HARAPAN YANG MUSTAHIL

Pukul 08:45 WIB, Al baru membuka matanya. Lantas dia keluar dari kamar tamu hanya memakai singlet putih dan celana kolor selutut. Liza sedang duduk bersantai di depan televisi, memangku camilan sembari memindah siaran. Mendengar suara langkah kaki, Liza menoleh.

"Al," sapanya.

"Hmm," gumam Al tanpa menoleh Liza.

Dia berlalu ke dapur mencari jus jeruk instan, setelah minum, Al kembali berjalan melewati Liza.

"Sepuluh menit lagi kita keluar. Subuh tadi Mama WhatsApp, kita suruh datang ke rumah," perintah Al datar sambil berjalan ke arah kamar tamu.

Mendengar itu, hati Liza seperti tersayat silet, pedih. Tapi segera Liza beranjak dan bersiap.

Sepanjang jalan---di dalam mobil---hening tanpa ada obrolan. Al fokus menyetir, sedangkan Liza memerhatikan padatnya lalulintas metropolitan.

Tante sama Om nggak bisa jagain Felic terus. Jadi, Tante mohon dan minta tolong sama kamu untuk jagain Felic saat dia kerja. Felic anak kami satu-satunya dan kami nggak mau hal buruk menimpanya.

Pesan dari Marta---ketika Al pertama kali mengantar Felic pulang ke rumah saat mereka RON di Ambon setahun lalu awal kedekatan---selalu terngiang-ngiang. Al merasa memiliki beban, orang tua Felic sejak awal sudah mengira mereka memiliki hubungan spesial, walaupun waktu itu mereka masih masa penjajakan---baru akan saling mengenal satu sama lain---tapi tidak ada yang pernah tahu masa depan, kenyataannya memang mereka pada akhirnya menjalin hubungan spesial meski kini sedang berantakan.

Ya Allah, apa yang akan aku jelaskan sama Tante Marta dan Om Robi? Aku tidak menyangka akan serumit ini. Aku mencintai Felic, tapi, Liza ...? Dalam diam pikiran Al terus berputar hingga kepalanya terasa pening.

Saat sedang melamun, sontak Al melepas kacamata hitamnya, dia menajamkan pandangan ke depan, melihat sosok yang sangat dia rindukan

Felic? Batin Al. Tanpa berucap, dia keluar dari mobil.

"Al! Mau ke mana kamu?!" teriak Liza bingung karena Al tiba-tiba turun.

Tiiiiin tiiiiin tiiiiin ....

Suara klakson dari belakang nyaring, meminta mobil Al maju. Liza pun tak menghiraukan Al yang menyeberang jalan, dia mengambil alih kemudi dan menjalankan mobilnya. Jalanan macet, membuat mobil berjalan merayap, seperti barisan semut yang mengantre. Liza kembali memerhatikan Al yang berjalan lebar mendekati seorang wanita.

Al, dalam keadaan seperti ini saja, kamu masih mementingkan dia. Selama ini, aku kira bisa meluluhkan hatimu, ternyata hatimu sekeras batu. Sangat sulit membuatmu jatuh cinta padaku. Batin Liza melihat Al mengejar Felic.

"Fel, tunggu!" Al berusaha menggapai tangan Felic, namun Felic menghindar.

"Mau ngapain kamu ke sini?" ucap Felic ketus mempercepat langkahnya.

"Tolong, kasih waktu aku ... lima menit saja buat menjelaskan masalah yang sebenarnya," mohon Al berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Felic.

"Aku kan sudah bilang, jangan pernah menemuiku lagi." Langkah kaki Felic semakin cepat sambil menarik koper.

Setelah kemarin lusa Felic mendapat izin cuti, siang ini, dia akan berangkat ke Ambon. Namun, saat menunggu taksi di halte, apes, Al melihatnya. Sudah mati-matian Felic selama ini menghindari Al, dia takut benteng pertahanannya roboh jika menatap sendunya mata Al.

"Kenapa?!" Al berdiri di depan Felic, menghadang jalannya.

Terpaksa dia berhenti, namun Felic melempar pandangannya ke arah lain, tak kuasa menatap mata Al yang sudah memerah.

"Karena aku nggak mau ketemu kamu lagi!" sungut Felic menyakiti perasaan Al begitu juga perasaannya.

Jantung Al seperti lepas dari tempatnya, sangat sakit hingga sesak napas. Dia menarik napas dalam lalu menghembuskan kasar. Al menunduk, dengan suara parau dia berkata, "Oke, jika itu yang kamu mau dan bisa buat kamu bahagia. Ini pertemuan kita yang terakhir. Maaf." Al lalu pergi ke arah mobilnya.

Felic tertegun, hatinya nyeri dan sangat sakit, matanya berkaca-kaca, hatinya sesungguhnya tidak ingin Al mengucapkan kata itu, tapi keadaan yang memaksa Felic harus menerima.

"Maaf," lirih Felic meneteskan air mata. Cinta sendiri itu sakit, lebih sakit lagi saling mencintai, tapi nggak bisa bersatu. Batinnya perih.

Al dan Felic berjalan ke arah yang berlawanan, membawa luka.

Sampainya di mobil, Al menyandarkan tubuhnya kasar dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dia menumpahkan tangis, tidak peduli Liza melihatnya cengeng.

"Al ...."

"Jangan bicara apa pun!" sentak Al.

Liza mengatupkan bibirnya rapat, tidak jadi bertanya. Dia fokus menyetir, selama perjalanan ke rumah orang tua Al, Liza mendengar isak kesedihan.

***

Jam dinding di rumah Doni---papa Al---menunjukan pukul 19.30 WIB. Sejak datang sampai malam ini, Al mengunci diri di kamar. Liza dibiarkan sendiri mengobrol dengan---mamanya Al---Lia.

"Liza, tolong bangunin Al, ya?" titah Lia lembut selesai menyajikan makan malam di atas meja.

"Iya, Ma," jawab Liza melepas celemek yang dia pakai sedari tadi saat membantu Lia memasak.

Liza naik ke kamar lantai dua, di mana Al mengurung diri. Sampainya di depan pintu bercat cokelat, Liza ragu ingin mengetuk. Tapi, Al sedari tadi pagi belum makan, akhirnya Liza mengumpulkan keberaniannya mengetuk pintu yang tertutup rapat itu.

Tuk tuk tuk

Tidak ada sahutan. Liza kembali mengetuk.

Tuk tuk tuk

"Al, makan malam sudah siap," ucap Liza.

Lagi-lagi tidak ada sahutan, Liza menghela napas dalam. Akhirnya dia pun menyerah dan kembali turun ke ruang makan. Di sana sudah ada Doni dan Lia duduk menunggu.

"Mana, Al, Za?" tanya Doni.

"Nggak nyahut, Pa," jawab Liza lesu duduk di depan Lia.

Lia dan Doni saling menatap, mereka curiga rumah tangga putranya sedang ada masalah. Tapi, bukan kapasitas mereka ikut campur terlalu dalam.

"Ya, sudah. Biar Mama saja yang manggil, kalian makan dulu." Lia beranjak dari duduknya.

"Iya, Ma," ucap Liza lantas mengambilkan nasi untuk papa mertuanya.

Lia menaiki tangga satu per satu, jika Al sudah seperti ini, pasti ada sesuatu yang tidak beres dengannya. Sampai di depan pintu kamar, Lia mengetuk.

Tuk tuk tuk

"Al, ini Mama, Sayang. Buka pintunya."

Menunggu sekitar 20 detik, terdengar suara kunci diputar. Al membuka pintu sambil menunduk, rambutnya acak-acakan, dan lesu. Dia langsung kembali masuk ke dalam dan menghempaskan tubuhnya tengkurap di tempat tidur.

Keadaan kamar gelap, Al sengaja tidak menyalakan lampu dan bahkan jendela dan pintu balkon terbuka. Lia menggelengkan kepala, menyalakan lampu lalu menutup pintu, jendela, dan gorden. Setelah itu, dia menghampiri Al yang masih setia dengan posisi tengkurap. Lia duduk di tepi ranjang, mengelus-elus kepala Al penuh kasih sayang seorang ibu.

"Al, bangun, Sayang. Kamu melewatkan salat Ashar dan Magrib loh. Jangan sampai Isak juga kamu lewatkan." Lia berucap sangat lembut.

"Iya, Ma," jawab Al serak terdengar malas.

Lia menghela napas dalam, lantas mengangkat bahu Al agar posisi tidurnya berubah terlentang. Ketika Al membalikan badan, Lia terkejut. Mata Al sembap, hidungnya merah, dan matanya sipit.

"Sayang, kenapa kamu?" tanya Lia menangkup kedua pipi Al.

"Nggak apa-apa, Ma," jawab Al parau.

"Kamu punya masalah sama Liza? Cerita sama Mama, Sayang. Jangan kamu simpan sendiri."

"Nggak kok, Ma." Al bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang.

Wajahnya terlihat kacau, rambut berantakan bukan membuatnya jelek malah justru terlihat semakin tampan, sayang wajahnya kusam.

"Kamu menyembunyikan sesuatu dari Mama. Jujur, Al. Sejak kecil, Mama tidak pernah mengajarimu berbohong."

"Tapi Al sudah menjadi pembohong, Ma." Al menatap kedua mata Lia.

"Maksudnya?" Lia mengernyitkan dahi, tidak mengerti dengan maksud ucapan putranya.

"Selama ini, rumah tangga Al sama Liza tidak pernah harmonis, selayaknya rumah tangga pada umumnya."

"Tapi, setahu Mama rumah tangga kalian selama ini baik-baik saja."

"Itu kelihatannya, tapi kenyataannya Al tidak bisa mencintai Liza. Al sudah mencoba, Ma, tapi nggak bisa. Rasa peduli Al selama ini pada dia sekadar sebagai teman, kakak, atau apalah itu! Sulit buat Al mencintainya," ucap Al menggoreskan penyesalan dalam di hati Lia.

"Jadi, selama ini ...." Lia menatap Al tak percaya, dia sulit berkata-kata.

"Iya, Al sama Liza pura-pura mesra di depan kalian. Kami pura-pura saling mencintai jika ada kalian. Tapi, hati Al selama ini hampa, meski Liza istri Al, tetap saja hati ini terasa kosong, Ma. Sampai pada akhirnya Al bertemu dengan wanita, Felicia Dinandra namanya. Dia pramugari yang bekerja satu maskapai denganku, wanita ini yang sudah membuat anakmu ini jatuh cinta, sampai bertekuk lutut padanya. Tapi, hari ini semua impian dan kebahagiaanku musnah. Karena keadaan Al yang sudah menikahi Liza, dia meninggal, Al, Ma." Al bercerita sambil bercucuran air mata.

Lia tidak menyangka anaknya selama ini hidup diselimuti tekanan batin. Dia merasa iba, air mata tak lagi mampu terbendung. Lia menangis tersedu-sedu lalu memeluk Al.

"Maafkan Mama sama Papa, Al. Ini semua karena keegoisan kami, kamu begini karena menuruti kemauan kami," sesal Lia.

Al membalas erat pelukan Lia, dia menangis sesenggukan di sela leher wanita yang sudah melahirkannya.

"Ini bukan salah kalian, Al tahu, kalian berbuat itu ingin melihat kami bahagia. Tapi, ternyata sangat sulit bagiku mencintai Liza, Ma. Aku kira dengan berjalannya waktu dan seringnya kami bersama, akan menimbulkan cinta, tapi yang terjadi, Al hanya merasa kasihan sama Liza. Al nggak tega melihatnya murung dan terpuruk. Sayang Al kepada Liza cuma sebatas itu, tidak bisa lebih, Ma."

"Iya, Sayang. Mama paham." Lia mengusap-usap punggung Al.

Ternyata Liza mendengar percakapan mereka di balik tembok samping pintu. Setelah makan malam bersama Doni, Liza berniat membawakan makan malam untuk Al. Namun langkahnya tertahan karena mendengar obrolan mereka.

Ya Allah, ternyata dia selama ini belajar mencintaiku, tapi memang hatinya bukan untukku. Raganya memang bersamaku, tapi hatinya sudah terpatri dengan Felic. Lalu, bagaimana dengan cintaku? Rasanya sangat sakit, ya Allah. Haruskah aku cinta sendiri tanpa pernah mendapat balasan? Ini sangat sakit. Liza membatin, mengalirkan air mata, tangannya menggenggam penampan erat.

***

Sampainya di rumah tempat dia selama ini dibesarkan, Felic langsung membersihkan badan dan beristirahat di kamar. Dia berbaring di tempat tidur menatap langit-langit kamar yang dicat putih kebiru-biruan.

"Ya Allah, apa yang harus aku katakan sama Mama dan Papa? Mereka sudah merestui hubunganku dan Al, tapi keadaan malah seperti ini?" Air mata Felic lagi-langi mengalir ke samping menetesi bantal.

Tuk tuk tuk

Pintu kamarnya terketuk.

"Felic, makan dulu yuk, Nak! Mama sudah masak makanan kesukaanmu."

"Iya, Ma. Tunggu, lima menit lagi Felic turun," jawabnya lalu beranjak dari tempat tidur dan mengikat rambut asal.

Sebelum keluar kamar, Felic memoles wajahnya dengan bedak tipis untuk menyamarkan mata yang sembap bekas menangis. Lelah rasanya setiap waktu menangis karena Al. Mengingatnya saja membuat air mata Felic meluncur bebas tanpa dapat dibendung. Felic berjalan ke ruang makan, di sana sudah ditunggu Marta dan Robi.

"Wuiiiiih, haruuuuum," ujar Felic menyembunyikan kesedihannya. Dia memasang senyum palsu agar orang tuanya tidak curiga.

"Sini, ayo kita makan!" ajak Marta langsung mengambilkan nasi di piring padahal Felic belum duduk.

Tidak menunggu lama, Felic pun duduk di depan Robi. Bibirnya menebar senyum, meski hatinya sedang pilu.

"Kok Al nggak ikut?" tanya Robi sebelum mereka mulai makan malam.

Mendengar namanya saja hati Felic terasa nyeri.

"Biasa, Pa. Sopir pesawat ...," goda Marta mengerling Felic sambil senyam-senyum.

Felic membalas dengan senyuman getir.

"Apaan sih, Ma," sangkal Felic.

"Kapan kalian ada rencana serius? Nggak baik loh, lama-lama pacaran," tanya Robi lalu menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya.

"Sabar, Pa. Nanti juga ada waktunya," jawab Felic bersikap sok santai, padahal dalam hati merutuki kebodohannya yang mudah percaya pada pria beristri.

"Jangan santai, cewek itu butuh kepastian, jangan kelamaan pacaran yang nggak pasti akan dibawa ke mana. Mending kalian tunangan dulu, urusan menikah nanti kita bisa bicarakan lagi," ujar Robi membuat hati Felic semakin terpukul.

"Iya, Pa." Felic hanya merespons singkat.

Bagaimana mau melanjutkan, jika dia sudah punya istri? Felic membatin seraya memakan masakan mamanya yang sudah dia rindukan.

########

Terus bagaimana selanjutnya?
Sabar, entar terjawab seiring berjalannya cerita ini. Hehehehe.

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top