PENYESALAN YANG TAK BERUJUNG

Bagaikan kehilangan permata bernilai tinggi, menyesal pun kini tak berarti. Semenjak kejadian itu, Al seperti kehilangan separuh jiwa, hidupnya hampa tanpa Felic. Semua kontaknya diblokir, dia mencari keberadaan wanita itu, namun Felic sengaja menghindari Al.

Al tahu, Felic masih bekerja di Rajawali Airline, tapi dia sengaja pengajuan ke kantor agar tidak disatukan jadwal dengan Al. Sakit memang, tanpa diberikan kesempatan untuk menjelaskan apa pun, Felic langsung pergi dari hidupnya.

"Al." Liza masuk ke kamar Al, sudah dua hari dia day off, namun tidak sedikit pun ada niat keluar dari kamar.

"Apa?!" sahut Al ketus.

Liza paham, sikap dingin Al seperti itu karena ulahnya. Dia yang menimbulkan masalah di antara Al dan Felic, wajar saja jika Al merasa jengkel dan marah padanya.

"Makan, yuk! Aku tadi beli ayam asam manis sama cah kangkung kesukaan kamu," ujar Liza berusaha meluluhkan hati Al agar tidak lagi marah padanya.

"Makan saja sendiri," ucap Al datar dan ketus lalu turun dari tempat tidur. Dia mengambil kunci mobil di atas bufet kecil tempat meletakkan televisi dan barang elektronik lainnya.

Setelah memasukan dompet ke saku celana, Al memakai jaketnya lantas berlalu pergi tanpa memedulikan Liza yang masih berdiri di samping tempat tidur.

Selepas Al pergi, lagi-lagi air mata Liza tumpah tak terbendung. Dia duduk di tepi ranjang dan mengeluarkan sesak di dadanya.

"Kenapa jadi begini? Maaf, Al. Maafin aku, semua ini salahku, aku terlalu cemburu dan takut kehilanganmu. Semua salahku, aku tidak berpikir panjang," sesal Liza menangis sesenggukan.

Menyesal pun tak ada gunanya, semua sudah terlanjur terjadi. Keadaan semakin keruh.

***

Di tempat biasa dia makan bersama Al, Felic melamun memainkan sedotan sambil berpangku dagu.

Kenapa kamu tega membohongiku, Al? Salah apa aku selama ini sama kamu? Cinta sudah kuberikan, hati sudah aku abdikan padamu, hidupku sudah kuserahkan ke kamu, tapi kenapa kamu setega ini menghancurkan kepercayaanku? Kamu hancurkan semua yang ada pada diriku, begitupun impianku yang ingin menghabiskan sisa umurku sama kamu.

"Yang."

Felic tersentak dan tersadar dari lamunannya. Dia menoleh ke sumber suara. Wajah tampan itu kini kusam, mata dan hidungnya merah, terlihat sendu. Bergegas Felic mengambil tas jinjing yang diletakkan di kursi sampingnya. Saat dia ingin pergi, tangan Al menahannya.

"Tunggu!" pinta Al dengan suara parau menahan tangis.

Felic tak sanggup menatap wajah pria yang sesungguhnya masih memenuhi ruang hatinya. Tanpa menoleh, dia berkata, "Mau apa lagi kamu menemuiku?" Felic menepis kasar tangan Al yang menahan pergelangan tangannya.

Sekuat tenaga, dia menahan tangisannya agar tidak pecah di depan Al.

"Aku mau kita bicara," pinta Al lirih, bibirnya bergetar.

Tanpa berucap apa pun, Felic pergi melangkahkan kakinya menuju kasir untuk membayar makanannya. Al dengan cepat mengikuti dan mengeluarkan uang, lalu diberikan pada petugas kasir.

"Pakai itu saja, Mbak," ucap Al mendahului Felic.

"Nggak usah, Mbak. Pakai ini saja." Felic ingin mengeluarkan uang dari dompet, tapi tangannya ditahan Al.

Petugas kasir bingung, menatap Felic dan Al bergantian.

"Aku mau jelasin sesuatu sama kamu," mohon Al dengan tatapan mengiba.

"Mau jelasin apa? Kalau kamu sebenarnya sudah punya istri? Iya?!" sentak Felic tanpa menatap Al. Dia menyibukkan diri memasukan dompet ke dalam tas.

"Kamu belum tahu alasan yang sebenarnya."

"Sudahlah! Mulai saat ini kamu jangan pernah cari aku lagi. Kamu jangan pernah muncul di depanku apalagi datang ke apartemen! Hatiku sudah tertutup untukmu." Meski mendustai hati dan menyakiti diri sendiri, namun Felic harus bisa bersikap tegas.

"Aku nggak mau!" tolak Al tanpa melepaskan genggaman tangannya di lengan Felic.

"Awas!" Felic melepas paksa tangan Al, lantas dia pergi.

"Mas, kembaliannya," ucap petugas kasir namun Al tidak merespons malah sibuk mengejar Felic yang sudah keluar dari restoran.

Sampai di parkiran, Al menarik tangan Felic supaya berhenti berjalan.

"Kamu sudah berjanji tidak akan meninggalkan aku. Tapi kenapa kamu seperti ini?!" sergah Al dengan suara parau.

"Karena ini salah kamu! Kamu yang nggak jujur dari awal! Tolong lupakan janji itu, jangan lagi kamu menggangu hidupku apalagi menemuiku. Urus saja istrimu!!!" bentak Felic dengan mata berkaca-kaca dan dada kembang kempis menahan nyeri dan sesak.

Kepala Al terus menggeleng, matanya sudah memerah, siap ingin menangis. Tak peduli beberapa pasang mata memerhatikan mereka yang sedang cekcok, Al berlutut di depan Felic.

"Tidak peduli kamu berpikir aku pria cengeng dan tidak punya harga diri. Tapi, saat ini, aku sedang mengemis cintamu. Aku hancur tanpamu, aku nggak bisa melanjutkan hidup bila tanpa kamu," ucap Al menundukkan kepala, mengalirkan deras air matanya.

Felic tak kuasa menahan tangisannya, pertahanannya roboh, akhirnya tangis pun pecah. Dia ikut berlutut saling berhadapan dengan Al.

"Aku nggak pengin membencimu, tapi kamu sudah mengecewakanku. Aku nggak mau jauh apalagi meninggalkanmu, tapi kamu sudah menjadi miliknya. Aku nggak mau menjadi ketiga di antara kalian. Aku nggak pengin menyakiti hatinya, biarlah sakit ini aku yang rasakan. Kembalilah pada istrimu, Al." Felic mengangkat dagu Al dan menyeka air matanya dengan ibu jari.

Meskipun sudah diseka, namun air mata Al terus saja mengalir seolah tak bisa dibendung. Felic dapat merasakan betapa sakitnya hati Al saat ini, karena dia juga merasakannya.

"Pulanglah!" perintah Felic.

Al menggelengkan kepala cepat.

"Jika begitu, biarlah aku yang pergi." Tanpa peduli Al masih berlutut, Felic berdiri dan berlalu meninggalkannya.

"Aku cinta sama kamu!!! Aku sayang sama kamu, Felica Diandra!!!" teriak Al masih bertahan dengan posisinya.

Sebenarnya Felic mendengar teriakan Al, tapi dia tidak menoleh, kakinya terus melangkah lebar meninggalkan parkiran sambil membekap mulut menahan isak tangisannya.

***

Hari demi hari berganti, sudah lebih satu bulan Al dan Felic tidak bertemu. Dijauhkan karena keadaan membuat mereka sama-sama tersiksa. Saling mencinta, tapi tidak bisa bersatu karena keadaan, itu sangat menyakitkan.

Felic duduk di atas tempat tidur, hatinya hampa, hidupnya kosong, dia sudah tidak punya semangat menjalani hidup. Rindu? Sudah pasti dia sangat merindukan Al. Bayangan saat mereka bersama, ketika Al memanjakan dan melimpahinya perhatian, semua itu masih sangat terasa dan sulit untuk dilupakan.

"Ya Allah, kenapa sangat sulit menghapus perasaan ini? Cintaku sama dia sudah terlanjur mengakar ke dasar hati. Jikalau memang dia jodohku, berikan jalan terbaik tanpa menyakiti siapa pun. Tapi jika memang kami tidak berjodoh, hapus perasaan ini dari hatiku." Felic berdoa di tengah kegundahan hati.

Lantas dia berbaring menatap langit-langit kamar, bayangan-bayangan indah saat bersama Al terus menghantuinya. Tak diinginkan lagi-lagi air matanya meleleh dari sudut mata. Terus saja seperti ini saat mengingatnya, air mata tak pernah kering.

Tersiksa? Sudah pasti Felic tersiksa dengan keadaan ini. Di saat cintanya sedang di puncak kebahagiaan, kenyataan seketika menghempasnya dari kebahagiaan. Perih, pedih, hanya pilu yang menghiasi harinya sekarang. Kembali pada Al, dirasa Felic tidak mungkin karena Al sudah memiliki pendamping.

Cincin emas yang Al berikan saat menyatakan cinta, masih melingkar manis di jari Felic. Dia memainkan cincin itu---diputar-putar di jarinya---tidak ada niat dalam hati Felic melepaskan cincinnya.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau memang Liza ini adalah istri yang dicintai Al, dia nggak akan selingkuh sama aku. Aku tahu sifat Al, jika dia sudah mencintai satu orang, apa pun akan dia lakukan untuk orang itu. Saat bersamaku, secantik apa pun seorang wanita dan silih berganti penumpang dia, tapi Al tetap bersikap dingin dan nggak peduli dengan hal itu. Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Felic mencoba mencerna masalah yang sedang dihadapinya.

Tapi, dengan cepat Felic membuang jauh-jauh semua rasa penasaran yang merayap di otaknya. Dia berusaha tidak peduli dengan apa pun yang berhubungan sama Al. Kenyataannya itu sulit baginya!

"Ah, sudahlah! Aku tidak mau lagi mengurusi hidupnya. Lebih baik aku pengajuan cuti, pulang ke rumah, akan lebih baik, dengan itu mungkin aku bisa secepatnya melupakan Al."

Felic pun berusaha memejamkan matanya dan memeluk guling, tapi saat mata terpejam, dalam kegelapan, selalu saja wajah Al yang muncul. Setiap malam ketika beranjak tidur, selalu begitu. Terkadang, dia terjaga sampai Subuh.

***

Badan letih, tubuh terasa tidak memiliki tulang, lesu, lemas, dan tidak semangat. Pukul 03:00 WIB, Al baru pulang bekerja. Keadaan rumah sepi, sudah pasti penghuninya masih terlelap semua. Dia pun langsung beranjak ke kamarnya, sampai di kamar, Al melihat di atas tempat tidurnya ada seseorang berbaring. Al menyalakan lampu, dia menghela napas sangat dalam. Tak ingin mengusik tidur Liza, ia pun pergi ke kamar tamu dan membersihkan badan di kamar itu.

"Ngapain tidur di kamarku," keluh Al sambil melempar handuk di sembarang tempat.

Sampai saat ini, jika melihat Liza, Al masih merasa jengkel dan kesal. Al berbaring di tempat tidur, dia mengambil ponselnya di atas nakas, meski sudah tidak pernah bertemu Felic, Al masih setia memasang  wallpaper fotonya saat bersama Felic. Hanya dengan cara itu dia mengobati rindunya.

Dia membaca setiap pesan yang masuk, dalam dasar hatinya, Al berharap di antara puluhan pesan terselip nama 'Felic Hidupku'. Tapi, nihil! Felic benar-benar memblokir semua akses kontak yang berhubungan dengan Al.

"Yang, aku tersiksa. Apa kita bisa bertemu lagi? Kita masih di belahan langit yang sama, di kota yang sama, dan di maskapai yang sama. Tapi, kenapa rasanya suliiiiit sekali bertemu kamu?" Al mengusap-usap layar ponsel yang menampakkan wajahnya dan Felic saat selfie.

"Aku sangat merindukanmu, Yang." Al memeluk layar flat-nya.

Dentingan tanda pesan dari WhatsApp masuk, segera Al membukanya.

Besok kamu libur nggak, Al?

Pesan dari sang mama. Segera Al menjawab.

Libur, Ma. Kenapa?

Kamu datang ke rumah, ya? Ajak Liza, Mama mau ngomong sesuatu.

Soal?

Besok saja, ya, kita bahas.

Al tidak membalas lagi, pikirannya terlalu penat untuk sekadar penasaran dengan hal sepele. Mungkin saja mamanya cuma rindu, karena Al dan Liza sudah lama tidak berkunjung ke rumah. Wajar, karena Al anak tunggal, jadi rumah terasa sepi.

#####

Nah kan, jadi rumit; gara-gara penulisnya nih, suka bikin yang rumit.😅

Seneng kan kalau update-nya bisa lancar begini? Hehehehe. Makasih untuk vote dan komentarnya, ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top