CEMBURU PADA ORANG YANG TAK TEPAT

Satu bulan sudah Felic cuti, kini waktunya dia kembali bekerja di ibu kota. Rasanya dia tidak ingin kembali ke Jakarta, tapi tanggung jawabnya ada di kota itu. Seperti hari-hari yang lalu, sebelum terbang, kru akan mengadakan meeting. Hampir setiap saat rolling kru, jantungnya berdebar-debar tak keruan. Dia takut jika akan bertemu Al di satu penerbangan, meskipun dia sudah meminta kantor agar tidak satu penerbangan dengan Al, tapi Al adalah kapten, dia punya kuasa untuk memilih kru penerbangannya.

"Selamat pagi," suara tegas menyapa pagi ini.

Senyum manis merekah di bibir pilot muda dan tampan.

"Pagi, Kap," sapa semua kru yang sudah menunggu di ruang meeting.

Meeting pun dimulai, selama meeting berjalan, Felic dan sang pilot saling melempar senyum penuh arti. Selesai meeting, semua kru keluar. Pilot muda nan gagah itu menyamakan langkahnya dengan Felic keluar dari ruang meeting.

"Bagaimana kabarmu?" tanya dia menyenggol bahu Felic dengan bahunya.

"Seperti yang kamu lihat saat ini. Aku masih hidup dan bernapas," seloroh Felic yang terlihat sudah akrab.

"Aku denger, kamu sama Kapten Al ...."

"Kapten Rudi, please, jangan bahas itu dulu. Biarkan aku fokus sama pekerjaanku." Felic langsung memotong ucapan teman karibnya saat mereka dulu kuliah di Jogja.

Rudi kuliah di penerbangan, sedangkan Felic mengambil jurusan pramugari. Seringnya pertemuan mereka karena dulu tempat kos saling berhadapan, membuat Rudi dan Felic akrab. Mereka sama-sama merantau mencari ilmu, tidak ada sanak saudara yang bisa membantu saat membutuhkan, walhasil teman-teman kos dan teman sekitar yang akan membantu.

"Oke-oke, aku paham," ucap Rudi cengengesan mengejek Felic.

Felic dan Rudi berjalan ke apron yang akan mereka jalankan. Apron; pelataran pesawat adalah bagian dari bandar udara yang digunakan sebagai tempat parkir pesawat terbang. Selain untuk parkir, pelataran pesawat digunakan untuk mengisi bahan bakar, menurunkan penumpang, dan mengisi penumpang pesawat terbang.

Namun, saat melewati ruang tunggu, tidak sengaja Felic berpapasan dengan Al. Debaran jantung mereka berdetak tak keruan, tapi saat Al melihat Felic berjalan beriringan dengan Rudi, hatinya panas, amarahnya semakin tersulut.

"Pagi, Kap," sapa Rudi sopan karena Al termasuk seniornya.

"Hm," sahut Al dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Mata Al dan Felic saling bertabrakan, secepatnya mereka saling mengalihkan pandangan.

Aku kangen sama kamu, Yang. Batin Felic yang tidak bisa mendustai hati jika dia saat ini sangat merindukan Al.

Semudah itukah kamu mengingkari janjimu, Fel? Apa kamu sudah melupakanku? Begitu mudah kamu mendapatkan penggantiku. Al salah paham, dia kira saat ini Felic sedang dekat dengan Rudi.

Padahal kenyataannya, Rudi dan Felic sekadar berteman sejak lama. Rudi pun juga sudah memiliki tunangan, mana mungkin dia akan pacaran dengan Felic, sedangkan sudah menjadi rahasia umum jika Kapten Al adalah kekasih Pramugari Felic.

Setelah mereka saling melewati, Rudi lantas menggoda Felic, "Ciyeeeee, gitu amat sama pacar. Slow gitu loh, masa formal gitu ketemu, disapa kek, atau kasih suntikan semangat, bilang 'pagi, Sayang' sambil kasih senyuman manis gitu, masa cemberut. Kalau kamu kasih perhatian, dia kerjanya semangat."

"Apaan sih, biasa saja, Kap," ujar Felic.

Rudi tidak tahu masalah yang sedang dihadapi Al dan Felic, dia mengira hubungan mereka aman-aman saja, sikap dingin Al di mata Rudi sudah biasa, jangankan Rudi, dengan kawan satu angkatannya saja, Al bersikap seperti itu. Datar, dingin, dan cuek.

"Emang gitu, ya, orangnya, Fel?"

"Iyaaaaa, begitulah!" jawab Felic seraya mengedikkan bahu.

"Orang yang pertama tahu Kapten Al, pasti mengira dia sombong. Padahal dia aslinya baik, suka membantu, hanya saja jarang bicara."

"Emang kamu pernah ditugaskan sama dia?"

"Pernah, waktu itu kami flight ke Mumbay, India."

"Oh," respons singkat Felic.

"Dulu kalian sering flight bareng. Kapten Al selalu pilih kamu di kru penerbangannya, tapi beberapa bulan ini aku perhatikan, kalian jarang flight bareng?"

"Professional kerja saja, nggak enak kalau terus-terusan bareng, entar banyak yang iri," alasan Felic supaya Rudi tidak mencium masalah yang terjadi antara dirinya dan Al.

"Oh, iya juga sih. Tapi kan kalian bisa janjian kalau pas terbang di kota yang sama."

"Iya." Felic menjawab singkat.

***

Meskipun tidak terbang dalam satu pesawat, tapi tidak menutup kemungkinan mereka akan bertemu bahkan RON di salah satu kota. Seperti malam ini, mereka RON di Ambon. Seperti mengulang kenangan satu tahun yang lalu ketika awal kedekatan, mereka menginap di hotel yang sama.

Al duduk di lobi memerhatikan Felic yang sedang mengobrol dengan teman pramugarinya. Merasa jika ada sepasang mata sedari tadi memerhatikannya, Felic menjadi salah tingkah.

"Fel, tuh, pangeran lo dari tadi lihatin ke sini mulu. Samperin sana! Belum lo kasih jatah, ya?" goda---teman yang sedari tadi mengobrol dengan Felic---Rena.

"Apaan sih, Ren! Biarin aja kali, orang dia punya mata, mau lihat ke mana aja itu terserah dia," jawab Felic judes.

"Biasa aja kali, Fel .... Nggak usah nyolot juga ngomongnya. Hehehehe. Kalau dia cewek lain gimana?"

"Ya ... itu terserah dia!" Felic menjawab tapi mata melirik Al yang masih setia menatapnya.

"Yakiiiiin?" Rena mengerling sambil mencolek dagu Felic.

"Iya!" Felic lantas berjalan tak acuh ke arah lift sedangkan Rena melepas tawanya lalu berlari mengejar Felic.

Bibir Al sedikit tertarik melihat wajah Felic yang sedang sebal karena digoda Rena.

Nggak butuh waktu semenit buat jatuh cinta sama kamu, Fel. Tapi, butuh waktu seumur hidup buat melupakanmu. Sepertinya aku tidak sanggup jika harus melepaskanmu, karena hatiku masih sangat mencintaimu. Al menghela napas dalam lantas menghembuskan kasar.

Dia bangkit dari duduk berniat ingin pergi ke kamarnya. Namun saat dia ingin melangkah, suara bariton memanggil namanya.

"Al!"

Secepat mungkin Al menoleh ke sumber suara. Wajahnya tampak sangat terkejut saat melihat sepasang suami-istri berjalan masuk ke dalam hotel berdampingan. Laki-laki paruh baya yang masih terlihat gagah, tatanan rambut klimis disisir ke belakang, berkumis, dan memakai kacamata, menyambut Al hangat dengan pelukan akrab.

"Om Robi," ucap Al gugup, lalu ia mengalihkan pandangan kepada wanita berparas manis meski usianya sudah tak lagi muda. Senyum mengembang dari bibir wanita yang sudah melahirkan Felic.

Robi melepas pelukannya, dia memegang kedua lengan Al dan menatapnya bangga.

"Kamu juga RON di sini, Al?" tanya Marta.

"Iya, Tan." Al lantas mendekati Marta, menyalaminya tidak lupa juga mencium punggung tangan dia. Marta membalas mengelus kepala Al, seperti sedang memberinya restu.

"Papa telepon Felic dulu," pamit Robi pada Marta, "dia nggak tahu kalau Om ke sini," ucapnya pada Al lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana.

"Kamu kok kurusan sih, Al?" ujar Marta memerhatikan Al dari atas hingga bawah.

"Mungkin karena sibuk, kadang lupa makan dan juga kurang istirahat, Tan," alasan Al.

"Jaga kesehatan, jangan kerja terus."

"Iya, Tan." Al mengangguk antara sungkan dan masih terkejut atas kehadiran kedua orang tua Felic yang tiba-tiba.

"Ma, Pa!" Felic datang menghampiri mereka yang masih berdiri di depan sofa lobi.

Sesampainya di depan orang tua, Felic lalu memeluk mereka bergantian.

"Kangen," ucap Marta memeluknya dan mencium kening serta kedua pipi Felic.

"Felic juga kangen sama Mama," ucap Felic melendot manja di dada Marta dan tangan masih melingkar manis di pinggangnya.

"Halah, baru juga kemarin nggak ketemu .... Kurang waktu cutinya Felic?" sela Robi.

"Ih, Papa, namanya juga anak dan ibu, sedetik saja berjahuan, rasanya kayak sudah seabad," bela Marta.

Al masih berdiri di antara mereka, dia melihat senyum manis Felic dan manjanya dia kepada Marta.

Apakah kamu juga merindukanku? Al hanya bisa membatin dengan mata tak lepas dari wajah cantik Felic.

"Oh, iya, Mama sama Papa kok di sini?" Felic menegakkan tubuhnya menatap Marta dan Robi bergantian.

"Kebetulan tadi kami menghadiri undangan pernikahan di hotel sebelah. Pas kamu tadi telepon Mama, kami sudah di hotel situ," tunjuk Robi di hotel yang dia maksud.

"Oooh, begitu???" sahut Felic menganggukkan kepala.

"Terus kita cuma mau berdiri di sini?" sela Marta menatap Robi, Al, dan Felic bergantian.

"Ya nggak dong, kita cari kafe deket-deket sini, yuk! Sambil ngobrol kita minum kopi," ajak Robi merangkul Al.

Menyadari sosok pria yang sesungguhnya masih dicintainya, Felic sekadar melirik, bersikap sok tidak peduli, padahal dalam dada, jantungnya berdebar-debar tak beraturan.

"Ayo!" ajak Marta menyilangkan tangannya di lengan Felic.

Mereka berjalan ke luar hotel, sampainya di parkiran, Al mengambil alih menyetir mobil Robi menuju kafe.

Sampainya di tempat tujuan, mereka duduk di sudut ruangan yang tenang, musik mendayu-dayu, suasana nyaman, dan pencahayaan siluet, membuatnya terkesan romantis. Beberapa menit hening tidak ada obrolan, Robi yang memecah keheningan.

"Ehm!" Robi berdehem sebelum memulai obrolan. Dia menegakkan posisi duduknya.

Tiba-tiba suasana menjadi tegang dan serius, apalagi mereka duduk saling berhadapan, Al yang duduk di depan Robi merasa gelisah, apalagi tatapannya tampak serius.

"Al, kamu tahu kan jika Felic ini anak kami satu-satunya? Usia dia sudah cukup ...."

Sebelum melanjutkan ucapannya, Robi menarik napas dalam. Al sudah paham arah obrolan itu, Felic hanya bisa dia menunduk, dalam hati galau, ingin berkata jujur tentang masalahnya dan Al, tapi takut membuat hati orang tua kecewa, karena selama ini mereka sudah menyurati hubungannya dengan Al. Apalagi selama ini Robi dan Marta sangat sulit memercayai pria yang sedang dekat dengan Felic, namun dengan Al, mereka langsung klop dan cocok.

"Begini, maksud kami baik, sebagai orang tua, wajar jika kami khawatir apa bila putri semata wayang kami jauh dari pantauan. Apalagi Felic sudah dewasa dan kami merasa sudah menemukan pria yang kami anggap pantas untuk mendampinginya. Jadi, kebetulan kita bertemu, niat Om sama Tante mengajak kalian duduk di sini, selain ingin mengeratkan silahturahmi juga ingin menanyakan sejauh mana keseriusan Al dengan putri kami, Felicia Diandra?"

Susah payah Felic menelan ludah, sangat berat rasanya dia menegakkan kepala. Dia hanya bisa meremas-remas tangannya di bawah meja untuk mengurangi kegelisahan. Berbeda dengan Felic, Al justru mengangkat kepalanya menatap Robi mantap. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam hatinya, justru keadaan ini akan Al manfaatkan.

"Om, sebelumnya saya minta maaf."

Deg!

Ucapan Al membuat jantung Felic berdebar-debar tak keruan. Dia takut jika Al akan mengatakan keadaan yang sebenarnya.

"Bukan maksud saya ingin menunda-nunda dan bahkan menghindar, tapi, saya minta waktu. Memang waktu dekat ini keadaan belum memungkinkan, tapi, saya usahakan secepatnya membawa kedua orang tua ke rumah Om untuk melamar Felic," ucap Al yakin tanpa keraguan.

Dengan cepat Felic mengangkat kepalanya dan menoleh ke samping menatap Al dengan mata berkaca-kaca.

Al, apa kamu sadar dengan ucapanmu itu? Jangan kamu beri harapan kosong pada kedua orang tuaku, cukup aku saja yang kamu beri harapan palsu. Felic hanya bisa membatin, tanpa punya keberanian mengucapkannya secara langsung.

"Om paham, pasti butuh waktu untuk meyakinkan kedua orang tua kamu. Dan pastinya kamu juga harus mencari waktu senggang, Om dan Tante tunggu di rumah. Om anggap ini sebuah janji yang harus kamu tepati," ujar Robi sembari tersenyum lebar penuh harapan.

"Pasti, Om! Al usahakan, beri waktu untuk mengatur semuanya," ucap Al dibalas dengan senyuman lega Robi dan Marta.

Bibir Felic kelu, dia tak sanggup membantah apalagi menolak. Hanya air mata yang berbicara.

########

Tuh kan??? Terus gimana Liza? Apakah Al bisa meyakinkan kedua orang tuanya? Apakah dia juga bisa menepati janjinya pada Robi? Ya Allah, kok jadi begini???

Makasih untuk vote dan komentarnya. Selamat menunggu lagi, ya??? Love you all.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top