The Fight
Anita berjalan tergesa di basement apartemennya setelah ia menekan tombol kunci pada kunci mobil. Sudut matanya berulang kali hampir meneteskan air mata, tetapi ia tahan. Tubuhnya membeliak saat tangan kokoh itu mencekal lengan dan mencengkeram bahu Anita. Wanita di tengah hujan emosi itu memberontak.
"Lepas!" Usai berhasil menyentakkan cengkeraman kedua tangan Tio.
Ia berlari sekuat yang ia bisa, menaiki anak tangga tanpa harus mencari lift mengingat dirinya terlalu malu dengan penghuni apartemen lain. Pertengkaran ini kerap disaksikan tetangganya sejak bertahun-tahun lalu. Anita terseok saat heels sepatunya patah. Dengan gerakan kasar ia melepas sepatu dan melemparnya begitu saja ke bawah. Namun, Tio berhasil menghindar.
Air mata itu akhirnya berderai, sesekali terhapus oleh punggung tangan Anita, membuat noda hitam bekas maskara yang tak kedap air. Tepat saat ia sudah sampai di depan apartemennya dan masuk, Tio berhasil menahan pintu, memaksa masuk.
Anita mundur ke belakang, menjauh dari Tio yang sama terengah karena lelah mengejarnya.
"Please, izinkan aku memulainya dari awal. Aku janji akan berusaha melupakan masa laluku bersama almarhum Wulan. Kita mulai bersama lagi. Aku, kamu, dan Lita," mohon Tio terus berusaha mendekat.
Anita menggeleng. "Kamu pikir kamu itu siapa, hah? Ke mana saat kita kehilangan anak kandung kita? Ke mana saat aku berusaha menerima Lita seperti anak kandungku sendiri meski dia bukan anakku?! Memang siapa Lita?! Siapa Lita?!" Amarah itu terus meluap, kedua tangan Anita terus menampik rengkuhan tangan Tio.
"Mati saja sana. Kubur dirimu dengan cinta matimu itu!" teriak Anita dengan air mata semakin berlinang. Keringat membanjir di pelipisnya, tenaganya terkuras habis karena memberontak dari pelukan laki-laki berdada bidang yang sama berantakan.
"Mama ...." Suara lirih dan lemah itu menghentikan aksi memberontak Anita.
Lita berdiri di depan pintu kamar, darah mengucur dari hidung. Gadis cilik itu menghapusnya dengan punggung tangan. Tangannya gemetar, mengelapkan bekas darah di piyama putihnya.
"Lita?" lirih Anita dan Tio bersamaan. Mereka berlari menghampiri Lita yang hampir terjatuh. Dengan sigap Tio menangkap tubuh rapuh itu.
"Lita, bangun, Sayang. Maafkan Mama," isak Anita seraya menepuk pipi putri sambungnya.
"Bangun, Sayang. Papa mohon, jangan membuat Papa hidup dalam penyesalan, Nak." Tio memeluk tubuh Lita, menggendongnya dalam untaian tangis.
Anita membuka pintu, mengikuti langkah kaki jenjang Tio membawa putri mereka ke rumah sakit.
Pada akhirnya, pertengkaran dan perkelahian mereka sejenak padam ketika pusat kebahagian mereka mulai tak berdaya.
**
Lyla mengendarai mobil sport hitam milik Radit sendirian. Sore ini ia harus ke toko handy craft yang akan bekerja sama dengan agen ekspedisi di mana Lyla bekerja. Sendiri saja untuk kali ini. Jam dua siang tadi Radit tergesa, harus ke rumah sakit. Anita menelepon dengan tangis menggerung, mengabarkan Lita kembali ke masuk rumah sakit. Sepertinya wanita itu terdengar sangat putus asa.
Apa yang harus Lyla lakukan bila Lita saja merupakan keponakan Radit? Ia sendiri tak mungkin mengesampingkan logika dan mendadak cemburu buta melarang suaminya ke rumah sakit. Lyla memilih mengikuti Radit ke rumah sakit.
Hati wanita mana yang tak pedih saat justru di depan matanya, wanita lain itu menghambur ke dada suaminya? Saat itu Lyla tak bisa berbuat banyak. Ia wajib memahami keadaan mengingat Lita—yang juga harus ia anggap sebagai keponakan—terbaring lemah dengan masker oksigen di ruang UGD.
Lyla memilih undur diri, dengan alasan telah ada janji dengan pengusaha handy craft di Kawasan Depok. Ia sempat berpamitan dengan Tio yang duduk terdiam di kursi tunggu dengan anggukan kepala. Dan Radit sama sekali tak bisa mencegah Lyla karena sudah pasti istrinya sudah menunjukkan wajah resah dan tak ingin dicegah.
Mobil berbelok, masuk ke parkiran sebuah toko dengan pintu dan dinding bagian depan terbuat dari kaca tebal transparan. Begitu Lyla turun, ia menoleh ke area parker yang cukup luas. Dari luar terlihat beberapa lukisan dan kerajinan tangan. Lyla mendorong pintu kaca, masuk ke ruangan yang lebih terlihat seperti galeri seni ketimbang toko kerajinan tangan.
"Hai, Lyla," sapa suara dari belakang Lyla.
Lyla tertegun dan refleks berbalik. Mata hazel itu melebar menyadari siapa laki-laki dengan rambut khas ombre yang tengah berdiri di belakangnya. "Angga?"
Angga tersenyum tipis. "Duduk, La. Lo sendirian aja?"
Lyla sempat bersikap sedikit lambat, tetapi ia segera membuang pikirannya yang tidak-tidak. "Iya, keponakan Radit mendadak masuk rumah sakit," cerita Lyla sambil duduk di sofa single berwarna biru muda.
Angga terdiam, seperti sedang menimbang sesuatu hingga ia bersuara, "Lo tahu siapa keponakan Radit, kan?"
Lyla yang semula tertunduk—sambil memainkan jemari di atas ransel pada pangkuannya—mendongak. Ya Tuhan, permainan apalagi ini? Kenapa Lyla begitu bodoh. Harusnya ia sadar Angga dan Dimas adalah sahabat dekat Radit. Mengapa pada awalnya ia tak mencecar dahulu dua sahabat Radit ini? Mengapa dirinya main ambil keputusan untuk menerima lamaran Radit tanpa pertimbangan orang lain? Dari semua orang di sekelilingnya, Lyla merasa dirinyalah yang bodoh dan tak tahu apa-apa perkara suaminya itu.
"La?"
"Eh, iya ... tahu, kok," sahut Lyla sedikit terkejut.
"Lo baik-baik aja, kan?" Angga menatap Lyla cemas.
Lyla mengangguk dan memaksakan senyum. Ya Tuhan ....
**
Angga duduk di sofa kantor Agen Kasih Ekspres. Mulanya Lyla menolak diantar pulang ke kantor. Wanita itu bilang Radit akan meneleponnya nanti dan harus menunggu di kantor. Akan tetapi, jarak Jakarta-Depok lumayan untuk ukuran Lyla bila harus menyetir sendirian mengingat Angga tahu wanita yang sedang duduk di meja admin sendirian itu tengah kacau.
Angga melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul delapan sembilan malam dan Radit belum ada tanda-tanda akan kembali menghubungi Lyla. "Sebaiknya lo pulang aja deh, La. Udah malem. Gue anter, ya, pake mobil Radit lagi. Entar gue balik ke Depok bisa minta anter Dimas."
Lyla menggigit bibir resah dan menggeleng pasrah. "Gue masih mau nunggu Radit aja, Ngga. Makasih," gumam Lyla dengan wajah tertunduk.
Angga menghela napas bersamaan dengan pintu depan terbuka. Sosok itu berdiri mematung menyaksikan sahabatnya sudah duduk menemani Lyla. Rahang Angga mengeras, kedua tangannya mengepal. Dengan gerakan kasar, ia menarik lengan baju Radit untuk kembali keluar.
"Gue mau ngomong sama lo," bisiknya dengan penuh penekanan.
Lyla yang sempat menyaksikan itu berdiri cemas, namun ia tak berani mendekat.
"Lo masih inget apa kata gue, kan?" cecar Angga sembari menekan tubuh Radit ke dinding samping kantor. Tempat itu tampak sedikit temaran, cukup melindungi Angga bila ia ingin melepaskan tinju ke wajah laki-laki berengsek di depannya.
Radit mendesah lelah, tak sanggup menjawab apa pun. Ia bungkam seribu bahasa dan hanya bisa menatap manik mata Angga dengan tatapan frustrasi.
"Kalo lo laki, pake otak lo! Jangan pake perasaan di antara dua pilihan!" tekan Angga. "Kecuali kalo lo banci!"
Setelah puas mengutarakan kekesalannya melalui umpatan, Angga berlalu meninggalkan Radit yang terus bergeming. Angga tahu perkelahian ini akan terus mencuat selama sahabatnya itu belum bisa berubah. Radit terlalu lemah. Bagaimana bisa Angga memercayakan wanita yang ia sukai pada lelaki macam Radit? Haruskah ia mencuatkan perkelahian yang lebih sengit demi melindungi Lyla?
**
(01-09-2018)
Halo, Selamat malam. Selamat menikmati weekend. Di sini hujan, jadi di rumah untuk ngopi dan baca buku kayaknya asyik, nih.
Terima kasih sudah menunggu. :))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top