SALAH TANGKAP

Al dan David sudah lebih dulu menunggu di kafe. Sejujurnya Al tidak mengerti kenapa dia harus berada di tempat ini, jika memang bukan ulah iseng David, Al akan lebih memilih untuk beristirahat dan menunggu waktu boarding selanjutnya untuk melanjutkan penerbangan. Felic mengucapkan salam dan mengetuk pintunya sela-sela waktu mereka sebelum terbang lagi kurang dari satu jam. Itupun mereka nanti akan berpisah sesuai jadwal berikutnya yang sudah ditentukan. Setiap penerbangan, kru akan digilir dan tidak dengan yang itu-itu terus. Jadi bisa saja Al dan Felic lama tidak akan bertemu di satu penerbangan, atau malah mereka justru akan sering bertemu. Semua tergantung pilot dan jadwal dari maskapai yang memilih kru penerbangan.

"Kenapa, Kap? Nggak usah tegang gitu, santai aja. Biar aku yang banyak bertanya dan kamu cukup mendengarkan saja. Jadi secara tidak langsung kamu dapat info tentang Felic." David tersenyum menggoda Al.

Al tidak memerdulikan ucapan David, dia hanya menatapnya sekilas tanpa ekspresi dan kembali berkutat dengan ponselnya.

"Nah itu mereka!" David sedikit berteriak dan membuat Al terkejut.

Al mengikuti arah pandang David. Terlihat di sana Felic dengan beberapa kru penerbang yang juga sama dengannya berjalan mendekat menghampiri. Belum pernah Al melihat penampilan Felic dari atas sampai bawah selama ini. Sejak berada di bandara sebelum mereka berangkat hanya sekilas saja dia memerhatikannya.

"Dia cantik kan, Kap?" David menyenggol lengan Al.

"Semua wanita cantik, kalau tampan malah menyeramkan," jawab Al bercanda.

Al sebenarnya tidak ingin mengakuinya secara gamblang, karena sedikit banyak Al mulai paham dengan sifat rekan kerjanya yang satu itu.

"Iya juga sih, Kap." David mengangguk seperti orang bodoh.

"Permisi, maaf Kap, kami lama," ujar Felic buka suara mewakili teman-temannya.

"Nggak apa-apa, silakan duduk." Justru David yang terlihat sangat antusias menyambut perkatakan Felic. Karena ini kali pertamanya David berhasil mengajak Felic makan bersama walaupun harus dengan kru yang lain dan juga mengorbankan Al sebagai tameng baginya.

Felic duduk tepat di hadapan Al. Dia tidak berani menatap langsung mata itu, mata yang sebenarnya membuat jantungnya seperti hampir copot.

"Fel, kamu mau pesan apa?" tanya Nita sambil menyodorkan menu yang dipegangnya.

"Kaya biasa aja," jawabnya.

Nita tahu apa yang selalu dipesan Felic tiap kali makan, salad sayur dan jus tomat. Dia saja bingung apa teman baiknya itu salah satu keturunan makhluk herbivora.

"Fel, lain kali kita makan berdua saja ya, kurang romantis kalau ramai kaya gini," ucap David dan hanya di respons dengan senyuman saja.

Al diam-diam terus memerhatikan Felic yang tidak banyak bicara, dia menangkap kecanggungan di antara mereka.

"Kap, sebelum di Rajawali pernah di maskapai mana?" tanya Felic basa-basi memecah suasana canggung yang menyelubungi tempat itu.

"Saya dari maskapai Merpati dan sudah cukup lama di sana," jawab Al bersikap santai tapi dalam dada berdebar-debar, apalagi jika tatapan matanya bertemu dengan mata Felic.

Felic mengangguk, mengerti dengan jawabannya.

"Dengar-dengar kamu mau pulang ke kampung halaman, Fel? Ambil cuti atau pas day off?" tanya David menyela obrolan Felic dan Al.

"Iya, Kap, sudah lama saya tidak menengok orang tua. Rencananya sih nunggu momen yang pas. Kalau nggak pas cuti, yaaa pas day off atau RON di Ambon."

"Harus itu! Selama orang tua masih ada, walaupun pekerjaan kita jauh tanpa waktu yang pasti tetap orang tua yang utama, karena doa mereka, kita bisa sampai seperti ini, jangan sampai menyesal saat mereka sudah tidak ada," ujar David menasihati.

Mereka semua asyik berbincang, bahkan saling melempar guyonan. Tapi Al, senyum saja jarang, dia lebih asyik dengan hidangan yang ada di hadapannya, walaupun sebenarnya telinga Al terpasang jelas mendengarkan percakapan mereka. Terlebih informasi mengenai Felic. Entah mengapa hatinya terus saja berdebar.

Deringan ponsel Al mengganggu makan siang mereka. Dengan cepat Al menjauh dari meja makan dan mengangkat telepon itu. Dari tempat duduknya, Felic melihat gerak-gerik Al yang serius menerima telepon.

"Kap David, mau tanya sesuatu boleh?" tanya Dahlia.

"Boleh. Tanya saja, Lia," jawab David di sela mengunyahnya.

"Kapten Al itu sudah berkeluarga belum sih?"

Semua yang duduk di meja makan itu menatap Dahlia, yang ditatap hanya melempar cengiran.

"Ngapain lo tanya-tanya begitu? Suka lo sama Kapten Al?" tanya Felic judes.

"Ya nggak gitu, Fel. Namanya juga penasaran," sahut Dahlia mencebikkan bibirnya.

David terkikih mendengar teguran dari Felic, seolah-olah Felic menyembunyikan perasaannya.

"Aku belum tanya masalah itu. Kapten Al tipe orang yang tertutup, dia tidak pernah menyinggung masalah pribadinya selama kami ngobrol di kokpit," jawab David semakin membuat wanita-wanita itu penasaran.

Selesai telepon, Al kembali duduk bergabung bersama mereka. Hanya obrolan ringan yang terjadi, selesai makan siang, mereka pun kembali ke bandara bersiap melakukan penerbangan selanjutnya.

***

Setelah hampir dua minggu tidak bertemu dalam satu penerbangan, jadwal kali ini Felic dipertemukan kembali dengan Al di penerbangan yang sama. Entah kebetulan atau memang sudah takdirnya, jadwal RON jatuh di bandar udara Pattimura, Ambon, tanah kelahiran Felic. Semua kru yang terjadwal RON telah mendapat fasilitas dari maskapai, penginapan di hotel. Mereka memiliki waktu istirahat 23 jam sebelum melanjutkan penerbangan berikutnya.

Kamar Felic berada di depan kamar Al. Untuk pramugari, satu kamar diisi dua orang, sedangkan untuk pilot satu kamar dipakai sendiri. Walaupun Felic mendapatkan fasilitas menginap di hotel, tapi dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk bisa pulang ke rumah orang tuanya walaupun hanya sebentar saja.

Felic merapikan beberapa barang yang memang akan dibawanya pulang dan beberapa oleh-oleh untuk orang tuanya. Dengan riang dan sedikit syair di bibirnya dia menyelesaikan berkemas.

"Selesai! Udah nggak sabar, kangen Mama sama Papa," ujarnya riang.

Felic mencangkol tas selempang panjang di pundak dan tas kecil berisi oleh-oleh di tangannya, tak lupa kunci kamar. Dia meninggalkan beberapa pakaian dan perlengkapan pramugarinya di dalam kamar itu.

"Bismillahirahmannirrahim."

Felic menutup pintu berbarengan dengan Al yang juga keluar dari kamarnya. Felic belum sadar bahwa ada sepasang bola mata indah yang memerhatikannya dari belakang.

"Astagfirullah, Kap!" Felic terkejut memegangi dadanya.

"Maaf, saya nggak bermaksud mengejutkanmu. Kamu mau ke mana?" tanya Al yang melihat barang bawaan Felic cukup banyak.

"Saya mau pulang ke runah orang tua, Kap. Mumpung ada di sini dan waktu RON-nya lumayan cukup," ujar Felic.

"Kalau begitu saya permisi, Kap." Pamit Felic pada Al.

Felic berjalan riang meninggalkan Al yang masih terus memandanginya. Tanpa sadar kaki Al melangkah mengikuti Felic di belakangnya, bahkan sampai depan lobi pun mata Al tak lepas memandanginya.

"Kap?" tanya Felic yang sengaja menoleh ke belakang karena merasa diikuti.

"Kau mau ke mana?" tanya Al yang tidak yakin jika Felic akan menemui keluarganya.

Entah mengapa Al sangat penasaran dengan gadis cantik nan manis yang memiliki lesung pipi dan rambut panjang itu. Tidak pernah Al merasa sangat penasaran hingga mengikuti orang seperti itu.

"Saya mau ke rumah orang tua saya, Kap. Kebetulan ada di kota ini," jawab Felic bahagia dan menekan setiap kata agar Al percaya.

"Boleh saya mengantarmu?" tawar Al spontan.

Felic menatapnya bingung, untuk apa Al menawarkan diri mengantarnya pulang? Sedangkan dia tahu jika Al cukup lelah setelah seharian membawa pesawat.

"Saya hanya bosan di hotel, anggap saja sekalian jalan-jalan menghabiskan waktu di kota ini. Saya juga pengin tahu kuliner yang khas di kota ini," tambah Al, dia tahu Felic mulai berpikir aneh tentangnya.

"Rumah saya jauh, Kap."

"Nggak masalah."

"Hhmm ...." Felic berpikir sejenak, "oke deh kalau begitu," lanjut Felic setelah berpikir dan mempertimbangkannya.

"Oke, tunggu sebentar, saya sewa mobil di hotel dulu biar mudah aksesnya."

Tanpa persetujuan Felic, Al langsung berlari pergi meninggalkannya menuju resepsionis untuk menyewa mobil. Sedangkan Felic menunggu di sofa yang ada di lobi itu seraya mengutak-atik ponselnya. Sekitar 10 menit, Al kembali.

"Ayo, mobilnya sudah di depan." Tanpa permisi Al membawakan barang bawaan Felic ke mobil.

Tak lupa juga ia membukakan pintu mobil untuk Felic.

Al sudah berada di balik kemudi, dengan membaca basmallah, Al melajukan mobil yang ia kendarai. Tak ada pembicaraan di anatara mereka, hanya sesekali Felic menunjukkan arah rumah orang tuanya. Sekitar 2 jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di depan rumah orang tua Felic. Rumah yang sederhana tapi nyaman bagi penghuninya, bahkan selalu membuat Felic terus merasa rindu dengan rumah ini.

"Terima kasih, Kap sudah mengantar saya ke sini," ucap Felic. Al membalasnya dengan senyum simpul.

Felic mengambil barang yang ia letakkan di jok belakang, tapi Al justru menahan tangannya. "Biar saya saja yang bawakan, kamu turun saja dulu."

Ada sedikit tidak enak di hati Felic saat itu, tapi ia tetap mengikuti perintah Al, ia turun lebih dulu dan menunggu Al di luar.

"Mari, Kap, silakan." Felic sebagai tuan rumah mempersilakan Al masuk ke teras rumah. Sampai di depan pintu, Felic mengetuk pintu seraya berucap salam, "Assalamualaikum."

"Walaikumsalam." Terdengar jawaban dari dalam rumah.

Terdengar suara kunci diputar, saat pintu terbuka lebar, senyum mengembang sangat manis di bibir Felic. Hatinya sangat bahagia, rindunya tidak lagi dapat terbendung.

"Felic!?" Perempuan paruh baya langsung memeluk saat melihat Felic ada di hadapannya. "Mama kangen sekali, Nak," tambahnya.

"Felic juga, Ma. Mama apa kabar? Sehat kan, Ma?" tanya Felic meregangkan pelukannya, memerhatikan mamanya dari atas hingga bawah. Tapi sepasang mata mamanya justru menangkap seorang pria tinggi, gagah, dan tampan yang tersenyum ramah berdiri di belakang Felic menjinjing kantong plastik.

"Alhamdulillah, sehat, Sayang. Itu siapa?" tanya ibunda Felic.

"Oh, ini Ma, kenalin Kapten Al, pilot yang bertugas sama Felic di penerbangan saat ini," jelas Felic menoleh sekilas melempar senyum simetris pada Al.

"Malam, Tante," sapa Al ramah sedikit membungkukkan badannya yang tegap.

"Malam. Ayo, silakan masuk, Kap," ajak---ibunda Felic---Marta.

"Panggil saja Al, Tante," ucap Al sungkan jika ada orang selain kru-nya memanggilnya kapten.

"Baiklah, Nak Al."

"Ayo-ayo, masuk!" Marta mempersilakan mereka masuk.

"Iya, Tante. Terima kasih," ucap Al melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.

Al beristirahat di ruang tamu, Sedangkan Felic pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian.

"Sebentar ya, Nak Al, Tante buatkan teh dulu."

"Nggak usah repot-repot, Tante. Terima kasih."

"Cuma teh, nggak repot, sebentar ya." Marta meninggalkan Al sendiri di ruang tamu.

Al berdiam diri di ruang tamu, memerhatikan sekeliling. Rumah ini tidak mewah, tapi cukup nyaman ditinggali, bahkan dirinya saja merasa nyaman berada di dalamnya. Di dinding ruang tamu terpajang foto keluarga berukuran besar. Dalam foto itu ada seorang pria dewasa berkumis mengenakan PDU penerbangan bewarna hitam lengkap dengan atribut berdiri di samping Marta yang duduk di kursi. Felic mengenakan dress hitam selutut dengan make up natural dan rambut lurus panjangnya digerai, berdiri di sebelah Marta. Al tersenyum melihat wajah Felic yang mungkin saat foto itu diambil, dia masih remaja, karena wajahnya terlihat imut dan lugu.

"Ini, silakan diminum." Al sedikit terkejut karena tidak sadar Marta sudah kembali dari dapur.

"Terima kasih, Tan," ucap Al membenarkan posisi duduknya menjadi tegak.

Karena Felic tak kunjung keluar dari kamar, akhirnya Marta menemani Al di ruang tamu.

"Selama ini, Felic nggak pernah ngajak teman laki-lakinya ke rumah. Kalaupun ada, pasti bareng-bareng sama teman perempuannya." Marta membuka pembicaraan dan Al dengan senang hati mendengarkannya. "Felic selalu bilang sama saya, setiap kali saya tanya 'yang mana pacarnya' dia pasti selalu bilang, 'kalau nanti Felic pulang ke rumah dengan laki-laki berarti itu calon suamiku, Ma'. Jadi Nak Al ini calon menantu saya, ya?" Marta menatap wajah Al lekat.

Al yang ditatap seperti itu menjadi bingung ingin menjawab. Tidak pernah dia langsung ditodong sebagai calon menantu seperti ini sebelumnya.

"Kalau Nak Al diam, berarti Tante anggap benar. Calon menantu Tante seorang pilot, Tante nggak nyangka Felic bisa mendapatkan calon suami setampan Nak Al," ujar Marta tersenyum.

Al masih saja diam dan tersenyum simpul mendengar pernyataan Marta.

"Tante sama Om nggak bisa jagain Felic terus. Jadi Tante mohon dan minta tolong sama kamu untuk jagain Felic saat dia kerja. Felic anak kami satu-satunya dan kami nggak mau hal buruk menimpanya."

Al yang melihat mata Marta terdapat keseriusan, kasih sayang dan takut kehilangan seorang ibu terhadap anaknya. Itu juga membuat Al merindukan keluarganya.

"Baik Tante, saya akan coba menjaga Felic sebaik mungkin."

"Terima kasih, Nak Al."

Walaupun Al mengiyakan, tapi dia ingin menjelaskan tuduhan Marta, bahwa dia bukanlah calon suami Felic. Tapi sedikit pun di hatinya tak ingin melihat sorang ibu kecewa, setidaknya Al tidak membenarkan ataupun menyalahkan pernyataan itu.

##########

Bab kedua bagaimana?😅 Semoga lancar ya? Aamiin.

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top