ADILKAH AKU?

"Kenapa Felic tidur di kamar bawah, Al?" tanya Liza setelah beberapa hari di rumah.

Meski diperbolehkan pulang, badan Liza masih lemas, Hb-nya rendah. Sejak pulang dinas, Al menemani Liza di kamar dan belum bertemu Felic.

"Kakinya masih sakit, sementara dia tidur di kamar bawah," ujar Al menutupi masalahnya dan Felic.

"Maaf, ya, Al. Gara-gara aku Felic jadi sakit," ucap Liza menyentuh tangan Al yang duduk di samping tempat tidurnya.

"Iya, namanya juga musibah, Za."

"Al, aku bosan di kamar."

"Kamu mau turun ke bawah? Duduk di teras sambil minum teh, cocok sore-sore begini."

"Boleh," ucap Liza tersenyum dan mengangguk.

"Oke, aku bantu kamu." Al berdiri membantu Liza bangun. Tapi, saat Liza berdiri sendiri, tubuhnya terhuyung, dia merasa kepalanya sangat pusing.

"E, e, e, e." Al menahan tubuh Liza.

"Duh, kepalaku pusing, Al." Liza memegangi kepalanya, pandangannya berkunang-kunang.

"Aku bopong, ya?"

"Emang kuat?" ledek Liza.

"Wah, menghina. Kuatlah!" ucap Al lalu mengangkat tubuh Liza.

Liza mengalungkan tangannya di tengkuk Al, lalu mereka turun ke bawah. Sampai di ruang tengah, Felic melihat Al membopong Liza, hatinya sakit dan pedih. Dia menghindari tatapan dengan Al.

"Fel, bagaimana kakimu?" tanya Liza menyapa Felic yang duduk santai sendiri di ruang tengah sambil kakinya yang masih digips selonjoran.

"Sudah mendingan kok, Za," ucap Felic cemburu melihat Al membopong Liza.

"Aku antar Liza ke teras dulu, ya?" ujar Al memberi kode agar Felic menunggunya di situ.

"Iya," jawab Felic pelan tapi terdengar oleh Al dan Liza.

"Mbak Win, tolong buatkan teh hangat dan antar ke teras, ya?" pekik Al memerintah Win.

"Baik, Mas," sahut Win.

Lalu Al membopong Liza ke teras, setelah menurunkannya di kursi besi yang sudah tersedia di teras, Win datang membawa secangkir teh yang masih mengepul.

"Mbak Win, di sini saja temani aku," pinta Liza, "Al, kamu masuk temani Felic saja. Kasihan dari tadi kamu sudah menemaniku, pasti dia juga butuh kamu," ucap Liza dengan senyuman tulus.

"Nanti kalau kamu mau naik, panggil aku, ya?" pesan Al mengacak rambut Liza pelan.

"Iya."

Al pun masuk ke dalam, Felic masih duduk di tempat yang tadi. Dia terlalu fokus memerhatikan ponselnya, Al mengendap-endap berdiri di belakang Felic dan melihat istrinya sedang menulis chat dengan Hermawan. Hati Al mendadak panas, kecurigaan kembali menghampirinya.

"Oh, jadi sekarang kalau apa-apa minta tolongnya sama Dokter Hermawan, padahal suaminya jelas-jelas di rumah," sindir Al, Felic terkejut karena dia tidak tahu kedatangan Al.

"Aku cuma minta tolong dia buatkan janji sama dokter yang menangani kakiku waktu itu. Salah?" sahut Felic ketus.

"Kamu membutuhkan aku nggak sih, Fel? Sejak aku lihat kamu sama Dokter Hermawan, aku merasa kamu beda." Al meninggikan suaranya.

Felic menarik napasnya panjang, hatinya yang tadi sudah panas karena melihat Al bersama Liza, kini ditambah Al mencurigainya lagi. Dia bersusah payah berdiri menggunakan kruknya menghadap Al, hanya saja mereka tersekat sofa.

"Iyakah aku yang beda? Bukankah kamu yang beda?" Felic melirik Al dengan tatapan judes.

"Diperhatikan malah jawabannya begitu!"

"Ada yang lebih penting kamu perhatikan daripada aku, Al. Aku masih bisa mengurus diriku sendiri," ucap Felic pelan dan lembut, dia masih bisa menahan amarahnya.

"Oh, jadi kamu sudah nggak butuh aku, Fel? Iya?!" sergah Al keras hingga suaranya terdengar sampai luar.

"Kamu ini kenapa sih, Al?! Aku bicara halus kamu nyolot. Salahku apa? Pernahkah aku merepotkan kamu selama ini? Apa yang masih bisa aku kerjakan sendiri, aku akan kerjakan sendiri. Bukan berarti aku nggak membutuhkan kamu. Selama aku sakit seperti ini, pernah nggak kamu tanya kondisiku? Nggak, kan? Aku merasa nggak lagi penting di hidupmu!" bantah Felic menekan semua kata-katanya.

Al terdiam, iya, benar kata Felic. Al terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan memerhatikan Liza sehingga dia tidak memberi Felic perhatian. Apalagi kondisi Felic saat ini sebenarnya butuh bantuannya.

"Pikirkan, siapa yang berubah!" ucap Felic lalu dia berjalan terseok-seok ke kamar tamu.

Sebelum Felic masuk, Al menahan pergelangan tangannya.

"Aku minta maaf," ucap Al pelan.

"Sudah sering aku dengar maafmu dan akan terulang lagi. Kamu minta maaf, aku akan terus memaafkanmu, akan seperti itu terus."

"Aku nggak suka kamu terlalu dekat sama Dokter Hermawan."

"Kenapa?" Felic bertanya sambil menatap kedua mata Al. Tapi, Al tertunduk dan diam.

"Kamu saja tidak bisa menjawabnya, kenapa kamu melarangku?"

"Karena aku takut dia bisa kasih perhatian ke kamu lebih dari aku."

"Kalau itu yang kamu takutkan, kenapa bukan kamu yang memberikan perhatian lebih padaku?"

"Karena ada Liza yang juga aku harus perhatikan."

"Jika belum siap berbagi, harusnya kamu tidak menikahiku, Al. Dan sebaiknya juga kamu tidak menjadikan aku yang kedua. Adil itu sulit," ucap Felic mendorong-dorong dada Al geram.

"Aku cuma takut kehilanganmu."

"Itu saja?" sahut Felic cepat.

Al menganggukkan kepalanya dan menunduk tak mampu menatap kedua mata Felic yang tergenang air mata.

"Jika cuma itu yang kamu takutkan, itu bukan alasan yang bisa aku terima, Al. Semakin ke sini, aku sadar, keputusanku menerima pernikahan ini salah."

Tatapan Al langsung tertuju pada pupil merah kecokelatan milik Felic.

"Kenapa kamu merasa seperti itu?"

Bibir Felic tersenyum kecut. "Karena kenyataannya kamu belum bisa berbagi. Dan akan ada lagi alasan-alasan lain nantinya terkuak seiring berjalannya waktu. Semua akan tiba waktunya."

Setelah berucap, Felic masuk ke kamar. Dengan cepat Al mengikutinya masuk, dia memeluk Felic dari belakang.

"Apa kamu tidak takut kehilanganku, Fel?" tanya Al parau menelungkupkan wajahnya di tengkuk Felic.

"Semua orang pasti akan merasakan kehilangan. Memang rasanya sakit, karena saat itu aku pernah melepaskanmu, Al. Aku bersusah payah berdiri sendiri, tapi kenyataannya aku tidak mampu." Felic memutar tubuhnya lalu memeluk Al, dia memejamkan matanya dan merasakan kenyamanan yang beberapa hari ini tidak dia rasakan. "Jika aku pergi sekali lagi, jangan kamu mencariku."

Hati Al nyeri, darahnya panas berdesir ke seluruh tubuh.

"Apa kamu akan meninggalkanku, Fel?"

"Entah, tapi aku merasakannya."

"Aku nggak mau kehilangan kamu lagi." Al mengeratkan pelukannya.

"Jangan pikirkan aku, Al. Yang harus kita pikirkan adalah operasi yang akan Liza jalani." Felic melepas pelukannya. Dia mendongakkan kepalanya menatap wajah sendu Al.

"Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Al penasaran karena dia merasa Felic menyembunyikan sesuatu darinya.

Dia mengusap-usap wajah Felic dengan ibu jarinya. Nyaman, Felic merasakan kenyamanan yang tidak dia dapat dari orang lain saat Al memberikannya perhatian.

"Nggak ada apa-apa, semua akan baik-baik saja. Sudah, kamu temani Liza dulu, aku mau istirahat." Felic mengapit kruknya, dia berjalan pincang mendekati tempat tidur.

"Boleh nanti malam aku tidur di sini?" tanya Al.

"Silakan, ini rumah kamu. Kamu bebas mau tidur di mana saja." Setelah berucap, Felic duduk dan ingin mengangkat kakinya tapi dengan cepat Al pelan-pelan mengangkat kan kakinya ke atas kasur.

"Makasih," ucap Felic tersenyum tipis.

Al membalas senyumannya, dia mengusap kening Felic dan mengecupnya.

"Istirahatlah," ucap Al lalu pergi meninggalkan Felic.

***

Menunggu adalah hal yang paling tidak disukai banyak orang. Jam menunjukkan pukul 22.00 WIB, Felic masih terjaga. Al tadi berkata ingin tidur bersamanya malam ini, tapi setelah ditunggu-tunggu dia tak kunjung datang. Ingin rasanya marah, tapi tertahan di dada hingga dia tidak bisa membendung perasaan dongkolnya. Felic hanya bisa meluapkan emosinya dengan cara menangis; menangis mungkin akan membuat perasaannya lebih baik.

"Kamu bohong, Al. Dasar PHP! Kalau mau menemani Liza, kenapa kamu bilang mau tidur di sini? Kamu hanya membuatku menunggumu saja," ucap Felic kesal di tengah isakannya.

Lama-lama dia lelah menangis, Felic pun terlelap. Tengah malam secara perlahan Al masuk ke kamar tamu, tapi Felic sudah tertidur. Dia menghampiri Felic yang sudah tidur memunggunginya dan duduk di tepi ranjang.

"Yah sudah tidur," sesal Al, "kelamaan ngobrol di kamar Liza. Ck, maaf, ya, Yang," ucap Al mengelus kepala Felic dan menyisihkan rambut yang menutupi wajah cantiknya.

Ada bekas air mata yang masih terlihat di mata Felic. Al terus menatap wajah polos yang sebenarnya menahan tersiksanya batin. Ada perasaan bersalah merayap masuk ke seluruh tubuhnya. Al pun berbaring di samping Felic dan memeluknya.

"Maafin aku, ya, Yang. Aku belum bisa adil." Al mengelus-elus kepala Felic sayang, hingga si pemilik terusik tidurnya.

Mata Felic mengejap-kejap, perlahan dia membuka mata dan mendapati wajah suaminya di depan wajahnya.

"Al," gumam Felic memastikan jika penglihatannya tidak salah.

"Apa, Sayang?" sahut Al mengelus pipinya lembut.

Mendengar suara Al nyata, Felic tersenyum. Dia memeluk perut Al dan menelungkupkan wajahnya di dada sang suami. Al tersenyum, dia mengeratkan pelukannya.

"Yang, jangan jauh dariku," pinta Al lalu mengecup pucuk kening Felic.

***

Sinar mentari menyambut di pagi hari, tubuh yang polos dan hangat menempel tanpa celah di bawah selimut tebal. Senyum manis menyapa saat mata Al terbuka.

"Selamat pagi istriku," ucap Al manis lalu mengecup kening Felic.

Senyum manis terukir di bibir merah itu, dia menjawab, "Selamat pagi, suamiku."

"Bangun, yuk! Dah pagi," ajak Al ingin menyibak selimutnya, tapi ditahan Felic.

"Bentar, aku masih pengin begini." Felic menyandarkan kepalanya di dada Al.

Beberapa menit mereka menikmati kebersamaan, Al mendekap tubuh ramping itu. Hanya embusan napas yang terdengar.

"Yang, aku mau tanya sesuatu sama kamu," ucap Al menggenggam tangan Felic dan mengecup-ngecupnya berulang kali.

"Tanya apa?" Felic mendongakkan kepalanya menatap Al.

"Kenapa aku merasa kamu beda sama yang dulu? Kalau ngomong sama aku judes, perasaanku, kamu maunya marah terus kalau bicara sama aku. Ada apa? Bicaralah, kita sudah menikah, sudah semestinya jika ada masalah harus dibicarakan baik-baik."

"Nggak tahu, Yang. Mood-ku gampang berubah. Rasanya jengkel kalau lihat kamu."

"Kenapa?"

"Nggak tahu."

"Apa kamu cemburu sama Liza?"

"Wajar aku cemburu, karena sejak aku sakit, kamu nggak pernah kasih aku perhatian. Tanya saja nggak, malah bawaannya curiga terus. Aku tahu kamu cemburu, tapi jangan keterlaluan begitu. Bagiku, Dokter Hermawan tidak ada apa-apanya dibandingkan kamu."

Hati Al tersanjung dengan pujian istrinya, perasaannya menghangat.

"Kamu lagi nggak gombalin aku, kan?" goda Al mengerling.

Felic mencubit pinggang Al dan sedikit memelintirnya.

"Aw, Yang. Sakit," keluh Al.

"Rasain! Jadi orang kok nyebelin banget!"

"Bercanda, Yang." Al menjawil-jawil dagu Felic. "Bangun, yuk! Laper aku," ajak Al menyibak selimut hingga memperlihatkan tubuh polos mereka.

Al lebih dulu turun dari ranjang dan membopong Felic ke kamar mandi. Dengan sabar dan telaten, Al membantu Felic membersihkan diri.

Setelah terlihat segar dan berpakaian rapi, Al dan Felic ke luar kamar. Di ruang makan sudah ada Liza ditemani Win.

"Pagi," sapa Al pada Liza sambil membantu Felic berjalan.

"Pagi, Al, Fel," sahut Liza.

Sampainya di ruang makan, Al menarik kursi tempat biasa diduduki Felic.

"Makasih," ucap Felic lalu duduk.

"Al, nanti kamu ada acara nggak?" tanya Liza setelah Al duduk di kursinya.

"Nggak ada, kenapa?"

"Temani aku ke rumah sakit, ya? Ada surat persetujuan yang perlu kamu tanda tangani."

"Surat apa itu?"

"Mengenai operasiku."

"Oh, oke. Felic mau ikut?" tawar Al.

"Kalian duluan saja, aku ada janji sama dokter tulang, tapi nanti sore."

"Nanti aku antar kamu, ya?" sahut Al.

"Nggak usah, Al. Kamu temani Liza saja, aku bisa pergi sama Mbak Win." Felic menolak karena dia tidak mau Al kecapean, wira-wiri mengurusnya dan Liza.

"Kenapa nggak berangkat bareng saja? Kan di sana nanti Felic bisa ngobrol dulu sama Hermawan," bujuk Liza.

"Nggak!" sahut Al cepat, "biar nanti sore saja berangkatnya. Aku jemput kamu nanti sore, ya?"

Felic hanya mengedikkan bahu dan menjawab, "Terserah."

Liza memerhatikan kegelisahan di raut wajah Al saat membicarakan Hermawan.

"Kenapa sih, Al, nggak boleh? Daripada kamu wira-wiri, biar sekalian jalan. Aku juga nggak tahu nanti selesainya jam berapa," tanya Liza penasaran dengan sikap Al yang sepertinya tidak suka jika Felic dekat dengan Hermawan.

"Ya... nggak apa-apa," sahut Al.

"Bilang saja cemburu kalau lihat Felic sama cowok lain," cibir Liza.

Al tersenyum memamerkan barisan giginya ke arah Liza.

"Dah tahu masih saja tanya!" sahut Al.

#########

Ngantuk sampai lembur ngetiknya. Hehehehe.

Terima kasih atas vote dan komentarnya.🙇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top