FELIC SEBAGAI ULAM-ULAM AL

Al galau, seharian ia memikirkan cara untuk mengungkapkan perasaannya pada Felic. Setelah seharian memikirkannya, Al memantapkan hati ingin memperjelas statusnya dan Felic. Dia tidak mau kejadian waktu itu terulang kembali. Al sudah tahu risiko dan konsekuensinya, apabila Felic tahu kebenarannya. Dia sudah siap dengan segala apa pun yang akan terjadi ke depannya pada hubungannya dan Felic. Setidaknya meskipun suatu saat Felic akan meninggalkannya, tapi Al berpikir, ia sudah memiliki kesempatan untuk menciptakan waktu indah bersama Felic dan membahagiakan wanita yang dia cintai. Dia akan mengukir kenangan manis bersama Felic, yang telah mampu meluluhkan kerasnya hati Al selama ini.

Di sela menunggu waktu penerbangan berikutnya, kebetulan Al dan Felic berada di bandara internasional El Tari, Kupang, walaupun mereka tidak dalam tugas satu penerbangan. Al mengajak Felic berkencan di salah satu tempat makan area bandara. Felic lebih dulu sampai, dia menunggu Al sembari memesan minum. Tempat itu tidak begitu ramai, hanya sedikit pembeli yang terlihat. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Al datang.

"Hai," sapa Al menarik kursi di depan tempat duduk Felic. "Maaf, aku tadi cari ini dulu." Al menunjukan kotak kecil bewarna hitam sembari mendaratkan pantatnya di kursi.

Felic mengerutkan keningnya, lalu bertanya, "Apa itu?"

Tanpa menjawab dan tanpa basa-basi, Al membuka kotak tersebut. Sebuah cincin emas polos tanpa berlian terselip di tengah kotak hitam itu. Felic bingung, tak mengerti maksud Al menunjukan cincin itu padanya. Al menghembuskan napas pelan, dia mengumpulkan keberaniannya.

"Aku bukan tipe pria yang suka basa-basi. Bukan juga seorang pujangga yang pintar merangkai puisi ataupun kata-kata indah. Inilah aku, hanyalah seorang sopir yang memiliki jam kerja tidak pasti. Walaupun begitu, ada satu hal yang bisa aku pastikan dalam diriku untukmu. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihat dan berbincang denganmu. Maaf sudah terlalu lama menggantungkanmu, sampai-sampai kamu merasa aku permainkan. Tapi jujur, sumpah, tidak ada maksud untuk hal itu, hanya saja saat itu aku belum siap. Tapi percayalah, saat ini aku jauh lebih siap dengan keputusanku dan apa pun jawabanmu, tidak akan mengurangi rasa cintaku ke kamu."

Mendengar ungkapan perasaan Al, hati Felic seperti terlepas beban yang selama ini bergelayut padanya. Bagaikan mendapat titik terang dalam hubungannya dan Al selama ini, Felic pun tanpa lama berpikir langsung mengangguk dan menerima cinta Al.

"Iya, aku menerimamu."

Bibir Al tenyum lebar, lalu dia menggapai tangan kanan Felic dan memakaikan cincin itu di jari manisnya. Al mencium punggung tangan Felic, betapa bahagianya hati Felic, akhirnya hubungan mereka jelas dan sudah dipastikan jika Al adalah kekasihnya. Dia tidak lagi pusing menjawab pertanyaan-pertanyaan dari teman-temannya yang selama ini sulit dia jawab dan jelaskan.

***

Sejak menangkap bahas Al datang ke apartemen Felic, Liza semakin posesif. Al sangat tidak nyaman dengan sikap Liza sekarang. Sikapnya yang dulu mandiri, seakan-akan sekarang semua harus dia kerjakan bersama Al pada saat ia sedang tidak dinas.

Ingin menikmati waktu libur bersantai di rumah, memanjakan diri sejenak sebelum kembali bekerja, Al merebahkan tubuhnya di ayunan pinggir kolam renang. Dia mencari ketenangan agar pikirannya segar dan juga relaks. Rasanya baru sebentar Al bersantai, tapi Liza sudah mengganggunya.

"Al, antar aku ke supermarket yuk!" pinta Liza berdiri di samping ayunan.

"Biasanya pergi sendiri???" Al menyahut tanpa menatap Liza, dia tetap memejamkan mata dan menutupinya dengan lengan tangan.

"Iya, tapi sekarang kan ada kamu di rumah, sesekali kenapa sih kita pergi bareng?? Dulu sebelum kita menikah, sering kita keluar bareng. Tapi kenapa sekarang malah jaraaaaaaaang banget bisa pergi berdua?" bujuk Liza bersikap sok manja. "Ayo dong, Al...!" Liza menarik-narik tangan Al, sangat terpaksa Al menurukan lengan tangan yang menutupi matanya dan membuka mata.

"Aku cape, Za. Nanti sore harus berangkat flight lagi. Kamu pergi sendiri aja ya? Atau suruh antar sopir."

Kondisi Al saat ini sedang tidak enak badan, dia merasa lesu dan letih. Al kelelahan setelah beberapa hari terbang dan RON di luar kota. Tidak hanya itu saja, Al juga baru saja menggantikan tugas temannya yang sedang sakit. Baru tadi Subuh dia pulang dan sore nanti akan kembali dinas.

"Nggak mau ah!!! Ayo dooooong, Al. Please." Liza terus memaksa.

Tanpa memedulikan Liza, Al pergi ke kamarnya. Liza mengejar Al sampai kamar, dia berdiri di ambang pintu memerhatikan Al memasukkan perlengkapannya di dalam koper.

"Kamu kenapa sih sekarang beda??! Kamu tuh kayak udah nggak ada waktu buat aku, tahu nggak sih, Al?!" Liza sengaja sedikit meninggikan suaranya.

Karena tidak ingin ribut dengan Liza, sangat terpaksa Al menuruti kemauannya. Tanpa berucap, Al menyambar kunci mobil, ponsel, dan dompetnya yang diletakkan di atas nakas.

"Ayo!" ajak Al datar tanpa ekspresi, berjalan tak acuh melewati Liza yang masih berdiri di ambang pintu.

Bibir Liza tersenyum penuh kemenangan. Bergegas ia mengambil tas di kamarnya, lalu mengejar Al yang sudah menunggunya di garasi. Saat Liza masuk ke dalam mobil, Al sedang menelepon seseorang.

"Nanti aku telepon ya? Hati-hati," ucap Al, lantas mengakhiri panggilannya.

Liza menduga dan berucap dalam hati, Al sepertinya menelepon wanita itu.

"Mau ke supermarket mana?" tanya Al menjalankan mobilnya ke luar garasi.

"Eh, apa, Al?" tanya Liza terkejut karena dia sibuk mencurigai Al.

Al menghela napas dalam, menahan emosinya.

"Mau ke mana kita?" Al mengulang pertanyaannya dan menekan setiap katanya.

"Kita ke supermarket di Jalan Mangunkusumo saja ya?"

"Oke."

Al melajukan mobilnya ke supermarket yang Liza inginkan. Selama perjalanan, Al tidak banyak bicara, hanya Liza yang bicara.

Sampainya di supermarket, Liza meminta Al menemaninya berbelanja. Al menurut dan membuntuti Liza sambil mendorong keranjang belanjaan.

"Al, kamu tahu nggak tetangga kita yang bernama Bu Susan?" tanya Liza sembari memilih-milih keperluan untuk dapur.

"Hmmm," gumam Al menyahut seperti orang malas.

"Kasihan loh dia, suaminya punya simpanan."

Deg-deg ... deg-deg ... deg-deg ....

Jantung Al berdetak sangat cepat, seketika tubuhnya menegang dan keringat dingin terasa membanjiri seluruh badannya.

"Terus???" sahut Al berusaha bersikap santai dan tenang.

"Ya... aku merasa iba saja sama Bu Susan. Apa sekarang memang zamannya pelakor itu sebagai pemenang? Sedangkan istri tua hanyalah hiasan rumah?"

"Nggak tahu! Ngapain sih ngurusin urusan orang lain!?" sahut Al menghindari obrolan mereka.

Lantas Al meninggalkan Liza berbelanja sendiri. Dia keluar supermarket dan menunggu Liza di mobil. Al diam, merenungi ucapan Liza tadi.

"Ya Allah, apakah aku tidak bisa mendapatkan kebahagiaanku sendiri? Selama ini aku sudah banyak membantu orang-orang di sekitarku, tapi apakah langkahku memiliki hubungan spesial dengan Felic salah? Aku sudah terlanjur berjanji dan berkomitmen dengan Felic, tapi aku belum siap mengungkapkan kebenaran ini. Apakah aku dosa telah merahasiakan hubunganku dengan Felic di belakang Liza? Aku memang suaminya, tapi aku tidak mencintai Liza, wanita satu-satunya yang aku cinta hanya Felic. Ya Allah, aku harus bagaimana?" gumam Al bingung menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata.

Tak berapa lama, Liza mengetuk kaca jendela. Al menegakkan tubuhnya lalu membukakan pintu.

"Bisa buka bagasinya?" pinta Liza tersenyum manis namun tidak sedikitpun menggetarkan hati Al.

"Iya." Al memencet tombol di depannya, sehingga pintu bagasi belakang terbuka otomatis.

Liza dibantu seorang pria paruh baya memasukkan belanjaannya di bagasi. Setelah memberi upah, ia masuk dan duduk di samping Al.

"Mau ke mana lagi?" tanya Al sebelum menginjak gasnya.

"Pulang," jawab Liza bersikap manis untuk menarik perhatian Al. Tapi sayang, Al tidak sedikitpun meliriknya.

Sampainya di rumah, Al membantu Liza membawa barang belanjaannya. Tubuh Al lesu, seperti tidak berenergi, setelah meletakkan belanjaan di atas meja makan, Al lalu pergi ke kamarnya. Liza mengelus dada, jengkel melihat sikap Al yang tak acuh dan dongkol karena dia sudah dibohongi.

"Kapan sih, Al... kamu memandang aku sebagai is-tri!!! Apa sih hebatnya wanita itu???" Liza menyeringai, dia sangat penasaran pada Felic. "Aku akan mencari tahu," lanjut Liza bergumam.

Di dalam kamar, Al menunggu chat dari Felic. Karena tadi saat dia menelepon, posisi Felic di luar kota dan akan melaksanakan borading pass. Walhasil mereka tak banyak mengobrol, hanya cara ini sementara waktu mereka untuk membasuh rindu. Dentingan pesan masuk, Al segera membaca. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Yang dinanti-nanti akhirnya memberi kabar. Al pun segera menelepon wanita yang diam-diam menjadi ulam-ulamnya.

"Assalamualaikum, Cinta," sapa Al mesra.

"Waalaikumsalam," jawab Felic lembut. "Tumben manggilnya cinta, biasanya bawel, kalau nggak nona judes," protes Felic.

"Ya kan memang kamu cintaku. Nggak suka dipanggil begitu?"

"Hihihihihi, lucu aja dengernya."

"Ya sudah, aku ganti. Manggil kekasihku aja gimana?"

"Ish, apaan sih?! Memperjelas status mah kalau itu!"

"Ya kan emang kamu sudah jadi pacarku, kenapa??? Salah???"

"Hidih, kapan kita jadiannya? Kok aku tiba-tiba amnesia ya???" goda Felic disusul kikihannya.

"Udah ah, jangan bercanda terus. Aku lesu banget nih, letih, bawaannya kesel terus," keluh Al.

"Kamu sakit??" tanya Felic khawatir.

"Nggak, cuma kecapean aja."

"Ya sudah, kalau gitu kamu istirahat dulu aja ya?"

"Bentar amat teleponnya???"

"Ya kan entar malam kita bakal ketemu, Kapten.... Jadwal kita entar satu penerbangan, berangkat dari Surabaya ke Bali. RON deh aku di Bali, kamu lanjut flight."

"Bentar amat ketemunya??? Kenapa setelah jadian malah jarang ketemuan ya? Sebelum jadian, perasaan sering banget ketemunya."

"Ah, kamu ini! Protes mulu! Masih bersyukur dikasih waktu untuk bertemu, kalau nggak, mau gimana kamu???"

"Ya aku pengajuan ke kantorlah! Biar satu penerbangan sama kamu terus."

"Nggak boleh begitu, berarti kamu pilot egois! Udah ah, aku mau beres-beres dulu, 20 menit lagi buka pintu boarding."

"Iya, kamu hati-hati, jaga diri baik-baik. Sampai ketemu nanti malam."

"Iya-ya. Kamu tidur ya? Minum air putih yang banyak, biar semangat lagi."

"Iya, my dear."

"Ih, kamu selalu bisa bikin aku gede rasa! Udah ah! Makin besar kepalaku nanti kamu rayu terus, bisa-bisa terbang aku entar."

Al tertawa lepas, dia membayangkan pipi merona Felic.

"Terbangnya sama aku kan nggak apa-apa."

"Iya-ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Felic sengaja cepat-cepat menutup panggilan itu karena tidak ingin Al semakin merayunya.

#######

Nah, kalau sudah begini gimana hayoooo??? Al mah cari penyakit!!!!

Makasih untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top