We Need or We Love
Sinar jingga menerangi teras rumah bergaya minimalis di sebuah kompleks perumahan. Wanita dengan kaus tanpa lengan longkar dan hot pants tampak duduk di sebuah kursi. Asap rokok terlihat mengepul, meliuk ke udara, membentuk bayangan samar di dinding teras.
Segelas Wine tersaji manis di meja. Namun, Lyla belum ingin mabuk sesore ini. Ia hanya ingin membuang stress sejenak dengan sebatang rokok dan segelas kecil Wine. Diangkatnya kaki dan duduk bersila dengan kepala tersandar malas di sandarap kursi. Sepulang kerja, pikirannya sedikit kacau teringat pertemuan mereka dengan mantan kekasih Radit dan gadis cilik itu.
Pacar? Yang benar saja. Mengapa Radit tak berterus terang bahwa Lyla adalah istri sahnya. Ada sejumput kesal mengingat Radit malah balik bertanya pada gadis polos itu. Lyla kembali mengisap rokok lebih dalam.
Derit pintu utama terdengar saat Radit keluar dari rumah, dan duduk di kursi bersebelahan dengan Lyla. Dengan gerakan seenaknya ia menyerobot rokok dari bibir Lyla dan bergantian mengisapnya.
"Astaga, nggak sopan!" gumam Lyla, wajahnya memberengut seketika seraya mengembuskan asap rokok dari mulut. Ia meraih gelas Wine, menyesapnya sedikit. "Aiih, lama nggak minum kenapa begini amat rasanya?" Lyla mengeluh. Entah itu keluhan bahagia karena akhirnya ia minum atau karena merasa sudah tak bernafsu minum setelah lama tak minum.
"Dih, dapat dari mana lo? Gue nggak pernah beliin ini di rumah," protes Radit sembari merebut gelas dari tangan Lyla, kemudian berlalu ke halaman dan membuangnya di selokan.
"Yaak! Astaga! Oiy, gila lo! Baru juga minum seteguk!" maki Lyla. Ia berlari dan menatap alkoholnya binasa di selokan karena tersiram aliran air dari limbah rumah tangga. Ia bangkit dari jongkok, menatap sengit ke dalam mata Radit yang justru mendapat cebikan dari bibir Radit.
Radit mengisap rokok terakhir kali sebelum ia membuang kemudian menginjaknya dengan sandal jepit. Laki-laki berkaus singlet dan celana jins itu kembali ke teras dan duduk santai.
"Gue susah payah buat minta minuman itu dari Riana. Kita mana bisa beli minuman itu mengingat kita lagi irit. Masa iya harus minum oplosan," rengek Lyla. Bibir tipis Lyla terus menggumam omelan taka da habisnya.
Radit berdecak kesal, meraih dagu Lyla, dan memaksanya untuk saling berhadapan. "Liat sini," pinta Radit.
Lyla menurut, tetapi pandangannya berkeliling ke mana-mana. Jujur saja ia jadi sedikit takut bila bersitatap dengan manik hitam milik suaminya. Jantungnya melompat-lompat tak jelas saat mata Radit berusaha menembus dinding pertahanan Lyla.
"Jangan sekarang kalo mau minum itu. Gue takut pas lo mabuk, tapi nggak cukup iman buat nahan diri," ungkap Radit tanpa rasa caanggung.
"Mmm ... maksud lo?" Lyla memekik dan mengumpat kebodohan bibirnya melontarkan pertanyaan polos itu dalam hati.
"Lo mau kita dinikahin lagi gara-gara tidur satu ranjang kayak waktu dulu?" kedua alis Radit terangkat.
"Ya kali, kita udah nikah, nggak mungkin dinikahin kedua kalinya!" sembur Lyla, membuat Radit tertawa lepas menyadari Lyla pandai menerka bahwa suaminya bercanda.
Radit bangkit dari duduk, kembali masuk ke dalam rumah. Lyla hanya tersenyum menatap punggung Radit yang berlalu. Namun, dua menit kemudian suaminya itu kembali membawa kotak berisi lampu kelap-kelip dan beberapa perkakas listrik lain. Lyla mendekat ikut mengambil uluran kabel dengan lampu kecil berwarna-warni.
Sementara Lyla memuaskan rasa penasaran dengan membongkar isi kotak, Radit pergi ke samping rumah mengambil tangga lipat.
"Buat apaan, Dit?" tanya Lyla dengan lengan terlilit aneka lampu kelap-kelip.
"Mmm ... bikin teras jadi tempat kita berdua nongkrong yang asyik. Biar kita nggak perlu cari kafe buat santai," terang Radit sambil meraih kabel dari lengan dan leher Lyla.
Lima menit keduanya duduk di lantai teras. Radit sibuk dengan tang kecil untuk menyambung kabel yang semula pendek menjadi panjang. Lyla sendiri sibuk mengamati dan menunggu. Setelah semua terpasang, Radit naik melalui tangga lipat, Lyla mengulurkan paku kecil dan palu.
"Kurang ke kanan, Dit," protes Lyla.
Radit menggeser ke kanan sedikit.
"Ke atas, masih menceng sih itu kayak otak lo," kikik Lyla.
"Anjir, lebih menceng mana sama otak Dimas dan Riana?" celetuk Radit sedikit geram.
Lyla terkikik sembari memegangi tangga. "Buruan ke atas dikit, eh, kiri, kiri! Ya ampun, ati-ati, entar sakit kalo kena jari!" pekik Lyla saat Radit hampir tanpa sengaja memalu jarinya sendiri.
Radit mengikuti arahan Lyla dengan sedikit kesal. "Yang bener, Beib. Entar tetangga salah paham dengerin obrolan kita. Gila lo," keluh Radit. Kali ini ia sama terkikik.
Lyla terbahak mendengar kalimat protes Radit. "Serius gue! Ke bawah dikit lagi!"
"Begini udah pas?" Radit bersiap memukul palu.
"Ahh, jangan dulu!"
"Astaga! Lo aja yang ke atas sini!"
"Dih, ngambek!" Lyla menggeser tubuh saat Radit memilih turun.
"Udah buruan naik, gue yang pegangin tangga. Bawel banget lo," keluh Radit.
Lyla tergelak sembari naik. Setelah Lyla memaku beberapa paku di beberapa sudut dan tengah pinggiran atap rumah, Radit mengulurkan lampu kelap-kelip. Lyla memasangnya melengkung beberapa kali secara simetris mengikuti posisi paku.
Begitu selesai, Radit menyalakan stop kontak. Lampu menyala berkelip bergantian. Lyla betepuk senang.
"Eh, masih sore, matiin aja biar irit pulsa listrik," usul Lyla.
Radit mematikan lampu, lalu ia bergegas mengambil selang. Sore hari jadwal menyiram tanaman. Sewaktu pindah ke sini, entah mengapa tanaman di halaman mini itu sudah tertata rapi dengan aneka bunga. Mungkin ini bangunan bukan bangun baru, hanya mendapat renovasi sana-sini agar tampak baru. Akan tetapi, semua ini termasuk lebih baik ketimbang mereka harus tidur dalam satu kamar di rumah Eyang Kasih karena Radit harus tidur di sofa. Entah sampai kapan ini akan berlangsung.
"Sini, gue aja. Elo mandi duluan sana," ucap Lyla sembari mengambil alih selang dari tangan Radit.
Radit tersenyum, namun ia justru duduk mengamati Lyla di pembatas teras. "La, skripsi lo gimana?"
"Aman kok, udah aku beresin hasil koreksian yang lalu. Udah aku kumpulin lagi, kemarin aku titipin Riana buat di-print sama ditumpuk di meja dosen," cerita Lyla tanpa mau menyebut nama dosen. Ia paham, Radit juga mengkhawatirkan kelanjutan nasib skripsinya. "Udah sana mandi. Apa mau gue semprot pake air keran?" Lyla mengarahkan selang ke arah Radit, membuat Radit mengangkat tangan mencegah cipratan air ke wajah.
"Ish, nggak sopan!" ucap Radit kesal menghampiri Lyla.
Mereka hampir saling beradu air saat pintu pagar terbuka.
"Selamat sore."
Sapaan lembut itu menginterupsi keduanya. Saat itu juga jantung Lyla mencelos, merasa takut, dan lemas bersamaan. Wanita dengan rok tutu selutut berwarna gading dan kemeja cokelat tua itu berdiri tepat di ambang pintu pagar. Tersenyum samar menatap Radit.
Ahh, kenapa juga Anita sekeras kepala ini?
**
Lyla berguling ke sana kemari di atas ranjangnya. Ia sama sekali tak bisa tidur. Hal apa yang harus ia lakukan agar wanita itu tak lagi mendekati Radit? Ah, kenapa juga Lyla jadi pusing begini? Bukankah bila tetap taka da cinta Lyla berhak menggugat cerai Radit? Lalu, kenapa ia begitu resah saat Anita bersikeras terus dekat dengan Radit?
Selama Anita berkunjung, Lyla sama sekali tak berani menguping. Mereka berdua duduk di teras, Lyla hanya mengantarkan dua cangkir kopi dan kembali masuk ke dalam untuk mandi. Ia sengaja tak mau mendengar pembicaraan apa pun karena takut bila mendengar permohonan Anita untuk meminta Radit kembali.
Lyla menghela napas panjang, mengembuskannya perlahan bersamaan dengan munculnya ide gila yang mungkin lebih ektrem dari kejadian lalu di warehouse. Lyla menyembunyikan diri di balik selimut. Tidak! Itu gila! Lyla tak mau ambil risiko. Bagaimana bila nanti setelah Lyla menyerahkan segalanya pada Radit, tapi ternyata Radit pada akhirnya memilih kembali pada Anita.
Ah, kenapa ia harus tersiksa sendirian begini? Lyla teringat betapa sering Anita rajin menghubungi Radit lewat telepon. Betapa sering wanita itu mendekatinya di kampus secara terang-terangan, dan lagi gadis cilik itu sepertinya sudah menjadi pusat perhatian Radit. Benarkah Radit juga menerima dan mencintai gadis cilik itu di hatinya?
Lyla menghapus kegelisahan dengan kembali mengingat kesungguhan Radit. Mengingat setiap perhatian darinya, mengingat setiap sentuhan yang hampir tak pernah kasar dan melukai. Candaannya selalu sanggup melebur ketegangan dan menderai tawa.
"Jangan pernah tolak setiap perhatian gue ke elo, La. Itu aja yang harus dilakuin selama lo di sisi gue."
Kata-kata Radit sebelum ciuman pertama mereka di warehouse terngiang. Jika Radit sudah memintanya demikian, kenapa Lyla tak meruntuhkan sekalian saja banteng pertahanan dirinya?
Lyla bangkit dari ringkukan di atas ranjang. Ia membuka laci nakas, mengambil surat bukti sah hubungan pernikahan mereka. Anita seharusnya tak boleh menyangkal semua ini, bukan? Lyla menggigit bibir, meletakkan surat nikah miliknya ke atas nakas dengan sekali gebrakan.
Dengan langkah lebar dan napas memburu ia menghampiri Radit yang tengah meneguk segelas air mineral di pantry.
"Eumh, Dit," panggilnya pelan hampir tak terdengar.
"Hm?" Radit mengangkat kedua alis seraya menurunkan gelas dari bibirnya.
"Gue siapa buat elo?" cecar Lyla setelah berdeham.
"Istri gue. Kenapa emang?" Radit mengerjap, berusaha menerka arah pembicaraan Lyla.
"Karena gue istri lo, berarti lo berhak atas segala sesuatu yang tercantum dalam surat nikah," terang Lyla dengan cepat dan sama sekali tak ingin mengulang penjelasan.
"Maksud lo?" Radit masih bingung, ia hampir meneguk air dari gelas kembali. Namun, Lyla menahan gelas dan meletakkannya ke meja.
"Entah itu cinta atau hanya kebutuhan semata. Yang jelas gue mau melaksanakan tugas sebagai istri mulai dari sekarang. Kalo lo belum cinta ke gue, anggap apa yang kita lakuin sebagai sarana memenuhi kebutuhan layaknya pasangan suami-istri yang lain."
Sepasang mata itu berserobok, saling mengartikan keadaan dan kemauan masing-masing. Dan saat itu juga, keduanya mengerti bahwa apa yang mereka inginkan dan pikirkan saat itu juga sama.
"Sekarang," celetuk Lyla sambil berbalik dan berlalu ke kamar.
Radit tersenyum saat pintu yang berdebum tertutup itu adalah pintu kamarnya.
**
(13-08-2018)
Halo, selamat malam. Maaf, seharian ini wifi di rumah mati.
Ini baru nyala dan waktunya up. :"D
Terima kasih sudah menunggu. :))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top