Skripshit

Suara desingan hair drayer terdengar pelan dari kamar Lyla. Kali ini ia berhasil bangun lebih awal dari Radit. Subuh tadi ia berhasil mengendap-endap meninggalkan Radit di kamarnya tanpa membangunkan pemilik kamar.

Hari ini ia harus ke kampus lebih awal. Riana bilang mahasiswa semester akhir harus berkumpul di aula. Ini kesempatan bagus untuk menghindar dari Radit. Ya ... astaga! Lyla terlalu malu mengakuinya. Entah harus bagaimana ia harus berhadapan dengan suaminya setelah semalam keduanya melakukan hal aneh-aneh yang baru pertama kali mereka rasakan. Dan bagi Lyla, bersentuhan dengan Radit layaknya semalam lebih memabukkan daripada sepuluh gelas Wine yang biasa ia tenggak.

"Janji sama gue, lo nggak bakalan nyesel, dan nggak akan pernah minta gue buat tanda tangan di atas surat gugatan cerai," bisik Radit seraya melekatkan kening dan mengungkung Lyla di antara kedua lengannya yang bertumpu di atas bantal.

Darah Lyla berdesir, belum sempat ia mengucap janji, Radit sudah membawanya dalam alunan cinta penuh kelembutan. Semalam, ia merelakan dan memasrahkan diri atas dasar janji pernikahan mereka. Membiarkan Radit membawanya terbang, memberinya jutaan kupu-kupu warna-warni, hingga Lyla menjerit takjub akan segala pemujaan yang Radit lakukan.

Saat itu, Lyla mulai menyadari bahwa dirinya telah jatuh cinta pada suaminya sendiri dan berharap menjadi milik Radit seutuhnya.

Suara gemericik air dari kamar mandi kamar sebelah membuat Lyla terperanjat. Radit sudah bangun! Astaga! Lyla berlari menyambar tas ransel di meja kamar, mengendap dan melongokkan kepala terlebih dahulu dari pintu kamarnya. Aman. Ia berlari dengan berjingkat-jingkat pelan seraya menjinjing sneakers di tangan kiri.

Lyla menghentikan taksi di depan kompleks perumahannya. Ia harus bergerak cepat.

**

Riana menatap Lyla yang berlari tergesa menuju kantin kampus. Sepertinya wanita itu sama dengannya, belum sarapan, hingga kantin menjadi tempat utama yang dituju sebelum berkumpul di aula. Lyla tersenyum ramah setelah duduk di samping Riana.

Hei! Lyla tersenyum? Apa ia berubah menjadi wanita ramah sekarang? Riana masih mengamati kondisi Lyla yang sedang memilih menu makanan. Wanita itu mengetuk-ngetuk bibirnya sendiri dengan telunjuk kiri, sedangkan telunjuk kanan menelusur lembar menu makanan. Namun, saat Lyla bangkit hendak memesan makanan, tiba-tiba saja matanya membelalak dan gugup meraih tas ransel.

"Ri, entar kalo Radit nyariin, bilang belum ketemu gue, ya?" pesan Riana.

Riana menoleh ke arah pintu masuk. Radit dan Dimas terlihat di ujung jalan menuju kantin. "Lo kena—oiy, Lyla! Mau ke mana?!" pekik Riana ketika melihat Lyla sudah berlalu lewat pintu belakang kantin.

**

Lyla belum juga pergi dari kantin. Ia masih mengintip dengan gelisah ke arah meja Riana. Radit tampak menelisik ke seluruh isi ruangan.

"Lyla nggak ke sini?" tanyanya sembari duduk di kursi yang semula ditempati Lyla.

"Dih, bini sendiri nggak tahu ke mana," ledek Dimas.

"Tadi ke sini, tapi udah pergi lewat pintu belakang kantin. Cariin sana," ucap Riana berkhianat.

Lyla menepuk dahi, lalu menyandarkan kening di dinding kantin. "Astaga, dasar pengkhianat negara," geram Lyla. Ia kembali mengintip dan sedikit lega saat Radit sudah tidak ada di sana. Dengan gerakan kasar ia mengelus dada, mengelap kening yang tak berkeringat. "Aman!" pekiknya lirih.

"Apanya yang aman?"

Lyla terperanjat saat ia menoleh ke belakang. Ah, Tuhan! Tenggelamkan saja Lyla sekarang. Wajahnya merah padam saat Radit ternyata keluar lewat pintu depan dan berputar mengitari kantin untuk menyusul istrinya. "Kok, elo di sini?"

"Gue yang harusnya tanya. Ngapain ngintipin gue dari sini?" kikik Radit.

"O-oh ... eumh ... gue ... gue tadi mau sarapan, tapi nggak jadi." Lyla menunduk malu.

Radit mengamati Lyla sejenak. Suasana hening membuat Lyla semakin salah tingkah dan tak terkendali, sebentar-sebentar menyisir poni dengan jemari tangan, sebentar-sebentar mengusap belakang kepala, atau menggaruk tengkuknya yang meremang.

"Lo nggak apa-apa, kan?"

"Hah? Eh, nggak kok ... eumh ... iya, nggak apa-apa. Sehat," jawabnya tergagap.

"Serius?"

Lyla menjilat bibir sejenak, lalu mengangkat dua jari kanan, dan mengangguk cepat.

Radit meraih dua jari itu dan menggandeng telapak tangan Lyla. "Ya udah, sarapan dulu. Laper, kan semalam capek," kekeh Radit.

Lyla kontan mengibaskan gandengan Radit, menggigit kuku jarinya karena malu.

Radit terbahak melihat ekspresi malu Lyla. "Iya, enggak. Buruan sarapan, beneran laper gue, La!"

**

Denting sendok yang bergerak memutar di dalam cangkir terdengar nyaring. Lyla asyik mengaduk minuman hangatnya seusai sarapan. Radit masih betah menatap lama-lama wanita yang sedang asyik sendiri dengan minuman hangatnya. Sejak semalam, Lyla seolah menjadi pusat perhatian Radit. Keinginan yang bergejolak dalam batinnya selalu sama saat menatap kembali wajah oval yang terbingkai senyum di bibir. Lyla seolah menjadi candu yang ingin ia reguk dalam-dalam, ingin ia penjarakan dalam kungkungan layaknya semalam. Menghirup aroma manis dari tubuh wanitanya. Radit pun sadar bahwa tubuh Lyla lebih memabukkan dari bergelas-gelas Wine. Membuatnya menginginkannya lagi, lagi, dan lagi.

Radit tersenyum tipis, mengulurkan tangan kanan dan dengan ibu jarinya, ia menghapus sisa minuman dari bibir Lyla. Tak peduli dengan dua sahabatnya yang sedari tadi menatap mereka berdua.

"Kalian kenapa sih? Bentar tatapan, senyum sambil nundukin pandangan. Astaga ... kayak yang baru nikah aja, padahal udah sebulan lebih." Riana bertutur bingung.

Dimas mengusap puncak kepala Riana. "Nggak usah iri, Sayang. Kita kan juga gitu," kekehnya.

Radit menoleh, mengedikkan bahu tak peduli. "Senyum sama istri sendiri apanya yang aneh," gumamnya tak acuh.

Lyla masih pura-pura asyik dengan minumannya. Berusaha tak peduli dengan ledekan dua sahabatnya.

"Hei, mahaiswa bimbingan Bu Anita siapa aja di sini? Nih, tumpukan draft udah dikoreksi. Besok tinggal antre jam delapan pagi." Suara Santi yang baru saja masuk ke kantin membawa setumpuk draft mengantarkan ketegangan.

Lyla dan Riana bangkit segera, diikuti mahasiswa lain yang sedang asyik menikmati sarapan.

"Eh, La, kayaknya punya elo nggak ada deh. Tinggal 4 draft ini dan nggak ada nama elo. Yang lain udah pada diambil tadi di kantor dosen," terang Santi dengan wajah prihatin. "Mungkin belum kelar koreksi punya elo."

Lyla mematung, wajahnya pucat pasi seketika. Riana menepuk bahu Lyla berusaha menguatkan dan mengajaknya berpikir positif kalau semua akan baik-baik saja.

"Oh, iya, nggak apa, makasih udah dikabarin. Mungkin besok gue ambil sendiri deh," ucap Lyla lirih. Ia kembali duduk diikuti Riana.

Radit mendesah. Ada apa lagi ini? Kenapa keadaan semakin rumit?

"Gue ke aula duluan, ya," pamit Lyla pasrah, meninggalkan suami dan dua sahabatnya yang menatap prihatin.

Radit bersitatap dengan Dimas, namun Dimas hanya mengembuskan napas pasrah. "Semoga kalian lebih dewasa dalam memeprtahankan hubungan pernikahan," doa Dimas sembari menepuk bahu Radit.

Radit berdecak pelan, meraih tas ransel di meja, lalu berlari mengejar Lyla.

**

Suara jangkrik terdengar melalui jendela ruang santai yang sengaja Lyla buka lebar. Kaus big size dan celana pendek menutup rapat tubuh pendek berisinya. Dibenarkannya posisi kacamata yang biasa ia pakai hanya bila menghadap laptop. Sebentar-sebentar ia menyesap kopi hangat.

Layar laptop masih menampilkan lembar pengajuan permohonan ganti dosen pembimbing. Sepertinya langkah ini yang harus ia lakukan, menghindari kontak langsung dengan mantan suaminya. Lyla tak mau ambil pusing, ia tak mau meperpanjang masalah dengan menemui Anita untuk memohon pengertian. Toh Lyla paham dirinya juga dalam posisi yang salah. Ya, Lyla merebut tumpuan perasaan Anita, Radit.

"Dingin, La," celetuk Radit yang baru saja keluar kamar lalu menutup jendela di depan meja di mana laptop Lyla menyala.

"Lagi pengen udara malem aja," sahut Lyla setelah mengembuskan napas perlahan. Ia kembali mengetikkan namanya dalam surat pengajuan.

Radit terdiam sejenak, duduk di kursi kosong sebelah Lyla. "Maaf," gumamnya.

Lyla bergeming. Jemari yang semula sibuk mengetik tertahan di udara. Ia mengembuskan napas lelah dengan mata berkaca-kaca. "Iya, nggak apa-apa," katanya sambil membereskan laptop dan buku yang bertebaran di meja. "Gue tidur dulu, ya. Ngantuk."

Radit mengangguk, menatap punggung Lyla yang masuk ke kamarnya sendiri. Malam ini, Lyla memutuskan untuk tidur di kamarnya saja. Pikirannya sedang kacau. Ia hanya bisa berdoa semoga dosen pembimbing yang baru kelak tidak memintanya mengulang dari awal. Semoga ia menemukan dosen baik yang mau melanjutkan usahanya melaksanakan penelitian dan ujian skripsi.

Lyla menutup pintu kamar, bersandar pada daun pintu. Seketika itu tubuhnya merosot ke lantai, terduduk lemas dengan laptop di pangkuan. Detik-detik berikutnya, ia terisak tertahan di balik kedua telapak tangan.

**

Radit tahu Lyla tengah menangis di balik pintu, tetapi mengajaknya bicara sekarang bukanlah waktu yang tepat. Mahasiswa mana yang tak sedih bila skripsinya terbengkalai. Dan semua itu karena urusan pribadi antara mereka dan sang dosen.

Radit memilih duduk di lantai sembari bersandar di pintu kamar Lyla. Hatinya berucap seribu maaf, namun Lyla tak akan pernah dengar.

**

(16-08-2018)

Halo, apa kabar?

Mm, sepertinya Radit-Lyla bakalan terbit versi cetaknya dulu deh. Soalnya Senin kemarin sudah masuk proses editing. Akhir Agustus diperkirakan sudah selesai dan terbit bulan September.

Saya bakalan sibuk revisi sana-sini. Jadi, Radit up tiap weekend, ya. :"D

Terima kasih. :))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top