KEBAHAGIAAN
Sudah dua bulan usia pernikahan Liza dan Hermawan. Begitu juga Al dan Felic sudah mendapatkan lahan untuk dibangun rumah mereka. Kebahagiaan sudah mereka raih dengan caranya sendiri. Siang ini karena suntuk di rumah sendiri, Liza pergi ke apartemen Felic tidak lupa membawa buah tangan. Mendengar bel bunyi, Felic membukakan pintu.
"Assalamualaikum." Liza terlihat ceria memamerkan kue kesukaan Felic yang dia belikan, tapi terbalik dengan Liza, Felic malah terlihat lesu dan malas. Rambutnya masih berantakan, dia sepertinya baru bangun tidur.
"Waalaikumsalam," jawab Felic menutup pintunya kembali setelah Liza masuk.
"Kamu kenapa, Fel?" tanya Liza menatap heran Felic yang cemberut.
"Hari ini aku males banget mau ngapa-ngapain. Perutku sakit, kayaknya aku sakit mag deh," ucap Felic lalu berjalan malas ke ruang tengah. Liza mengikutinya dan duduk di samping Felic.
"Sudah makan?" tanya Liza khawatir.
"Sudah, tapi muntah. Nggak enak badanku."
"Kita ke dokter yuk! Aku antar kamu."
"Iya deh, aku ganti baju dulu."
"Iya. Oh iya, aku beliin kamu kue, aku masukan kulkas, ya?"
"Iya," sahut Felic sambil berjalan masuk ke kamarnya.
***
Di koridor rumah sakit, Felic berjalan menggandeng lengan Liza. Wajahnya pucat, beginilah nasibnya menjadi istri pilot, jika tidak ada suami, semua dikerjakan sendiri. Untung ada Liza yang selalu menemani Felic saat Al dinas.
"Bojo!" seru Hermawan yang sekarang mengganti julukannya pada Liza menjadi 'bojo' yang artinya istri/suami.
Felic dan Liza berhenti berjalan, mereka menoleh ke belakang, melihat Hermawan berjalan menghampiri masih mengenakan setelah jas putih kebanggaannya.
"Mau ke mana kalian?" tanya Hermawan setelah sampai di depan mereka.
"Aku mau antar Felic periksa dulu," jawab Liza membenarkan kerah hem Hermawan yang tidak rapi.
"Felic sakit?"
"Iya, nih, Wan," jawab Felic lesu.
"Ya sudah, aku antar ke dokter umum," ujar Hermawan, lalu mereka berjalan bersama.
"Kamu nggak tugas, Jo?" tanya Liza yang juga menjuluki Hermawan 'bojo'.
"Sudah selesai ngecek pasien."
"Oh, ya sudah," sahut Liza.
Sampainya di dokter umum yang juga teman Hermawan, Felic menjalani serangkaian pengecekan. Liza dan Hermawan menunggu di ruangan yang sama dengan pengecekan Felic. Tirai bewarna hijau pupus terbuka, Felic masih terbaring lemas di brankar.
"Gimana, Dok?" tanya Liza tak sabar ingin mengetahui kondisi Felic.
"Kita butuh cek urinnya untuk memastikan," jawab Guntur selaku dokter umum yang memeriksa Felic barusan.
Dia duduk di kursinya menghadap Liza dan Hermawan.
"Iya, sudah. Minta Felic kencing terus tampung urinnya," pinta Hermawan yang sudah sangat penasaran dengan apa yang Felic derita. Dia trauma dengan apa yang dulu dialami Liza.
"Oke." Guntur lalu mengambil tempat yang terbuat dari mika tebal berbentuk silinder berukuran kecil dan ada tutupnya. Dia memberikannya pada Felic.
"Nyonya Felic, tolong tampung urin Anda di sini, ya? Saya akan mengeceknya," pinta Guntur sopan.
"Baik, Dok." Felic bangun dari rebahannya, dia turun dari brankar dibantu Liza.
"Kuat?" tanya Liza.
"Iya, kuat kok," jawab Felic berjalan tertatih ke kamar kecil yang ada di ruangan itu.
Hermawan dan Liza terlihat tegang menunggu Felic keluar dari kamar kecil.
"Kamu kenapa, Dok, tegang begitu? Jangan bilang dia istri mudamu," canda Guntur cengengesan agar suasana di ruangannya tidak terasa kaku.
"Enak saja! Istriku cuma satu, ini!" Hermawan merangkul Liza yang sudah kembali duduk di sampingnya. "Dia istri sahabat kami, suaminya sedang tugas," jelas Hermawan.
"Hehehehe, bercanda, Dok. Jangan masukan ke hati," timpal Guntur.
Setelah Felic membuka pintu kamar kecil, dia memberikan sempel urinnya kepada Guntur, "Ini, Dok."
"Terima kasih. Tunggu hasilnya siang ini, ya?" ucap Guntur menerimanya.
"Iya sudah, kalau gitu kita ke ruanganku dulu, yuk! Kita tunggu hasilnya di sana, Felic biar berbaring di ruanganku," ajak Hermawan.
"Iya deh," sahut Liza lalu berdiri menggandeng tangan Felic.
"Terima kasih, Dok," ucap Felic sebelum ke luar ruangan.
"Sama-sama," balas Guntur ramah.
"Kalau hasilnya sudah keluar, telepon aku, ya?" pesan Hermawan sebelum menyusul mereka keluar.
"Iya, semoga ini akan menjadi kabar bahagia buat kalian," ujar Guntur dengan senyuman penuh arti.
"Ahaaaa, aromanya aku bisa menebak nih!" Hermawan mengerling.
"Berdoa saja benar."
"Amin. Kami sudah menantinya selama dua tahun ini. Semoga kali ini benar," tambah Hermawan.
"Sip! Aku bawa ini ke laboratorium dulu," jawab Guntur, lalu Hermawan keluar dari ruangannya.
Sampainya di ruangan Hermawan, Liza membantu Felic berbaring.
"Kamu istirahat di sini dulu, ya, Fel?" ujar Liza mengelus lengannya.
"Iya, Za. Makasih," ucap Felic lalu memejamkan mata.
Hermawan masuk ke ruangannya, Liza menoleh. Mereka lalu duduk di sofa yang ada di pojok ruangan tersebut. Samar-samar mereka seperti mengobrol tapi bisik-bisik, Felic tak menghiraukannya karena kepalanya sekarang terasa pusing, dia butuh istirahat.
***
Merasa tidur sudah lama, Felic akhirnya bangun. Dia melihat Liza duduk di sebelahnya dengan senyuman indah.
"Sejak tadi kamu begini, Za?" tanya Felic yang melihat Liza setia duduk di sebelah brankar tempatnya berbaring.
"Huum, karena aku mau jagain kamu. Mulai sekarang, aku harus ekstra jagain kamu."
"Kenapa? Aku sakit apa?" tanya Felic cemas.
"Nih!" Liza memberikan hasil laboratorium pada Felic.
Lalu Felic membukanya, meski awalnya dia tidak paham, tapi setelah melihat kalimat paling bawah menyatakan positif, Felic membekap mulutnya tak percaya.
"Za, aku ...." Mata Felic berkaca-kaca menatap Liza yang sudah antusias mengangguk.
"Kamu hamiiiiiil." Liza kegirangan memeluk Felic.
"Za ...." Felic menangis bahagia dalam pelukan Liza, "kita akan jadi ibu," lanjut Felic.
Sebenarnya dalam hati Liza ada perasaan iri, tapi sudahlah, toh Liza sudah mengikhlaskannya. Apalagi mendengar kata Felic 'kita akan jadi ibu' berarti nanti Liza boleh menganggap anak Felic seperti anaknya. Perasaan mereka sangat bahagia, sampai pelukan tak mereka lepas meskipun Hermawan ada di belakang memerhatikan mereka.
"Akhirnya, lebih dua tahun kita menunggu, Allah berikan anugrah ini sekarang, Za. Al pasti senang mendengarnya." Felic buru-buru mencari ponselnya, tapi Liza menahan tangannya.
"Jangan sekarang, kita buat kejutan untuk memberitahu ini sama Al."
"Caranya?" tanya Felic memiringkan kepalanya menatap Liza dengan kerutan di dahi.
Liza dan Hermawan saling berpandangan, lalu Liza berkata pada Felic, "Pokoknya ikuti saja rencanaku."
"Ya sudah, aku ngikut." Felic pasrah.
***
Dari dulu Al tidak suka melakukan hal yang ribet, tapi kali ini dia bersedia demi Felic. Al masih terlihat maco biarpun memakai celemek bermotif kartun doraemon yang biasa Felic pakai saat di dapur.
"Kenapa sih, kita nggak beli saja?" tanya Al sambil memotong wortel untuk sup buntut yang akan Felic masak pagi ini.
"Nggak apa-apa, aku pengin saja lihat kamu bantuin aku masak. Ternyata kamu bertambah ganteng kalau lagi pakai celemek itu," canda Felic lalu terkikih.
"Iyakah? Cocok jadi koki?" Al tersenyum mengerling.
"Mmm...." Felic mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu sambil memerhatikan Al. "Nggak," lanjutnya.
"Hahahahaha." Al terbahak lalu mengapit kepala Felic di bawah ketiaknya.
"Aaaaaah, Yaaaaang. Jangan begini! Ketek kamu bau asem!" pekik Felic, padahal harum. Al melepaskan Felic.
"Enak saja, aku sudah mandi, wangi tahu." Al mengendus tubuhnya sendiri.
"Cepetan bantuin, nanti mereka keburu datang," pinta Felic memasak yang lain.
"Oke." Al pun melanjutkan pekerjaannya.
***
Jam menunjukan pukul 17.00 WIB, makanan sudah rapi di meja makan, begitupun Al yang tampan mengenakan hem putih dibalut tuksedo hitam kotak-kotak dan Felic cantik mengenakan dress brokat bewarna biru selutut, rambut dia ikat bagian atasnya, bagian bawah dibiarkan tergerai. Terkesan formal tapi santai.
"Mana mereka? Kok belum datang, sih?" gumam Felic tak sabar menunggu mereka datang.
"Sabar, palingan juga di jalan," ujar Al tak bosan-bosannya terus memeluk Felic dan mengecup-kecup wajahnya.
"Kamu kenapa sih, Yang ... sekarang seneng banget meluk-meluk aku? Cium-cium, awas kalau di depan mereka kelepasan," ancam Felic, "malu tahu," imbuhnya.
Tanpa melepaskan tangannya yang melingkar di perut Felic, Al menjawab, "Nggak tahu, Yang. Seneng aja dekap kamu, cium-cium kamu, ngendus kamu, aroma tubuh kamu tuh beda dari biasanya. Harum segar, kayak minyak bayi."
"Masa sih?" Felic mengendus tubuhnya sendiri, "nggak, biasa saja. Aku pakai parfum yang biasanya, nggak ganti. Masa bau bayi, sih?"
"Iya, Sayang. Aroma bayi, kayak minyak telon gitu," tambah Al kukuh pada kepercayaannya.
"Ah, mungkin karena tadi aku basuh leherku pakai minyak telon, makanya bau bayi," ujar Felic masih menutupi kabar bahagia itu dari Al. Selain itu, memang tadi sehabis mandi, Felic menggosokkan minyak telon di leher dan perutnya, biar hangat.
Ting tong
Suara bel apartemen bunyi, Felic melepaskan tangan Al yang manja mendekapnya. Lantas dia membukakan pintu.
"Kejutaaaaaaaaaan!" pekik Liza merentangkan kedua tangannya seperti mempersembahkan sesuatu.
Felic membekap mulutnya, Al yang berdiri di belakang Felic tersenyum lebar, dia turut bahagia.
"Mama, Papa." Felic berhamburan ke pelukan Marta, air mata kebahagiaannya tak terbendung. Dengan senyum lebar, Robi mengelus kepala Felic sayang. Semua ikut bahagia melihat pertemuan anak dan orang tuanya itu.
"Pa, Ma," ucap Al menyalami mereka dan mencium punggung tangannya.
"Sudah lengkap, kita masuk saja gimana? Kangen-kangenannya di dalam," sela Lia sudah sangat penasaran apa yang ingin Felic dan Liza sampaikan.
"Iya, Ma. Masuk yuk!" Felic melepas pelukannya pada Marta, lantas mereka semua masuk ke dalam.
Setelah pintu tertutup, apartemen yang tak begitu luas itu terlihat bertambah sempit adanya mereka. Ada; Liza, Hermawan, Lia, Doni, Fahmi, Diana, Marta, dan Robi.
"Mama sama Papa ke sini kok nggak kasih tahu aku?" tanya Felic menuangkan minum yang sudah dia siapkan sebelum mereka datang.
"Iya, Liza yang telepon kami. Katanya ada hal penting yang mau kamu sampaikan pada kami. Papa minta sampaikan di telepon saja, tapi dia maksa meminta kami datang langsung ke sini. Memangnya ada apa?" tanya Robi dalam hati sangat mencemaskan putri semata wayangnya yang jauh darinya.
"Iya, sebenarnya ada apa kok sampai kalian mengumpulkan kami semua di sini? Apa ada masalah serius?" Fahmi angkat bicara.
Felic dan Liza saling pandang, lantas mereka memandang Hermawan yang sedang memakan cup cake buatan Felic. Semua ikut memandang Hermawan termasuk Al seperti ingin menuntut jawaban, yang dipandang bingung karena merasa dipojokkan.
"Kok lihatin aku? Apa salahku?" tanya Hermawan lalu melahap habis sisa cup cake yang tadi sudah dia makan sebagian.
"Ayolah, ada apa sebenarnya?" Al sudah tidak sabar ingin segera tahu.
"Jo, kayaknya kamu saja yang jawab," bujuk Liza.
"Ya-ya-ya, oke. Jadi dua hari lalu, kami mengantar Felic ke rumah sakit ...."
"Yang, kamu sakit?" Belum juga Hermawan selesai berbicara Al sudah lebih dulu panik dan memutar tubuh Felic agar menghadapnya, dia amati dan teliti dari atas sampai bawah. Felic tampak pasrah ketika Al memutar-mutar tubuhnya.
"Denger dulu penjelasannya, slow napa sih, Al." Liza menyahut.
"Iya, maaf. Namanya juga panik," ucap Al menyandarkan pantatnya di meja minibar lalu menarik pelan pinggang Felic agar bersandar di tubuhnya yang kekar.
"Iya, sudah, dilanjutkan, Wan." Diana yang duduk di sofa antara Lia dan Marta serius memerhatikan menantunya itu.
"Jadi kemarin lusa itu Felic dicek ...." Hermawan sengaja menggantungkan ucapannya, semua wajah tampak tegang menatapnya tak sabar ingin mendengarkan ucapan berikutnya.
"Apa...?" desak Marta sudah panik.
"Felic hamil," jawab Hermawan, beberapa detik semua terdiam, detik berikutnya pekikan kegembiraan memenuhi ruang tersebut.
Meski masih terlihat terkejut, Al langsung memeluk Felic dan menangis haru dalam pelukannya. Felic tertawa terbahak mendengar isak bahagia Al. Semua pun ikut bahagia sampai air mata mereka keluar.
"Hei, cowok kok cengeng, sih?" ledek Felic ingin menegakkan kepala Al, namun Al enggan mengangkat kepalanya dari dada Felic. Dia masih setia menelungkup wajahnya, menyembunyikan tangisan haru.
"Selamat, ya, Sayang," ucap Marta mencium kedua pipi Felic. Tangan Al masih erat memeluk istrinya.
"Makasih, ya, Ma. Ini juga berkat doa Mama."
Satu per satu memberikan ucapan selamat dan ciuman hangat di pipi Felic, tak terkecuali Diana. Dia turut berbahagia dengan kabar itu.
"Al, tegakkan kepala kamu, Nak." Lia menegakkan kepala Al, lalu menyeka air matanya.
Senyum manis terukir di bibir Felic saat wajah merah Al sudah terlihat jelas di depannya. Dia menghapus sisa air mata Al yang masih tertinggal di ujung matanya.
"Kenapa nggak bilang dari kemarin?" tanya Al parau sambil tangan kekarnya memeluk pinggang ramping Felic.
"Mmm ... tadinya aku mau langsung bilang sama kamu, tapi Liza sama Hermawan punya ide, mereka mau mengumpulkan kalian semua. Biar adil, aku ikuti saja ide mereka, hasilnya lebih dari yang aku bayangkan. Aku pikir Mama sama Papa nggak datang." Felic menatap Marta dan Robi bergantian.
"Mana mungkin kami tidak datang, kalau yang menelepon terdengar sangat serius dan penting," sahut Robi melirik Liza dan Hermawan yang duduk di sofa dekat televisi.
"Memang mereka ahlinya jika mengenai rencana dan kejutan," puji Felic tersungging senyuman terbaiknya ke arah Liza dan Hermawan.
"Tapi, tetap saja kuasa Allah yang berkehendak. Kami cuma bisa berencana," sahut Hermawan merendah hati.
"Huum, manusia hanya bisa berencana, Allah-lah yang menentukan. Maka dari itu, setidaknya kita harus merencanakan segala sesuatu dengan baik. Insya Allah, jika Allah berkehendak pasti akan mendapatkan hasil yang lebih dari apa yang sudah kita rencanakan," timpal Liza tak kalah bahagianya dengan Felic.
"Nah, selain kabar Felic yang hamil, kami juga punya kabar bahagia." Hermawan merangkul Liza dan semua menatap mereka.
"Kabar apa lagi?" tanya Diana.
"Jadi, ini sudah kami rencanakan lama sih, sudah setahunan lebih, cuma baru ini bisa terealisasi," ucap Liza, "kami membuka yayasan khusus anak-anak penderita kanker dan penyakit dalam. Alhamdulillah kemarin urusannya sudah selesai," imbuhnya.
"Alhamdulillah," ucap mereka serentak.
Semua mengucapkan selamat kepada Liza dan Hermawan atas niat mulia mereka. Dengan begitu, Liza tidak akan pernah merasa menjadi wanita tak sempurna, adanya anak-anak di sekitar hidupnya adalah hiburan tersendiri.
Kita tidak akan tahu jalan hidup seperti apa, keegoisan, keserakahan, pengorbanan, kerelaan, pengabdian, keikhlasan, sedih, bahagia, menjadi perhiasan yang tak pernah lepas dalam perjalanan ini. Cinta, sebuah rasa yang hadir tanpa paksaan, kadang tanpa kita sadari dan pahami. Entah bagaimana cinta 'kan membawa perjalanan hidup kita, tapi satu hal yang harus selalu diingat, bahwa sedih dan bahagia selalu datang beriringan.
The End
###########
Selesai juga akhirnya. Jangan bilang ini gantung, nggak kok, memang begini ceritanya. Hehehehe.
Terima kasih atas dukungan dan kesetiaannya. Kalian terhebat dan terbaik.💕😘 Love you all. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah dan bahagia terus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top