PERGI TANPA PAMIT
Pagi hari, mata Liza terbuka. Setelah transfusi dua kantong darah---satu kantong darah dari bank darah rumah sakit, satunya lagi didapat dari donoran Felic---wajah Liza terlihat lebih segar dari yang kemarin. Dia perlahan menggerakkan tubuhnya sampai seseorang yang tertidur meletakkan kepala di samping tangannya terbangun. Hermawan semalaman tidak pulang, dia menjaga Liza.
"Za," ucap Hermawan berdiri, melihat Liza mengedarkan pandangannya ke ruangan tersebut.
"Wan, aku di mana?" tanya Liza.
"Kamu di rumah sakit, Liz. Semalam Felic membawamu ke sini, dan kamu harus transfusi darah karena HB-mu rendah."
Liza baru teringat kejadian kemarin. "Terus sekarang di mana Felic?" tanya Liza mencari-cari keberadaan Felic.
"Setelah mendonorkan darah buatmu, Felic pamitan pulang. Dia cuma nitipin ini buat kamu." Hermawan memberikan kertas yang Felic titipkan padanya sebelum dia pergi dari rumah sakit itu.
Hermawan membantu Liza sedikit menaikkan bagian atas brankar sehingga posisi Liza seperti sedang duduk bersandar. Liza membaca tulisan tangan Felic.
Hai, Liz. Maaf aku tidak bisa menunggumu sampai sadar, aku titipkan kamu pada Dokter Hermawan. Ternyata dunia ingin sempit, ya? Aku tidak sangka, ternyata kamu sama Dokter Hermawan berteman. Cepat sembuh, ya, Liz? Jaga dirimu baik-baik. Semoga Allah selalu melindungimu di mana pun kamu berada. Semangat untuk sembuh dan bahagia selalu, Liz.
Dari temanmu
Felic Diandra
Air mata Liza menetes setelah membaca tulisan paling bawah. Felic saja bisa berdamai dengannya, sampai kapan dia akan memusuhi dan menyalahkan Felic?
"Liz, kamu nggak apa-apa?" tanya Hermawan memegang pundaknya.
"Wan, apa yang Felic katakan sama kamu?" tanya Liza menatap Hermawan dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.
"Dia tanya-tanya sama aku tentang penyakit kamu, Liz," jawab Hermawan takut-takut.
"Jadi, kamu tahu penyakitku, Wan?"
Hermawan mengangguk-angguk. Tangis Liza semakin lepas, dia memeluk surat dari Felic. Karena merasa tak tega, Hermawan pun memeluknya.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku, Liz, tentang penyakitmu?" tanya Hermawan saat Liza sudah sedikit tenang.
"Sebenarnya sejak SMP aku sudah tahu penyakitku ini, Wan. Aku minder dan takut dijauhi teman-teman kalau mereka tahu aku penyakitan. Sampai SMA aku masih tetap menyimpan rahasia ini. Saat itu, cuma Al yang tahu penyakitku, cuma dia yang mau main sama aku," cerita Liza sesenggukan.
"Terus kamu pikir waktu itu aku bakalan jauhin kamu, kalau tahu kamu sakit, Liz? Kamu tahu kan dulu waktu SMA yang mau main sama aku cuma kamu? Kita selalu dikucilkan teman-teman karena aku anak cupu dan cuma kamu yang mau berteman denganku, sampai kamu rela nggak punya teman."
"Maaf, Wan," ucap Liza semakin erat memeluk Hermawan.
Ponsel Liza berdering, Hermawan pun melepas pelukannya dan membantu Liza menyandarkan tubuhnya kembali di brankar.
"Ponselmu bunyi, Liz. Aku ambilkan dulu," ucap Hermawan lalu mengambil ponsel Liza di tas cangklong yang diletakkan Felic di atas meja. "Ini." Hermawan memberikan ponselnya pada Liza.
"Makasih, Wan," ucap Liza.
Setelah itu Liza mengangkat telepon dari Al.
"Halo," sahut Liza.
"Liz, kamu di mana? Aku tadi dapat WA dari Felic, katanya kamu di rumah sakit," tanya Al terdengar khawatir.
"Iya, tapi aku sudah baik kok. Kamu di mana sekarang?"
"Aku masih di Jogja, kalau sesuai jadwal, jika tidak nanti malam, besok aku sudah di Jakarta. Kamu sama siapa?"
"Mmmm...." Liza melirik Hermawan yang sedari tadi memerhatikannya.
"Mama sudah tahu kalau kamu di rumah sakit?" tanya Al lagi sebelum Liza menjawab pertanyaannya.
"Belum."
"Ya Allah, ya sudah, aku telepon Mama dulu. Aku suruh Mama ke rumah sakit sekarang, ya?"
"Iya."
"Oke, kamu jaga diri baik-baik, aku akan segera pulang."
Hati Liza sedikit menghangat, Al kembali seperti dulu lagi, memberikannya perhatian.
"Iya, kamu juga hati-hati."
"Iya, makasih," ucap Al lalu memutus sambungannya.
Bibir Liza tersungging senyuman tipis, Hermawan memerhatikannya. Menyadari adanya Hermawan di situ, Liza pun memfokuskan pandangan dan pikirannya pada Hermawan.
"Suami kamu, ya?" tanya Hermawan.
"Iya."
"Wajar kalau dia khawatir."
"Tapi aku bahagia."
Hermawan mengerutkan dahi. "Kok gitu?"
"Iya, Wan. Meskipun selama ini dia belum bisa mencintaiku, tapi dengan perhatian kecilnya saja sudah cukup bikin aku bahagia kok."
Sontak Hermawan memandang Liza, dia bingung dengan ucapannya.
"Sebentar, maksudnya apa, sih? Belum bisa mencintaimu?"
Sebelum bercerita, Liza melempar senyum terbaiknya pada Hermawan.
"Kami menikah karena dijodohkan," papar Liza.
"Hah?!" Hermawan terkejut sampai melongo. Ya Allah, jadi aku tidak salah orang, benar yang bersama Felic waktu itu Al, suaminya Liza. Batin Hermawan belum berani menanyakan hal itu pada Liza.
"Oh, iya, Wan. Kamu kok bisa kenal Felic sih?" tanya Liza penasaran.
"Mmmm... eng... jadi, waktu itu aku nggak sengaja ketemu Felic di taman rumah sakit ini. Terus aku kasih kartu nama sama dia, beberapa hari kemudian dia telepon ngajakin ketemuan di salah satu restoran. Di situ dia tanya tentang penyakit adenomiosis, saat itu dia bilang temannya yang menderita penyakit ini. Nggak tahunya kamu, Liz," cerita Hermawan singkat.
Tertegun dengan cerita Hermawan, Liza tak menyangka ternyata Felic peduli padanya. Meskipun selama ini dia bersikap dingin dan tak acuh pada Felic, tapi wanita itu masih memiliki rasa empati padanya.
Pantas Al sulit melepaskanmu, Fel. Ternyata hatimu tulus dan baik. Batin Liza melamun.
"Liz," panggil Hermawan menyadarkannya.
"Aku sudah salah sangka sama dia, Wan." Tatapan Liza lurus ke depan, matanya berkaca-kaca, pandangannya pun kabur.
"Salah sangka sama Felic? Emang kenapa dia?"
Liza mengalihkan pandangannya pada Hermawan, dia tersenyum getir.
"Aku tidak tahu bagaimana ceritanya mereka bisa bertemu, tapi Al sudah jatuh cinta sama Felic. Aku kenal Al itu sejak kami kecil, aku tahu bagaimana sifatnya, Al orangnya sulit jatuh cinta, Wan, akrab sama orang saja susah. Selama kami berteman baik, bisa dihitung dengan jari wanita yang dekat dengannya. Baru aku sadar, kenapa Al bisa menjatuhkan pilihan pada Felic, ternyata dia orang yang baik dan tulus. Entahlah, Wan, ini sangat rumit," cerita Liza memandang Hermawan sendu.
"Apa mereka menjalin hubungan di belakangmu?" tanya Hermawan yang sudah sedari tadi menahan pertanyaan itu.
Kepala Liza mengangguk, artinya dia mengiyakannya.
Hermawan menghela napas dalam. "Tahu keadaan akan seperti ini, waktu itu aku nggak ninggalin kamu, Liz. Andaikan waktu bisa berputar kembali ...," ujar Hermawan menyesal.
"Sudahlah, Wan. Jangan disesali lagi, semua sudah terjadi. Yang harus dilakukan sekarang mencari jalan terbaik untuk masalah ini. Apakah aku jahat, Wan, memisahkan dua orang yang saling jatuh cinta? Tapi, aku merasa takut kehilangan Al. Entahlah, ini hanya kekhawatiranku saja atau memang aku benar-benar takut berpisah darinya."
"Liz, kalau aku rasa, perasaanmu ke Al cuma sekadar takut kehilangan karena selama ini hanya dia yang menjadi teman baikmu. Kamu takut tidak punya teman selain dia, kekhawatiran itu yang membuat Al terbelenggu sama kamu. Apalagi mungkin Al menyadari itu, jadi dia hanya merasa iba dan kasihan sama kamu." Ucapan Hermawan seperti menampar kesadaran Liza. Dia terdiam mencerna ucapan Hermawan.
"Tidak adil untuk Al jika kenyataannya seperti itu, Wan. Aku merasa menjadi orang teregois di dunia. Jadi, selama ini aku mengekangnya dan merenggut kebebasannya. Tapi, kenapa Al melakukan itu? Apakah dia bodoh? Kenapa dia tidak menolak perjodohan kami saat itu?" isak tangis Liza semakin kencang.
"Aku tidak tahu kalau masalah itu, Liz. Cuma Al yang tahu alasannya. Tapi, bisa jadi dia menerima kamu karena melihat kerapuhan kamu ketika itu, atau mungkin saja Al ingin kamu punya semangat untuk sembuh. Dengan adanya dia di sampingmu, memacu semangatmu untuk tetap bertahan dan bisa sembuh," ujar Hermawan menerka-nerka.
"Iya, Wan. Itu bisa saja terjadi. Al memang orangnya tidak tegaan dan saat itu ketika aku mengetahui penyakitku ini, benar-benar aku depresi, cuma Al yang bisa menenangkanku. Dia selalu mendorongku untuk selalu semangat agar bisa sembuh. Sampai waktu itu, kami lulus kuliah, orang tua kami bersepakat menjodohkanku sama Al. Karena Mama sama Papa merasa Al satu-satunya pria yang pantas mendampingiku. Setelah dia lulus dari universitas penerbangan di Yogjakarta, mungkin orang tuaku menilai jika masa depan Al sudah pasti cerah dan dia bisa membahagiakanku. Kenyataan, selama aku menikah dengannya, Al tetap sama saja menganggapku teman, mungkin saja selama ini aku hanya dia anggap adik perempuannya yang sebisa mungkin dia lindungi." Liza menunduk sedih meratapi nasibnya.
"Liz." Herman menggenggam tangan Liza, "jangan merasa kamu nggak punya teman selain Al. Ada aku yang bisa kamu jadikan tumpuan dan sandaran. Aku siap menjaga dan menemani kamu, jangan lagi bersedih, kamu tidak sendiri." Hermawan membawa Liza ke dalam pelukannya. Berangsur-angsur kegelisahan hati Liza luntur adanya perhatian dari Hermawan.
Terkadang karena takut kehilangan, kita akan menjadi orang teregois di dunia ini. Kita terlalu sempit memandang dunia ini, kita tidak sadar jika di sekitar masih banyak orang yang peduli dan bahkan memerhatikan kita. Buka mata dan pandanglah dunia lebih luas, maka kamu tidak akan merasa takut menerima kenyataan. Perluaskan pemikiran kita, agar tidak mengikat dan mengekang kebebasan orang lain.
***
Sampainya di rumah orang tuanya, Felic langsung menutup diri di kamar. Dari dia datang sampai malam, kamar tidak terbuka. Marta dan Robi sampai heran dengan sikap putri semata wayangnya itu. Tidak biasanya Felic menjadi pemurung dan tak acuh begini pada keluarga.
Saat menunggu Felic di ruang makan, Robi memerintah Marta, "Ma, panggil Felic. Ajak dia makan, kasihan dari pagi belum makan."
"Iya, Pa." Marta pun menuruti perintah suaminya.
Dia melakukan kakinya ke kamar Felic, sampainya di depan pintu kamar, Marta mengetuk pintunya.
Tuk tuk tuk
"Fel, makan yuk! Dari tadi kamu belum makan, Mama masakin makanan kesukaanmu loh," ujar Marta.
"Iya, Ma. Nanti Felic turun, habis salat Magrib, Ma," jawab Felic dari dalam.
"Oh, ya sudah. Mama sama Papa tunggu di ruang makan, ya?"
"Iya, Ma."
Marta pun kembali turun ke ruang makan.
"Mana Felic, Ma?" tanya Robi.
"Nanti dia menyusul, habis salat, Pa," jawab Marta duduk di kursinya.
Beberapa saat kemudian Felic datang, dia menarik kursi di samping Marta.
"Wuuuuuuuih, sedaaaaap, aroma sotonya enak banget, Ma," puji Felic berusaha tersenyum tapi sembap di mata dia tak bisa membohongi orang tuanya.
"Kita makan bareng-bareng. Sudah lama kita nggak seperti ini, Mama kangen." Marta berdiri mengambilkan nasi untuk Robi.
Dari tatapan kedua pasang mata Marta dan Robi seolah-olah mereka sedang berkomunikasi. Meskipun Felic berusaha menyembunyikan wajah sedihnya, tapi Marta dan Robi tahu, pasti terjadi sesuatu sama putrinya. Mereka menyantap makan malam dengan obrolan kecil yang santai.
Setelah selesai makan malam, mereka berpindah ke ruang TV, berkumpul bersama. Felic duduk di antara orang tuanya, dia menyandarkan kepalanya di bahu Marta, matanya memang memandang TV, tapi isi kepalanya hanya ada Al, Al, dan Al.
Bagaimana kabar dan keadaanmu, Al? Maaf, aku pergi nggak pamit sama kamu. Batin Felic.
Menyadari lamunan Felic, Marta dan Robi pun saling memandang. Robi menggerakkan dagunya, memberi isyarat supaya Marta lebih dulu bertanya pada Felic.
"Sayang, apa yang kamu sedang pikiran?" tanya Marta halus sambil mengelus kepalanya.
Belum juga Felic menjawab, dia menelungkupkan wajahnya di dada Marta memecahkan tangisannya yang sedari tadi tertahan hingga menyesakkan dada. Felic tidak bisa lagi berpura-pura di depan orang tuanya. Marta dan Robi semakin dibuatnya bingung.
"Cerita sama kami, Nak. Jujur saja, biar hatimu lega," ujar Robi mengelus-elus punggung Felic agar tangisannya tenang.
Perlahan-lahan, sambil berderai air mata, Felic menjelaskan duduk permasalahannya dengan Al. Orang tua Felic pun paham dan bisa menerima keputusan putrinya. Marta dan Robi merasa empati dengan apa yang putrinya alami.
"Tenang, Nak. Jodoh serahkan pada Allah, jika sudah waktunya, kamu pasti akan menemukan yang tepat," nasihat Robi mencoba melapangkan dada putrinya.
"Ya sudah, Mama antar kamu ke kamar, ya? Kamu istirahat, jangan pikirkan itu lagi. Mama sama Papa bisa memahamimu, kami tidak akan lagi mendesakmu untuk cepat-cepat menikah. Nikmati saja dulu kebebasanmu, kamu masih muda, masih banyak hal yang menantimu di luar sana, Sayang." Marta mengusap air mata Felic dengan kedua telapak tangannya.
Masih sesenggukan, Felic diantar Marta naik ke kamarnya.
Sebesar apa pun masalah yang menerjang kita, akan lebih merasa tenang dan nyaman jika kita berada di tengah-tengah keluarga.
########
😎😎😎😎
Semakin jelas, alasan-alasan itu. Hehehehe.
Terima kasih atas vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top