Not Over
Suasana kantin kampus masih tampak sepi di pukul sepuluh, belum jam makan siang. Beberapa deret meja terlihat kosong, sementara meja di salah satu pojok kantin sudah berpenghuni dua orang mahasiswi dengan mangkuk pesanan masing-masing.
Lyla masih saja sibuk dengan semangkuk mi ayam di meja, mengabaikan celoteh Riana yang menggebu. Akhir-akhir ini Lyla tak pernah ke kampus, di telepon tak pernah diangkat, dan semua pesan WhatsApp dari sahabatnya pun ia abaikan.
"Lo denger nggak sih, La?! Ke mana aja sebulan ini? Gue tuh sebenernya pengen nyamperin elo ke rumah, tapi tahu sendiri, kan, lo, bokap lo nyeremin!" keluh Riana. "La?!" Riana menyenggol lengan kanan Lyla, membuat wanita itu gagal menyumpit mi dari mangkuk.
"Lo bisa diem nggak sih? Pusing gue denger lo ngomong mulu," gerutu Lyla seraya membanting sumpit kembali ke mangkuk.
"Lah, gue kan khawatir sama lo. Tinggal jawab aja apa susahnya. Lo ke mana sebulan ini? Kenapa baru hari ini ke kampus?"
"Sibuk," sahut Lyla singkat. Ia kembali menyumpit mi, berlanjut menyumpit sejumput daging ayam dengan potongan dadu.
Mendengar jawaban singkat itu, sontak Riana berdecak kesal. Ia memilih meraih bakso pesanannya di meja yang mulai mendingin.
Lyla mendesah menatap Riana dengan ujung matanya. Bukan berarti ia tak ingin berbagi dengan sahabat, tapi sungguh, pernikahan ini teramat sulit bila dibeberkan di kawasan kampus sebelum waktunya. Lyla memiliki rencana membuat pengajuan ganti dosen pembimbing, tetapi jelas hal tersebut akan membuat Lyla mengulang skripsinya dari awal. Gadis itu sungguh takut dengan dampak pernikahan ini. Ketakutannya bukan tanpa alasan. Siapa pula yang ingin memiliki buntut masalah panjang bila begini keadaannya? Bisa saja mantan kekasih Radit itu akan mempersulit bimbingan skirpsi Lyla.
Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Lyla lebih memilih tak berurusan dengan Bu Dosen Anita.
**
Wanita itu masih sama. Tetap memesona di depan meja kerjanya, tampak anggun dengan sosok keibuaannya, terlihat cantik dengan mata bening yang serius menatap tumpukan lembar tugas maupun draft skirpsi mahasiswa yang menggunung di meja.
Radit menghela napas perlahan seraya memasukkan map berisi draft skripsi ke dalam ransel. Ia baru saja selesai konsultasi skripsi dengan Pak Haryadi—dosen pembimbing skripsi—setelah sebulan tak menjamah kampus. Sebelum memutuskan full bekerja di Agen Kasih Ekspres demi menghidupi Lyla, Radit pikir ada baiknya menuntaskan konsultasi bab terakhir skripsinya.
Sebelumnya ia banyak merepotkan Anita yang selalu membimbing dalam mengerjakan skripsi. Namun, menjelang bab akhir—setelah putus dengan dosen cantik itu tentunya—Radit harus berusaha sendiri. Dan selama sebulan itu pula keduanya tak pernah saling sapa meski hanya bertanya kabar melalui chating sekalipun. Tidak pernah, sampai getar ponsel di saku celana jins Radit mengusik pemiliknya yang tengah keluar dari ruang dosen.
From: Anita
Apa kabar? Kamu kurusan sekarang.
Radit mengembuskan napas perlahan seraya menyandarkan punggung di dinding lorong kampus. Jemari Radit melompat-lompat di atas layar ponsel, mengetikkan sederet balasan.
"Baik. Kamu apa ...." Radit menghapus kalimat terakhir yang tak selesai.
"Baik. Oh ya?" gumam Radit. Kemudian ... sent!
Setelah membalas dengan singkat, ia merangsekkan kembali ponsel ke dalam saku.
"Ciee ....! Yang baru liat Bu Dosen Cantik ...!" Suara Dimas yang baru saja datang menghampiri menginterupsi Radit.
Radit hanya melempar pandangan jengah, menimpuk kepala Dimas dengan telapak tangan kanan seraya berlalu.
"Dih, galak sekarang, anjir!" keluh Dimas seraya mengusap bekas timpukan Radit.
Radit berbalik seraya menjejalkan kedua tangan ke dalam saku jaketnya. "Eh, lo nggak usah ember di kampus, deh! Inget, cuma lo yang tahu soal ...." Radit menoleh ke sekitar, sepi. "Gue berantem sama Angga gara-gara Lyla," lanjutnya.
Dimas menipiskan bibir, kemudian ia memperagakan gerakan menutup ritsleting di mulut rapat-rapat. "Aman," celetuknya diiringi cengiran khas tanpa dosa, meski ia pun masih bingung perkara apa yang membuat dua sahabatnya itu berkelahi. Setahunya, Radit hanya menerangkan bahwa Angga cemburu saat tahu insiden tidur dalam satu ranjang yang sama. Namun, Radit tak memberi tahu perihal semua itu adalah ulah iseng Dimas dan Riana. Takut Dimas ikut terkena amukan Angga mengingat Angga malam itu pulang terlebih dahulu sebelum acara minum itu usai.
Radit mengangguk pasrah, lalu memberi isyarat dengan dagunya untuk segera berjalan bersama menuju kantin.
Satu belokan lagi dari lorong koridor kampus itu, mereka sampai di kantin. Bibir Radit tersenyum samar ketika ia menyadari sosok Lyla yang tengah duduk bersama Riana di kursi pojok kantin.
"Cemberut mulu, Beib. Kenapa coba?" Dimas menjawil dagu Riana.
Gadis yang merasa terganggu dengan jawilan itu sontak mendelik sebal. "Abis diputusin sama Ayang Lyla," dengkusnya asal.
Radit terkiki seraya melempar asal tasnya ke kursi di sisi Lyla yang kosong. Ia sempat mengusap kasar puncak kepala berambut kecokelatan itu. "Udah jadi ngumpulin bab terakhir skripsi, La?" tanyanya, mengingat tadi di kantor dosen ia sempat melihat tumpukan draft skripsi menggunung di meja Anita.
Lyla memelotot galak, sedikit tak suka dengan kebiasaan Radit mengacak rambutnya. "Udah, dan lo semua musti tanggung jawab kalo gue gagal skripsi," ketusnya sambil menudikkan telunjuk ke arah Radit, Dimas, dan Riana secara bergantian.
"Buset, salah gue apa?" protes Dimas.
Lyla membanting sumpit ke atas mangkuk. "Ide gila lo juga, kan, sampe gue bisa tidur bareng cowok ngeselin ini?" Telunjuknya bergerak menunjuk-nunjuk bahu Radit, hingga Radit berulang kali terdorong ke kanan.
Namun, Radit hanya menyeringai samar.
"Bisa bicara sebentar." Suara lembut itu memotong kericuhan di antara 4 mahasiswa di kantin.
Radit dan Lyla menoleh ke belakang secara bersamaan. Lengkungan samar dari bibir wanita yang mengenakan rok tutu dan kemeja putih itu membuat keduanya tertegun.
Riana yang semula hampir menelan baksonya, menganggukkan kepala demi mohon undur diri. Ia tergesa mendorong Dimas yang sama tertegun. Namun, itu semua bukan kawasan perkara mereka yang mengharuskan untuk enyah.
"Oh, boleh," sahut Radit, "silakan duduk, Bu."
Lyla yang merasa dirinya hanya akan memperumit keadaan buru-buru bangkit, hendak memberikan ruang pada suaminya untuk menyelesaikan masa lalu yang rumit. Namun, seketika itu juga Radit mencekal pergelangan tangan Lyla.
"Kita bicara berdua, Dit," sela Anita, membuat Lyla yang semula terdiam, perlahan melepas cekalan tangan Radit.
Wanita berambut kecokelatan itu meraih ransel biru dongker miliknya, mengangguk dan tersenyum sekilas, kemudian berlalu.
Kondisi seperti ini justru membuat Radit merasa terjepit dalam posisi serba salah. Di sisi lain ia berusaha menghargai Lyla sebagai istrinya, namun Anita juga butuh privasi untuk membicarakan perkara yang belum tuntas.
Setelah Lyla pergi, Anita menuju meja kasir kantin, memesan dua kaleng softdrink dan menyodorkan sekaleng untuk Radit.
"Aku akan tetap bercerai dengan Tio," ungkap Anita. Ia sudah duduk tenang di kursi berseberangan dengan Radit. Jari telunjuknya mengitari bibir kaleng dengan mata menatap kosong entah ke mana.
Radit yang hendak membuka minuman kaleng mendesah, meletakkan kaleng ke meja, kemudian menatap Anita yang tertunduk.
"Tidak bisakah kamu bertahan demi putrimu? Lita akan sangat terpukul bila itu terjadi," ucap Radit.
"Aku ... sudah tidak bisa bersama dengannya. Lita pasti mengerti, bukan aku yang dia butuhkan." Anita tersenyum hambar. Beberapa detik ia menengadahkan kepala demi menahan air mata agar tak tumpah.
"Maksudmu?"
Anita tertunduk kemudian. "Itu masa laluku bersama Tio. Aku tidak harus membeberkan semua, bukan? Percaya saja padaku, Dit."
Radit menatap wanita yang mulai meneteskan butir bening di sudut matanya. Sungguh, sebulan berusaha membentengi diri agar tak lagi ada kata sesak meninggalkan Anita, semua seperti runtuh detik itu juga ketika melihatnya menangis.
Waktu berlalu, keduanya hanya terdiam. Anita sibuk menangisi dirinya sendiri, sementara Radit sibuk mempertahankan diri agar tak merengkuh kembali masa lalunya.
Radit pikir semua akan selesai saat ia memutus dan memilih beralih pada kehidupan barunya bersama Lyla. Namun, cinta tak pernah semudah itu untuk mengatakan usai. Untuk mengakhirinya, harus melalui kenangan yang terkadang mempersulit diri untuk menemukan kata lupa.
**
(07-08-2018)
Hayuk, lanjut lagi nggak ya? :"D
Terima kasih sudah mampir, Kak. ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top