KEKHAWATIRAN DI TENGAH KETEGANGAN

Wajah Al serius, kakinya melangkah lebar di lantai keramik putih. Dia menggenggam erat tangan wanita yang ikut berlari bersamanya.

"Yang, sana!" ucap Felic menunjuk lorong ICU.

Sampainya di depan pintu ICU napas mereka tersengal-sengal, perlahan Al melepas genggaman tangan Felic. Tatapan dua pasang mata mengintimidasi. Felic berdiri di tempat, sedangkan Al menghampiri sepasang suami-istri paruh baya yang berdiri dengan wajah khawatir di depan pintu.

Plak!!!

Tamparan keras mendarat di pipi kiri Al, telapak tangan pria itu membekas di pipi putihnya. Felic ternganga dan terkejut sampai menutup mulut.

"Suami macam apa kamu ini, Al! Kurang ajar sekali kamu mengabaikan anakku!!! Dia melawan sakitnya, sedangkan kamu malah asyik dengan wanita lain! Kamu pikir anakku robot yang tidak punya perasaan?!" maki Fahmi yang melihat Al datang bergandengan tangan dengan Felic.

Al menunduk sambil memegang pipinya yang terasa panas dan perih. Diana---mamanya Liza---melengos saat melihat Felic berdiri di jarak kura lebih satu meter dari mereka. Ingin rasanya Felic mendekati Al dan mengelus pipinya, namun dia tidak ingin membuat keadaan semakin keruh. Dia sadar, keberadaannya saat ini di tempat itu tidak tepat. Akhirnya dia pergi dari tempat itu dan menunggu Al di taman rumah sakit.

Hati Felic galau, dia merasa posisinya salah, sekelebat perasaan ingin meninggalkan Al muncul. Tapi, apakah itu jalan terbaik untuk masalah ini?

Ya Allah, aku harus bagaimana? Jika memang posisiku ini salah, tunjukan jalan yang benar. Aku tidak mau menjadi penghancur. Felic membatin dan menunduk memecahkan tangisannya di bangku putih bawah pohon mangga di pinggir taman rumah sakit.

Seseorang berjas putih dan celana hitam kain duduk di samping Felic. Dia mengulurkan tisu. "Kamu membutuhkan ini," ucapnya.

Lantas Felic mengangkat kepalanya dan menoleh ke samping. Pemuda tampan berkacamata itu tersenyum padanya.

"Terima kasih," ucap Felic menerima tisu darinya.

Beberapa detik tidak ada obrolan, Felic sibuk menyeka air matanya dengan tisu.

"Kenalkan, saya Dokter Hermawan, spesialis penyakit dalam." Hermawan mengulurkan tangannya.

Dengan ragu Felic pun menyambut tangan Hermawan.

"Felic," ucapnya lalu segera melepas jabatan tangan mereka.

"Maaf, bukan maksud mau ikut campur masalah kamu. Kalau boleh tahu, kenapa kamu menangis? Ataukah ada keluargamu yang dirawat di sini?" tanya Hermawan baik-baik.

Saat Felic ingin menjawab, suara Al memanggil, "Yang!"

Felic menoleh ke sumber suara, Al menghampiri dan segera Felic berdiri dari duduknya.

"Kenapa kamu di sini? Aku mencarimu," tanya Al melirik sinis Hermawan yang masih duduk.

"Urusanmu sudah selesai?" Bukannya menjawab, Felic malah bertanya.

"Sudah, pulang yuk!" jawab Al tanpa menyapa Hermawan, lalu mengajak Felic pergi dari tempat itu.

Saat Felic menjauh dari taman, sekilas dia menoleh melihat Hermawan yang masih memerhatikannya. Dia melempar senyum pada Felic, namun Felic hanya mengangguk kepala tanda menghormati Hermawan lantas dia fokus ke depan.

***

Hari demi hari sikap Al berubah, bukannya semakin mendekat pada Felic, Al justru berangsur-angsur menjauh. Entahlah, apa yang membuatnya seperti itu. Semenjak Liza masuk rumah sakit, Al sibuk bolak-balik bandara-rumah sakit. Sepulang dinas, jarang Al pulang ke rumah, dia langsung ke rumah sakit menemani Liza.

Yang, kamu di mana?

Pesan singkat dari Felic.

Di rumah sakit. Kenapa?

Tak ada balasan dari Felic, Al pun tidak memusingkan hal itu. Sikapnya kepada Felic sekarang sedikit cuek, tidak seperti dulu yang sangat ketakutan jika Felic jauh darinya.

Di ruang rawat Liza ada Diana, jika Al sedang dinas, Diana bergantian dengan Fahmi menjaga Liza. Terkadang juga Lia menggantikan besannya menjaga menantunya itu.

"Al, kamu libur, kan?" tanya Diana bersikap sinis sejak kejadian Al datang ke rumah sakit bersama Felic beberapa hari lalu.

Liza yang berbaring di tempat tidur merasakan ketidakbaikan hubungan antara Al dan mamanya.

"Libur, Ma."

"Ya sudah, kamu gantian jaga Liza, ya? Mama pulang dulu, nanti malam ke sini sama Papa."

"Iya, Ma."

Diana berpamitan pada Liza, lantas dia keluar dari ruang rawatnya.

Meski wajah Al terlihat letih, dia tetap merawat Liza sebagaimana mestinya. Ada kebahagiaan dalam hati Liza saat sakit seperti ini, Al selalu memanjakannya. Andai saja Al juga melakukannya setiap saat, tak hanya ketika Liza sakit, mungkin saja keinginan Liza untuk sembuh besar. Hanya Al alasan Liza bertahan selama ini, pria itulah yang sedari dulu menyemangatinya untuk sembuh, sebelum Felic datang dan menyita sebagian perhatian Al padanya.

"Liz, kamu mau makan apa?" tanya Al lembut mengelus kepala Liza.

"Apa saja deh, Al. Kamu tahu mana yang aku boleh makan dan tidak saat seperti ini," ucap Liza senang Al memerhatikannya.

"Oke."

Dari kaca kecil transparan di tengah pintu, tak disadari Al jika mata Felic berkaca-kaca melihatnya bersama Liza.

Harusnya aku sadar, posisiku salah jika mempertahankan Al. Dia suami Liza, wajar jika dia bersikap seperti itu. Aku tidak punya hak untuk cemburu ketika suami memberikan perhatian pada istrinya. Maaf, aku yang terlalu egois dan terlalu percaya diri bahwa suatu saat bisa memilikimu, Al. Felic melamun di depan pintu ruang rawat Liza.

Ceklek

Felic terkejut suara pintu terbuka, tak kalah terkejutnya Al melihat Felic berdiri di depan ruang rawat Liza.

"Felic?" ucap Al pelan tapi masih terdengar di telinga Liza.

"Felic? Ngapain ke sini?" lirih Liza was-was mendengar Al mengucap namanya.

"Maaf, mengganggu. Aku ke sini cuma mau jenguk Liza. Bolehkah?" tanya Felic disertai senyuman manis meski hatinya saat ini sedang menangis.

Tak ada sahutan dari Al, dia seperti orang linglung.

"Al," panggil Felic menyadarkannya.

"Eh, iya, maaf," ucap Al meraup wajahnya. "Masuk, Fel." Al membuka pintunya lebar.

"Terima kasih," ucap Felic lalu masuk.

Felic datang membawakan parcel buah-buahan. Senyum simetris terpasang di bibirnya, bagi Felic tidak susah memasang senyuman manis di bibirnya meski suasana hati sedih. Karena tuntutan pekerjaannya tetap harus memasang senyum walaupun suasana hati tak keruan.

"Hai, Liz," sapa Felic meletakkan parcel buahnya di meja samping tempat berbaring Liza.

"Hai," jawab Liza singkat terlihat kurang nyaman dengan kehadiran Felic.

Al berdiri di samping tempat tidur Liza, dia berseberangan dengan Felic.

"Sakit apa, Liz?" tanya Felic berusaha baik dan mengakrabi Liza.

"Biasa, kecapean," jawab Liza singkat tanpa senyum.

Merasa kehadirannya tidak diharapkan, Felic pun lalu berpamitan.

"Oh, iya, aku ada pekerjaan habis ini. Aku pulang dulu, ya?" pamit Felic pada Liza.

"Mau ke mana kamu?" tanya Al cepat, dengan wajah datar tapi bersikap posesif.

Dengan senyum yang tak pudar, Felic menjawab, "Saya ada penerbangan ke Jayapura, Kap."

Mendengar jawaban Felic yang formal, mengiris hati Al. Felic berubah, batinnya.

"Liz, cepat sembuhnya. Aku pamit dulu." Felic menyentuh lengan Liza, dari sentuhan lembut itu hati Liza terenyuh, terasa ketulusan dari gadis itu.

"Iya, makasih, Fel," ucap Liza.

"Mari, Kap. Saya permisi dulu," ucap Felic lantas keluar dari ruangan itu.

Baru saja punggung Felic menghilang dari pintu, Al berlari ingin mengejar. Tapi, saat sampai di ambang pintu, dia tidak melihat Felic.

Cepat banget ngilangnya? Batin Al.

"Al," panggil Liza.

"Iya." Al berjalan mendekati brankar Liza. "Aku carikan makan sekarang, ya?" ucap Al di balik itu dia ingin mencari Felic.

"Nggak usah, kamu di sini saja. Aku mau buah yang Felic bawakan saja." Liza sengaja mengalihkan keinginannya, dia tidak mau Al mengejar Felic.

Pasrah, Al hanya bisa menuruti Liza. Dia membuka parcel dari Felic dan mengupaskan buah untuk Liza.

Sedangkan di luar, Felic berjalan di koridor sambil membekap mulutnya menahan tangis. Dia berjalan menunduk menyembunyikan air matanya. Hermawan yang baru saja keluar dari salah satu ruang rawat pasien melihat Felic berjalan menunduk, dia lalu mengejarnya.

"Fel!" panggil Hermawan.

Merasa namanya dipanggil, Felic pun menegakkan kepalanya mencari sumber suara. Dia menyeka air matanya yang sempat menetes, lalu tersenyum saat melihat Hermawan berjalan mendekatinya.

"Dari mana?" tanya Hermawan setelah sampai di depan Felic.

"Jenguk teman, Dok."

"Dokter Hermawan," panggil seorang suster yang sedang bertugas bersamanya untuk mengecek pasien.

"Iya, Sus. Kamu masuk duluan ke ruang rawat yang lain, nanti saya menyusul," titah Hermawan.

Suster itupun mematuhinya.

"Fel, maaf, ya, saya tidak bisa menemani kamu. Ini kartu nama saya, jika berkenan, silakan hubungi saya." Hermawan memberikan kertas kecil persegi panjang pada Felic.

"Iya, Dok."

"Ya sudah, saya tugas dulu, ya? Sampai jumpa lain waktu." Hermawan lalu melanjutkan tugasnya.

Felic menyimpan kartu nama Hermawan di tas selempangnya lalu melanjutkan langkahnya.

***

Beberapa hari ini Felic disibukan dengan pekerjaannya. Hampir setiap hari dia bertugas ke luar kota dan di sela kesibukannya dia berusaha tidak menghubungi Al meskipun banyak pesan Al yang masuk. Tak ada satu pun pesan Al yang Felic balas. Telepon Al pun Felic abaikan.

"Fel, makan yuk!" ajak seorang teman ketika mereka mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali.

"Ayu, Sel!" Felic berusaha terlihat ceria. Dia tidak ingin teman-temannya tahu jika dia sedang bersedih.

Meskipun masalah pribadinya mengusik pikiran, tapi Felic berusaha profesional dalam bekerja dan saat bersama teman-temannya. Saat Felic dan Gisel ke luar dari bandara ingin mencari tempat makan, tak sengaja Al melihatnya.

"Fel!" panggil Al.

Sebenarnya Felic tahu Al memanggilnya, tapi dia pura-pura tidak mendengar dan mengajak Gisel berjalan cepat ke laut dari gedung bandara. Al mengejar, tapi sampai di lobi bandara, dia tidak melihat Felic. Segera Al meneleponnya, tapi berulang kali menelepon, Felic tidak mengangkat. Al mengirimkannya pesan.

Kamu di Bali kenapa nggak bilang sih? Tolong balas pesanku, aku mau ngobrol sama kamu.

Tidak ada balasan dari Felic, tapi pesan terlihat dibaca.

Kamu RON atau cuma singgah?

Al mengirimkan pesan lagi dan kali ini Felic membalas.

Maaf, saya sibuk. Lain kali saja, saya cuma singgah di sini.

Setelah itu saat Al mengirimkannya pesan lagi, pesan Al hanya centang satu, artinya HP Felic kemungkinan dimatikan atau dia mematikan data.

Al menyadari perubahan Felic, entah apa yang akan dia lakukan setelah ini. Tapi, saat ini yang ada dipikiran Al hanya kesembuhan Liza. Penyakit Liza menyita pikirannya.

###########

Nah, kan? Penyakit apa coba???😖
Cape gini terus! Kalian juga cape gak begini???😅

Terima kasih, ya, vote-nya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top