PERTEMUAN

Hari berganti minggu, sepenuh hati Felic mengumpulkan keberaniannya. Dia mematut diri di depan cermin, dress selutut bermotif bunga bewarna biru cerah dan rambut yang sudah dipotong sebahu dibiarkan tergerai lurus membuatnya terlihat lebih segar. Al sudah menunggu di ruang tamu apartemen Felic.

"Yang, sudah belum?" tanya Al yang sudah tidak sabar menunggu Felic ke luar kamar.

"Iya, sudah." Felic bergegas mengambil tas selempang lalu dicangklongkan di bahu kanannya.

Saat dia ke luar kamar, Al langsung berdiri melihat penampilan dari atas sampai bawah wanita yang akan dia kenalkan kepada orang tuanya hari ini.

"Kenapa lihatnya begitu? Nggak pantas, ya?" tanya Felic melihat penampilannya.

"Cantik," celetuk Al dengan senyuman termanisnya.

Pipi Felic bersemu merah jambu, malu, tapi dia suka pujian Al.

"Bentar." Felic berlari kecil ke arah rak-rak tempat koleksi sendal dan sepatunya di belakang pintu. Dia memilih sandal bertali tanpa hak. "Bagus, nggak, Yang?" tanya Felic meminta pendapat Al.

"Bagus, cocok," ucap Al mengacungkan jempolnya.

"Ya sudah, ayo!" ajak Felic antara tidak sabar ingin berkenalan dengan orang tua Al dan jantungnya berdebar-debar cepat lantaran takut jika mereka akan menolaknya.

"Yuk!" Al merangkul Felic ke luar apartemen.

Sepanjang perjalanan menuju rumah orang tua Al, mereka mengobrol banyak hal. Hingga tak terasa mobil Al sudah terparkir bebas di pelataran rumah. Melihat rumah bercat putih dan abu-abu, hati Felic semakin gelisah, tak henti-hentinya dia melilit-lilitkan tali tas selempangnya di jari telunjuk. Al yang menyadari kegelisahan Felic lalu menggenggam tangannya.

"Kamu siap?" tanya Al tersenyum manis memberi ketenangan untuk Felic.

"Aku takut, Yang," jawab Felic dengan wajah ragu.

Al menghela napas panjang lalu berucap, "Yang, kita harus hadapai ini bersama, jika kamu pengin hidup bareng sama aku. Jangan takut, aku akan selalu ada untuk mempertahankanmu."

"Tapi ...."

"Sudah, jangan banyak mikir," sela Al memutus ucapan Felic.

Sebelum ke luar mobil, Felic menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk memenangkan perasaannya dan memantapkan kepercayaan diri. Tak lupa dia juga memantaskan diri di cermin bedak yang dibawanya dalam tas selempang.

"Sudah?" tanya Al yang masih setia menunggunya siap.

"Siap!" ucap Felic menarik napasnya panjang dan menghembuskan pelan.

Al pun turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Felic. Membuang keraguan jauh-jauh, Felic memberanikan diri menapakkan kaki di rumah orang tua Al. Sampai di depan pintu bercat cokelat, Al lalu memencet bel. Tak dipungkiri, debaran jantung mereka sama-sama tak terkontrol. Entahlah, apakah orang tua Al akan menerima Felic?

Suara kunci pintu diputar terdengar, tak berapa lama pintu pun terbuka dan muncullah wanita paruh baya dengan dandanan rumahan tapi rapi dan cantik.

"Assalamualaikum," ucap Al tersenyum lebar langsung menyambut tangan mamanya untuk bersalaman dan dia cium.

"Waalaikumsalam." Lia bahagia Al berkunjung ke rumah.

Felic masih berdiri mematung di sebelah Al, ini adalah momen yang sangat mendebarkan.

"Mama sehat?" tanya Al memeluk Lia.

"Sehat, Al." Masih dalam pelukan Al, Lia menyadari keberadaan Felic.

Lalu Lia mendongakkan kepalanya menatap Al, dari sorot matanya seolah dia bertanya 'siapa dia?'.

Al yang memahami tatapan itu lalu menjelaskan, "Ma, ini yang namanya Felic."

Lantas Lia melepas pelukan Al dan beralih di hadapan Felic. Jantung Felic berdebar-debar tak keruan, dia melempar senyum terbaiknya, tapi Lia masih memerhatikan Felic dari atas sampai bawah.

"Cantik," celetuk Lia lalu tersenyum ke arah Al.

"Makasih, Tante," ucap Felic sedikit lega karena Lia menyambutnya hangat.

"Ayo masuk!" Lia menggandeng tangan Felic masuk ke rumah. Sedangkan Al mengikuti dari belakang.

"Papa mana, Ma?" tanya Al sampainya di ruang tamu.

"Ke mana, ya, tadi? Mama carikan dulu, tadi sih Papa lagi kasih makan ikan di belakang," jawab Lia, "Felic, duduk dulu, ya? Tante cari Om ke dalam," titah Lia halus mengelus lengan Felic membuat perasaan gadis itu tenang.

"Iya, Tante," ucap Felic lalu duduk di sofa panjang bersebelahan dengan Al.

"Bagaimana perasaanmu ketemu Mama?" tanya Al menyentuh punggung Felic.

"Aku pikir mamamu bakalan nolak kedatanganku, di luar dugaan, dia hangat dan sentuhannya bikin hatiku tenang yang tadinya takut dan gelisah. Wajah mamamu meneduhkan, ya? Adem hatiku lihat senyumnya."

"Seperti senyumku yang menyejukkan?" sela Al percaya diri dan menggoda Felic menaik-turunkan kedua alisnya.

"Ih, apaan sih! Genit!" Felic mencubit pinggang Al.

"Aw, geli, Yang," keluh Al.

Felic hanya menyengir.

"Al," sapa Doni datang ke ruang tamu sendiri lalu duduk di depan mereka.

"Bagaimana kabar Papa?" tanya Al berdiri lalu menyalami Doni diikuti Felic, lantas mereka kembali duduk.

"Alhamdulillah, baik. Kamu libur?" Doni melirik Felic dan mengerutkan dahi.

Felic yang ditatap seperti itu menjadi salah tingkah.

"Libur, Pa."

"Siapa?" tunjuk Doni pada Felic dengan dagunya.

Lalu Al merangkul bahu Felic dan memperkenalkan pada Doni, "Ini Felic, Pa."

Setelah dikenalkan, Felic menganggukkan kepala memberi hormat pada Doni.

"Felic?" Dari tatapan mata Doni terlihat banyak tanda tanya.

"Ayo, diminum dan dicemil dulu." Lia datang membawa penampan berisi gelas dan stoples cemilan.

Dengan sigap Felic berdiri dan membantu Lia menurunkan minuman di atas meja.

"Tante kok repot-repot sih?" ucap Felic basa-basi.

"Nggak repot kok, cuma air." Setelah menyimpan penampan di bawah meja tamu, Lia duduk di samping Doni.

Beberapa detik ruang tamu sepi tanpa perbincangan. Atmosfer ruangan pun menjadi tegang, apalagi tatapan Doni kepada Felic yang masih asing dan penuh tanya.

"Ehem!" Al menegakkan duduknya, lalu berucap, "Pa, Ma, kedatanganku mengajak Felic ke sini mau menyampaikan hal penting."

Sebelum Al menyampaikan, Lia dan Doni saling pandang. Sedangkan Felic duduk menunduk mendengarkan.

"Hal penting apa?" tanya Doni tegas.

Meski dalam hati berdebar-debar, tapi Al harus menyampaikan niat awalnya datang ke rumah itu.

"Mungkin bagi kalian ini adalah hal konyol dan sesuatu yang sulit diterima. Tapi, Al sudah berjanji pada orang tua Felic, jika akan mengajak Mama sama Papa secepatnya untuk melamarnya ke rumah mereka."

Mendengar pernyataan Al membuat Doni dan Lia terkejut. Meskipun Lia sudah tahu jika Al mencintai Felic, tapi dia tidak tahu jika hubungan mereka sejauh itu.

"Al, kamu sadar yang apa yang kamu katakan?" tanya Lia.

"Sadar, Ma. Al sudah memikirkan ini jauh hari dan sudah memantapkan hati," jawab Al yakin.

"Apa-apaan kamu ini, Al! Sadar tidak, jika kamu ini sudah punya istri!" Doni mulai meninggikan suaranya.

"Al sadar, Pa. Al tidak lupa kalau sudah menikah, tapi bagaimana lagi??? Al mencintai Felic dan dia butuh kepastian, apalagi Felic anak satu-satunya di keluarga, orang tuanya berharap dia bisa segera punya pendamping. Sedangkan saat ini cuma Al satu-satunya lelaki yang dekat dan mencintai Felic."

"Apa harus kamu?!" tanya Doni terkesan meremehkan.

"Iya! Harus Al yang menikahi Felic!" jawab Al mantap tanpa ada keraguan.

"Kamu sudah gila, Al! Tidak mungkin kami melamar wanita ini untukmu, sedangkan kamu sudah punya istri. Bagaimana nasib rumah tanggamu?" tolak Doni.

Al mendekat Doni dan mengiba berlutut di samping kaki Doni.

"Apa tidak boleh Al bahagia dengan pilihan Al sendiri, Pa? Sekian tahun Al selalu menuruti semua permintaan Papa sama Mama, sampai rela aku menggadaikan kebahagiaanku sendiri. Cuma satu yang sekarang aku minta, Pa. Resti kami, itu saja!" Al mencoba bernegosiasi karena dadanya sudah terasa penuh menyimpan uneg-unegnya sendiri selama ini.

"Terus bagaimana Liza? Apa kamu memikirkannya? Apa yang akan kita katakan sama orang tuanya? Kamu nggak mikir sejauh itu, Al?" Doni galau, dia belum tahu kondisi rumah tangga Al dan Liza yang sebenarnya selama ini.

"Al sudah pikirkan itu, Pa. Apa pun konsekuensinya, Al akan terima."

"Pikirkan dulu ...."

"Sudah berulang kali aku memikirkan keputusanku ini, Pa. Tolong, restui kami," mohon Al berlutut di depan Doni sambil menangkupkan tangan, meminta iba sambil mata berkaca-kaca.

Felic tercengang dengan apa yang Al lakukan. Sebegitunyakah yang harus Al lakukan untuk meluluhkan hati orang tuanya? Lia memilih diam, dalam hati kecilnya sebagai seorang ibu, pasti dia ingin melihat putra semata wayangnya bahagia. Tapi, haruskah dengan cara seperti ini? Lia bingung, jika dia mendukung Al, akan ada wanita lain yang menjadi korban dan bagaimana nanti hubungan kedua keluarga yang sudah sejak lama baik?

Dengan tatapan tajam lurus ke depan, Doni terdiam tanpa bisa memberi kepuasan.

"Pa," lirih Al masih menanti jawaban Doni.

"Maaf, Al, Papa tidak bisa," ucap Doni lalu berdiri dan pergi masuk ke dalam.

Air mata Felic menetes, jawaban Doni sudah cukup jelas. Al berdiri lalu mengejar Doni ke dalam.

"Pa, apa Papa tidak mau melihatku bahagia?"

Mendengar ucapkan Al, Doni berhenti melalang saat sampai di ruang keluarga. Lantas dia membalikkan badan menghadap Al.

"Tapi bukan dengan cara kamu menikahinya, Al! Bagaimana kamu akan menjelaskan jika Liza dan keluarganya tahu?!" ujar Doni geregetan.

"Al tidak mencintai Liza, Pa. Selama ini ...."

"Papa nggak mau tahu itu! Ini masalah waktu saja, kamu akan bisa mencintainya seiiring kebersamaan kalian. Papa minta, sebelum masalah ini terdengar Liza dan keluarganya, tolong tinggalkan wanita itu. Felic bisa menjadi bumerang rumah tanggamu."

"Nggak akan, Pa! Al nggak akan pernah meninggalkan Felic," tekad Al lantas dia pergi meninggalkan Doni.

Sampainya di ruang tamu, Al melihat Felic menangis dalam dekapan Lia. Tanpa berucap apa pun pada Lia, Al menarik tangan Felic dan mengajaknya ke luar.

"Al," panggil Lia menyusul sampai ambang pintu.

Air mata Lia berderai, Al dan Felic berhenti melakah tapi mereka tidak menoleh ke belakang. Al tidak tega melihat mamanya menangis.

"Apa pun keputusanmu, yang membuatmu bahagia, Mama mendukung," ucap Lia.

Mendengar ucapan Lia, Felic membalikan badan lalu berlari kecil memeluk Lia.

"Maafinin aku Tante, kedatanganku ke sini bukan bermaksud untuk ...."

"Sudah, jangan merasa bersalah. Kalian tidak salah, hanya saja keadaan yang terlambat mempertemukan kalian. Andai saja kami tidak gegabah memutuskan menjodohkan Al dengan Liza, mungkin ini tidak terjadi." Lia menegakkan tubuh Felic, dia mengusap wajah cantiknya dan menyeka air mata Felic dengan penuh kasih sayang.

"Tante merasakan kegelisahan orang tuamu, pastinya mereka menginginkan pendamping yang terbaik untuk putri satu-satunya. Tapi, kamu harus berjuang lebih untuk mendapatkan kebahagiaan jika ingin bersama Al. Ada wanita lain yang perlu Al jaga hatinya. Kamu harus sadar itu, Fel," ucap Lia mengingatkan Felic agar tidak terlena dengan cinta yang sedang dia jalani bersama Al saat ini.

"Iya, Tante. Aku sadar posisiku saat ini salah. Aku mencintai suami orang, tapi apa aku sama Al salah, jika kami ingin meraih kebahagiaan bersama? Kami saling mencintai dan punya masa depan bersama."

Mendengar perbincangan Lia dan Felic, hati Al terenyuh. Otaknya penuh, banyak hal yang dia pikirkan.

***

Di tempat lain, Liza seharian berkutat dengan handphone-nya, berharap Al menghubungi. Seharian dia menunggu Al, sejak pagi Al pergi sampai sore belum juga pulang. Padahal Liza tahu hari ini Al day off. Saat Liza turun dari sofa depan televisi, kepalanya terasa sangat sakit. Ini bukanlah yang pertama terjadi bagi Liza, sering dia mengalami sakit kepala. Tapi, kali ini sakitnya lebih dari kejadian yang sebelumnya.

Mata Liza berkunang-kunang, lama-kelamaan pandangannya mengabur dan gelap. Tubuhnya terjatuh di lantai.

#########

Jreng, jreng...! Bersambung.

Halooooooo, apa kabar? Kangeeeeeeen. Ya Allah, dah lama gak update. Makasih banget buat kalian yang masih setia menunggu, ya? Love you all. 😘😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top