The First Hug in The Bed

Meja ruang santai penuh dengan aneka camilan favorit Lyla. Puding cokelat, cookies cokelat, dan es krim dua rasa dalam satu kotak besar—vanila dan cokelat. Malam ini Miranti sengaja menyediakan makanan tersebut untuk menemani waktu bersantai usai makan malam satu jam yang lalu.

Dengan setelan daster selutut bermotif bunga mawar, Miranti duduk meluruskan kaki di sofa panjang bernuansa krem. Kehamilannya yang menginjak usia tiga bulan ternyata cukup menguras tenaga. Ia jadi mudah lelah meski sedikit kegiatan yang dilakukan.

Televisi layar datar menyala, menampilkan acara animasi keluarga dari Disney kesukaan Lyla. Namun, Lyla dan Radit sama sekali tak fokus dengan acara santai di ruangan ini. Sebentar-sebentar keduanya saling melirik, mengetik kasar pada ponsel masing-masing.

Malam ini Miranti benar-benar meminta dua pasangan muda itu menginap di rumah. Lyla tak sanggup menolak, mengingat di sini ia bebas dari pekerjaan rumah tangga. Pun sama dengan Radit yang tak enak menolak permohonan mertuanya.

Radit melirik sekilas ke arah Lyla, kemudian jarinya dengan cepat mengetik di papan layar chat WhatsApp.

Radit: "Siapa yang bakalan tidur di sofa nih?"

Melihat ponsel di karpet menyala, Lyla yang asyik menyendok es krim cokelat meletakkan sendok ke wadah es krim kembali. Ia menoleh ke arah Radit sebelum akhirnya ia membalas chat.

Lyla: "Elo."

Radit: "Pulang aja deh! Ogah gue tidur di sofa!"

Lyla: "Lah, enggak enak sama Mama."

Radit: "Badan gue pegel-pegel tidur di sofa."

Radit meletakkan ponsel ke karpet, meraih jus jeruk kemasan kotak. Ia mengedikkan alis seraya menyelipkan sedotan saat Lyla menoleh bingung. Namun, semenit kemudian, setelah menghabiskan sisa es krimnya, ia membalas chat dari suaminya dengan gerakan ketikan kasar di layar ponsel.

Lyla: "Serah lo, deh. Enggak usah protes kalo gue susah dibangunin buat kerja besok."

Radit: "Gue jamin lo tidur pules malam ini, Beib."

Radit menahan kikikan geli setelah menekan ikon sent.

Lyla yang membaca balasan itu kontan berdeham seraya mengusap tengkuknya yang meremang. Apa-apaan ini? Apa Radit sengaja menggodanya? Pagi tadi sebelum mereka berangkat ke rumah Miranti, Radit tampak sedikit bicara, ia mendadak malas mengajak Lyla berbicara setelah mengetahui Lyla ternyata tidak hamil.

Lalu, di rumah Miranti justru laki-laki itu sudah berbeda ekspresi. Ia lebih ramah, sering mengulas senyum saat melihat Miranti dan Lyla mengobrol meski kadang ada kecanggungan.

Suara mobil memasuki garasi membuat Wiyati tergopoh dari arah dapur menuju pintu ruang tamu. Ia segera membukakan pintu diikuti Miranti yang sama bergegas dari sofa dengan senyum ceria.

Berbeda dengan Lyla yang justru menegang. Ia sedikit khawatir dan takut mengingat Miranti selama sepuluh tahun tak pernah mendapat perlakuan baik dari papanya. Tanpa sadar, tangan kanan Lyla meremas ujung kaus Radit dengan wajah tertunduk. Sungguh, ia takut papanya lepas kendali di depan Radit.

**

Radit mengernyitkan kening, menyadari Lyla yang semula relaks justru berubah tegang, tangannya dingin meremas kaus bagian pinggang yang dikenakan Radit. Detik itu juga, Radit tahu ada sesuatu yang tak beres dalam diri Lyla.

"Lo kenapa, La?" bisik Radit seraya menunduk, menatap wajah Lyla yang tertunduk dalam.

Lyla menggeleng cepat dan buru-buru melepas cengkeramannya dari kaus Radit.

"Mau aku buatin kopi, Mas?" tanya Miranti lembut.

"Boleh."

Suara pelan Dirga kontan membuat Lyla mendongak.

Miranti meraih tas kerja Dirga, menyongsongnya ke ruang kerja. Dirga sempat mengusap pelan puncak kepala Miranti. Sungguh pemandangan yang meharukan menurut Radit. Mengingatkan ia dengan masa lalu kedua orang tuanya sebelum bercerai. Namun, semua tampak berbeda. Siapa saja tahu Lyla bukan anak kandung Miranti. Siapa pula yang akan percaya bila Lyla memiliki wajah setengah bule-nya dengan rambut kecokelatan dan mata hazel sempurna. Sangat kontras dengan Miranti yang memiliki wajah khas pribumi Jawa.

Yang membuat Radit tak percaya, istrinya itu terlihat begitu menghormati Miranti meski ada kecanggungan saat berbicara dengan sang ibu tiri. Lyla juga terlihat bahagia menanti kelahiran calon adik bayi dari rahim ibu sambungnya. Radit mendesah dalam hati. Ia teringat mama dan Isabel—adik tirinya. Bahkan Radit masih terlalu enggan untuk menyapa gadis berusia 8 tahun itu meski terkadang Julia kerap membawanya ke rumah.

"Kalian sudah lama?" Dirga membuyarkan lamunan Radit.

Laki-laki berpakaian kantoran lengkap itu sudah duduk di sofa sembari menyesap kopi yang baru diantar oleh Miranti.

Radit hanya tersenyum tipis dan mengangguk sekali.

"O-oh, udah dari tadi siang, Pa." Lyla menyahut dengan senyum kikuk. "Papa tumben udah pulang?"

Dirga mengembuskan napas sembari menyerahkan cangkir pada Miranti. "Sedang tidak begitu banyak pekerjaan," sahutnya dingin dan seperlunya. Namun, saat ia bangkit hendak berlalu ke kamar, laki-laki paruh baya itu sempat berbalik seraya berkacak pinggang.

"Sudah ke dokter siang tadi, Ma?"

Miranti tersenyum lembut dan mengangguk. "Sudah."

Dirga hanya menganggukkan kepala, kemudian berlalu ke kamar.

"Pa, hasil USG aku letakkan di nakas kamar!" terang Miranti setengah berteriak menyadari suaminya itu telah sampai di ambang pintu kamar.

Pria itu sempat menoleh dan mengangguk sekilas.

Radit bergeming menyaksikan kecanggungan suasana keluarga Lyla. Semua terasa kaku, tetapi ia bisa merasakan ada sesuatu yang sedang mulai ditata ulang.

"Aku ngantuk, tidur duluan, Ma." Lyla tergesa bangkit dan mendahului Radit yang masih menghabiskan sisa jus jeruknya.

Miranti hampir mencegah Lyla untuk berlalu, namun urung saat ia menyadari Lyla setengah berlari menaiki anak tangga. Melihat Lyla demikian, Miranti menatap Radit memohon permakluman.

"Mm, maafkan kecanggungan ini, Nak," ungkap Miranti dengan senyum serba salah.

"Radit ngerti kok, Ma," sahut Radit diiringi senyum tipis, lalu bangkit dari duduk. "Radit temenin Lyla dulu ya, Ma."

Miranti mengangguk cepat. "Terima kasih," katanya.

Radit menghela napas pelan, mengembuskannya seraya menaiki anak tangga. Ia sempat menoleh kembali ke lantai bawah, menatap Miranti yang duduk di sofa sambil tersenyum, mengelus perutnya yang hampir membuncit. Bibir wanita itu tersenyum dan meski dari kejauhan, Radit bisa melihat titik bening yang tertahan dari sudut mata.

**

Lyla tersedu, berulang kali menghapus air mata. Namun, usahanya sia-sia. Ia terlampau bahagia melihat perubahan Dirga meski masih menunjukkan sedikit ketidakpeduliannya. Akan tetapi, setidaknya papanya itu sudah memberi sedikit ruang untuk Miranti dan calon adik Lyla. Tidak ada lagi bentakan dan desakan untuk ibu tiri yang berhati ibu peri itu untuk memusnahkan bayi mereka. Tidak ada lagi sentakan tangan Dirga saat Miranti berusaha menyentuhnya. Tidak ada lagi secangkir kopi buatan Miranti yang mendingin karena terabaikan. Bahkan terkadang dulu Lyla rela meneguk kopi dingin itu diam-diam sambil menangis.

Suara kenop pintu diputar membuat Lyla sigap menghapus derai air mata dan beranjak berpura-pura tidur di balik selimut tebal memunggungi Radit. Laki-laki itu sempat menutup pintu perlahan, menatap punggung Lyla yang masih bergetar karena tangis.

Sisi ranjang di samping Lyla itu melesak saat Radit duduk. Lyla tahu Radit mengulurkan tangan, sedikit ragu hendak menyentuh rambutnya. Namun, wanita yang dirundung sesak itu terus mempertahankan posisinya.

"Jangan disimpen sendiri. Sampai kapan elo kuat?" ucap Radit bersamaan dengan sebelah tangannya mengusap pelan puncak kepala Lyla.

"Gue udah tidur," sahut Lyla dengan suara parau.

Radit tekikik geli dan Lyla menyadari betapa bodohnya menyahut demikian. Namun, menit-menit berikutnya, Lyla terdiam kaku. Dadanya bergemuruh, mendadak tangisnya terhenti. Saat itu, suaminya sudah merebah di sisi Lyla, melingkarkan lengan di perutnya dan menyembunyikan wajah di ceruk leher sang istri.

"La, lo mau nggak, ngajarin gue ikhlas dengan pernikahan kedua orang tua?"

Mendengar ucapan Radit, Lyla bergeming, menanti kelanjutan pembicaraan apa yang akan disampaikan.

"Gue sendiri hampir mati sesak dengan perasaan tertekan karena nggak bisa terima pernikahan Mama sama laki-laki selain Papa." Radit menghela napas panjang dan saat napasnya terembus, Lyla bisa merasakan betapa laki-laki yang tengah bersandar di punggungnya ini putus asa menghadapi kondisi broken home dari kedua orang tua.

Perlahan Lyla menggerakkan tangan kiri, meraih telapak tangan Radit yang melingkarinya. Ia menggenggamnya kuat, kemudian melekatkannya pada bibir.

Iya, kita sama-sama. Jadi teman hidup seperti yang kita janjikan sebelumnya.

Lyla memejamkan mata, Radit mempererat pelukan dan semakin merapatkan tubuh. Mereka mempertahankan kedekatan itu sampai terlelap dan melepas jenuh dari masalah, hingga matahari menyingsing di ufuk timur.

**

(11-08-2018)

Halo, apa kabar?

Auww, ada yang merasa dapat sinar terang dari sosok Lyla. Radit kayaknya menemukan sesuatu dalam diri Lyla yang bisa buat dia percaya kalo dirinya nyaman di dekat istrinya. Kesamaan latar belakang keluarga yang mengalami broken home, sama-sama menyimpan tekanan sendirian.

Akankah Radit dan Lyla sanggup saling menjadi Flashlight? ^_^

Terima kasih sudah mampir vomment. :))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top