KEINDAHANMU

Al menggenggam tangan Felic erat, seolah ia tak ingin kehilangan wanita yang sangat dicintainya. Begitupun Felic, membalas genggaman tangan Al. Jari-jemari mereka bertautan tanpa celah. Mereka mengumbar kemesraan di tempat umum, begitu jelas sikap posesif Al, namun wajah tampan itu terlihat tak acuh dengan situasi sekitar yang memandang mereka iri, bahkan tak sedikit tatapan cemburu karena pasangan ini tampak serasi.

"Yang, aku pengin ikan bakar sama sambal lalapan yang pedes banget," ujar Felic ketika mereka berjalan di bibir Pantai Kuta, Bali.

Waktu RON dimanfaatkan mereka untuk berjalan-jalan meskipun sekadar makan, asal mereka dapat berduaan. Matahari yang akan tenggelam di peraduan, membuat suasana terasa romantis. Apalagi Al selalu memanjakan Felic, wanita itu merasa sangat tergantung karena sikap hangat pria yang dicintainya.

"Jangan, ah!" larang Al.

"Kenapa?" Felic mengusap keringat yang mengalir di pelipis Al dengan tangan telanjang.

"Nanti perut kamu sakit, Sayang." Al menggemas pipi Felic mesra.

"Nggak, Yang. Aku kuat kok makan pedas."

"Sekarang bilangnya kuat, tapi nanti setelah itu perut sakit, kamu ngeluh."

"Tapi aku pengin ...," rajuk Felic cemberut.

"Iya, nanti kita cari. Sekarang kita nikmati ini dulu." Al memandang luas hamparan air laut yang tanpa batas.

Garis cakrawala terlihat seolah menelan matahari. Felic duduk di bibir pantai, lantas Al menyusul duduk di belakangnya mendekap tubuh langsing itu.

"Yang, andaikan aku pergi lebih dulu dari dunia ini, apa yang akan kamu lakukan tanpaku?" ujar Felic seraya menikmati pemandangan langit oranye yang terlihat indah.

"Aku tidak pernah membayangkan dan tidak mampu membayangkan itu terjadi. Tapi jika boleh meminta pada Tuhan, lebih baik Dia mengambil nyawaku lebih dulu daripada aku yang kehilangan kamu. Aku nggak sanggup tanpa kamu, apalagi semenjak aku mengenalmu, duniaku yang abu-abu, kini berubah layaknya warna pelangi yang indah."

Felic menoleh ke belakang, dia menatap lekat kedua bola mata hazel milik Al. Ada ketulusan di sana, Felic mendapat jawaban cinta yang besar dari tatapan teduh itu.

"Aku cinta sama kamu, apa pun yang terjadi nanti di antara kita, ketahuilah, cintaku sangat besar untukmu," ucap Al lalu menarik dagu Felic dan mengecup bibir tipisnya. "Berjanjilah padaku, apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah membenci apalagi menjauh dariku," lanjut Al sesaat dia melepas bibir Felic.

"Iya, aku janji. Karena aku juga tidak sanggup kehilangan kamu, Yang. Aku sangat mencintaimu." Felic merangkul tengkuk Al. Mereka saling menautkan bibir dan perlahan Al memanggutnya lembut, penuh kasih sayang.

Al melepas ciuman itu, dia tersenyum sangat manis, tangannya mengusap bibir Felic menghapus bekas salivasi mereka.

"Manis," celetuk Al.

Felic mengerutkan kening dan tersenyum lebar.

"Iya dooooong. Aku kan tadi pakai lip gloss yang waktu itu kamu beliin dari Singapur."

"Pantas saja ... rasa stroberi." Al kembali mendekap tubuh Felic, kepalanya ia selusupkan di tengkuk gadis yang kini memejamkan mata menikmati kebersamaan mereka di depan hamparan air laut dan sunset.

Keruyuk keruyuk keruyuk

Suara perut keroncongan. Felic membuka matanya, dia menoleh ke belakang sambil menyengir, memamerkan barisan giginya yang rapi dan putih.

"Laper?" tanya Al.

"Huum." Felic mengangguk manja.

Al tersenyum sambil mengacak rambutnya pelan. "Ayo!" Dia berdiri lalu membantu Felic.

Hari mulai gelap, Al merangkul Felic berjalan beriringan menjauhi pantai.

Sesampainya di rumah makan---gazebo pinggir pantai---Felic segera membuka buku menu dan memesan ikan bakar yang sudah sedari tadi dia inginkan.

"Yang, besok kalau sudah sampai Jakarta, temani aku ambil hasil visum, ya?"

"Iya," jawab Al sangat lembut.

Ponsel Al berdering tanda pesan dari aplikasi WhatsApp. Segera dia membukanya. Ternyata dari Liza.

Al, besok kamu sampai Jakarta pukul berapa?

"Siapa, Yang?" tanya Felic tanpa menaruh kecurigaan.

"Temen," jawab Al tanpa beban, karena sejauh ini, meskipun mereka sudah menikah, Al masih saja menganggap Liza teman.

Belum tahu nih! Memangnya kenapa? Sekarang masih RON di Bali.

Balas Al. Tak lama kemudian, balasan pun datang.

Aku mau checkup.

Membaca pesan itu, Al menarik napasnya berat. Checkup? Dapat dipastikan Liza sedang tidak sehat.

Al tidak membalas, dia meletakkan ponselnya di atas meja. Tanpa seizin Al, Felic mengambil ponselnya dan mengecek.

"Katanya pesan dari teman? Kok dihapus? Kenapa???" protes Felic karena melihat barisan nama yang chat dengan Al bukan waktu saat ini.

"Nggak apa-apa," jawab Al lagi-lagi menarik napasnya dalam menyembunyikan sesuatu.

Felic melirik Al, dalam benaknya penuh tanda tanya. Dia meletakkan kembali ponsel itu di atas meja. Wajah Al berubah kusam dan seperti seseorang dengan beban pikiran.

"Yang," panggil Felic lembut memegang lengan Al yang bertumpu dia tas meja.

"Hmmm ...." Al menatap Felic dengan senyum yang terlihat dipaksakan.

"Ada yang kamu sembunyikan dariku? Apa??? Jujur saja."

Deg deg deg deg

Ritme deguban jantung Al berubah abnormal, apalagi tatapan mata Felic mengintimidasi.

"Nggak ada, Sayang." Al mengusap-usap pipi Felic.

"Tapi aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," desak Felic setengah bernada manja agar Al tidak terpancing emosinya.

Duduk Al bergeser mendekati Felic, dia mengarahkan kepala Felic agar bersandar di pundaknya.

"Apa yang kamu rasakan selama ini saat bersamaku?" tanya Al sambil mengelus-elus rambut hitam legam Felic.

"Nyaman."

"Cuma itu?"

"Aku merasa tergantung sama kamu."

"Terus?"

"Aku takut kehilanganmu."

"Terus?"

"Aku nggak bisa bayangin masa depanku tanpa kamu."

"Terus?"

"Aku pengin hidup sama kamu, merajut asa bersama kamu, dan menghabiskan umurku sama kamu."

"Begitupun aku. Perasaanku sama kamu tidak perlu alasan apa pun. Tidak perlu tanya mengapa, kenapa, dan bagaimana bisa. Karena yang aku rasakan cuma satu ...." Al menegakkan tubuh Felic, menatapnya teduh dan dalam. Dia genggam erat kedua bahu Felic, tapi tanpa menyakitinya, "aku sangat mencintaimu dan apabila kamu jauh dariku, bahkan sejengkal saja kita berjarak, hidupku akan hancur. Aku nggak mau kita berjarak, apalagi sampai terpisahkan, sekalipun karena keadaan." Al memeluk Felic, mencium pucuk kepalanya.

Detakan jantung Al yang berjalan cepat terasa saat Felic membalas pelukannya erat. Dia merasakan bagaimana besar cintanya Al untuknya.

"Aku wanita yang sangat beruntung karena kamu cintai, Yang."

"Lebih beruntung aku, karena mendapatkan cintamu."

Perasaan Felic menghangat, kecurigaannya menguap begitu saja. Hanya ada perasaan bahagia yang memenuhi rongga hatinya sekarang.

***

Al masih mengenakan seragam pilot lengkap, begitupun Felic, ia mengenakan seragam pramugari bewarna biru langit dan rambutnya tertata rapi. Tangan Felic menyilang di lengan Al, mereka tampak serasi.

Kasus yang dialami Felic beberapa waktu lalu masih diproses secara hukum. Sesampainya di Jakarta sore tadi, Al dan Felic langsung datang ke rumah sakit di mana Felic menjalani visum.

"Yang, kamu tunggu di sini dulu, ya? Aku ambil hasil visumnya," ujar Felic setelah mereka masuk ke gedung yang bercat serba putih.

Aroma obat-obatan tercium tajam, setiap inci ruangannya pun bersih, hampir tak terlihat ada kotoran yang berserakan di sembarang tempat. Orang berlalu-lalang dengan urusan masing-masing.

"Aku tunggu di sini, ya?"

"Iya." Sebelum Felic meninggalkan Al di ruang tunggu, ia tersenyum sangat manis.

Mengusir kebosanan sembari menunggu Felic, Al mengambil ponselnya dari saku celana. Saat dilihat, ada notif pesan dari Liza. Al membukanya.

Kamu di mana?

Tanpa ada niat membalas, Al tak mengacuhkan pesan Liza. Dia menunduk membuka aplikasi game yang sering dia mainkan.

"Al," panggil suara yang tak asing di telinga Al. Segera dia mendongakkan kepala dan berdiri.

"Liza?" Al gelagapan seperti orang kepergok melakukan hal yang tidak-tidak.

Liza mengedarkan pandangannya di sekitar. "Ngapain kamu di sini?"

"Mmm ... nganu ... mmm ...." Al mencari alasan, tangan kirinya bertolak pinggang, sedangkan tangan kanan mengusap-usap tengkuk.

Lisa menanti jawaban Al, dia menaikkan sebelah alisnya.

"Anu apaan sih?" tanya Liza yang tak sabar.

"Yang!" Felic datang membawa map di tangan kanan.

Tanpa ragu dia melingkarkan tangannya di lengan Al. Liza yang melihat, hatinya terasa nyeri dan panas.

Jadi, ini wanita itu? Batin Liza.

"Sudah?" tanya Al melirik map yang Felic bawa.

"Sudah." Felic mengangkat mapnya, memamerkan pada Al.

"Pulang?" tawar Al.

Sebelum Felic menjawab, dia melirik Liza yang masih berdiri di depan mereka.

"Siapa dia?" bisik Felic pada Al, namun masih terdengar di telinga Liza.

Sengaja Liza diam, dia ingin mendengar jawaban Al. Liza menatap Al, seolah dari tatapan itu dia ingin Al menganggapnya sebagai istri.

"Mmm ... ini Liza," ujar Al, "Liza, kenalin, ini Felic."

Felic mengulurkan tangannya, dengan berat hati Liza menerima.

"Felic, pacarnya Al."

Ingin rasanya Liza menangis, tapi, keadaan tidak memungkinkan.

"Liza." Suaranya seperti tertahan di tenggorokan.

Felic melempar senyum terbaiknya, dia berpikir bahwa Liza ini adalah teman Al.

"Istri Al," ucap Liza santai.

Felic speechless. Dengan cepat Al menatap tajam Liza, namun yang ditatap bersikap tak peduli, wajahnya datar, seolah dia merasa tidak bersalah. Tangan Felic yang sedari tadi menyilang di lengan Al, perlahan memudar. Secepat mungkin Al menggenggam tangannya agar Felic tidak pergi.

Bagaikan tersambar petir di tengah bolong, ucapan Liza seketika menghancurkan hati Felic yang tengah berbunga. Matanya memanas, air mata tidak dapat lagi terbendung. Lutut Felic gemetar, seperti tidak mampu lagi menopang tubuhnya. Bibir kelu, tak mampu berucap apa pun. Hanya sesak di dada dan air mata yang menggambarkan suasana hatinya saat ini.

Tanpa terduga oleh Liza, di depan umum, Al menjatuhkan harga dirinya. Dia berlutut memeluk kaki Felic dan menangis.

"Maaf." Hanya itu yang terucap dari bibir Al.

Tanpa berucap, Felic mendorong tubuh Al hingga terjengkang ke belakang. Dia berlari sambil menahan sesak di dada dan menangis tersedu-sedu. Al segera berlari mengejarnya.

"Felic!!!" pekik Al melebarkan langkahnya.

Sampai di lobi rumah sakit, dia mencari keberadaan wanita yang sangat-sangat dicintainya. Namun, nihil! Tidak terlihat sosok Felic.

Masih di tempat yang semula, Liza melihat sikap Al yang lebih memedulikan Felic daripada dirinya. Selama mengenal Al, Liza tidak pernah melihatnya sampai seperti itu mengejar wanita. Bukan tipe Al!

Kamu lupa aku ratumu di istana kita, Al. Sebelum ada dia, meskipun kamu tidak membalas perasaanku, tapi aku yang selalu kamu utamakan. Lisa membatin, air matanya meleleh dan setapak demi setapak kakinya berjalan meninggalkan rumah sakit.

#######

Akhirnya bisa melanjutkan. Hehehehe. Maaf, ya, menunggu lama. Kesibukan di dunia nyata menyita banyak waktu. Jadi mau ngetik, belum sempat.

Terima kasih yang sudah sabar menunggu. Kangeeeeeeen kalian semua.😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top