SATU PINTANYA
Bulan berganti, tak terasa 3 bulan terlewati tanpa lagi mendengar kabar dari Felic. Al ingin melupakannya dan fokus memberi perhatian pada Liza, tapi yang terjadi, semakin dia berusaha melupakan, semakin tersiksa batinnya. Bayangan Felic setiap saat muncul, apalagi ketika dia sedang memejamkan mata.
"Al," panggil Liza saat melihat Al lewat depan kamarnya.
Al pun berhenti, dia menoleh ke kamar Liza.
"Kamu butuh sesuatu?" tanya Al membuka pintu kamar Liza yang tadinya hanya terbuka setengah.
Liza turun dari tempat tidurnya lalu mendekati Al.
"Ini." Liza memberikan sesuatu pada Al.
"Apa ini?" tanya Al membolak-balikan benda yang dia terima dari Liza.
"Happy birthday," ucap Liza.
Senyum tipis tersungging dari bibir Al, saking banyaknya pikiran, Al lupa jika hari ini ulang tahunnya.
"Makasih, ya? Aku saja lupa."
"Kamu sih, terlalu sibuk mikirin ...."
"Sudah deh, Liz. Jangan membahas itu lagi," putus Al menyela ucapan Liza sebelum dia selesai.
"Iya, maaf-maaf," ucapnya lalu ke luar kamar dan duduk di sofa.
Al mengikutinya duduk di sofa samping Liza.
"Al, kamu nggak kangen sama dia? Secara kalian sekarang sudah lost contacts," tanya Liza santai memerhatikan wajah Al yang terlihat tidak bersemangat.
"Kenapa sih, kamu selalu bahas dia? Aku sudah melupakannya," ujar Al kesal karena Liza selalu saja membahas Felic saat mereka bersama.
"Penasaran saja sih, aku, Al. Masa sih kamu secepat itu menghapus dan melupakannya?"
"Sudah, ya, Liz. Jangan bahasa-bahasa dia lagi," pinta Al.
Liza terdiam, dia menyibukkan diri membalas chat dari Hermawan.
"Kamu kapan beli jam tangan ini?" tanya Al setelah membuka kado dari Liza.
"Kemarin, sekalian nganterin Hermawan cari jam tangan," jawab Liza tak acuh pada Al karena dia fokus membalas chating dari Hermawan.
"Kamu pacaran, ya, sama Dokter Hermawan?"
Dengan cepat Liza menurunkan ponsel dari tangannya. Lantas dia menatap wajah Al yang sedang menanti jawabannya.
"Aku sama dia sudah temenan sejak SMA, Al. Toh dia curhat sama aku, katanya lagi suka sama cewek. Tapi, sampai sekarang dia nggak berani ngungkapinnya."
"Kenapa?"
"Nggak tahu, katanya takut ditolak."
"Memangnya dia belum pernah pacaran selama ini?"
Liza menggelengkan kepala, "Nggak tahu. Waktu SMA dia tuh culun dan nggak banyak teman. Cuma aku yang mau main sama dia. Saat di sekolahan dulu, kegiatan dia cuma membaca, kadang pas jam istirahat ke perpustakaan sampai jam masuk, pokoknya kutu buku banget deh!"
"Oh, jadi dulu pas SMA teman kamu bukan cuma aku dong?"
"Iya, kalau di sekolah mainnya sama Hermawan, tapi di rumah sama kamu. Sayang, setelah lulus SMA dia menghilang, jadi cuma kamu satu-satunya temanku."
"Oh, gitu?"
"Huum. Oh, iya, Al, kita nanti malam makan di luar yuk! Hitung-hitung merayakan ulang tahun kamu, traktirlah aku di restoran mana gitu! Masa sih ulang tahun diem di rumah?"
"Emangnya kamu mau maka di mana?"
"Mmm ...." Liza berpikir, "Restoran Candi Songo boleh juga! Kangen, pengin makan sup shanghai-nya."
"Iya sudah, nanti malam kita ke sana."
"Oke." Liza mengacungkan ibu jari ke arah Al.
***
Pukul 19.00 WIB, Liza dan Al keluar dari rumah. Penampilan mereka biasa saja, tak ada yang terlihat formal. Malah terkesan santai dan seperti orang pada umumnya yang ingin makan malam.
Setelah hampir 40 menit melajukan mobilnya di jalan raya, kini Al memarkirkan mobil di tempat parkir Restoran Candi Songo.
"Al, kamu cari tempat duduk dulu, aku mau ke toilet sebentar," ujar Liza langsung menuju toilet restoran itu.
Sampainya di salah satu meja, Al duduk. Dia memilih-milih makanan di buku menu. Tak berapa lama Liza datang dan duduk di depannya.
"Sudah pesan?" tanya Liza.
"Belum," jawab Al tanpa mengalihkan pandangannya dari buku menu.
Dari spiker restoran terdengar lagu Selamat Ulang Tahun yang dipopulerkan oleh band Jamrud, seorang pelayan membawakan kue ulang tahun untuk Al.
"Selamat ulang tahun," ucap Liza mengambil alih kue yang dibawakan pramusaji itu lantas diarahkan ke depan Al.
Beberapa pengunjung bertepuk tangan dan memandang mereka, Al lalu meniup lilinnya.
"Makasih," ucap Al tersenyum tipis.
"Sama-sama, semoga bahagia selalu, ya?" ucap Liza.
"Aamiin. Kamu kapan nyiapin ini? Tumben?" tanya Al memotong kuenya.
"Jujur, sebenarnya aku tuh nggak punya niat ngasih kamu begini. Tapi, ada seseorang yang bikin status galau di IG-nya."
Al mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
Liza membuka aplikasi Instagram-nya, lantas diperlihatkan pada Al. Dipostingan terbaru tampak terlihat seorang wanita memegang kue ulang tahun lengkap dengan lilin yang menyala. Hanya saja wajahnya sengaja tak diperlihatkan.
Caption tertulis ....
Felicia_diandra Happy birthday yang jauh di sana. Doa dan harapan yang terbaik buat kamu. Bahagia selalu.😊
Dari nama Instagram-nya, Al sudah tahu siapa pemiliknya. karena rasa penasaran, dia pun scroll ke bawah, melihat koleksi foto-fotonya.
Felicia_diandra Kamu bilang, "Akan aku lakukan semuanya untuk bidadariku." Saat itu gombalanmu yang receh bisa bikin hatiku melting.
Tak cukup sampai di situ, Al scroll lagi ke bawah.
Felicia_diandra Memandangmu adalah sesuatu keharusan bagiku
Kaupengalih duniaku
Sedetik saja kutak memandang kamu, rasanya hati gelisah
Menatap senyummu adalah hal terindah dalam hidupku
Mataku tak pernah berkedip dikala wajahmu ada di depan mataku
Kususun benteng hati agar tak ada orang lain masuk
Kulindungi cinta kita dengan kesetiaan dan penantian
"Sudah, mana!" Liza merebut ponselnya dari tangan Al.
"Kamu dapat dari mana akun dia? Aku saja tidak pernah tahu kalau dia selama ini punya Instagram."
"Carilah! Baru juga kok dia main Instagram, aku saja dapat dari Hermawan," jawab Liza tak acuh memasukkan ponselnya di dalam tas.
"Dokter Hermawan?" tanya Al heran.
"Huum, mereka masih saling berhubungan."
"Bukankah nomor dia sudah nggak aktif?"
"Mana aku tahu? Kenyataannya Hermawan masih bisa tuh hubungi Felic. Kamu saja kali yang sengaja melupakan. Makanya, jangan sok bilang nggak lagi cinta, padahal dalam hati masih mengharapkan," cibir Liza.
Al terdiam, terakhir dia menghubungi Felic beberapa bulan lalu saat dia menanyakan tentang kabar risennya. Setelah itu, nomor Felic tidak lagi bisa dihubungi.
"Woiy, Al!" Liza mengagetkan Al, "Malah melamun."
"Maaf," ucap Al lesu.
"Makan!" titah Liza setelah makanan mereka datang.
Fel, apa kamu tidak tahu betapa tersiksanya aku selama ini tanpa mendengar berita tentangmu? Aku pikir kamu sudah melupakanku, ternyata kamu masih mengingat setiap momen yang pernah kita lalui. Batin Al melamun sambil menyuapkan makanan ke mulutnya.
Bibir Liza tersenyum manis saat melihat wajah Al yang tampak seperti memikirkan sesuatu.
Aku harap setelah ini kamu mencari Felic, Al. Aku janji, setelah hubunganmu sama Felic membaik, aku akan melakukan operasi pengangkatan rahim. Ini nazarku, Al. Liza sudah bertekad dalam hati.
Ini salah satu rencananya, padahal akun yang diperlihatkan pada Al bukanlah milik Felic. Itu akun sengaja Liza dan Hermawan buat, Liza mendapatkan koleksi foto Al dan Felic dari laptop Al. Saat Al dinas, Liza sengaja memindahi beberapa foto kebersamaan mereka ke dalam ponselnya.
***
Di tempat lain, tidak ada perubahan dalam hidup Felic. Tidak punya pekerjaan, sehari-hari yang dia lakukan monoton, itu-itu saja tidak aja kemajuan. Marta dan Robi sampai angkat tangan membujuk Felic supaya mau keluar bermain bersama teman-temannya seperti dulu lagi.
Tuk tuk tuk
Pintu kamar Felic terketuk. Dengan malas dia membukakan pintu.
"Ada apa, Ma?" tanya Felic lesu.
"Mama sama Papa mau pergi dulu, kamu mau ikut?" tawar Marta.
"Nggak, males, Ma," tolak Felic lalu kembali berbaring di tempat tidur.
Marta menghela panas dalam, dia masuk ke kamar dan duduk di samping Felic berbaring.
"Sampai kapan kamu begini terus? Hidup masih terus berjalan, kamu jangan patah semangat gini dong?" bujuk Marta yang tidak bosan-bosannya selalu menyemangati Felic.
"Nggak tahulah, Ma. Rencana masa depanku abu-abu, lenyap bersama cintaku."
Lagi-lagi Marta harus menghela napas panjang, mengelus dada menghadapi putrinya yang sekarang ini sedang putus asa.
"Ya sudah, jangan lupa makan, ya?" pesan Marta sebelum pergi dari kamar Felic.
"Iya," jawab Felic tidak merubah posisinya yang meringkuk di atas tempat tidur.
Marta melenggang pergi, meninggalkan Felic sendiri.
Kenapa harus ada cinta, jika akhirnya sakit seperti ini? Kenapa ada cerita jika berakhir sedih? Al, apa kamu sudah melupakanku? Di tengah lamunannya Felic membatin sambil meneteskan air mata.
***
Hari-hari Liza selalu menyusun rencana supaya Al mau mencari Felic. Tapi, selalu saja gagal, Al tetap kukuh pada pendiriannya. Tidak mudah menggoyahkan keputusannya.
"Gagal lagi, Wan," ujar Liza dari ujung telepon.
"Al masih tetap nggak mau cari Felic?" tanya Hermawan yang siang ini masih bertugas di rumah sakit.
"Iya, nggak tahu deh, apa yang ada di pikiran Al. Padahal sudah jelas, aku setiap bareng sama dia membahas Felic. Tapi, dia seperti sok nggak peduli gitu!"
"Terus apa rencanamu selanjutnya?"
"Kapan kamu ada waktu senggang? Minimal 3 harilah!"
"Mau ngapain?"
"Ya... ada deh!"
"Ah, nggak jelas kamu! Mau apa dulu? Entar aku coba atur jadwal."
"Aku mau menjalankan rencana Z."
"Hah?! Rencana Z? Apa itu?"
"Rahasia! Pokonya kamu ngikut saja deh! Atur jadwal kamu, kita jalan-jalan."
"Oke deh, siap! Aku lanjut tugas lagi, ya?"
"Oke, Wan."
Panggilan pun berakhir.
"Semoga kali ini berhasil," gumam Liza, "Setidaknya dengan kembalinya kamu sama Felic, bisa menebus kesalahanku selama ini sama kamu, Al. Jika terjadi sesuatu sama aku, tidak terlalu menyesal dalam hidupku."
Ketika Liza turun dari tempat tidur, perutnya terasa sangat sakit.
"Aw, aw, aw, sssssss." Liza menggigit bibir bawahnya menahan kesakitan itu. "Kebiasaan banget deh kalau mau haid," omel Liza pada dirinya sendiri.
Lantas dia mencari painkiller yang selalu tersedia di laci, bahkan di tas ke mana pun Liza bawa. Liza pun mengambilnya dan meletakkan sebutir obat itu di bawah lidahnya. Bulan demi bulan, tahun demi tahun, nyeri haidnya semakin parah. Apalagi pemeriksaan terakhir mengatakan bahwa Liza menderita anemia kronis. Hemoglobinnya dari bulan ke bulan semakin menurun, yang dulu Hb-nya 8 sekarang menjadi 7.
"Mbak Wiiiin!!!" teriak Liza menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. "Mbaaaak...!"
"Iya, Non." Win bergegas lari ke kamar Liza. "Ya Allah, Non." Ini bukan kali pertama Liza seperti ini, Win sudah sering merawat Liza jika sedang PMS dan kesakitan begini ketika haid.
"Mbak Win, tolong ambil air hangat, ya? Kompres pinggulku, sakit banget," titah Liza.
"Baik, Non." Win pun pergi mencari buli-buli (kompres air panas) yang biasa dia pakai jika Liza mengalami hal seperti saat ini.
Liza menggapai ponselnya yang ada di atas nakas, dia menelepon Hermawan.
"Halo, Wan," sahut Liza cepat begitu Hermawan mengangakat teleponnya.
"Iya, Liz."
"Tolong buatkan janji sama Dokter Riza, ya? Perutku sakit banget nih."
"Oke, nanti aku jemput kamu."
"Nggak usah, kamu tunggu aku di rumah sakit saja. Aku habis ini mau ke sana sama Mbak Win."
"Oke, aku buatkan janji sekarang."
"Makasih, ya, Wan."
"Iya, cepetan ke sini, ya? Sudah ditaruh bawah lidah obatnya?"
"Sudah kok, begitu terasa sakit langsung aku taruh. Dah, ya, aku nggak tahan nih!"
"Iya-iya, hati-hati, ya?"
"Huum, makasih."
Setidaknya sekarang ada Hermawan yang selalu sigap dan siaga saat Liza membutuhkan bantuan. Mau menunggu Al pulang? Rasanya tidak mungkin! Al saja pulangnya tidak pasti dan jika menunggunya pulang, Liza bisa mati berdiri. Risiko jadi istri pilot, harus bisa mandiri dan tidak tergantung pada suami.
Liza jarang menghubungi dan mengabari Al jika dia sedang kesakitan seperti ini, takut Al kepikiran dan panik ketika dia sedang bertugas. Makanya, sebisa mungkin Liza berusaha sendiri, apalagi sekarang ada Hermawan, dia bisa meminta bantuannya.
##########
Yang pahlawan ini siapa? Hermawan?😂
Duuuuh, ada, ya, rencana Z?😂 Saking seringnya gagal!
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top