Wedding Ring
Manik mata hitam itu masih asyik menatap lekat pada sosok yang masih tergolek di sofa. Sesekali bibirnya melengkungkan senyum ketika gadis itu terusik dengan udara dingin dari pintu balkon ruang bebas lantai dua. Namun, keterusikannya itu tak lantas membuatnya bangun, malah ia semakin mengeratkan selimut tebal hingga menutupi sebagian wajah.
Radit yang sedari tadi sibuk mengamatinya di sofa single—dekat sofa panjang tempat Lyla terlelap—menahan kikikan geli saat Lyla menggeliat. Laki-laki dengan kaus oblong berwarna putih dan rambut setengah basah itu menumpukan kedua siku ke lutut, masih lekat menatap dan menanti kapan calon istrinya ini bangun.
Selesai Lyla menggeliat, perlahan ia membuka mata. Gadis dengan rambut berantakan khas bangun tidur itu tersentak ketika matanya berserobok dengan bola mata Radit.
"Ya ampun! Jam berapa sekarang?" tanyanya kikuk seraya merapikan rambut kecokelatan yang tergerai.
"Jam tujuh. Buruan mandi, ditungguin sarapan di bawah. Papa udah pulang," terang Radit seraya menegakkan tubuh kembali.
"Hah? Sarapan? Bareng keluarga besar elo?" Mata Lyla membulat, sedikit tergesa menapakkan kaki ke lantai kemudian memakai sandal busa pinjaman dari Radit.
Radit mengangguk.
Namun, ketika Lyla sudah bangkit dan hendak beranjak ke kamar mandi, ia berbalik dan menatap penuh ancaman. "Don't talk anything to your family, okay? Termasuk crazy party buatan Dimas sama Riana yang bikin gue hampir setengah sinting akhir-akhir ini."
"Soal kita—"
"Shut up! Termasuk di depan gue," potong Lyla dengan kedua pipi yang mulai bersemu merah.
Radit mendecakkan lidah seraya merebahkan punggung ke sandaran sofa. Namun, derai tawanya terdengar saat Lyla dengan sedikit canggung berbalik dan meninggalkannya. Gadis itu tampak kesal, mengentakkan kaki sekuat yang ia bisa.
**
Dentingan sendok dan garpu terdengar riuh mengisi ruang makan. Lyla duduk bersisian dengan Radit, sementara kedua orang tua Radit duduk di kursi berseberangan dengan putranya. Eyang Kasih masih menyantap sendokan terakhir sarapan paginya di kursi paling ujung, menengahi putra dan cucunya.
"Kenapa dengan wajahmu?" Eyang Kasih angkat bicara saat ia usai meneguk segelas air putih.
"Kecelakaan ringan, Eyang," sahut Radit sembari meraih gelas di sisi kanan.
"Mobilmu?"
Julia bersitatap dengan Pradipta—papa Radit—memberi kode untuk melakukan pembelaan terhadap putra mereka. Namun, sebuah kedikan bahu menandakan bahwa laki-laki beralis tebal itu sudah menyerah dengan tingkah bengal putranya.
"Di bengkel," sahut Radit. Kali ini ia sedikit tak acuh, tanpa diminta segera mengeluarkan dompet dari saku celana, dan menyerahkan STNK mobil kesayangannya di depan meja Eyang Kasih. Sepertinya Radit tak ingin menunjukkan percekcokan keluarganya di depan Lyla.
Eyang Kasih meraih STNK dan mengacungkannya ke Bi Siti yang sedari tadi berdiri di belakangnya.
Lyla sendiri masih berusaha menghabiskan sisa sarapan, hingga Julia melontarkan sebuah pertanyaan padanya.
"Apa kamu baik-baik saja, Lyla?"
Lyla mendongak. Ia sempat melempar senyum samar. "O-oh, iya, Tante, saya baik-baik saja."
"Tampar saja Radit bila anak itu berbuat kurang ajar sebelum menikah," sela Pradipta yang kemudian memilih kembali sibuk dengan sesapan teh hangat.
Lyla meringis dan mengangguk ragu.
"Maaf, ya, gara-gara ngurusin Radit luka-luka, kamu sampai ketiduran di sofa. Kamu harusnya bangunin Tante aja semalam," imbuh Julia.
"Kita berangkat sekarang." Suara Eyang Kasih yang mulai berdiri menginterupsi seisi ruangan.
"Hah? Ke mana?" Radit yang hendak kembali mengisi gelas dengan air putih terkejut dengan ajakan Eyang Kasih.
"Mencari cincin pernikahan," sahutnya seraya merapikan blouse hijau tua di bagian pinggang. Wanita tua itu sempat mengusap kepala demi merapikan sanggulnya seraya berjalan meninggalkan meja makan, diikuti Bi Siti.
Sontak perkataan wanita berambut kelabu itu membuat Lyla yang tengah mengunyah makanan tersedak. Suara Lyla terbatuk membuat semua mata tertuju padanya, memberikan sinyal pada Radit untuk segera menyodorkan air putih.
"Nggak segitunya juga kali, La," bisik Radit seraya menepuk pelan punggung Lyla.
"Kaget gue," lirih Lyla dengan tatapan tertunduk dan sesekali melirik ke arah Radit.
Suara kaki kursi bergesekan dengan lantai membuat keduanya mendongak.
Dipta bangkit dari kursi seraya mengelap bibir dengan tisu. "Julia, kamu urus pernikahan putramu sampai selesai. Bukankah kamu dari dulu sibuk sendiri dan melupakannya?" ucapnya sinis.
Julia tersenyum tipis, menunduk, dan berpura-pura sibuk kembali dengan makanannya. Namun, perkataan papa Radit barusan sontak membuat suasana meja makan sedikit berubah. Radit tampak jengah, meletakkan sendok dan garpu ke piring dengan kasar. Sementara Lyla hanya menatap suasana itu dengan canggung, merasa terjebak pada situasi privasi keluarga Bagaskara.
**
Radit masih berdiri di dekat etalase yang berisi jajaran perhiasan berpermata putih bersinar. Sementara Eyang Kasih sibuk memilih kalung yang cocok sebagai hantaran pernikahan, cucu semata wayangnya itu sibuk menatap manusia berlalu-lalang sembari menyeruput milkshake vanilla.
"Eyang, harus gitu, milih begituan aja lama banget," celetuk Radit mulai jengah. Matanya mengedar ke penjuru took perhiasan, mencari sosok Lyla dan sang mama yang tengah sibuk memilih cincin. Ia mendengkus kesal karena ternyata mengikuti wanita memilih sesuatu itu menjemukan.
"Kamu pikir ini untuk kebaikan siapa?" Eyang Kasih masih saja sibuk menelusuri etalase. Ia sempat menunjuk sebuah kalung dengan liontin berbentuk tetes air. "Ini—"
"Selamat pagi, Nyonya." Sapaan lembut itu terdengar menginterupsi Radit dan sang eyang.
Radit yang semula bersandar malas pada tiang penyangga mendadak mematung. Hari ini bisa dikatakan kesialan pertama dalam menjalani rencana pernikahannya. Bagaimana mungkin wanita ini ada di sini? Kenapa Tuhan memperumit keadaan sebelum ia sempat menjelaskan semua pada Anita dan memutus hubungan mereka?
Eyang Kasih tak membalas sapaan itu, ia hanya tersenyum samar. Radit berdeham, membuyarkan ketegangan.
"Kamu kenapa—"
"Dit, cincin kawinnya ...."
Shit! Mati saja! Tenggelamkan saja Radit dalam lautan terdalam! Apa lagi ini? Lyla tiba-tiba datang menghampiri seraya menenteng dua kotak cincin sebagai bahan pertimbangan.
Anita terkesiap, wajahnya mendadak pucat pasi saat kedua manik matanya tertuju pada sepasang cincin di tangan mahasiswi bimbingannya.
Radit menatap nanar pada tiga wanita di hadapannya. Antara bingung dan frustrasi harus bersikap bagaimana. Jakun pria itu bergerak sekali, ia menatap Anita untuk kesekian kali, memohon agar wanita itu tak lekas marah sebelum Radit menjelaskan apa pun.
Pun sama saat mata Radit bertemu dengan manik hazel milik gadis blasteran yang tengah kebingungan seraya menggigit bibir.
"Ayo, kita segera saja memilih cincin pernikahan kalian berdua." Ajakan Eyang Kasih terkesan tak acuh, membiarkan kehadiran Anita yang merasa tertekan. Wanita berambut kelabu itu mengembalikan kalung yang ia pegang ke pegawai toko dan berlalu begitu saja.
Anita tertunduk sejenak, kemudian melempar senyum hambar pada Radit dan Lyla sebelum akhirnya ia memutuskan untuk hengkang dari tempat itu.
Radit mendesah, sempat mengacak rambut dengan kasar. Namun, tanpa disangka calon istrinya itu meraih gelas milkshake dari tangan Radit dan memberi kode dengan dagunya untuk segera mengejar Anita.
"Gue kejar dia nih?" ujarnya bingung.
"Iyalah, lemot banget sih otak lo! Gue nggak mau ya, kalau nilai skripsi gue dapat D cuma gara-gara cowok penuh rumor macam elo." Lyla berdecak pelan sebelum akhirnya ia sama mendesah putus asa dan tanpa sadar menyeruput milkshake di tangan kanannya.
Radit mendecakkan lidah. Ia menggelengkan kepala tak habis pikir dengan Lyla yang sudah berlalu mengejar langkah Eyang Kasih.
Kenapa dia enteng banget nyuruh calon suaminya ngejar cewek lain?
**
Lyla kembali duduk di kursi samping Julia yang tengah sibuk bersama Eyang Kasih. Dua orang itu sibuk membahas model perhiasan yang cocok.
"Lho, mana Radit? Jadi, kalian berdua mau pilih cincin yang mana, Sayang?" Julia kembali meraih kotak cincin dari tangan Lyla.
"O-oh, dia lagi ke toilet sebentar, Tante. Katanya terserah mau yang mana," sahut Lyla asal.
Namun, tatapan Eyang Kasih membuatnya tertunduk, berpura-pura merapikan rambutnya yang baik-baik saja. Dari ujung mata Lyla, ia sempat melihat wanita itu mendengkus seraya menatap pintu keluar toko.
Ya Tuhan, kenapa juga si Radit punya Eyang seseram ini?
"Biar Eyang yang cari Radit."
Perkataan Eyang sontak membuat Lyla siaga satu. Ia bergegas bangkit dari kursi dan menghalangi langkahnya.
"Jangan, Eyang!" cegahnya. "Biar saya yang mencari cucu Eyang. Nanti Eyang capek. Oke?" Lyla meringis, tersenyum paksa.
Sementara Julia mengangkat kedua alis tak mengerti. "Memang anak itu ke mana?"
Lyla tak menyahut. Ia hanya berjalan mundur seraya mengangkat kedua telapak tangan, mencegah calon mertua dan eyang Radit itu beranjak dari tempat duduk. Saat dua orang itu bergeming dan kembali duduk, Lyla bergegas mencari calon suaminya.
Kedua tangan Lyla mengepal. Sial memang. Kenapa juga hari ini dosennya harus ke toko perhiasan yang sama? Habislah Lyla sekarang. Dosen itu bisa berubah jadi sentiment padanya. Lagi pula, wanita mana yang tak sakit hati saat laki-laki yang dicintai malah menikah dengan wanita lain. Dan wanita itu adalah mahasiswinya sendiri. Catat itu baik-baik. Mahasiswinya! Benar-benar kisah romansa yang pelik, bukan?
Segenap pikiran berkecamuk dalam kepala gadis yang tengah berjalan dengan mata nanar ke segala penjuru. Namun, kakinya mendadak lemas, pertahanan dan keberaniannya luluh lantak saat ia menemukan dua sejoli yang tengah berpelukan di tikungan mal yang tampak sepi. Wanita itu tampak sedang menangis tersedu dalam pelukan pria berbalut kaus oblong berwarna putih.
Ya Tuhan, drama apa lagi ini? Sekarang Lyla merasa menjadi perebut kekasih orang. Pada kenyataan Lyla-lah yang hadir di tengah-tengah kehidupan cinta mereka berdua.
Lyla tidak ingin terlarut suasana. Gadis itu memilih mundur dan menunggu Radit di depan toko seraya bersandar ke dinding. Beberapa kali ia mendesah, memainkan ujung sneakers-nya di atas lantai. Ini baru permulaan dan semua sudah terasa rumit di awal. Lagi-lagi, kebimbangan itu muncul. Apa sebaiknya mundur saja? Bujuk Radit kembali untuk menolak perjodohan ini? Bisakah?
**
Suasana di dalam mobil terasa canggung. Sepasang pemuda itu tampak terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Lyla menghela napas, memasukkan sebelah tangan ke dalam tas selempang di pangkuan. Sebuah kotak perhiasan berwarna merah ia sodorkan ke arah Radit tanpa menatap lawan bicara.
Radit yang tengah menginjak rem dan menunggu lampu hijau di pertigaan jalan menatap kotak tersebut dengan kedua alis terangkat. "Kan, Mama minta elo yang pegang duluan."
"Pegang lo aja. Siapa tahu elo berubah pikiran dan berusaha kabur. Gue ... ikhlas," terang Lyla, matanya masih memandang ke luar jendela mobil.
"Terus? Gue harus nanggung rasa bersalah gitu, karena udah nidurin elo dan main lepas tanggung jawab?" Radit melajukan kembali mobilnya dan masih mengenyahkan kotak cincin yang Lyla sodorkan.
"Kenapa itu dibahas lagi, sih?! Gue kan udah bilang nggak usah dibahas termasuk di depan gue." Lyla menghadapkan tubuh ke arah sisi kemudi.
Radit menepikan mobil tepat di depan sebuah apotek. Ia sama menghadapkan tubuh, berusaha kembali serius berbicara dengan wanita di sisinya.
"Lo percaya kalo gue nggak ngelakuin apa pun malam itu?" Radit menelisik ke dalam mata Lyla.
Lyla menelan ludah susah payah. Ia tahu bahwa dirinya memang seorang peminum yang buruk. Jadi, ia memilih tak ambil pusing dan menutup tragedi itu tanpa mau membahasnya lagi.
"Gue ...."
"Sayangnya, samar-samar gue mulai ingat apa yang terjadi malam itu. Dan gue yakin lo nggak mau tahu kenyataannya, kan?" Radit sedikit mencondongkan tubuh ke arah Lyla, membuat gadis itu memundurkan kepala ke belakang—menghindari kontak mata terlalu dekat dengan lawan bicara.
Karena Lyla terus bergeming dan enggan menyahut, Radit buru-buru melanjutkan penjelasannya. "Pukul tiga pagi, gue sempet kebangun dan gue—"
"Oke! Tunggu di sini sebentar!" potong Lyla. Ia tergesa melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil, meninggalkan Radit beberapa menit, dan masuk ke dalam apotek.
Malam ini juga, semua harus selesai!
**
Radit ternganga dengan kepergian Lyla. Untuk apa gadis itu masuk ke dalam apotek? Radit bahkan belum selesai melanjutkan penjelasannya. Padahal ia mau bilang kalau memang sempat terbangun, tapi karena kepalanya pusing, tidur kembali adalah pilihan yang tepat.
Lima menit kemudian, Lyla keluar dari apotek dan kembali masuk ke dalam mobil. Dengan tangan gemetar, dipasangnya sabuk pengaman.
Pandangan Radit sontak tertuju pada kantong kertas di pangkuan Lyla. Ia hampir meraih kantong obat itu, tetapi Lyla dengan sigap menyembunyikannya dan merangsekkan benda tersebut ke dalam tas.
"Lo beli apaan?"
"Nggak usah banyak tanya. Dan ini cincinnya, elo yang pegang." Lyla meraih tangan Radit dan meletakkan kotak cincin itu ke dalam genggaman telapak tangan kokoh itu.
Melihat kegigihan Lyla untuk membatal pernikahan itu, Radit mendecak pelan. Mau tidak mau, ia menerima cincin pernikahan itu. Mungkin besok bisa jadi Lyla bisa berubah pikiran dan Radit bisa mencobanya kembali untuk mengajak gadis jutek ini menikah dengannya.
Sedetik kemudian, Radit sudah menyalakan mesin mobil milik Julia—yang memang sengaja dipinjamkan Julia untuk mengantar menantunya untuk pulang. Honda Civic hitam itu melesat, membelah jalanan ramai Kota Jakarta yang hampir petang.
**
(19-06-2018)
Halo, selamat siang. Semoga masih berkenan membaca kelanjutan kisah Radit-Lyla.
Oh ya, di sini ada pembaca Miko Mei, kah? Adakah yang berminat bila cerita tersebut saya publish versi revisi seperti dalam versi cetaknya dahulu?
Terima kasih. :))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top