SANDIWARA

Lebih satu minggu Al tidak bisa menghubungi Felic, hatinya tidak keruan. Dia merasa seperti kehilangan separuh napasnya,  apalagi Felic meninggalkannya saat Al merasa benar-benar menemukan sosok wanita yang membuatnya nyaman. Sejak Felic hadir dalam hidup Al, seolah pusat perhatiannya hanya tertuju kepada wanita itu.

"Al," panggil Liza saat dia berjalan tak acuh melewatinya yang sedang membaca buku di ruang tengah. "Mau ke mana?" tanya Liza melihat Al menggenggam kunci mobil.

"Mau keluar sebentar," jawab Al lesu.

"Al, kemarin Mama telepon, kalau kamu libur, kita disuruh datang ke rumah. Ada yang mau Papa bicarakan, penting katanya."

"Ya, kapan mau ke sana?"

"Terserah kamu, kapan saja aku bisa."

"Kamu siap-siap saja dulu, setelah aku kembali, kita langsung ke rumah Mama," ujar Al lantas keluar.

Liza memerhatikan gerak-gerik Al yang tidak seperti biasa, terlihat murung dan sedang banyak masalah.

"Ada apa dia?" gumam Liza lalu pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap.

Sedangkan Al pergi ke apartemen Felic, berkali-kali Al memencet bel apartemennya, namun tidak ada yang menyahut apalagi membukakan pintu. Seseorang mendekati Al.

"Maaf, Pak. Sepertinya Mbak Felic belum pulang. Biasanya kalau pulang sih seminggu tiga atau dua kali," ujar wanita bertubuh sintal tetangga apartemen Felic.

"Oh, begitu? Boleh saya titip sesuatu buat dia?" tanya Al sopan.

"Maaf, saya juga jarang di apartemen. Tapi Anda bisa menitipkan di resepsionis, kalau Mbak Felic datang, pasti akan disampaikan."

"Oke, makasih," ucap Al lantas pergi ke resepsionis.

Setelah menitipkan barang, Al lalu pergi.

Sedikit gontai Al melangkah mendekati mobilnya. Perasaannya kacau, rasanya seperti separuh dari hatinya hilang, pergi meninggalkannya karena dia sendiri tidak bisa memberikan kepastian padahal hatinya ingin memiliki.

Al pulang ke rumah, mungkin istirahat akan membuatnya sedikit tenang.

"Assalamualaikum," sapa Al saat membuka pintu.

"Walaikumsalam," jawab Liza.

Liza menghampiri Al yang masih berdiri di ambang pintu.

"Orang tuaku lagi di sini, mereka katanya mau menginap," bisik Liza.

Liza dan Al sepakat jika di hadapan orang tua, mereka harus terlihat seperti sepasang suami istri yang bahagia.

"Oke."

Sebenarnya Al sedang malas sekali bersandiwara, tapi keadaannya berkata lain. Mereka mendekati orang tua Liza yang duduk di ruang tengah sedang menikmati teh sembari mengobrol. Al menyalami mereka satu per satu tak lupa juga mencium tangannya. Setelah itu ia duduk di sebelah Liza.

"Papa sama Mama sudah lama?" tanya Al basa-basi, dia berusaha bersikap biasa dan sejenak melupakan masalah yang sedang ia hadapi dengan Felic.

"Yaaaa... lumayan. Sudah satu jam yang lalu kami sampai," jawab Fahmi---papa Liza---sembari mengangkat cangkir tehnya.

"Padahal rencananya kami baru akan berangkat ke rumah Papa. Eh, malah kalian udah ke sini duluan," terang Liza.

"Mumpung libur, kami sengaja datang ke sini buat nengokin kalian," sahut Diana---mama Liza---sembari tersenyum manis hingga memperlihatkan kerut di bagian ujung matanya.

"Mama sama Papa sudah makan siang belum? Tadi aku masak ikan goreng sama sayur sup." Liza beranjak dari sofa.

"Wah, kebetulan nih! Papa belum makan," ujar Fahmi mengusap perutnya dengan senyuman lebar.

"Oke deh, aku siapin dulu ya?" Liza lantas pergi ke ruang makan, menyiapkan makan siang dibantu oleh Wiwin.

Sedangkan Al menemani mertuanya mengobrol. Meskipun Al berusaha menepis pikirannya tentang Felic, tapi tidak dapat dipungkiri otaknya tidak bisa berhenti memikirkannya.

Kamu di mana sih, Fel? Aku kangen. Andai saja kamu tahu kebenarannya, apa masih mungkin bisa kita dekat dan jalan bareng? Rasanya mustahil jika kita bisa tetap dekat setelah kamu tahu kebenarannya. Al terus memikirkan Felic meski saat ini yang dia hadapi adalah mertuanya.

Di tengah obrolan mereka, suara panggilan di ponsel Al bunyi.

"Maaf, Ma, Pa," sela Al, "aku angkat telepon dulu."

"Silakan," sahut Fahmi tidak keberatan.

Al lalu beranjak sembari menerima panggilan itu, suara wanita dari seberang sedikit melegakan perasaannya. Dia berjalan ke samping rumah, berdiri di samping kolam renang.

"Masih marah sama aku?" tanya Al dengan debaran jantung yang tak keruan.

"Sedikit," jawab Felic bersuara manja.

"Terus aku harus gimana, biar kamu nggak lagi marah sama aku? Kamu juga sih nggak mau dengerin penjelasanku dulu, kan waktu itu aku belum selesai ngomong, kamu udah baper duluan."

"Udah deh, jangan dibahas lagi masalah itu. Kamu tadi ke apartemenku ya?"

"Huum."

"Aku baru aja sampe apartemen, makasih ya bingkisannya. Kebetulan aku sedang membutuhkan barang ini."

Al tersenyum lebar, dia lega Felic mau menerima barang pemberiannya.

"Iya, aku tahu kok kamu lagi butuh itu. Udah dicoba?"

"Udah kok, pas! Kamu kok tahu sih ukuran pantofelku?"

"Tahu dong.... Apa sih yang aku nggak tahu dari kamu???"

"Isi hatiku," sahut Felic cepat.

"Kalau itu sih, sudah pasti aku nggak akan tahu, kan aku bukan pembaca pikiran dan hati orang."

Terdengar kikihan dari seberang, hati Al menghangat, sepertinya Felic sudah memaafkannya.

"Maaf ya soal yang kemarin? Bukan maksud aku...."

"Udah ah! Jangan dibahas lagi. Mungkin aku yang terlalu baper." Dengan cepat Felic memotong ucapan Al.

"Aaaal!!!" panggil Liza hingga terdengar dari ujung telepon Felic.

Al menoleh, Liza sudah berdiri di ambang pintu.

"Kok ada suara cewek? Aku ganggu ya?" tanya Felic menahan nyeri di hatinya.

"Nggak kok," jawab Al.

"Ayo makan siang dulu! Papa sama Mama sudah nungguin di meja makan," ajak Liza menghampiri Al.

"Ya, kamu duluan saja. Nanti aku susul," ujar Al tanpa menurunkan ponselnya.

Di seberang, hati Felic sudah berkecamuk, pikirannya tidak tenang, cemburu buta memenuhi pikirannya.

"Oke." Liza pun melenggang masuk ke rumah.

"Siapa?" tanya Felic terdengar suaranya yang parau dan lirih.

"Eeeemmm... bukan siapa-siapa. Kenapa? Cemburu?" Al berusaha menggoda Felic dan menutupi kebenaran.

"Nggak!!" jawab Felic ketus.

Dari jawaban itu, Al sudah bisa menebak jika Felic saat ini sedang cemburu.

"Aku nanti malam berangkat dinas, sebelum ke bandara aku mampir ke apartemen kamu ya?"

"Terserah!"

"Ya sudah, kamu bersih-bersih, terus istirahat."

"Ya."

"Assalamualaikum, Nona Jutek."

"Waalaikumsalam."

Panggilan pun terputus, Al tersenyum lebar lalu mengantongi ponselnya. Ia pun lantas masuk ke rumah menghampiri mereka yang ada di ruang makan.

"Sudah teleponnya?" tanya Liza saat melihat Al masuk ke ruang makan.

Al hanya mengangguk lalu menarik kursi di sebalah Liza.

"Penting banget ya? Sampe lama banget ...."  Liza lagi-lagi bertanya sambil mencentongkan nasi ke piring Al.

Susah payah Al menelan ludahnya, sampai kapan dia akan berbohong dan bermain di belakang Liza? Matanya melirik Fahmi dan Diana yang sedang menikmati makan siang.

"Iya. Panggilan dinas untuk nanti malam. Aku akan berangkat lebih awal, soalnya akan ada meeting dengan orang kantor," dusta Al supaya bisa punya waktu luang untuk menemui Felic sebelum dinas terbang.

"Oooh, gitu??? Ya sudah, nanti aku siapkan pakaian kamu ya?" ujar Liza tidak memiliki kecurigaan apa pun.

Biasanya Al selalu menyiapkan keperluannya sendiri, karena ada Fahmi dan Diana, maka Liza bersikap seolah dia adalah istri yang baik untuk Al.

***

Jam di dinding menunjukan pukul 16.40 WIB. Al sedang bersiap-siap memasukkan pakaiannya di koper yang biasa ia bawa dinas. Sedangkan Liza duduk di tepi tempat tidur memerhatikan gerakan tangan Al yang sudah lihai menata pakaiannya di dalam koper.

"Al, tadi Mama tanya lagi soal anak," ujar Liza menunduk sedih.

"Terus kamu jawab apa?" Al menutup kopernya lalu dia turunkan dari atas tempat tidur.

"Aku cuma bilang, 'Sabar dulu, Ma. Belum waktunya dikasih Allah, nanti kalau sudah waktunya, insya Allah kami segera kabari kalian kok' gitu!" jawab Liza lesu memainkan kuku panjangnya yang dikuteki warna merah.

Al duduk di samping Liza, dia mengusap-usap punggung istrinya supaya hati Liza tenang.

"Apa sebaiknya kita katakan sejujurnya pada mereka?" usul Al.

Liza langsung menggenggam tangan Al dan menatapnya sendu.

"Jangan! Aku belum siap melihat mereka sedih dan kecewa. Kebahagiaan mereka sangat berarti buatku. Please," mohon Liza mengiba.

Al menghela napasnya dalam, lalu dia mengangguk menuruti kemauan Liza.

"Makasih ya, Al. Kamu sahabat terbaikku. Kamu sudah banyak berkorban dan selalu membantuku," ucap Liza memeluk Al.

Dalam hati Liza menjerit, dia ingin Al menganggapnya lebih dari sahabat. Liza ingin dianggap istri dan diperlakukan Al selayaknya seorang pendamping hidup, bukan sekadar seorang sahabat.

"Iya, Za. Kamu yang sabar ya? Kita akan menghadapi bersama jika nanti waktunya tiba. Aku akan berusaha selalu membantu kamu." Al melonggarkan pelukan Liza, dia tersenyum manis dan mengelus rambut Liza lembut.

Mata Liza menatap ke dalam manik mata Al, dalam benak Al tersirat sesuatu yang berbeda. Ada yang lain dari tatapan itu, yang biasanya kosong, sekarang seperti terisi sesuatu.

"Oh ya, ada yang kelupaan." Al berlari ke kamar mandi mengambil peralatan mandinya.

Ketika Al berada di dalam kamar mandi, ponselnya yang diletakkan di atas tempat tidur berdenting. Liza menengok, ada satu pesan dari WhatsApp. Liza ingin membuka, tapi sayang, ponselnya terkunci dengan sidik jari Al. Lalu Liza meletakkan kembali ponsel Al di atas kasur. Al keluar kamar mandi menjinjing tas transparan berisi peralatan mandinya, lantas dia masukkan ke dalam koper.

"Ada pesan tuh!" ujar Liza.

Al lalu mengambil ponselnya dan membaca pesan dari Felic. Senyum tersungging dari bibirnya. Liza terus mengawasi ekspresi wajah Al yang tampak bahagia. Setelah membalas pesan dari Felic, Al mengantongi ponselnya.

"Tumben nerima chat aja sampe senyum-senyum begitu?" tanya Liza merasa cemburu dan curiga.

Al hanya terkikih dan menganggap pertanyaan Liza hanyalah candaan.

***

Sebelum berangkat ke bandara, Al membelokkan mobilnya ke apartemen Felic. Hatinya seperti dipenuhi bunga yang bermekaran, suasana hatinya sedang sangat baik. Setelah memarkirkan mobilnya di basement, dengan pakaian seragam putih lengan pendek yang sudah lengkap atribut penerbangan, ia pun segera menuju lantai tempat tinggal Felic. Sampainya di depan pintu, Al memencet bel. Tak berapa lama pintu terbuka, wajah cemberut Felic menyambutnya.

"Kok cemberut sih?" tanya Al menangkup wajah Felic dan mendongakkannya.

"Cape," ucap Felic manja menjatuhkan kepalanya di dada Al.

Al tersenyum lebar, lalu mendekap Felic dan mengajaknya masuk ke dalam. Tanpa Al sadari sejak ia berangkat, Liza diam-diam membuntutinya. Mata Liza memanas di balik tembok saat melihat Al mendekap seorang wanita dan menutup pintu apartemen itu.

"Al," lirih Liza bergetar menahan perih di hatinya.

##########

Woooooow 😱😱😱😱. Bagaimana ini nanti??? Terus bagaimana??? Bagaimana??? Bagaimana???

Maaf ya slow update, hehehehe. Terima kasih yang mau sabar menunggu, terima kasih juga yang sudah memberikan vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top