IKHLAS

Aura di ruang tamu itu tegang dan tak ada yang berani berkata-kata kecuali Liza. Sepulang dari Ambon, sengaja Liza mengundang orang tua dan mertuanya agar datang ke rumah. Tanpa Al, mereka berdiskusi.

"Za, apa kamu sudah memikirkan baik-baik?" tanya Fahmi berat hati ingin memperjelas yang sudah Liza sampaikan.

"Iya, Pa. Sudah sangat matang keputusanku ini," jawab Liza mantap, "demi kebaikan bersama," tambah Liza.

"Apa kamu sudah berbicara sama Al?" Lia angkat bicara.

"Ma, bicara sama Al pun percuma. Bibir menolak, tapi aku yakin dalam hati kecilnya tidak akan menolak. Aku paham kenapa Al melakukan itu, dia berusaha menjaga perasaanku. Dia tidak mau melihatku putus asa seperti dulu."

Semua terdiam, tidak ada yang berani membantah. Ancaman Liza tidak main-main, dia mau melakukan operasi jika Al sudah menikahi Felic. Apa pun bisa terjadi kepada Liza karena operasi besar yang dia lakukan mempertaruhkan nyawanya.

"Baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan kamu, Mama mendukung," ucap Diana mengejutkan Fahmi.

Mata Liza berbinar bahagia, Diana orang yang paling sulit diluluhkan hatinya mengenai hal ini, tapi kali ini dia sukarela menerimanya.

"Mama serius, kan?" tanya Liza memastikan.

Diana mengangguk, "Iya, Mama serius."

Dengan perasaan bahagia, Liza mendekati mamanya dan memeluk Diana penuh rasa syukur.

"Terima kasih, Mama mau mengerti keadaan ini."

Diana membalas pelukan Liza sambil menitikkan air mata.

"Maaf, selama ini Mama terlalu egois. Mama berpikir kamu sudah bahagia bersama orang yang tepat, tapi ...."

"Sudahlah, Ma. Dengan kelegaan dan keikhlasan Mama menerima permintaanku saja, aku sudah senang." Liza menegakkan tubuhnya dan menghapus air mata Diana.

Lia, Fahmi, dan Doni tersenyum lega. Ini adalah kesepakatan keluarga meski tidak ada Al di situ. Namun, mereka yakin Al pasti menyetujuinya.

"Kalau sudah, kapan kita akan ke Ambon melamar Felic?" tanya Liza mengedarkan pandangannya, menatap wajah mereka satu per satu.

Mereka saling pandang, tidak ada yang menjawab.

"Setahuku besok Al libur, bagaimana kalau hari ini kita pesan tiket penerbangannya dan besok kita melamar Felic ke Ambon?" usul Liza antusias.

"Boleh," sahut Fahmi diangguki semua, bertanda setuju.

"Baiklah, aku akan persiapkan hantaran yang perlu kita bawa." Dengan perasaan senang, Liza menelepon Hermawan agar ditemani belanja barang-barang yang perlu untuk hantaran.

***

Di kokpit, Al merenung. Dalam hatinya merindukan Felic, tapi dia berpikir hubungannya sudah benar-benar berakhir. Tak ada lagi harapan yang pantas dia tunggu.

"Kap." Seorang kopilot datang dan langsung duduk di kursinya.

Al menghela napas dalam dan mengembuskan kasar, seperti sedang kelelahan. Dia mengusap wajahnya sedikit kasar, berniat menghapus pikiran yang tak keruan.

"Ada apa, Kap? Kok kayaknya lagi banyak pikiran?" tanya Antoni, kopilot yang akan mendampinginya penerbangan kali ini.

"Nggak ada apa-apa, Kap," jawab Al yang memang selalu tertutup mengenai masalah pribadinya.

Antoni hanya tersenyum dan menghargai privasi Al. Dia menepuk bahu Al, untuk menyalurkan semangat. Al membalas dengan senyuman tipis meski terlihat terpaksa.

Penerbangan kali ini akan membawa burung besi mereka ke Ambon. Banyak kenangan yang Al belum bisa melupakan saat bersama Felic, apalagi Ambon adalah kota pertama yang mendekatkan mereka hingga terjalin hubungan rumit ini.

Di tengah penerbangan, Al menyandarkan kepalanya di kaca jendela. Dia melihat awan putih yang tersebar seperti kapas. Dalam hati dia membatin, apakah aku tidak akan bisa melihatmu lagi, Fel? Sedetik saja, aku pengin melihatmu. Aku sudah benar-benar merindukanmu. Aku akan menyimpan cinta kita di dalam hatiku, nggak peduli betapa menyakitkan itu, karena meskipun itu menyakitkan, aku masih bisa mencintaimu, Fel.

Meski hatinya terluka parah, tapi Al tetap berusaha kuat menjalaninya.

***

Pesawat melandasi runway dengan mulus tanpa hambatan. Setelah melakukan semua pekerjaannya, Al berserta kru masuk ke gedung bandara. Saat Al berjalan beriringan dengan kopilot dan diikuti pramugari-pramugari cantik, di depan sudah berdiri seorang pria berkacamata dengan santai bersedekap tangan. Langkah Al seketika terhenti, semua pun ikut berhenti.

"Kap, duluan saja," ucap Al kepada Antoni.

"Baiklah." Antoni pun berjalan meninggalkan Al diikuti pramugari-pramugari itu.

Walau kakinya terasa berat, Al mendekati pria paruh baya yang sengaja menunggu kedatangannya. Pria itu tersenyum saat Al sudah berdiri di depannya, dia merangkul Al dan mengajaknya berjalan ke suatu kafe yang ada di area bandara. Al pasrah, dia kebingungan ingin bersikap di depannya.

Setelah mereka duduk santai dan mendapatkan kopi pesanannya masing-masing, Robi lebih dulu menyeruput miliknya. Al masih diam mematung, bibirnya kelu dan dia tidak berani menatap mata Robi. Ada perasaan bersalah dalam hati Al, pastinya Felic juga sudah menjelaskan semua pada orang tuanya, pikir Al.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Robi mengawali obrolan mereka.

"Baik, Om," jawab Al tanpa menatap wajah Robi, dia setia menunduk.

Tidak susah untuk Robi mengetahui jadwal penerbangan Rajawali Airline, karena dia adalah salah satu pensiunan pegawai petinggi di kantor pusat Rajawali Airline.

"Felic sudah menceritakan semuanya, Om dan Tante nggak habis pikir kamu bisa membohongi kami seperti itu, Al. Kenapa tidak dari awal kamu jujur pada kami, kalau kamu sudah beristri?" desak Robi.

Jantung Al berdetak cepat, dia susah payah menelan ludah. Aku harus bagaimana menjelaskannya? Batin Al bingung.

"Om, saya benar-benar minta maaf. Tidak ada maksud saya untuk mempermainkan Felic dan Om begitu juga Tante Marta. Saya ...."

"Cukup, Al," potong Robi, "Om tidak mau mendengar penjelasan apa pun dari kamu."

Sontak Al mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap wajah Robi dengan nanar.

"Om," suara Al bergetar.

Robi membalas tatapan Al, ada kekecewaan dari sorot matanya. Tapi, apa boleh buat, semua sudah terjadi.

"Masihkah ada perasaan cinta di hatimu untuk Felic, Al? Apakah kamu masih punya niat untuk menikahinya? Jujur!" desak Robi yang ingin tahu jawaban langsung dari bibir Al.

Seperkian detik jantung Al seperti tidak berfungsi. Sangat sulit baginya bernapas normal, kepalanya langsung pusing dan bibirnya sangat berat saat ingin menjawab.

"Mmm ...." Al hanya bergumam, padahal dalam hati sudah menjerit ingin mengungkapkan kata-kata.

"Mmm, apa?" tanya Robi yang masih setia dan sabar menunggu jawaban Al.

"Masih, Om. Tapi ...."

"Saya tidak butuh alasan apa pun, Al. Jawaban 'masih' sudah cukup jelas buat saya. Masih ada harapan di setiap kesulitan dan situasi terjepit sekalipun. Om harap, niatanmu itu bisa segera terwujud," sahut Robi yang sudah cukup lega mendengar kejujuran Al.

Kening Al mengerut, dia belum mengerti maksud Robi. Hanya saja ada yang aneh. Kenapa dia tidak marah? Padahal Om Robi tahu kalau aku sudah menikah dan tidak jadi melamar Felic. Apa yang sudah Felic katakan? Pikiran Al berkecamuk tak tentu.

"Baiklah, saya rasa sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Terima kasih untuk waktunya, ya, Kap," ucap Robi tersenyum penuh arti.

"Iya, Om," jawab Al seperti orang linglung.

Robi lebih dulu beranjak dari kursinya, sebelum pergi dia menepuk pundak Al dua kali. Al masih duduk termenung memikirkan ucapan Robi.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Felic akan dijodohkan dengan orang lain?" gumam Al sangat pelan, "nggak, itu nggak mungkin." Dia menggelengkan kepalanya.

Fel, aku nggak akan siap melihatmu bahagia bersama orang lain. Cuma aku yang akan membahagiakan kamu dengan caraku. Ada kekuatan batin Al yang mendorongnya untuk bertekad.

"Entahlah, jalanku benar atau salah, tapi aku nggak akan siap kehilangan kamu selamanya, Fel. Nggak akan pernah siap!" Al bergegas ke kasir membayar dua kopi lantas menarik koper ke luar kafe.

Matanya fokus memandang ke depan, pikirannya semakin kacau, kemungkinan dia tidak akan diizinkan menerbangkan pesawat jika pikirannya sedang kalut seperti saat ini. Al pun mengurus izinnya agar dia tidak ditugaskan di penerbangan berikutnya. Dia bertekad bulat untuk menemui Felic.

***

Malam hari sekitar pukul 20.00 waktu setempat, Al mengendarai taksi menuju rumah Felic. Entahlah, setan apa yang sudah mempengaruhi pikirannya, perasaannya mudah sekali berubah saat dia berpikir Robi akan menjodohkan Felic dengan orang lain. Padahal itu belum tentu terjadi.

Di dunia ini yang mudah berubah adalah perasaan. Tuhan begitu pintar membolak-balikan perasaan manusia dengan mudahnya setiap detik Dia bisa mengubahnya yang senang menjadi sedih, yang sedih pun bisa seketika bahagia.

Sesampainya di pelataran rumah Felic, Al tanpa ragu melangkah ke teras dan memencet bel rumahnya. Beberapa menit tidak ada yang membuka pintu, perasaan Al semakin gelisah. Dia kembali memencet bel, hingga suara kunci pintu diputar. Meski debaran jantungnya berpacu cepat, Al sudah tidak memedulikannya.

Senyum manis dari bibir Marta menyambutnya setelah pintu terbuka lebar.

"Al," pekik Marta tak menyangka Al larut malam datang ke rumahnya.

"Maaf Tante, larut malam begini bertamu. Tapi, saya harus bertemu Felic malam ini juga. Bolehkah?" tanpa basa-basi Al langsung mengutarakan niatnya.

"Masuk dulu, biar nyaman kita ngobrolnya," ajak Marta menarik pelan lengan Al agar dia duduk di ruang tamu.

Mendengar percakapan istrinya dengan seorang pria, Robi pun ke luar kamar dan menyusul istrinya ke ruang tamu. Betapa terkejutnya Robi mendapati Al duduk di sofa berhadapan dengan Marta tengah malam begini.

"Al, bukankah seharusnya kamu masih ada jadwal penerbangan saat ini?" tanya Robi sembari duduk di samping Marta.

"Iya, Om. Tapi, saya melakukan izin tidak mengikuti penerbangan berikutnya. Saya merasa tidak siap dengan kondisi saat ini."

"Terus apa yang kamu lakukan tengah malam ke sini?" lanjut Robi bertanya.

"Saya mau bertemu Felic, Om. Ada hal penting yang harus saya bicarakan sama dia."

"Al, apa nggak bisa besok saja? Maaf, bukannya kami menolak, cuma waktunya yang nggak tepat. Ini sudah tengah malam, apa kata tentang jika kami mengizinkan Felic mengobrol dengan pria selarut ini? Maaf, Tante tidak mengizinkan Felic menemui kamu malam ini," ujar Marta jelas dan Al mengerti.

"Besok pagi saja kamu kembali, Felic juga sudah tidur," timpal Robi.

Dengan perasaan kecewa, Al menganggukkan kepala. Dia menghargai orang tua Felic yang ingin menjaga kehormatan putrinya dan nama baik keluarga mereka di mata tetangga.

"Baiklah, Om, Tan, kalau begitu besok pagi saya akan kembali ke sini." Al berdiri, tubuhnya lemas, wajah yang tadinya penuh semangat berubah lesu.

"Iya, Al. Maaf, ya?" ucap Marta.

"Iya, nggak apa-apa, Tan." Al tersenyum paksa.

Robi dan Marta pun mengantar Al sampai di teras rumah.

"Malam ini kamu menginap di mana, Al?" tanya Robi sebelum Al meninggalkan pelataran.

"Nanti saya akan cari hotel atau home stay dekat-dekat sini, Om. Kalau kembali ke daerah bandara sana, jauh."

"Oh, iya sudah. Kamu hati-hati," pesan Robi mengantar Al sampai gerbang.

Selepas kepergian Al, Robi dan Marta pun masuk ke dalam rumah. Di luar, Al berjalan sendiri di tengah kesunyian malam. Dia berjalan kaki mencari tempat menginap untuk malam ini saja.

***

Setelah semua beres, mereka berangkat ke bandara untuk menempuh penerbangan dari Jakarta ke Ambon. Setelah mendapatkan telepon dari Robi tadi Subuh, bibir Liza tak kunjung berhenti tersenyum.

"Kenapa sih senyum-senyum gitu? Sudah gila kamu, ya?" goda Hermawan yang duduk di sebelah Liza.

"Al sudah di sana," ucap Liza.

"Apa?!" pekik Hermawan terkejut sampai beberapa orang menoleh ke tempat duduknya.

Hermawan menggaruk tengkuknya kikuk karena diperhatikan banyak orang, termasuk orang tua Liza dan orang tua Al yang ikut serta dalam satu penerbangan.

"Kok bisa?" bisik Hermawan agar tidak menggangu ketenangan di kabin.

"Iya, kemarin Om Robi menemui Al dan mereka mengobrol." Liza menceritakan dan menjelaskan panjang lebar pada Hermawan.

"Oh, gitu? Baguslah, kita nggak perlu susah payah bujuk dia. Aku kemarin sudah bayangin, betapa susahnya membujuk dia ikut sama kita."

"Iya, tapi Al belum tahu rencana kita ini."

"Hah?! Serius? Kamu belum bilang sama dia?"

"Nggak sempat."

"Entar kalau dia marah gimana?"

"Nggak akan. Tenang saja, keputusan dia sendiri justru mempermudah kita melanjutkan rencana ini. Tanpa dia sadar, Al sudah terjebak dalam rencana kita. Jadi, kita tinggal menjalankan rencana selanjutnya."

"Tapi, kamu janji, ya? Setelah urusan ini selesai, langsung konsultasi sama dokter untuk operasimu."

"Iya, tenang saja. Entar aku minta tolong kamu dampingi aku mengurusnya, ya? Aku jauh lebih siap dan ada kelegaan yang besar dalam hatiku. Jadi, kalau ada apa-apa sama aku, semua sudah beres," ujar Liza ikhlas dan tersenyum lega.

"Apaan sih kamu! Nggak akan terjadi apa pun sama kamu. Setelah operasi itu, semua akan jauh lebih baik," sangkal Hermawan yang entah mengapa dia tidak suka dengan ucapan Liza yang terkesan pesimis.

"Kamu takut, ya, aku tinggal?" goda Liza melirik Hermawan.

"Apaan, sih! Emang kamu mau ke mana?"

"Ya kan operasi ini besar dan pastinya ...."

"Aiiiisssshhh, sudah ah! Ngantuk, mau tidur." Hermawan sengaja memotong pembicaraannya dengan Liza. Aku belum siap jauh lagi sama kamu, Liz. Biarlah keadaan seperti ini dulu jika memang ini yang membuatmu selalu dekat denganku.

"Dasar! Aneh kamu, Wan!" Liza sebal pada Hermawan, lalu dia bersedekap dan memejamkan mata.

#############

Wah, Dokter Hermawan bisa aja nih!😂 Semoga saja lancar. Aamiin. Konfliknya nggak berat, kan? Sengaja untuk menebus yang seson pertama.

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.🙇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top