MY NAME IS KAPTEN AL

Tok tok tok tok

Suara sepatu pantofel berhak tinggi namun berujung tumpul, terdengar di koridor apartemen. Kaki jenjang yang memakai stoking senada dengan warna kulitnya dan sepatu pantofel hitam mengkilap tanpa tali, bermodel klasik, yang terbuka di bagian atas serta sisi kaki mendekati lift. Jalannya yang anggun dengan postur tubuh proposional, mengalihkan pandangan setiap mata pria yang berpapasan dengannya. Bibirnya terus menebar senyum simetris, membuat siapa pun yang melihatnya bahagia.

"Selamat pagi, Felic," sapa seorang pilot tampan yang bekerja satu penerbangan dengannya. Kebetulan dia juga berada di lift yang sama.

"Selamat pagi, Kapten Danil," balasnya ramah menekan tombol 1 agar lift turun ke lantai dasar.

"Penerbangan ke mana pagi ini, Fel?" tanya Danil seorang pilot senior.

"Ke Palembang, Kap," jawab Felic ramah dibalas anggukan paham oleh Danil.

"Kabarnya ada pilot dari luar daerah yang akan dipindahkan di kantor sini. Apa kamu sudah mengenalnya?" tanya Danil basa-basi untuk memecahkan keheningan di dalam lift.

Terasa canggung apabila di dalam lift hanya berdua berbeda jenis. Meskipun tidak melakukan hal yang senonoh, tapi tetap saja Felic merasa sungkan.

"Siapa ya, Kap? Saya kan juga baru beberapa bulan di maskapai Rajawali. Pindahan dari daerah mana dia?" tanya Felic. Dia pramugari baru di penerbangan Rajawali. Tapi sebelumnya dia sudah memiliki banyak pengalaman di penerbangan lain.

Ting!

Pintu lift pun terbuka, Felic dan Danil keluar menunggu mobil manajemen yang selalu menjemput kru setiap harinya. Tempat tinggal Felic tak jauh dari bandara, di tempat ini jugalah Felic hidup di lingkungan kru pesawat dan pekerja bandara yang lainnya.

"Saya justru belum tahu kabar itu, Kap. Kira-kira pindahan dari kantor cabang mana ya, Kap?" tanya Felic penasaran dengan pilot baru yang Danil maksud. Mereka duduk di kursi lobi apartemen sembari menunggu mobil jemputan datang.

"Saya juga kurang tahu Felic, saya juga baru dengar beritanya semalam. Oh iya, dapat salam dari istri saya, kapan-kapan mampirlah ke apartemen kami lagi," ujar Danil sudah mengenal Felic lama, karena mereka dulu pernah bekerja di satu maskapai berlogo singa, sebelum pindah ke maskapai mereka yang sekarang berlogo burung lambang negara Indonesia.

Seringnya dipertemukan dalam satu penerbangan, membuat mereka menjadi seperti keluarga. Danil sosok ayah yang baik untuk putra-putrinya. Berbeda dengan pilot kebanyakan yang suka main di belakang istri, Danil selalu profesional saat bekerja dan dia tak pernah sedikitpun melupakan keberadaan keluarganya, sekalipun dia sedang RON.

"Coba lihat nanti ya Kap, soalnya kadang saya pulangnya juga larut malam. Nggak tentu, hari libur juga kadang masih harus berangkat," tukas Felic dijawab anggukan Danil.

Tak berapa lama mobil jemputan pun datang, mereka bergabung bersama kru yang lain. Begitu bahagia dapat berkumpul dan bercengkrama dengan teman kerja yang berbeda-beda. Karena setiap penerbangan akan berputar tugasnya, tidak selalu dengan pesawat, pilot, dan kru yang sama. Semua tergantung jadwal dan pemilihan kapten untuk kru penerbangannya.

"Mbak Felic, sampean udah sarapan belum?" tanya Dahlia seorang pramugari dari Jawa Tengah yang sulit untuk melepas logat medoknya.

"Aduh Dahlia, dulu lo itu gimana sih bisa lolos jadi pramugari? Ya ampun, nih bocah dari dulu udah diajarin pakai bahasa Indonesia yang benar, tapi masih aja lidah Jawa-nya susah hilang," cerca Nita teman satu angkatan dengan Felic.

"Hus! Lo tuh ya Nit, kalau udah dari asalnya begitu emang susah. Biarkan saja, asal kalau sama penumpang, pakai bahasa Indonesia yang benar ya, Lia?" sahut Felic ditanggapi anggukan dan senyuman ramah Dahlia.

"Nah, bener katanya Mbak Felic, setuju!" sahut Dahlia lugu dan polos.

Semua yang ada di dalam mobil tergelak mendengar logat Dahlia yang medok pol.

"Haduh Lia ... Lia, semoga besok kalau dapat jodoh jangan orang bule ya? Nggak bisa bayangin kalau lo ngomong bahasa Inggris dengan logat Jawa medok," ujar Nita menyahuti lagi, membuat semua semakin dibuatnya tertawa hingga ruang mobil ramai.

Begitulah kebahagiaan dan kekeluargaan yang tercipta di antara para pramugari dan pramugara. Terasa hangat dan penuh keceriaan. Meski tak dipungkiri ada beberapa di antara mereka yang merasa tersaingi dan bahkan bersaing dalam bekerja. Namun bagi Felic pribadi, rizki sudah ada yang mengatur, jika waktunya naik jabatan, pastilah dia akan mendapat gilirannya.

Sesampainya mereka di kantor manejemen, satu per satu menempelkan jarinya di crewlink untuk tanda kehadiran.

"Hah!" desah Felic menjatuhkan bokongnya di tempat duduk.

"Kenapa, Fel?" tanya Roy petugas kantor manajemen yang mendengar desahan berat Felic.

"Nggak apa-apa, Pak Roy" jawab Felic melirik seseorang yang asing baginya, berdiri di sebelah Roy.

"Oh iya Fel, kenalin nih, kapten baru, yang nanti akan bertugas bersama kamu," ujar Roy mengenalkan seseorang itu dengan Felic.

Seorang pria gagah, masih muda, tampan, kulit putih, tingginya sekitar 172 sentimeter, stay cool, rahangnya kukuh, tatapan matanya tajam, namun meneduhkan hati dan hidungnya mancung. Sempurna! Sungguh indah ciptaan Tuhan itu.

Beberapa menit mereka saling memandang. Terpana? Kagum? Mungkin saja. Kagum karena ketampanannya dan kencantikan Felic.

Felic pun berdiri lantas menyapanya, "Hai, kenalkan, nama saya Felic." Dia mengulurkan tangannya ramah.

Pria tadi menyadarkan dirinya, lantas menyambut uluran tangan Felic.

"Al," jawabnya singkat.

Al! Nama yang singkat dan cukup jelas! Lantas sang kapten itu pun duduk di kursi depan Felic. Felic masih terus memerhatikannya, parasnya yang menawan bagaikan gravitasi, setiap saat menarik perhatian orang-orang di sekitar, termasuk Felic. Beberapa pramugari sudah memerhatikan dia sedari tadi, bisikan-bisikan mengagumi pun terselenting hingga di telinga Al. Namun, kapten itu tetap bersikap cuek dan dingin.

Seperti biasanya, kru penerbangan akan naik ke pesawat dua jam sebelum penumpang. Mereka akan melakukan pengecekan seluruh bagian yang ada di pesawat, sedangkan pada kru kabin akan menyiapkan dan membersihkan kabin dan tempat duduk.

"Fel, kamu lihat Kapten baru tadi? Huuuuh, tanpannya," pekik Nita terkagum-kagum saat mereka sedang meletakkan koran dan permen di kursi penumpang.

Felic memang setuju dengan ucapan Nita, namun dia harus menjaga image agar tidak dipikir orang dia cewek murahan. Karena kewibawaan pramugari atau kru pesawat sangat diperlukan.

"Hus! Jaga kelakuan kamu, Nita," tegur Felic.

Nita langsung menutup mulutnya dan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Begitulah pekerjaan mereka sebelum proses boarding. Memastikan segala sesuatu di dalam pesawat aman dan nyaman.

Semuanya terlihat sibuk, dengan tugasnya masing-masing. Al dan seorang kopilot sedang persiapan di kokpit. Menghitung bahan bakar yang diperlukan dan lain-lain.

Setelah semua siap dan burung besi telah terbang ribuan kaki di atas permukaan air laut, kru kabin melakukan tugasnya. Melayani penumpang dengan sebaik mungkin, sedangkan pilot dan kopilot mengendalikan penerbangan di kokpit.

"Kapten Al dulu ditempatkan di kantor mana?" tanya David kopilot yang mendampingi Al saat ini.

"Dulu di kantor Ngurah Rai, Bali," jawabnya singkat dan jelas.

Memang begitulah Al, tidak banyak berbicara dan membatasi pergaulannya. Bukan berarti dia sombong, hanya dia tidak terbiasa bergaul dengan sembarangan orang, serta menutup diri dari orang yang baru saja dia kenal.

Tuk tuk tuk

Pintu kokpit terketuk, sudah dapat dipastikan, pasti salah seorang kru kabin membawakan makanan dan minuman untuk mereka. Benar saja, Felic masuk membawakan mereka kopi dan makanan ringan.

"Selamat pagi, Kap," sapa Felic ramah.

"Pagi, Felic," jawab David tak kalah ramahnya dengan Felic.

"Pagi." Berbeda dengan David, Al justru bersikap dingin dan datar.

Felic tak kaget lagi jika ada pilot seperti itu, karena selama dia bekerja di penerbangan, sudah banyak bertemu pilot dengan berbagai macam sikapnya.

"Ini ya Kap, minuman dan camilannya." Felic menurunkan kopi di tempat khusus yang mudah dijangkau oleh Al dan David.

"Terima kasih ya, Fel. Kamu baik banget sih?" puji David langsung menerima cup kopinya.

Felic bersikap biasa saja, tak tersanjung dengan pujian itu, karena dia sudah paham model pilot seperti David.

"Ya sudah Kap, saya kembali ke kabin dulu. Permisi," pamit Felic.

"Makasih," ucap Al menyusul saat Felic sudah hampir membuka pintu kokpit.

Entahlah, mengapa mendengar suaranya saja membuat hati Felic berbunga-bunga. Perasaan Felic menghangat, walaupun Al baru saja dia kenal, tapi dia sudah meluluhkan kerasnya es dalam hati Felic yang selama ini membeku.

"Iya, Kap." Felic pun langsung keluar dari kokpit.

Senyum di bibirnya terus merekah, perasaannya sangat bahagia, hari ini suasana hatinya sangat baik. Dia merasa, hati yang dulu membeku, sedikit demi sedikit mencair karena pertemuannya dengan Al.

"Kap, kamu tahu? Felic itu pramugari yang sulit untuk didekati. Aku sudah berusaha mendekati dan merayunya, tapi sayang, doi tidak pernah merespons," ujar David disusul tawa renyahnya.

Al hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Sedikit demi sedikit dia menyeruput kopinya yang masih panas. Dia menoleh ke luar jendela, hamparan awan yang putih seperti kapas tersebar. Entah mengapa di atas awan itu Al melihat senyuman Felic terlukis di sana. Mengapa tiba-tiba Al membayangkan gadis itu?? Al segera menggelengkan kepalanya dan tersenyum sendiri.

"Apa dia sudah lama bekerja di sini?" tanya Al terdorong ingin mengorek informasi mengenai Felic.

David menoleh, mengerutkan dahinya. "Siapa?"

"Orang yang tadi kamu bicarakan," ujar Al tetap menjaga image, sikapnya tenang dan datar.

"Oooh, Felic. Dia sudah lama menjadi pramugari, tapi bergabung di maskapai Rajawali, baru beberapa bulan yang lalu. Sering sih, dapat satu jadwal sama dia. Tapi, yaaaa... begitulah dia. Sulit didekati," jelas David lalu menyeruput kopinya lagi perlahan-lahan karena masih lumayan panas.

"Apa dia single?" tanya Al malu-malu, tapi dia juga sangat penasaran dengan gadis itu.

David tersenyum dan mengerling penuh artinya padanya. Al yang ditatap seperti itu langsung gelagapan dan mengalihkan pandangannya, berpura-pura sibuk sendiri. David melepaskan tawanya, melihat pipi Al yang memerah.

"Dia masih single, Kap. Kalau mau, aku bisa membantumu," kata David mengerling penuh arti.

"Tidak!!! Tidak perlu!" sahut Al cepat.

"Kenapa? Biasanya kan, kalau sudah bertanya seperti itu, pasti ada sesuatu. Seperti yang lainnya," ucap David menyamakan Al dengan pilot donjuan yang selama ini pernah bekerja sama dengannya.

Tak sedikit pilot yang jatuh hati kepada pramugarinya. Seringnya mereka bertemu dan berbincang, membuat rasa ketertarikan itu hadir dengan sendirinya.

"Enak aja kamu! Aku tak seperti mereka. Apa salahnya bertanya seperti itu? Aku hanya merespons ceritamu tadi, katanya dia sulit didekati, aku pikir dia seperti itu karena sudah punya pasangan," sangkal Al agar David tidak salah paham dengan pertanyaannya tadi.

"Oh, kirain mau mengejar perhatian Felic juga. Tapi, buat aku sih tidak masalah. Masih banyak kok, pramugari yang tertarik denganku dan mau aku ajak kencan. Felic bukan satu-satunya pramugari cantik di sini, masih banyak yang lain." David menaik-turunkan kedua alisnya menggoda Al.

"Ah, sudahlah! Jangan membahas itu lagi," elak Al. "Aku di sini ingin bekerja, fokus pada tugas dan tanggung jawabku. Tidak ingin berpikir yang tidak-tidak."

David hanya tertawa renyah, ini adalah kali pertamanya bertemu dan mendampingi Al. Sebelumnya mereka belum pernah bertemu dan tidak saling mengenal. Begitulah pekerjaan seorang penerbang, memang mereka bernaung di satu perusahaan, meskipun begitu, belum tentu mereka saling mengenal.

***

Setibanya di bandara tujuan, selepas semua penumpang keluar dan pesawat terparkir di tempatnya, kru kabin membereskan kursi penumpang dan membersihkan sampah-sampah yang ditinggalkan oleh penumpang. Al keluar dari kokpit berbincang dengan David. Meskipun banyak yang mereka bicarakan, namun Al membatasi diri, dia tak pernah sedikitpun menyinggung masalah pribadinya. Ketika mereka berjalan di koridor kabin, tak sengaja perjalanan mereka terhalang oleh Felic. Debaran jantung Al menjadi tak karuan saat senyuman manis itu terlempar ke arahnya.

"Selamat siang, Kap," sapa Felic ramah sedikit membungkukkan tubuhnya.

Felic memberikan jalan agar Al dan David bisa lewat. Al hanya mengangguk membalas sapaan Felic, dia juga bersikap dingin dan seolah tak peduli dengan apa yang sedang dia kerjakan.

"Fel, sudah makan belum?" tanya David basa-basi.

"Mmm... belum sih, Kap. Tapi, tadi saya sudah janjian sama Nita dan yang lain, mau makan di kafe dekat bandara. Memangnya kenapa, Kap?" Felic bertanya kepada David, namun ekor matanya melirik Al yang masih berdiri menunggu David.

"Nggak apa-apa. Kirain belum punya janji," ujar David melirik Al. "Soalnya, Kapten Al katanya tadi mau traktir, tanda perkenalan. Bukankah seperti itu, Kap?"

Al terkejut ketika David menyenggol dadanya dengan siku. Dia gelagapan, ingin menjawabnya. Padahal tak ada Al berbicara seperti itu dengan David.

"Ah, iya." Akhirnya, kata itu yang keluar dari mulut Al, meski sebelumnya tidak ada rencana sama sekali untuk mengajak siapa pun makan siang bersama.

"Waaah, gimana ya, Kap? Saya kan sudah duluan punya janji sama teman-teman, nggak enak kalau tiba-tiba membatalkan," ujar Felic bingung. Padahal dalam hatinya dia ingin sekali menerima tawaran itu, karena menghargai ajakan Al.

"Ajak saja teman-teman kamu gabung sekalian. Kan makin rame, jadi mereka juga bisa lebih dekat dan kenal dengan Kapten baru ini," usul Davit merangkul bahu Al sok akrab.

"Beneran nggak apa-apa, Kap?" tanya Felic memastikan kepada Al.

Al melirik David, sebenarnya ini hanyalah akal-akalan David, dia hanya menjadi korbannya saja. David mengedip-ngedipkan mata, memberi isyarat pada Al.

"Iya, boleh," jawab Al datar tersenyum sangat tipis.

"Baiklah kalau begitu. Mau makan siang di mana? Nanti biar saya kasih tahu yang lain," sambut Felic bahagia.

"Di kafe yang sudah kamu janjikan sama teman-temanmu saja. Biar nggak cari-cari tempat lagi," jawab David bahagia, baru kali ini berhasil mengajak Felic makan siang bersama.

"Oh, iya deh, Kap," sahut Felic.

"Ya sudah kalau begitu, kita tunggu di sana ya? Kamu selesaikan dulu pekerjaanmu. Sampai jumpa di kafe ya, Fel," pamit Davit tersenyum menggoda.

Felic hanya membalas dengan senyuman tipis. "Iya, Kap."

Akhirnya David dan Al pun berjalan menjauhi Felic, meneruskan langkahnya untuk keluar dari burung besi itu.

"Eh, Kapten David...," cegah Al saat mereka berjalan menuruni tangga pesawat. "Kenapa tadi kamu bicara seperti itu kepadanya? Aku kan tidak ada rencana seperti itu?" tanya Al.

"Sudahlah, ikuti saja permainanku. Dengan begini, kamu bisa mengenal Felic lebih jauh. Ini kesempatan emas, Kap. Jangan disia-siakan," ujar David menepuk-nepuk bahu Al lantas merangkulnya.

Al tidak habis pikir, David orang yang baru saja dia kenal langsung bersikap seperti itu padanya. Tapi, benar juga kata David, dengan begitu Al bisa lebih dekat dan kenal dengan Felic.

##########

Yeaaaaaa... yang pernah membaca ceritaku Istri Kedua nggak asing sama nama Al dan Felic. Ini versi barunya looooh, kali ini kolaborasi sama Ebie. Semoga saja menghibur kalian ya?🙏

Terima kasih atas vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top