PUTUSAN LIZA
Di ruang tamu rumah Al terasa tegang, ada Liza, Lia, Doni, Fahmi, dan Diana. Mereka masih menunggu satu orang lagi yang belum datang. Lia dan Doni sudah mendengar cerita tentang Al dan Felic yang tinggal di apartemen, mereka memahami keputusan putranya.
"Ke mana si Al? Lama banget," dengus Diana terlihat tidak sabar menunggu Al. "Mulai saja, kamu mengumpulkan kami di sini mau bicara apa?" sambung Diana.
"Sabar, Ma. Kita tunggu Al, dia masih di perjalanan."
Menunggu lebih dari 10 menit, mobil sedan hitam parkir di pelataran rumah. Al keluar sendiri tanpa Felic, lalu dia masuk ke rumah. Ketampanannya bertambah saat dia mengenakan kaus hitam ketat yang dirangkap dengan hem kotak-kotak tanpa dikancingkan. Semua menoleh ke arahnya.
"Assalamualaikum." Al mengucap salah sambil melepas kacamata hitamnya.
"Waalaikumsalam," jawab mereka serentak.
Al lebih dulu menyalami Lia dan mencium tangannya, baru yang lain.
"Felic nggak ikut?" tanya Liza saat Al sudah duduk di sampingnya.
"Nggak, lagi bersih-bersih apartemen," jelas Al.
"Oh, ya sudah," respons Liza memahami, "sudah lengkap, jadi aku mengumpulkan kalian di sini mau menyampaikan sesuatu. Aku sudah berdiskusi sama Al sebelumnya, dia sih sudah menyetujui keputusanku ini." Liza mulai berbicara, semua dengan saksama mendengarkan.
"Jadi, aku putuskan mau menggugat cerai Al," ucap Liza sontak membuat semua keluarga terkejut terutama Diana, matanya membulat sempurna.
"Nggak! Mama tidak setuju." Diana langsung menolaknya.
Al hanya diam dan bersikap santai, karena Liza sudah menjelaskan semuanya padanya sebelum mengumpulkan keluarga.
"Ma...." Liza berkata sangat lembut, "Mama mau lihat Liza bahagia nggak sih?"
"Iya, mana ada orang tua yang mau lihat anaknya menderita?"
"Nah, itu dia. Kalau Mama nggak pengin lihat aku menderita, biarkan aku menggugat cerai Al."
"Tapi kenapa, Za? Apa sudah tidak bisa dibicarakan lagi, mungkin berbicara dengan kami, kalian dapat jalan keluar jika memang ada masalah." Kali ini Lia ikut berbicara.
"Palingan juga karena cewek penggoda itu, kan?" sahut Diana melirik Lia sinis.
Mendengar ucapan Diana, Al mendengus kasar. Semua terdiam, aura Al terasa sudah tidak bersahabat. Liza mengelus lengannya agar Al sabar, supaya tidak terpancing amarahnya. Entahlah, jika menyangkut Felic, bisa-bisa Al menjadi pria yang temperamental. Sedikit saja ada ucapan yang menjelekkan Felic, rasanya darah Al mendidih.
"Masalah ini nggak ada sangkutannya sama Felic. Ini murni keinginanku dan keputusanku pribadi. Karena aku pengin bahagia tanpa terbelenggu dengan ikatan yang tidak nyaman ini. Aku juga pengin bahagia, tapi bukan sama Al." Liza menoleh Al yang duduk di sebelahnya, dia tersenyum manis.
"Makasih selama ini kamu sudah sabar ngemong aku, Al. Maaf membuatmu lelah saat menjalani hidup bareng aku. Bersama kamu, aku belajar banyak tentang kehidupan ini, cinta nggak bisa dipaksakan. Kata orang, cinta itu akan hadir seiring berjalannya waktu, tapi aku merasa itu tidak berlaku buat kita." Liza berucap dengan lapang dada tanpa perasaan sesal maupun dongkol yang tersimpan di hati, karena dia sudah menemukan caranya untuk bahagia.
Al tersenyum lebar dan meraih tangan Liza untuk dia genggam. "Maaf, jika selama kamu hidup sama aku tidak bisa bahagia. Kamu sekarang berhak bahagia dengan caramu sendiri dan aku sangat berterima kasih, kamu sudah memberikan kebahagiaan untukku yang entah bagaimana dan dengan cara apa aku membalasnya. Kamu adik sekaligus teman yang sangat baik." Al memeluk Liza dan mengelus punggungnya. Liza menyandarkan dagunya di pundak Al, dia merasa dipeluk kakaknya yang sudah lama meninggal.
"Aku merasa punya kakak lagi," celetuk Liza mengejutkan Fahmi dan Diana. Hati mereka berdesir saat Liza mengingat putra mereka yang sudah jenat.
Embusan napas panjang dari Fahmi membuat Liza dan Al melepas pelukan mereka. Semua menatap Fahmi dengan tatapan was-was.
"Papa mendukungmu," ujar Fahmi tulus menatap wajah Liza yang sempringah.
"Papa serius, kan? Nggak bohong?" ucap Liza memastikan.
"Iya, Papa tahu apa yang kamu putuskan, itu yang terbaik untuk kehidupanmu. Kamu lebih tahu cara membahagiakan dirimu sendiri, Papa sebagai orang tua cuma bisa mendukung dan mendoakan, supaya putri satu-satunya Papa selalu bahagia." Fahmi merentangkan kedua tangan supaya Liza memeluknya.
Dengan senang hati Liza berdiri dan menghampiri Fahmi, dia memeluk manja papanya.
"Terima kasih, Papa selalu mendukungku dan mengertiku," ucap Liza sengaja menyindir Diana.
Kelu, ya! Bibir Diana sangat sulit berucap. Liza duduk di pangkuan Fahmi, kedua tangan Fahmi memeluk pinggang putrinya. Seperti bocah kecil, Liza manja pada papanya.
"Ma...." Liza berucap sangat lembut, "Liza akan bahagia tanpa Al, karena Liza menemukan kebahagiaan yang ternyata selama ini sangat dekat denganku. Jika Mama masih memaksakan kehendak Mama yang pengin Liza kembali berumah tangga sama Al, itu berarti Mama nggak pengin lihat aku bahagia. Memang Liza bahagia saat bersama Al, tapi setelah tahu rasanya bahagia yang aku rasakan sekarang, aku tidak mau menyia-nyiakannya. Aku tidak mau kembali ke masa lalu, hidup itu akan terus maju, bukan mundur ke belakang, Ma." Liza berusaha perlahan memberikan pengertian pada mamanya.
Liza turun dari pangkuan Fahmi, dia duduk di samping Diana dan merangkulnya. Liza tersenyum sangat manis, dia menyandarkan kepalanya di bahu Diana.
"Apa yang sebenarnya Mama takutkan?"
Tak ada satu patah kata pun keluar dari Diana, hanya air mata yang berbicara.
***
Setalah putusan perceraian, Liza bebas melakukan apa pun tanpa bayang-bayang Al. Hubungannya dengan Felic pun semakin baik, mereka menjadi sahabat yang saling menasihati dan mendengarkan keluh kesah masing-masing. Jika ada waktu senggang, sering mereka keluar bersama. Seperti saat ini, mereka sedang makan siang di salah satu restoran.
Deringan ponsel Liza mengusik obrolan mereka, senyum mengembang saat Liza melihat nama di layar datarnya. Melihat ekspresi Liza, Felic sudah dapat menebak siapa yang meneleponnya.
"Ciyeeeee," ledek Felic tersenyum menggoda sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
"Ssssst, apaan sih. Diam." Liza bergegas mengangkat telepon dari seseorang. "Halo."
"Kamu di mana?" tanya seseorang dari seberang.
"Makan siang sama Felic."
"Di ...?"
"Restoran Daun Hijau, dekat pom bensin," jawab Liza dengan senyuman tak pudar dari bibirnya.
"Aku ke sana, ya?"
"Memangnya kamu nggak tugas hari ini?"
"Waktuku istirahat ini, aku juga belum makan."
"Oke, datanglah. Aku pesankan makan, ya?"
"Oke, makasih, Jelek," Seperti itulah pria itu menjuluki Liza.
Panggilan pun berakhir, Felic sudah tidak sabar ingin menggoda Liza.
"Ehem!"
"Apaan sih, Fel?" Liza mendorong bahu Felic dengan wajah malu-malu.
"Apa perlu aku pulang duluan?" kerling Felic.
"Ih, kok gitu? Kamu nggak asyik!"
"Takut ganggu kencan kalian."
"Halah, kamu kayak nggak pernah jatuh cinta saja, Fel."
"Siapa yang bilang? Justru aku pernah merasakan, makanya sekarang aku mau pulang duluan biar nggak jadi obat nyamuk. Soalnya kalau sudah ketemu sama pujaan hati, biasanya orang ketiga dianggap angin," ujar Felic cengingisan sambil memasukkan dompet dan ponselnya ke tas jinjing.
"Ya sudah deh, tapi besok kita main lagi, ya?" pinta Liza manja.
"Al nanti malam pulang, besok di apartemen. Kamu saja yang main ke apartemen."
"Iya, besok agak siangan aku ke apartemen."
"Oke, aku tunggu."
"Tapi, masakin, ya?"
"Huh, dasar! Pengin makan apa kamu?"
Sudah menjadi kebiasaan Liza jika main ke apartemen, Felic diminta memasakannya.
"Udang asam manis sama bikinin kue sus, boleh?"
"Haduh, banyak amat permintaannya."
"Ayolaaaah, pengiiiiiiiiin." Liza mengedip-ngedipkan matanya memohon dengan tatapan manja.
"Iya-iya, besok aku buatin. Awas nggak datang," ancam Felic menunjuk Liza.
"Siap! Pasti datang. Ngajak dia boleh nggak?" tambah Liza malu-malu kucing.
"Boleh."
"Yes!" Liza kegirangan.
"Ya sudah, aku pulang duluan, ya? Salam buat dia," ucap Felic berdiri menjinjing tasnya lalu mereka saling cipika-cipiki.
"Hati-hati," pesan Liza melambaikan tangan mengiringi kepergian Felic.
"Daaaaah," ucap Felic membalas lambaian tangan Liza.
Keadaan mereka jauh lebih baik, setelah menyetujui keputusan Liza, Diana tidak lagi jahat pada Felic. Dia bersikap biasa jika bertemu Felic dan Al saat sedang bersama. Apalagi Lia, dia sangat menyayangi Felic, menantunya itu sangat dia manja. Sedikit-dikit jika Lia membutuhkan apa pun, Felic yang dia mintai tolong, dengan senang hati Felic pun membantu mertuanya.
***
Sebelum azan Subuh, Al baru pulang dinas. Tanpa membangunkan Felic, dia membuka pintu apartemen sendiri. Sampai sekarang---setelah beberapa bulan perceraian Liza dan Al---mereka masih enggan pindah dari apartemen. Al menyerahkan rumah yang dulu mereka tempati beserta isi dan fasilitas lainnya kepada Liza. Meski saat itu Liza tidak menuntut harta benda yang Al miliki, tapi dengan sukarela Al memberikannya pada Liza.
Mendengar suara kaki berjalan pelan mendekati kamar, Felic membuka matanya. Dia melihat Al membuka pintu sangat pelan dan mengendap-endap pelan meraba sakelar untuk menyalakan lampu kamar yang setiap ingin tidur Felic matikan. Setelah lampu menyala, Al baru sadar jika Felic sudah bangun.
"Maaf, aku berisik, ya?" tanya Al meletakkan kopernya di samping lemari dan berjalan ke tempat tidur sembari melepas kancing bajunya. Felic bangun, duduk bersandar di sandaran ranjang.
"Nggak kok, kamu ngapain ngendap-ngendap kayak mau maling?" tanya Felic membantu Al melepaskan atribut setelah seragamnya terlepas.
"Takut bangunin kamu. Aku mau mandi dulu." Al berdiri mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.
Seperti yang sudah-sudah, jika Al pulang, tugas Felic membongkar kopernya, memisahkan pakaian yang kotor dan yang masih bersih.
"Yang, aku buatin teh panas, ya?" tanya Felic dari depan pintu kamar mandi.
"Ya," sahut Al yang sedang mengguyur badannya di bawah shower.
Felic membawa pakaian Al ke luar kamar, dia meletakkan di keranjang tempat pakaian kotor. Besok pagi baru dia akan mencucinya. Felic membuatkan Al teh dan memasak makanan untuk mengganjal perut Al sebelum dia istirahat. Pasti Al sudah lapar lagi setelah seharian bekerja. Meski masakan sederhana---mi kuah dengan telur, ditambah potongan cabai rawit hijau---Al menyukainya.
Selesai berpakaian, Al ke luar kamar mengenakan pakaian santai, rambutnya basah dan wajah terlihat lebih segar.
"Ini tehnya," ujar Felic meletakkan cangkir berisi teh panas di meja minibar.
"Makasih, Sayang," ucap Al duduk lalu meniup tehnya sebelum dia seruput.
Selesai menyajikan mi kuahnya di mangkuk, Felic meletakkan di depan Al.
"Makasih," ucap Al lantas memakannya pelan-pelan karena masih panas.
"Yang, besok Liza mau ke sini sama Hermawan," ujar Felic duduk di depan Al, menemani suaminya makan.
"Iya, nggak apa-apa," sahut Al sambil mengunyah minya.
"Liza minta dibuatin kue sus sama udang asam manis. Besok temenin aku belanja, ya?"
"Iya. Kenapa nggak masak bareng saja, sih? Hitung-hitung kamu ngajarin Liza masak. Mau sampai kapan dia ngandelin asisten rumah tangga?"
"Iya, kapan-kapan kalau ada waktu luang aku ajarin dia masak."
"Oh, iya. Kayaknya tabungan kita sudah cukup kalau mau buat beli rumah."
"Mau ambil rumah di mana?" tanya Felic lembut.
"Besok kita cari informasi. Kalau nggak, minta tolong Papa biar dicarikan rumah yang sudah jadi," usul Al membalik sendok dan garpu di mangkuk yang sudah kosong.
"Bisa nggak kita ambil perumahan saja? Yang bangunannya belum berdiri."
"Bisa saja. Kalau kamu mau sabar menunggu prosesnya, aku sih nggak masalah." Al mengelap bibirnya dengan tisu.
"Aku maunya rumah yang minimalis, tapi punya halaman luas. Biar bisa ditanami pohon mangga, rambutan atau apa pun itu, yang penting buah."
Al tersenyum sangat manis, lalu mengelus rambut Felic. "Boleh. Bobo yuk!" ajak Al.
Sebelum menjawab, Felic melihat jam yang bertengger di dinding atas televisi.
"Sebentar lagi azan Subuh, Yang. Nanggung, kita salat Subuh dulu, baru tidur, ya?"
"Iya. Kita tunggu di kamar."
"Siap!" Sebelum masuk ke kamar, Felic lebih dulu mencuci mangkuk dan gelas yang kotor. Setelah itu, lantas Al merangkulnya masuk ke kamar.
***
Hari terus bergulir, hingga tidak terasa enam bulan sudah hubungan Liza dan Hermawan terjalin. Malam ini, Hermawan menyiapkan sesuatu yang spesial untuk Liza. Dia ingin melamar wanita pujaan hatinya di roof top salah satu restoran terkenal di tengah kota.
Liza anggun mengenakan dress selutut berwarna putih, rambut bergelombang dibiarkan terurai, cantik dengan make up yang terlihat natural dan hak tinggi agar menyeimbangkan tinggi badan Hermawan.
Lantunan musik berjudul Beautiful in White yang dipopulerkan Westlife terdengar hingga suasana semakin romantis. Liza sangat terkesan dengan persiapan Hermawan sampai sedemikian demi memberinya kejutan.
Hermawan mengulurkan tangannya supaya Liza mau berdansa dengan iringan lagu romantis tersebut. Wajah merah merona Liza tak dapat disembunyikan, dia meraih tangan Hermawan lalu mereka berdansa bersama mengikuti alunan musik.
"Apa kamu mau menikah denganku?" bisik Hermawan tepat di telinga Liza.
Senyum lebar tersungging di bibir Liza, dia malu saat ingin menjawab. Hermawan mengulang permintaannya. Kali ini dia berlutut di depan Liza sambil membuka benda beledu berwarna merah berisi cincin mas putih dengan mata satu berupa berlian.
"Menikahlah denganku, aku ingin mengarungi kehidupan ini bersamamu sampai maut memisahkan kita. Menualah bersamaku dan jadilah sandaranku saat kuletih."
Tanpa dapat berucap, Liza hanya bisa menganggukkan kepala tanpa bisa menahan air mata bahagianya. Perlahan Hermawan mengangkat tangan kanan Liza, lalu memakaikan cincin tersebut di jari manisnya. Terakhir dia mengecup punggung tangan Liza.
"Aku tidak pernah merasa sebahagia ini. Terima kasih sudah memilihku untuk menjadi pendampingmu, yang kamu tahu aku bukanlah wanita sempurna," ucap Liza meminta Hermawan berdiri. Setelah pria itu berdiri tegap di depannya, Liza lalu memeluk dan mendengar detak jantung Hermawan yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Kita tidak akan tahu siapa jodoh kita, bisa saja orang terdekat kita yang selama ini tidak pernah kita anggap penting. Atau justru orang yang selalu mendukung kita.
#########
Eaaaaaaaa... sampai sini atau mau satu part lagi? Hahahahah 😆😅.
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.🙇🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top