LUKA SABETAN YANG TERLIHAT
BUDI MENATAP BUKU HITAM DIDEPANNYA DENGAN WAJAH SERAM.
Elena yang melihat hal itu berlindung di balik punggung Roni yang juga gemetar. Saat ini, Budi bahkan jauh lebih menyeramkan daripada harimau Sumatra.
Pemuda itu mengambil buku hitam yang tergeletak lalu membukanya tepat di tengah buku.
"KENAPA HALAMANNYA SAMPAI HILANG?!?! KENAPA!?!?!" Teriaknya.
Roni dan Elena menutup telinga kuat-kuat, teriakan Budi sampai berhasil menggetarkan kaca jendela saking nyaringnya.
Roni berlari menerjang Budi dan berhasil menahan tubuh pemuda itu sebelum dia sempat mengamuk
"Ya Tuhan! Budi, kenapa kau jadi mengamuk gak jelas kayak gini sih?!"
Budi menolehkan kepala dan menatap Roni "White Rose adalah pembunuh yang cukup berbahaya, dia pandai dalam tiga bidang membunuh sekaligus."
Roni mengernyit, " Tiga bidang?"
Budi mengangguk, "Tiga bidang teknik membunuh, yaitu Virus, Racun, dan Bom."
÷÷÷÷÷
Ren dan Aqua sangat amat panik saat melihat Simon yang tergeletak di lantai kafe dengan wajah yang memucat. Matanya terbuka tapi tatapannya kosong. Nafas pemuda itu tersengal-sengal. Aqua mencoba membantunya dengan nafas buatan, tapi tak banyak membantu. Gadis itu menyentuh dada Simon, dan secara tiba-tiba secercah cahaya keluar dari tangannya dan menyinari tubuh Simon.
Sesaat kemudian, cahaya itu redup dan menghilang.
"Ini racun," ucap Aqua "Racun dari bunga Deadly Nightshade."
Ren membelalak "bukankah itu adalah bunga yang sangat beracun?!"
Aqua mengangguk "aku sudah menghilangkan racunnya tadi, tapi akan lebih baik jika diberi penawar. Bisa tolong ambilkan Ren?"
Ren mengangguk "tentu!"
Ren berlari menuju dapur dan beberapa menit kemudian, dia keluar sambil membawa sebuah botol kecil berwarna biru gelap.
Aqua menuangkan setetes cairan dari botol itu ke dalam mulut Simon.
Beberapa detik setelahnya, Simon tersedak dan dari mulutnya keluar setetes cairan berwarna hitam kelam. Matanya membuka dan menatap Ren serta Aqua
"Demi apapun juga, jangan sentuh boneka itu." ucap Simon
Aqua langsung memeluk Simon, membuat lelaki itu memerah wajahnya. Hingga suara dehaman Ren membuat keduanya melepas pelukan.
"Kirana ada di atas kok." Ucap Aqua sambil terkikik. Ren mendengus "tapi jangan di sini juga kan?"
AAAAAAAAA!!!!!
Ketiganya terdiam saat suara teriakan Kinara terdengar dari lantai atas, diiringi dengan suara pecahan kaca.
"Kirana!" Teriak Ren, pemuda itu berlari menaiki tangga dan membuka pintu kamar (dengan terlalu kuat) hingga pintu itu berdebam menghantam dinding.
Kasur yang ada di kamar kosong melompong. Kaca jendela disamping kasur pecah berantakan, meninggalkan noda darah di pinggirnya.
÷÷÷÷÷
Ren mengacak-acak rambutnya, rasa kesal menggumpal dalam benaknya. Sementara itu, Simon membujuk Aqua yang terus menangis. Menyalahkan dirinya atas penculikan Kirana.
"Ini semua salahku," ucapnya ditengah isakan tangis "seandainya aku tak meninggalkannya."
"Bukan salahmu, Aqua," Ucap Ren "sama sekali bukan salahmu."
Simon menunjuk kotak itu "Ren, kau sudah menyelidiki kotak itu?"
Ren mengangguk "sudah, isinya hanya boneka itu."
"Apa ada benda lain?"
"Benda apa?"
"Yang tajam?"
"Ada sih, sebuah jarum jahit."
Aqua mendongak dan berkata, "jarum itu berlumur racun dari bunga Deadly Nightshade."
"Sepertinya itu yang meracunimu tadi, Simon." Sahut Ren
KRINGG!
Ren mengambil ponselnya, dan melihat nomor kontak.
"Ya Roni? Ada apa?"
"Apa kau dikirimi sebuah paket berisi boneka?"
"Ya, kami dikirimi. Memang kenapa?"
"Di boneka itu ada sebuah jarum berlumur racun, apa kau sudah membukanya?"
"Sudah, lebih tepatnya temanku yang membuka."
"Apa dia tertusuk?!"
"Ya, kau benar sekali."
"Apa dia mati?"
"Tidak, dia sempat kami obati. Kenapa memangnya?"
"Ren, dengar. Kelihatannya hal ini hanya terjadi di Banjarmasin, sebuah paket berisi boneka tadi sampai saat ini telah menewaskan 70 remaja."
"Apa?!"
"Mereka semua tak sempat diselamatkan. Menurut kepolisian setempat, racun itu hanya bisa ditangani selama 20 menit. Lewat dari itu, korban akan tewas."
"Waktu emasnya hanya 20 menit ya?"
"Ya, menurut analisisku. Masih ada 129 paket boneka yang tersebar di kota itu. Apa kau bawa alat pelacak racun?"
"Ya, aku membawanya."
"Omong-omong bagaimana dengan Kirana? Apa kalian sudah mengikat janji partner?"
"Kirana....diculik."
"Hah?! Bagaimana bisa?!"
"Aku tak tahu Roni, kejadiannya baru beberapa menit yang lalu."
"Ren, bawa dia pulang hidup-hidup. Jangan sampai kejadian Zikri kembali terulang."
Ren menyeringai, "pasti!"
÷÷÷÷÷
Ren mengambil laptopnya yang ada di kamar dan memasukkan ujung pulpen ke lubang yang ada di sisi kanan laptop.
Sebuah radar lengkap dengan jarum penunjuk muncul di layar laptop
"Ren, apa itu?" Tanya Simon, jarinya menunjuk layar laptop
Ren nyengir lebar, "ini radar pelacak racun," ucapnya "tapi dalam mode wilayah, soalnya persebarannya luas."
"Jadi....bagaimana caramu mengatasi semua ini?! Kau hanya sendirian!" Sahut Simon
Ren nyengir lebar "kata siapa? Aku bisa minta bantuan seseorang."
÷÷÷÷÷
Erick hanya bisa menganga lebar saat melihat seorang pemuda berdiri didepan kamarnya dengan pakaian yang bisa dibilang....terlalu rapi untuk seorang remaja.
Pemuda itu memakai jas hitam lengkap dengan kemeja putih dan celana jeans ditambah dengan dasi panjang berwarna hitam serta topi fedora hitam yang menutupi wajahnya.
"Anda Erick Siswanto kan?" Tanya si pemuda
Erick mengangguk, "dari mana kau tahu namaku?"
Pemuda itu membuka topinya dan menampakkan wajahnya. Lalu dia berkata,
"Kita pernah bertemu sebelumnya, ingat?"
÷÷÷÷÷
Erick membelalak saat melihat pemuda di hadapannya itu, "kau kan.... yang waktu itu!" Serunya
Ren mengangguk "aku temannya Roni."
"Tapi....kenapa kau ada disini? Tunggu, rasanya aku pernah melihatmu."
"Kita cuma bertemu sekali di kantor anda di Jakarta."
"Tidak! Kau remaja yang masuk ke hotel kemarin kan? Aku masih ingat suaramu!"
Ren menggelengkan kepala, rasa khawatir menyeruak di batinnya begitu mengetahui bahwa Erick masih mengingat suaranya.
Sial! Kenapa aku sampai lupa pakai alat penyamar suara?! Gerutu Ren, di dalam hatinya.
"Tidak mungkin, anda pasti salah orang." Jawab Ren dengan tenang.
"Aku masih ingat suaramu dengan detil, anak muda. Kau pasti terluka di punggung kan?"
"Luka? Di punggung? Apa maksudmu?"
Tanpa sempat menghindar, Erick memiting tangan Ren dan menahan pemuda itu di lantai lorong hotel. Ren meronta-ronta dan mencoba melarikan diri dengan menendang kaki Erick, tapi sayangnya dia terlambat.
Pria itu berhasil membuka kemeja putihnya dan tersenyum saat melihat luka sabetan di punggung Ren.
"Sudah kuduga, kau remaja yang kemarin. Iya kan?"
Sial!!
÷÷÷÷÷
TO BE CONTINUED....
Vote dan komennya ya! :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top