiliki akun palsu, dan cari tau siapa aja yang terlibat.”
“Yes!” Iez menggenggam tangan kiri Yesha. Suaranya saat ini bukan suara seorang Yesha yang ia kenal, ini adalah suara ketakutan Yesha.
“Selidiki orang-orang yang akan menggantikan posisi dia dan anak buahnya. Jangan sampai gerakan kita diketahui mereka.” Wajah Yesha mulai memerah, nada bicaranya sedari tadi sudah gemetar. Iez sudah terbiasa menghadapi keadaan Yesha, dia berdiri dan memeluknya. Berharap dengan begitu Yesha bisa merasa tenang.
Yesha, tidak menyukai seorang pengkhianat, Iez tahu. Mungkin salah satu penyebabnya adalah orang yang dulu pernah mencelakainya, ditambah beberapa hal yang Yesha alami selama sekolah di tempat berbeda dari Iez.
“Jadi, apa yang udah kamu lakuin sama Chan Ha selama tinggal di rumah mertua kamu?” tanya Iez setelah Yesha mulai tenang.
Yesha hanya menggeleng, tak mau menjawab.
“Jangan boong.”
“XO!” jawabnya sambil menundukkan wajah.
Iez mengusap dahinya, merasa heran dengan kelakuan temannya ini. “Apa sih yang kamu lakuin, ini udah setengah taun kamu nikah sama dia?”
“Dia nggak berusaha cari tau tentang gue,” jawabnya pelan.
Kali ini Iez yang ingin mencekik Yesha. Perempuan ini seperti memiliki keperibadian ganda, kadang sangat detil, kadang sok tidak peka. “Dia udah nguntit kamu selama setengah taun, nggak usaha apanya?”
“Cuman nguntit doang, lo kira berapa banyak info yang elo dapet dari nguntit?”
“Serah kamu deh.” Iez menyeruput kopinya frustasi, menyerah dengan kelakuan Yesha.
“Yez!” panggilnya dengan raut bimbang.
“Em.”
“Yez!” Wajahnya mulai memelas, seolah sudah berkata ingin itu, padahal dia hanya memanggil nama Iez berulang kali.
“Em.”
“Gue…,” Yesha menundukkan wajahnya, berharap kalau rona merah di sana tidak nampak oleh Iez, “gue rasa gue menyukai orang lain.”
“Em? Siapa?”
“Park Se Young.”
*
“Apa kita akan mengikuti lelang proyek itu?” tanya Kyung Hyun saat mereka rapat di ruangan Chan Ha.
“Mereka saingan yang berat, yang ada kita akan mengalami kerugian,” sela Joon Dae.
“Kapan penyerahan berkasnya?” tanya Chan Ha tanpa menjawab pertanyaan mereka.
“Lusa,” jawab Direktur Han Tae Ji.
“Ada beberapa hal yang harus kupastikan terlebih dahulu, aku akan menghubungi kalian besok. Siapkan saja berkasnya, aku berniat mengikuti lelang itu, aku hanya ingin memastikan sesuatu.”
Rapat singkat itu berakhir ketika ponsel Chan Ha berbunyi dan para bawahannya memutuskan untuk kembali ke ruang kerja mereka masin-masing.
“Ya!”
“Aku menemukannya,” suara Sintia masih terdengar cempreng, apalagi saat perempuan itu bicara dengan nada bersemangat.
“Jadi?” Chan Ha menaikkan sebelah kakinya ke atas kaki kirinya, lalu bersandar di punggung sofa.
“Namanya Xavier Paris, dia bekerja di Cloe Soft&Ventures. Berkeluargaan Perancis dan sekarang tinggal di London.”
“Kirimkan datanya padaku.”
“Adegan perentasan waktu itu dia yang melakukannya. Ku tidak tahu bagaimana, yang pasti dia juga merentas komputerku dan berakhir mengenaskan. Kamu harus membayarku dua kali lipat atas informasi ini.”
“Ya. Sekarang kirim file-nya.”
“Tentang Dyne Corporation aku mendapat kabar kalau ada gejolak di perusahaan itu, mungkin hanya beberapa orang yang mengetahuinya jadi ini belum bisa dipastikan seratus persen.”
*
Yeah. Hari ini dabel apdet sama cerita baru di lapak sebelah. Moga entar malem kerasukan setan rajin dan bisa tripel apdet, eaaak. Selamat membaca. Jangan lupa baca cerita satunya lagi di sebelah😂😂😂tangkyu.
P.S. dd kehabisan stok poto yesha😭😭
*
14112015
Repost 10042017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top