When You Say A Hoax
Hai! 🥰
Ini adalah part terakhir untuk versi Wattpad. Kalau versi e-book, ada part bonus, ya.
Bagi yang berkenan baca, silakan bisa beli via Google Play atau baca part bonusnya di KaryaKarsa dan pilih part yang kamu mau.
Harga di KaryaKarsa lebih ramah. Hanya 15k untuk harga paket dan harga ecer kisaran 3.5k per part.
Terima kasih yang udah baca sampai ending, ya.
Terkhusus versi Wattpad, tenang saja. Part versi Wattpad akan tetap lengkap dan tidak saya hapus.
Happy reading. 💃
**
Radit melewati ruang santai keluarga Bagaskara. Ia tersenyum melihat Julia memangku gadis berusia lima tahun. Sementara Dipta menikmati secangkir kopi buatan Bi Siti. Mereka semua masih mengenakan pakain hitam sehabis melayat.
Dipta meletakkan cangkir kopi dan berdeham menghentikan langkah Radit. "Kenapa pulang?" tanyanya sembari menyambar berkas dari uluran tangan sekretarisnya yang sedari tadi menunggu.
"Lyla ke mana, Dit? Kayaknya Mama nggak liat dia di pemakaman tadi. Bahkan orang tuanya hanya datang sebentar di kediaman Tio," cecar Julia sembari menurunkan Isabel dari pangkuan.
Radit turun kembali dari anak tangga, ia memilih duduk bersama di ruang santai. "Ada di rumah orang tuanya. Lagi hamil, badannya suka nggak mendukung kalo bepergian," cerita Radit lesu.
Sebenarnya dari pemakaman ia sempat pulang ke rumahnya, namun tak menemukan Lyla di sana. Saat menelepon ke nomor Lyla, panggilan selalu dimatikan. Bodohnya dirinya karena dari kemarin kurang memperhatikan Lyla. Egosi karena terlalu mementingkan kesedihannya sendiri.
"Waah, serius Mama sama Papa bakalan punya cucu?" Julia sedikit memekik girang dan menggoyang lengan Dipta antusias.
Hubungan Julia dan Dipta cukup baik meski mereka bercerai. Mereka tetap saling berkomunikasi meski telah berpisah. Bahkan kadang Julia masih sering berkunjung ke rumah untuk menjenguk Eyang Kasih. Meski terkadang keduanya bertengkar saat Radit kerap membuat masalah di luar rumah. Akan tetapi semenjak Radit menikah dengan Lyla, anak mereka jarang membuat masalah sehingga mereka tak pernah lagi saling menyalahkan.
"Bagaimana kuliahmu? Kalau sudah selesai ujian skripsi, pergilah ke Sidney. Perusahaan Papa butuh pengawasan di sana. Kamu bisa sekaligus melanjutkan studi di sana," terang Dipta tanpa berpaling dari berkas yang sedang ia baca di tangan.
Radit bersandar malas pada sofa, menatap Isabel yang duduk memakan es krim cokelat. Isabel menatap balik Radit dan tersenyum. Melihat senyum Isabel, ia jadi teringat Lyla. Isabel manusia serumpun dengan Lyla. Wajah blasterannya sangat terlihat dengan rambut kecokelatan dan kulit putih.
"Kamu bisa juga ajak Lyla pindah ke sana," lanjut Dipta.
"Tidak sekarang, Pa. Lyla masih harus menjaga kondisi kandungannya yang belum kuat," kilah Radit meski ia tak tahu pasti bagaimana nasib pernikahannya setelah ini, mengingat Lyla tak bisa dihubungi untuk saat ini.
"Ya udah, kamu berangkat aja sendiri dulu, lusa. Udah Papa pesenin tiket, kok. Seenggaknya kamu kenalan dulu sama lingkungan perusahaan. Seminggu mungkin, habis itu balik lagi buat urus ujian skripsi kamu," putus Dipta sepihak.
"Ya ampun, Papa kebiasaan mutusin sepihak. Tanya kondisi Lyla dulu kek. Kita mau punya cucu, Pa!" geram Julia.
"Radit butuh bekerja, Ma," tanggap Dipta santai sambil menggoreskan tanda tangan lalu menyerahkan berkas kembali pada sekretarisnya.
Sekretaris itu mengangguk dan undur diri. Ia sempat mengangguk pula pada Radit dan Isabel yang hanya dibalas senyum malu.
"Terserah Papa sama Mama deh. Radit capek, istirahat dulu, ya," pungkas Radit seraya bangkit meninggalkan ruang santai, diiringi pekikan Julia yang semakin kesal dengan tingkah dua laki-laki datar di rumah ini.
**
"Elo tuh yang salah. Kayaknya bener deh, karena Papa lo kurang perhatian makanya lo jadi lembek dan galauan gini! Jadi cowok tuh yang tegas! Iya ya iya, enggak ya enggak!" Dimas berceramah panjang lebar saat ia berkunjung atas permintaan Radit.
"Elo aja yang nggak ngerti keadaan rumah tangga gue," kilah Radit sambil meringkuk memeluk guling.
"Ya ampun, Nyet! Pantes aja Angga geregetan ke elo! Lembek gini sih!" Dimas memukul punggung Radit dengan bantal sofa.
Radit melempar balik bantal sofa ke arah Dimas. "Udah deh nggak usah mikiran yang udah lalu. Gue pusing mikirin ke depan mau gimana! Lyla lagi hamil dan dia minta cerai kalo bayinya udah lahir!"
Dimas menangkis bantal dengan sigap lalu menepuk keningnya sendiri karena geram. "Lah, itu otak dipake! Justru karena lo berhasil buntingin istri, harusnya lo lebih gampang mempertahankan dia!"
Radit hanya berdecak kesal dan abai dengan setiap petuah sahabatnya.
"Lusa lo berangkat ke Sidney nih?"
"Iya," sahut Radit singkat.
"Ya udah, pamit gue. Baik-baik lo di sana ya, Nyet. Buang-buang waktu aja nemenin laki-laki baperan. Najis lo!" Dimas berpura-pura akan melempat bantal sofa lagi.
"Kampret, berisik banget sih lo! Kita putus deh!"
"Dih, najis bener, kapan kita jadian," ujar Dimas bergidik ngeri. Ia melayangkan bantal dan berlari sebelum Radit membalas perlakuannya.
"Anjir! Percuma gue manggil elo ke sini!" teriak Radit.
Radit menarik selimutnya. Ia memanggil Dimas ke sini bukan untuk tujuan menceramahinya. Justru Radit ingin bersantai dan melupakan sejenak masalah rumah tangganya, tapi Dimas mengacaukan acara yang seharusnya asyik dengan main PS atau menghabiskan kopi.
**
Wiyati tergopoh menuju kamar Lyla. Hari ini Lyla mengeluh pusing dan selalu ingin muntah bila mencium bau makanan. Akhirnya Miranti mengharuskan Lyla bed rest selama morning sick-nya berlangsung.
Perlahan Wiyati mengetuk kamar dan melongokkan kepala pada pintu yang tak tertutup rapat. "Non, ada teman-teman datang menjenguk," ucapnya.
Lyla bangkit dari tiduran. Saat pintu itu terbuka lebar, Riana menghambur ke sisi tempat tidur Lyla. Dimas dan Angga menyusulnya di belakang.
"Ciee, yang udah jadi calon ibu." Riana menjawil dagu Lyla, membuat pemilik dagu itu berdecak kesal.
"Apa kabar, La?" tanya Angga. Senyum Angga tampak menawan dengan tatanan rambut baru berwarna hitam. Laki-laki itu terlihat rapi dengan kemeja kotak-kotak dan celana slim berwarna hitam.
"Baik," sahut Lyla dengan suara pelan.
"Bau-baunya sama aja nih. Lembek kayak lakinya. Ada masalah bukanya dibicarain malah menjauh," sindir Dimas. Sindiran itu sontak mendapat cubitan dari Riana di perutnya. "Sakit, Yang!"
"Kita tuh mau menghibur Lyla, bukan tambah rusuh gini," protes Riana.
"Radit besok berangkat ke Sidney," ungkap Dimas tanpa basa-basi.
Lyla bergeming sejenak. Astaga, kenapa ia selalu menjadi orang terakhir yang mengetahui perihal suaminya? Tidak bisakah Radit berusaha lebih keras untuk meraih hati Lyla?
Ketukan pintu dari Wiyati yang membawa nampan minuman dan camilan mendapat tanggapan antusias dari Riana. Gadis berkaus oblong dan setelan jumpsuit itu meraih uluran nampan, membawanya ke balkon dan di susul Dimas. Fokus Dimas terpecah saat makanan itu datang.
Lyla hanya tersenyum melihat reaksi berlebihan sahabatnya. Ia kembali tertunduk. Angga menarik kursi, lalu duduk di sebelah ranjang.
"Lo nggak bisa selamanya kayak gini, La. Setahu gue, cinta selalu butuh perjuangan, termasuk perjuangan untuk menjaga saling keterbukaan antarpasangan," pesan Angga pelan agar tak menyinggung perasaan Lyla.
"Gue bahkan nggak tahu dia mau pergi jauh ke Sidney. Apa itu yang dinamakan pasangan?" Lyla terisak kembali.
"Makanya kalian harus bicara. Nggak perlu nunggu siapa yang harus mengawali." Angga menambahkan. "Bersabar dikit lagi, La. Kamu tahu kan Radit punya latar belakang keluarga yang berbeda? Mungkin sama kayak elo, tapi sikap seseorang menghadapi keadaan itu beda-beda. Radit nggak cukup kuat menghadapi keterabaian dari orang tuanya semasa remaja."
Lyla menghapus air matanya. Angga benar, Radit tak sama dengannya. Untuk itulah mereka harus saling bicara.
"Ajarin gue ikhlas menerima pernikahan kedua orang tua gue, La."
Perkataan Radit di kamar ini terngiang. Ya, Radit memiliki sisi rapuh dan dulu Anita-lah yang bisa memahaminya. Bukan tidak mungkin Radit merasa sulit melepas ketergantuangannya dengan Anita. Dan itulah tugas Lyla, membantu Radit menemukan teman hidup yang nyaman, dan Lyla adalah orangnya.
Lyla menatap Angga sembari menghapus air matanya. "Makasih, Ngga. Lo baik banget ke gue. Andai dulu kita kenal dekat lebih awal," sesal Lyla.
Angga tersenyum, ia mengulurkan telapak tangan kanan dan menepuk-nepuk bahu Lyla pelan.
**
Lampu kelap-kelip masih menyala di pukul 8 pagi. Rumah ini sudah beberapa hari kosong ditinggalkan sang pemilik. Lyla membuka pintu pagar, memasuki halaman lalu berjalan menuju teras. Dimatikannya lampu kelap-kelip yang tak pernah padam beberapa hari ini.
Ia merogoh kantong ransel bagian depan, meraih kunci rumah dan memutar kenop pintu setelah berhasil membuka pengunci. Perlahan ia menutup pintu dengan punggungnya. Ransel terlempar begitu saja ke sofa, di susul tubuh Lyla yang merebah pasrah di atasnya.
Lyla mengelus perutnya yang mulai berkumandang. Ia lapar. Tadi waktu sarapan ia tak sanggup mencuim bau nasi. Bergegas ia ke dapur, mencari stok makanan. Ada telur di kulkas. Sambil memulai masakan sederhananya, Lyla meraih ponsel dari saku jins yang dikenakan.
Ada notif pesan dari Widia.
Widia: "Mbak Lyla nggak pernah ngantor lagi. Aku sendirian sama Agus, nih."
Widia: "Eh, pagi ini Mas Radit berangkat ke Sidney jam delapan. Mbak Lyla pasti sibuk antar ke bandara, ya."
Lyla mendesah. Radit belum sama sekali menghubunginya. Apa Lyla harus mengalah mengawalinya? Jemari Lyla bergerak mencari kontak suaminya. Ia hampir menekan tombol hijau saat ponselnya justru berdenting dibarengi pesan WhatsApp masuk.
Raditya: "Baik-baik di rumah ya, La. Love you."
Mata Lyla mengerjap saat kalimat terakhir dalam pesan Radit terbaca. Ia menggeleng sembari memejamkan mata. Ini pasti mimpi. Sejak kapan Radit menjadi lebay begini?
Tapi ... bukankah ini yang Lyla harapkan? Ya, ungkapan cinta dari suaminya. Lyla menggeleng kembali. Tidak! Barangkali Radit hanya bercanda. Diletakkannya ponsel ke meja dapur. Lyla mematikan kompor, berjalan mondar-mandir di depan kitchen set sembari menggigit buku-buku jarinya.
"Sialan, jantung gue kenapa berdebar gini, ya?" gumam Lyla seraya meremas kerah pakaiannya.
Benda pipih yang semula Lyla abaikan di meja kembali berdenting sekali. Lyla ragu meraihnya, namun dengan sekali tarikan napas, ia berlanjut membuka pesan.
Raditya: "Kalimat terakhir dari gue barusan hoax! Enggak usah jadi beban!"
Lyla ternganga. Ada rasa geram yang meruntuhkan rasa berbunga-bunga sebelumnya. Ia bergegas memasukkan ponsel ke saku, berjalan tergesa sambil menyambar jaket dan tas ranselnya. Sungguh ia ingin sekali mengumpat pada suami yang tak diri itu karena telah mempermainkan perasaannya.
**
Lima belas menit berlalu, Radit hanya memandangi layar ponsel tanpa berniat meninggalkan bangku kafe. Setengah jam lagi ia harus melalui boarding pass. Namun, seseorang yang ia harapkan datang mengantar keberangkatannya ke Sydney tak kunjung membalas pesan.
Radit menghela napas kasar dan merangsekkan ponsel ke saku sama kasarnya. Ia sempet mengusap kedua lutut yang terbalut celana jins hitam. Andai ia tak sepengecut ini mungkin akan lain cerita. Ya, pengecut menyatakan cinta untuk istrinya sendiri sehingga Lyla meragukan perasaannya.
Perlahan laki-laki dengan kemeja putih itu berjalan ke arah pintu masuk boarding pass. Namun, langkahnya terhenti seketika samar-samar suara seseorang memanggil namanya beberapa kali. Ia pun sedikit terhuyung saat wanita berambut kecokelatan yang berlari ke arahnya tiba-tiba memeluk erat.
Mulanya Radit ragu membalas pelukan Lyla. Namun, saat mendengar Lyla tergugu sembari menggerutu tak jelas, ia tersenyum dan membalas pelukan.
Baru selang beberapa detik mereka saling memeluk, Lyla mendorong Radit dengan kasar.
"Lo tuh kalo mau nebar hoax jangan ke gue! Gue orangnya baperan sejak nikah sama orang sinting macam lo!" Lyla meluapkan amarah, memukul dada dan bahu suaminya sambil sesekali menghapus air mata.
Radit berusaha menghentikan pukulan beringas Lyla, tak peduli dengan orang-orang di sekitar yang mulai memperhatikan mereka.
"Iya, maafin gue, La. Gue yang salah," ucap Radit perlahan saat berhasil mencekal kedua tangan Lyla.
Lyla masih menatap sengit Radit dengan mata berkaca-kaca. "Gue enggak cinta sama elo!" bentaknya lantang, lalu mengibaskan cekalan Radit dan berbalik arah.
"Itu pernyataan hoax, La?" Radit bertanya seraya berkacak pinggang. Ia menunggu reaksi Lyla yang bergeming tanpa menoleh sedikit pun.
Namun, wanita berwajah sembap itu justru menutup wajah dan kembali terisak. Lalu, tiga detik berikutnya ia berbalik dan kembali pada pelukan Radit. "Hoax ...," gumamnya.
Radit terkekeh seraya mengusap pelan puncak kepala Lyla. Setidaknya ia sudah lega bila harus pergi meninggalkan Lyla hanya seminggu saja ke Sydney. Bukan begitu?
**
===TAMAT===
Revisi tanggal: 28-05-2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top