KEPUTUSAN TERBAIK
Semua persiapan operasi sudah beres, Liza didampingi semua keluarga termasuk Al dan Felic. Beberapa minggu yang lalu Felic juga sudah melepas gipsnya. Hampir satu bulan lebih Liza mempersiapkan operasi ini. Semua keluarga menunggu di depan pintu operasi, Al duduk di sebelah Felic dan terus menggenggam tangannya. Lia yang melihat kemesraan mereka ikut bahagia, lain dengan Diana yang tampak sengit tidak menyukai kedekatan Al dan Felic.
Tunggu waktunya, kalian tidak akan bisa bahagia di atas penderitaan putriku. Diana membatin, entahlah, dia sangat benci melihat Felic. Di sudut pandang Diana, Felic adalah wanita penghancur rumah tangga putrinya, walaupun sudah sering kali Liza menjelaskan perasaannya kepada Al, tapi dia tidak mau mengerti.
"Bagaimana kaki kamu, Fel?" tanya Fahmi selama ini tulus baik pada Felic. Dia sudah bisa legowo menerima keputusan putrinya, lain dengan Diana yang belum bisa sukarela menerima kehadiran Felic.
"Alhamdulillah, Om. Sudah membaik, cuma kadang masih nyut-nyutan."
"Sabar, nanti juga pulih. Dilatih jalan pelan-pelan," nasihat Fahmi yang duduk di sebelah Al.
"Iya, Om." Felic tersenyum manis.
"Yuk, Mas Doni, kita ke kantin cari kopi," ajak Fahmi menepuk paha Doni yang duduk di sampingnya.
"Oke." Doni pun mengikuti Fahmi berjalan ke kantin.
"Felic sudah makan?" tanya Lia memecah keheningan di antara mereka.
"Sudah, Ma."
"Kapan?" sahut Al cepat karena sejak tadi Subuh sampai pagi ini belum melihat Felic makan.
"Tadi kan, di mobil pas mau ke sini sudah sarapan," jawab Felic.
"Itu makan roti, bukan sarapan."
"Ya sudah-sudah," lerai Lia, "mau menemani Mama makan di kantin?" tawar Lia.
Sebelum menjawab, Felic menatap Al tanda meminta izin.
"Iya sudah, temani Mama makan sekalian kamu makan." Al mengeluarkan dompetnya dan diberikan pada Felic.
"Kamu nggak makan?" tanya Felic menerima dompet Al.
"Nanti saja."
"Mbak Diana, aku ke kantin dulu, ya? Mau nitip?" tawar Lia sebelum pergi.
"Nggak, Mbak. Makasih," jawab Diana terlihat senyum yang dipaksakan.
"Ya sudah, kami ke kantin dulu." Lia menggapai tangan Felic dan menggandeng lengannya, mereka berjalan ke kantin sambil bercengkrama kecil.
Melihat kemesraan Lia dan Felic, hati Diana semakin gemuruh amarah. Selama ini Lia tidak pernah sedekat itu dengan Liza. Ada kecemburuan dalam batin Diana, Al memerhatikan cara Diana menatap punggung Lia dan Felic. Aneh, kenapa Mama Diana menatap Mama sama Felic sampai segitunya? Batin Al lalu mengajak Diana mengobrol agar dia mengalihkan pandangan yang mengerikan kepada dua wanita yang disayanginya.
"Bagaimana bisnis katering Mama?" tanya Al.
Diana mengalihkan pandangannya pada Al, dia menatap menantunya biasa, sangat berbeda dengan yang tadi.
"Alhamdulillah, lancar. Makasih, ya, Al."
"Buat?" tanya Al.
"Karena kamu sudah mau modali usaha Mama. Mana mau Papa Fahmi memodali usaha Mama?"
Al tersenyum lalu berkata, "Mungkin Papa belum mempercayai Mama lagi setelah usaha butik yang waktu itu gulung tikar. Namanya juga usaha, Ma. Semoga lancar kali ini, ya, Ma."
"Amin."
Beberapa bulan lalu Al memberikan modal 100 juta untuk usaha katering kepada Diana. Selama menjadi istri Liza, Al tidak pernah membeda-bedakan antara orang tuanya dan orang tua Liza. Mereka sudah dianggap Al keluarga.
Beberapa saat kemudian, Hermawan datang, dia masih mengenakan jas putih kebesarannya.
"Al, bagaimana operasinya? Sudah ada kabar?" tanya Hermawan yang langsung duduk di sampingnya.
"Belum, sejak tadi Liza masuk belum ada yang keluar."
"Yang lain ke mana?" Pandangan Hermawan mencari-cari.
"Ke kantin."
"Felic juga?"
Al langsung menatap tajam mata Hermawan. Melihat tatapan Al tidak mengenakan dengan cepat Hermawan meluruskan pertanyaan.
"Eh, Maaf. Maksudnya aku mau kasih ini ke Felic. Hasil rontgen kaki dia." Hermawan menyerahkan amplop cokelat berukuran hasil rontgen.
"Ya, makasih," ucap Al menerimanya dan membuka amplop tersebut.
Sensitif banget kalau aku sebut nama Felic di depan Al. Ternyata dia sangat protektif orangnya, tapi kalau sama Liza nggak begini amat. Batin Hermawan terdiam saat memerhatikan mimik wajah Al yang garang.
"Jadi kakinya belum sembuh total? Ini masih ada sedikit yang renggang," ujar Al setelah menerawang hasil rontgennya.
"Iya, tadinya Felic masih disuruh pakai kruk. Tapi dia menolak, katanya sih sudah nggak begitu sakit."
"Oh, gitu? Makasih, ya," ucap Al menyimpan hasil rontgen Felic di balik jaket hitamnya.
"Yang." Felic datang bersama Lia, Fahmi, dan Doni. Dia memberikan gelas kecil berisi kopi susu panas.
"Terima kasih," ucap Al menerimanya lalu merangkul pinggang ramping Felic diarahkan agar duduk di sebelah kirinya yang masih kosong. Al tidak mau Felic duduk dekat Hermawan. Semua menunggu operasi Liza sambil berbincang kecil.
Ceklek
Kunci ruangan diputar, pintu bewarna putih itu terbuka. Seorang perawat pria keluar memakai seragam operasi bewarna hijau. Semua yang menunggu berdiri, suasana menjadi tegang.
"Maaf, apakah dari pihak keluarga ada yang golongan darahnya sama dengan Nyonya Liza? Stok di bank darah rumah sakit sudah habis, sekarang Nyonya Liza membutuhkan transfusi darah."
"Saya!" sahut Felic cepat dan maju mendekat. "Saya pernah mendonorkan darah untuk Liza. Anda bisa mengambil darah saya," ujar Felic sukarela.
"Yang ...." Al ingin berucap, tapi setelah semua memandang ke arahnya dia tidak jadi berbicara.
"Baik, kalau begitu Ibu bisa ikut saya."
Sebelum mengikuti perawat tadi, Felic menyentuh lengan Al agar perasaan suaminya tenang. Lantas dia masuk ke ruang operasi mengikuti perawat pria tadi.
***
Setelah beberapa jam lelah menunggu, akhirnya pintu operasi terbuka, seorang suster keluar. Semua langsung berdiri dan mendekati suster itu.
"Sus, bagaimana operasinya?" tanya Diana yang sedari tadi tidak bisa tenang memikirkan putrinya.
"Alhamdulillah, semua lancar, Bu. Sementara Nyonya Liza diistirahatkan dulu, kami akan siapkan ruang perawatannya, baru nanti bisa dijengung. Tapi, tidak boleh bersamaan, maksimal dua orang yang boleh masuk."
"Baiklah," ucap Diana lalu kembali duduk.
Semua mengucap syukur, perasaan mereka lega.
"Istri saya?" tanya Al, semua menatapnya, sedangkan suster tadi mengerutkan dahi bingung. "Maksud saya Felic, wanita yang tadi mendonorkan darah buat Liza."
"Oh, Nyonya Felic masih istirahat di dalam, Pak. Tubuhnya masih lemas, tenang saja," jawab suster itu tersenyum penuh arti. Ganteng punya istri dua, wajarlah. Batin suster itu lalu masuk ke ruang operasi dan menutup pintunya kembali.
"Al, kamu tuh dari tadi gelisah mencemaskan Felic apa Liza?" tanya Diana sinis.
"Apa sih, Ma?" sahut Fahmi menyela.
"Heran saja, perasaan kok nggak adil gitu sih, Al," sungut Diana.
"Ma, Felic dan Liza sama-sama tanggung jawabku. Wajar jika aku mencemaskan keduanya, di sini Liza dekat sama Papa Fahmi dan Mama Diana. Bagaimana dengan Felic? Dia jauh dari orang tuanya. Apa salah aku bertanya kondisi Felic setelah kita tahu kondisi Liza?" Rahang kukuh Al mengeras, dia menatap Diana tajam.
"Al, sudah ... kita duduk dan menunggu mereka keluar dari ruang operasi." Doni merangkul Al dan mengajaknya duduk. Lia mendekat dan mengelus pundak Al supaya tenang.
"Huh!" Diana mengembuskan napasnya kasar. "Kalau nggak bisa adil, kenapa waktu itu mau menuruti kemauan Liza," gerutu Diana terdengar oleh semua.
Al beranjak dari duduknya, dia mendekati Diana dan berucap, "Bukankah waktu itu Mama juga menyetujuinya? Di posisiku sekarang berat, Ma. Mama pikir berlaku adil itu mudah? Siapa yang menginginkan posisi sepertiku saat ini, Ma?"
"Al, maafkan ucapan Mama Diana. Mungkin Mama sedang banyak pikiran," sela Fahmi takut menatap mata Al yang terpancar amarah.
"Pa, Ma, aku selalu menghormati kalian. Apa yang kalian putuskan bersama, aku selalu mendukung, entah kalian memikirkan posisiku yang sulit atau tidak. Urusan Felic, kalian tidak usah ikut pusing, aku tahu apa yang harus kami lakukan."
Tanpa berucap apa pun Al berlalu melangkah pergi dari tempat itu untuk menenangkan diri.
"Dasar, mantu tidak tahu diri!" cetus Diana yang langsung mendapat tatapan tajam dari Lia.
"Maaf Mbak Diana, jika anakku tidak tahu diri, dia tidak akan memikirkan Mbak Diana dan Liza. Permisi," ucap Lia menyusul Al.
Fahmi menghela napas panjang, dia menatap Doni sungkan. Memahami tatapan temannya, Doni hanya mengangguk tanda memahami situasi saat ini. Hermawan yang melihat pertikaian kecil antar keluarga tersebut hanya diam.
Aku nggak menyangka, ternyata Tante Diana bisa labil begini. Aku pikir dia tulus mendukung Liza, batin Hermawan heran.
***
Sudah hampir seminggu Liza dirawat setelah operasi besar yang menyebabkan rahimnya hilang. Semua keluarga saling membantu bergantian menjaga, begitu juga dengan Felic. Terkadang dia menemani Liza dan merawatnya dengan baik.
Siang ini jatah Diana yang menjaga Liza, setelah menyuapi putrinya, Diana berucap, "Liz, Mama nggak suka sama Felic."
"Kok Mama tiba-tiba ngomong gitu?" Liza mengerutkan dahinya heran.
"Liza, kamu sadar nggak sih kalau selama ini Al kelihatan sekali lebih sayang sama Felic."
"Ma, aku tidak menyalahkan mereka. Wajar, karena aku sadar betul kalau mereka saling mencintai. Posisiku yang sebenarnya harus keluar dari zona mereka."
"Nggak, Mama nggak akan mengizinkan kamu kalah dari Felic."
"Mama ini bicara apa sih? Kalah dari Felic?"
"Iya, kalau sampai kamu yang menyerah, itu berarti Felic menang."
"Ma, memangnya aku sama Felic sedang berlomba merebutkan sesuatu? Nggak! Kami tidak pernah bersaing apalagi saling menikam dari belakang. Aku tahu bagaimana Felic."
"Halah! Bisa saja kan di depan kamu dia baik, di belakang merencanakan kejahatan biar bisa menggeser posisimu dan menguasai semua yang Al miliki."
"Maksud Mama?"
Diana tanpa sadar berucap, dia langsung menutup mulutnya.
Duh, susah sekali mempengaruhi Liza sekarang, batin Diana.
"Aku tahu yang Mama maksud, Mama takut kan, kalau jatah bulanan yang Al kasih ke Mama hilang? Mama nggak akan bisa lagi pamer ke teman-teman Mama kalau punya menantu pilot, nggak bisa lagi belanja dan ikut arisan sana-sini. Tenang, Ma, kalau aku sudah sembuh, nanti akan kasih jatah bulanan juga ke Mama. Jadi, jangan khawatir kehilangan menantu pilot dan jatah bulanan." Liza mengelus-elus lengan tangan Diana.
"Apaan sih, kamu ini? Mama tuh cuma pengin lihat kamu bahagia seperti waktu Al belum ketemu Felic."
"Apa Mama nggak pengin punya mantu profesi lain? Dokter mungkin? Kan nggak memalukan juga kalau dipamerin, nggak kalah keren kok sama yang pilot," seloroh Liza diiringi kikiannya mengalihkan pembicaraan Diana.
"Ih, kok jadi bahasnya itu sih? Mama itu lagi serius. Emang kamu betah hidup dipoligami begitu? Kalau Mama jadi kamu sih, ogah!"
Tanggapan Liza hanya tersenyum, dia paham betul bagaimana sifat mamanya. Tidak salah jika Diana ingin membuatnya bahagia, tapi meskipun Diana itu mamanya, dia tidak mengerti takaran bahagia Liza.
Bahagiaku ada digenggamannya. Batin Liza tersenyum membayangkan orang yang selama ini sudah bisa melumpuhkan kerasnya hati dia.
***
Malam hari, Felic bergantian menjaga Liza. Sampai pagi dia terjaga menunggu Liza yang terlelap. Pintu ruangan terbuka, Felic menoleh melihat Hermawan datang membawakan bunga segar untuk Liza.
"Hai, Fel. Selamat pagi," sapa Hermawan pelan karena melihat Liza masih tertidur pulas.
"Pagi, Dok." Felic berdiri dari duduknya.
Sejak Liza dirawat, tak pernah absen Hermawan menjenguknya tanpa tangan kosong. Pagi dia membawa bunga, malam selepas kerja membawakan makanan yang Liza pesan. Bagi Liza, Hermawan bukan sekadar teman, tapi sahabat.
"Siapa yang gantiin kamu hari ini, Fel?" tanya Hermawan setelah meletakkan sebuket bunga di atas nakas.
"Mama Lia, tapi semalam Al telepon, katanya dia pulang hari ini. Pagi tadi dokter juga menyampaikan kalau kondisi Liza sudah semakin membaik. Mungkin kalau nggak besok atau lusa, Liza sudah diizinkan pulang. Tunggu Al menyelesaikan administrasi dulu," jelas Felic menatap Liza dengan mata sayu.
Lingkaran hitam tercetak di mata Felic, wajar saja karena semalaman dia tidak tidur.
"Assalamualaikum," ucap salam sembari membuka pintu, Lia datang bersama Doni.
"Waalaikumsalam," jawab Felic dan Hermawan bersamaan.
Felic mendekat dan langsung mencium tangan mertuanya bergantian.
"Mama masak sarapan buat kamu. Pasti kamu belum sarapan, kan?" tanya Lia mengelus kepalanya.
"Iya, Ma," jawab Felic tersenyum senang karena mendapat perhatian kecil Lia.
"Ayo, sini." Lia menarik pelan Felic mengajaknya duduk di sofa. Lia membuka kotak nasi berisi nasi goreng dengan campuran sayur dan telur.
"Hummmm... harumnya." Felic mencium aroma sedap nasi goreng buatan Lia.
Entahlah, jika bersama Felic, Lia merasa senang dan klop. Dia suka memanjakan menantunya itu.
"Dimakan."
"Felic makan, ya, Ma?" Dengan senyuman tak pudar dari bibirnya, Felic memakannya. Matanya berbinar senang, jauh dari Marta bukan berarti Felic kehilangan perhatian seorang ibu.
"Enak?" tanya Lia.
"Enak, Ma."
"Habiskan," titah Lia senang melihat Felic lahap memakan masakannya.
Doni dan Hermawan ikut tersenyum melihat Felic makan lahap. Mendengar sayup-sayup, mata Liza mengejap bersiap terbuka. Hermawan lekas mendekatinya. Setelah terbuka sempurna, Liza tersenyum menyapa Hermawan dan Doni, orang pertama yang dia lihat.
"Pagi," sapa Hermawan.
"Pagi, dokter jelek," ledek Liza.
"Sudah ganteng begini dibilang jelek? Astogfirullohhaladzim, punya teman mulutnya tajam," seloroh Hermawan yang pandai menghibur Liza.
Dengan tangan masih terasa lemas, Liza menampar lengan Hermawan.
"Felic mana?" tanya Liza.
"Aku di sini, Za," sahut Felic sambil mengunyah.
Hermawan menyingkir sedikit supaya Liza dapat melihat Felic yang sedang menikmati nasi gorengnya.
"Ya Allah, lapar ternyata kamu, Fel?" canda Liza.
Uhuk uhuk uhuk
Felic tersedak dan langsung menggapai air minumnya.
"Pelan-pelan." Lia mengusap-usap punggung Felic.
Sehabis minum Felic menjawab, "Iya. Semalam mau cari makan males, jadi laparnya terasa pagi ini."
Semua terkekeh kecil begitu juga Liza.
"Sudah isi belum kamu, Fel?" tanya Hermawan di sela candanya.
Deg!
Senyuman Felic seketika pudar, ucapan Diana kembali teringat-ingat di kepalanya.
##########
Hawduuuuuu, tahu ah! Bingung.
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.🙇🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top