ANCAMAN BESAR

Saat sedang membuatkan minum di dapur, Diana menghampiri Felic dan membisikan ancamannya.

"Sekarang keadaan Liza sudah membaik dan kalau kamu tahu diri,  harusnya tidak lagi tinggal satu atap dengan mereka."

Meski geram, Felic masih bisa mengendalikan amarahnya. Dia menggenggam sendok teh kuat-kuat untuk melampiaskan emosinya.

"Oh, iya, saya lupa. Tugas kamu kan belum selesai. Kamu tahu, kan, kalau setiap pernikahan itu diharapkan memiliki keturunan? Tugasmu di sini hanya sekadar untuk memberikan Al keturunan, setelah itu kamu bisa bebas menentukan jalan hidupmu sendiri. Asal kamu tahu, kesepakatan kami menyetujui pernikahan kamu sama Al itu hanya satu, karena Liza tidak lagi bisa memberikan keturunan secara langsung untuk Al, makanya dia memanfaatkan kamu. Aku pikir idenya pintar juga, jadi cepatlah hamil dan segera keluar dari rumah ini. Jangan ganggu rumah tangga orang lain lagi." Mulut berbisa Diana mengoyak hati Felic. Sakit, pedih, dan sangat nyeri.

Orang yang terlihat baik dan kalem, ternyata bisa buas jika di belakang. Felic tak menyangka, Diana setega itu padanya. Dia bukanlah tebu yang habis manis sepah dibuang.

Dengan senyuman miring, Diana keluar dari dapur membawa stoples berisi camilan dan membawanya ke ruang tengah. Air mata Felic luluh lantah tak terbendung, hatinya sangat sakit. Sekuat tenaga dia menahan sesak di dadanya. Sebuah tangan lembut menyentuh bahunya, Felic dengan cepat menyeka air mata yang terus mengalir dari pelupuk.

"Sudah selesai?" tanya Lia lembut.

"Iya, Ma. Sebentar lagi," jawab Felic parau tanpa menoleh dan menyembunyikan wajahnya di balik uraian rambut.

"Mama bantu bawakan apa?" tawar Lia halus.

Felic tidak menjawab, tapi Lia mendengar isakannya meski sangat lirih.

"Fel, kamu menangis?" tanya Lia membalikkan badan Felic.

Air mata sudah membasahi pipinya, mata dan hidung merah. Felic merunduk dan berusaha mengeringkan air matanya.

"Kamu kenapa?" tanya Lia menyeka air mata Felic.

"Nggak apa-apa, Ma," jawab Felic berusaha tersenyum. "Ayo, Ma. Kita ke depan, kasihan yang lain menunggu minumnya." Felic menghindari pertanyaan-pertanyaan dari Lia.

"Iya," sahut Lia merasa ganjal dengan sikap menantunya itu.

Dengan senyum paksa, Felic mengangkat nampan bersisi beberapa gelas teh hangat. Lia masih termangu di dapur memikirkan Felic.

Sampainya di ruang tengah, Felic menunduk menyembunyikan wajahnya dengan rambut yang tergerai. Dia menurunkan nampan itu di atas meja, Doni membantunya menurunkan gelas itu satu per satu di depan masing-masing tamu.

Tak kuasa melihat manjanya Liza yang menidurkan kepalanya di pangkuan Al, Felic berlalu kembali ke dapur. Al menatap ada yang berbeda dengan istrinya.

Kenapa dia tidak menatapku? Batin Al terus memerhatikan abet Felic. Al mencurigai wajah merah Felic, ada sisa air mata di sudut matanya. Sepertinya Felic habis menangis. Ada apa dengannya? Apa dia cemburu melihat Liza yang dari tadi manja padaku? Al terus kepikiran Felic.

Selesai membagi teh hangat untuk  keluarga yang ada di ruang tengah, Felic kembali ke dapur. Di sana masih ada Lia yang menunggunya. Tak lepas Lia menatap Felic menuntut penjelasan.

"Ikut Mama." Lia menarik Felic ke belakang rumah, Felic hanya pasrah.

Debaran jantungnya tak keruan, pikirnya, Lia akan mengatakan hal yang menyakiti hatinya seperti Diana. Felic sudah menyiapkan mental. Mereka duduk di ayunan kursi kayu panjang samping kolam renang. Beberapa menit saling terdiam, Felic menunduk menanti ucapan yang akan Lia lontarkan.

Sambil menatap lurus ke depan, Lia mulai berbicara, "Terkadang dalam hidup kita ada pilihan sulit dan bisa saja kita mengambil langkah yang salah. Tapi, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan kebodohan yang sudah kita pilih sendiri. Tuhan tidak akan meninggalkan kita, di saat kita menyadari kesalahan itu, tapi Dia akan menuntun kita ke jalan yang benar."

Lia menoleh ke samping, mengelus kepala Felic penuh rasa sayang dan menyandarkan kepala Felic di bahunya.

"Jujur, aku lelah dengan keadaan begini, Ma. Tapi, setiap mau pergi, hati meminta berjuang lagi dan logika berkata 'masa cuma segini?' itu yang membuatku galau. Haruskah aku tetap di sini menunggu kehancuranku, Ma?" Air mata Felic lagi-lagi menetes membasahi baju Lia.

Merasakan bahunya basah, hati Lia terenyuh perih. Dia merasa iba dan empati dengan keadaan Felic yang terjepit seperti sekarang ini.

"Berjuang boleh saja, Fel. Tapi, kamu harus bisa membaca situasi. Jangan berlebihan berjuang kalau kamu sendiri. Jika sampai kamu tidak mendapatkan hasil dari perjuanganmu itu, yang ada kamu akan sakit hati. Apalagi kalau kamu berjuang untuk orang yang tidak pernah sadar jika sudah diperjuangkan. Tapi, Al tidak seperti itu, Mama sangat mengenalnya. Dia kalau sudah nyaman dan sayang seseorang, apa pun akan dia lakukan untuk mempertahankan miliknya, meskipun dia harus sakit."

"Apa aku salah, jika cemburu pada Liza, Ma? Kadang aku merasa hidup ini nggak adil untukku."

"Nggak salah kamu punya rasa cemburu padanya, karena kamu mencintai Al. Meskipun Liza juga punya hak yang sama seperti kamu. Memang keadaan ini sulit dan berat di pihakmu, tapi kamu harus bertahan demi apa yang sudah kamu perjuangkan selama ini." Lia menegakkan tubuh Felic dan menghadapkan padanya. Dia tersenyum manis dan memeluk Felic menyalurkan semangat padanya.

Nyaman dan tenang, begitulah yang Felic rasakan. Dia seperti dekat dengan ibunya sendiri, Felic membalas pelukan Lia, dia menyandarkan kepalanya nyaman di bahu sang mertua.

"Kamu tidak berjuang sendiri, ada Al yang selalu berjalan di sampingmu. Dia tidak di depan maupun di belakangmu, dia ada di sampingmu dan siaga melindungimu dari musuh yang sewaktu-waktu dapat menyakitimu. Entah dia akan menikammu dari depan maupun belakang. Mama percaya, kebahagiaan akan berpihak pada kalian. Sabar, sampai waktunya tiba." Kata-kata Lia menenangkan hati Felic.

"Iya, Ma. Aku akan selalu menggenggam tangan Al. Meskipun rintangan besar menghadang kami di depan nanti."

"Janji?" pinta Lia sepenuh hati.

"Janji," ucap Felic seperti mendapat pendukung tulus yang berdiri di belakangnya.

Dari kaca jendela dapur, Al memerhatikan Lia dan Felic yang masih saling berpelukan.

"Setidaknya ada Mama yang sekarang menenangkan hatimu, Fel. Maafin aku yang selalu membuatmu bersedih." Al bergumam sangat pelan, lantas dia kembali ke ruang tengah.

***

Malam hari, Felic merapikan pakaian Al yang akan dibawanya bertugas terbang ke luar negeri. Al masuk ke kamarnya lalu memeluk Felic dari belakang.

"Berapa hari?" tanya Felic sambil tangan melipati baju-baju Al yang akan dimasukkan ke koper.

"Paling tiga sampai empat hari," jawab Al mengecup bahu Felic.

"Kalau ada waktu senggang, buat istirahat. Jangan jalan-jalan, awas kalau sampai kamu jalan," ancam Felic protektif.

"Iya." Al memutar tubuh Felic agar menghadapnya. Dengan mata sendu Felic mendongak membalas tatapan sayu Al. "Jangan pernah lari dariku lagi. Seribu kali kamu pergi dariku, aku akan tetap bisa mengejarmu dan menggapaimu."

"Yang, tidak bisakah kamu mengizinkanku tinggal di apartemen?"

"Kenapa? Apa kamu tidak suka tinggal di sini?"

Dengan manja Felic memeluk Al dan menempelkan pipinya di dada bidang ternyamannya. Al membalas, mendekap erat tubuh Felic dan meletakkan dagunya di kepala sang istri.

"Aku cuma pengin merasakan rumah tangga yang normal, tanpa ada orang lain yang mengusik ketenangan kita saat bersama. Kalau perlu, kamu boleh membawaku ke mana pun kamu mau tanpa ada seorang pun yang bisa mengganggu ketenanganku."

Dari kata-kata Felic, Al menerka ada yang tidak beres dengan istrinya itu. Tapi, Al menahannya agar tidak bertanya untuk saat ini. Aku akan cari tahu apa yang membuatmu tidak tenang. Batin Al bertekad.

"Kalau kamu bisa lebih tenang tinggal di apartemen, silakan. Aku kalau pulang kerja malah dekat, kan? Tapi, ada syaratnya."

Felic mendongakkan kepalanya. "Syarat? Apa?"

"Kamu nggak boleh bawa tamu sembarangan ke apartemen dan juga nggak boleh bertemu siapa pun tanpa izinku."

"Kok begitu?" protes Felic cemberut.

"Ya kan, nggak bisa selalu ada aku di apartemen. Jadi, kamu juga nggak boleh sembarangan. Pasti aku akan lebih sulit karena harus mondar-mandir ke sini dan apartemen."

Perlahan Felic mengendurkan pelukannya. "Ck, susahnya berbagi suami. Nggak bisakah cuma aku yang memilikimu?"

Mendengar keluhan Felic, dada Al nyesek. Daripada berujung cekcok, mending Al diam.

"Aku mau beresin ini dulu, Liza sudah tidur?" tanya Felic memutar tubuhnya dan melepas pelukan Al. Dia melanjutkan merapikan pakaian yang perlu Al bawa besok ke dalam koper.

"Sudah."

"Kamu mau tidur sini atau menemani Liza malam ini?" Felic berucap sambil menurunkan koper yang sudah tertutup rapat dari atas ranjang.

"Mmm ... enaknya?" tanya Al mengerling.

"Terserah," jawab Felic mengedikkan bahu. "Aaaaaaal!" pekik Felic terkejut. Tanpa mendapat aba-aba, Al langsung memeluk Felic dan membanting tubuh mereka di atas tempat tidur.

"Bobo sini saja sama kamu, cape kalau tidur di kamar Liza. Pas bangun, badannya sakit semua."

"Kenapa?"

"Nggak bisa bebas bobonya. Kan bobo di sofa."

"Iya, tapi nanti kalau Liza butuh apa-apa bagaimana? Siapa yang bantu dia?"

"Kan semua sudah aku taruh di atas nakas, Sayang. Air putih dan obatnya sudah ada, ponsel juga aktif, kalau dia butuh apa-apa, pasti telepon aku. Malam ini milik kita," ucap Al menaik-turunkan kedua alisnya memberi kode pada Felic.

"Tidur ah!" Felic merangkak naik dan berbaring nyaman.

Al tersenyum lebar, seperti mendapat kesempatan, tanpa berlama-lama dia mulai mencumbui istrinya. Malam ini milik mereka, tanpa ada yang mengganggu, mereka bergumul di bawah dinginnya AC.

########
Alamaaaaaak, dinginnya AC nggak seberapa dibandingkan dengan dinginnya pucuk gunung di kutub utara. Hahahahah 😆😜😝.

Berikan kesan kamu pas membaca cerita ini. Bagaimana dan apa yang kamu bayangkan serta pikiran?

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.🙇🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top