Let's Be Friends!
Radit menekan klakson beberapa kali, membuat satpam yang berjaga di pos jaga rumah mewah itu berjingkat terkejut. Ia tergopoh mendorong pintu pagar besi berwarna hitam. Laki-laki paruh baya dengan seragam satpam itu mengangguk, menyambut kepulangan cucu pemilik rumah. Namun, Radit hanya membalasnya dengan senyum samar dan lambaian tangan dari jendela mobil yang sengaja dibuka.
Lyla menatap nanar ketika mobil berhenti tepat di depan teras. Kedua tangannya meremas tas ransel yang sedari tadi ia pangku. Perasaan gugup membuncah, mengingat hari ini juga laki-laki di balik kemudi ini akan memperkenalkan dirinya pada sang mama.
Ya Tuhan, apa segugup ini rasanya bila akan bertemu calon mertua? Shut up! Pikiran Lyla terlalu melantur ke mana-mana. Calon mertua apanya, ia harus bisa membatalkan semuanya hari ini juga. Otak Radit sudah mulai rusak. Laki-laki berambut hitam pekat ini pasti gila. Menerima pernikahan tanpa cinta itu bukan perkara mudah. Lyla sudah pernah melihat betapa dinginnya rumah tangga tanpa cinta itu. Papa dan mama tirinya sudah memberikan gambaran yang teramat cukup mengerikan.
Lyla terlonjak saat ketukan di pintu kaca mobil terdengar beberapa kali. Ia segera menurunkan kaca mobil, menatap Radit yang sudah menunggunya untuk segera keluar.
"Buruan keluar. Apa mau gue gendong?" sindir Radit dengan kedua mata memicing, menatap Lyla lebih saksama.
Lyla mendongak, menghunjam kedua bola mata Radit dengan tatapan tak habis pikir. "Ini pernikahan, bukan main-main. Lo gila, ya? Sumpah gue nggak minta pertanggungjawaban atas kejadian malam itu. Gue yakin, kok, kita nggak ngelakuin apa-apa."
Radit menggaruk keningnya yang tak gatal, kemudian ia tersenyum canggung. Lyla menaikkan kedua alis tak mengerti.
"Oh, kalau itu ...." Radit mengamati sekitar, sepi. Namun, ia takut ada yang mencuri dengar. Ia mencondongkan tubuh, memasukkan kepala melalui jendela mobil, dan berbisik di telinga Lyla.
Lyla menggigit bibir, menahan malu dengan wajah yang memanas. Apa maksud dari bisikan Radit barusan? Tidak! Bisa saja itu cuma akal-akalan Radit.
"Kita bicara entar, yang penting masuk dulu. Mama nggak segalak Eyang, kok," jelas Radit seraya membukakan pintu mobil untuk Lyla. Ia tersenyum dan mendahului gadis yang tengah dirundung gelisah setelah menutup pintu mobil. Namun, saat Lyla hanya bergeming dengan sebelah kaki mengetuk-ngetuk paving blok seraya menggigit bibir dan pandangan tertunduk, Radit berdecak kesal.
Dengan sedikit tergesa, Radit menggandeng sebelah tangan Lyla untuk mengikutinya. Baru saja berjalan beberapa langkah dan menaiki dua undakan kecil di teras, pintu rumah terbuka.
"Halo, Sayang!"
Suara lembut itu terdengar. Sesosok wanita bertubuh semampai, rambut kecokelatan, dan bermata biru itu muncul dari balik pintu. Lyla yang hampir tersandung di undakan mendadak terpana. Ia mencengkeram lengan kemeja Radit, bibirnya sedikit membuka tak percaya.
Radit mengangkat sebelah ujung bibirnya, tersenyum sinis pada sosok wanita blasteran di depan mereka.
Wanita itu mendekat ke arah Lyla, membantu gadis yang masih membungkuk akibat hampir tersandung seraya mencengkeram lengan kemeja Radit.
"Ini Lyla, Dit? Wah, kamu pinter juga cariin calon mantu buat Mama," celotehnya dengan mata membulat dan berbinar.
What? Wanita setengah bule ini mamanya Radit? Lyla memekik dalam batin. Tak menyangka bila Radit memiliki seorang ibu dengan wajah blasteran. Tapi kenapa Radit tak berambut cokelat seperti ibunya? Ah, tunggu! Hidung mancung Radit sangat mirip dengan ibunya. Bentuk mata dengan bulu mata lentik menuruni wanita ini meski memiliki warna mata berbeda.
Lyla berdeham demi membuang keterpanaannya yang kelewat batas. Kemudian ia berpura-pura merapikan rambut sebahunya. Sedikit canggung gadis itu mendongak dan menahan senyum dengan menggigit bibir.
Namun, keterkejutan berlanjut saat kedua tangan mama Radit terulur, membenamkan tubuh Lyla dalam dekapannya. Jantung Lyla berdesir, seketika itu juga ia teringat pelukan yang sangat ia rindukan. Pelukan wanita blasteran ini sungguh mengingatkannya akan seseorang yang telah menemui Tuhan terlebih dahulu, dan meninggalkan Lyla dan sang Papa.
Mommy.
**
Suara ranjang ribut terdengar di sebuah kamar lantai dua rumah keluarga Bagaskara. Penghuni kamar itu tampak gelisah, berulang kali mengubah posisi tidur, menutup wajah dengan bantal, atau bahkan masuk ke dalam selimut tebal yang dikenakan. Namun, usaha mengubah posisi tidurnya selalu berbuah kesia-siaan. Bisikan laki-laki berhidung bangir dengan lesung pipi di kedua pipi, masih bergema secara terus menerus di gendang telinga Lyla.
"We did it!"
Lyla mengacak rambutnya kepayahan dengan semua ini. Ia hampir gila. Radit belum mengajaknya bicara lagi. Tadi setelah bertemu Julia—mama Radit—laki-laki itu langsung masuk ke kamarnya, meninggalkan Lyla bersama sang Mama selama setengah jam. Dan saat kembali dan bergabung di dapur, keduanya tak sanggup membicarakannya di depan orang tua Radit.
Julia mengajak Lyla berbincang sembari membuat cheesecake. Wanita bernama Julia itu terlihat ramah dan lembut memperlakukan Lyla. Ia sempat menceritakan masa kecil Radit yang bandel dan membuat seisi rumah kewalahan, juga sempat membicarakan rencana pernikahan Radit dan Lyla. Dan Lyla sungguh merasa canggung saat pernikahan itu dibahas. Sementara Radit hanya mengiyakan semua rencana sang Mama.
Dan sekarang, karena keinginan Julia berkenalan dengan calon menantunya lebih dekat, di sinilah Lyla berada. Tidur di kamar yang bersebelahan dengan kamar Radit. Julia bilang ia telah meminta Eyang Kasih untuk menelepon kedua orang tua Lyla agar memberinya izin menginap.
Astaga, haruskah Lyla menerima perjodohan ini?
"We did it!"
Kalimat itu kembali terngiang.
Sialan!
Lyla membalik tubuhnya, membenamkan wajah ke atas bantal dan berteriak sekencang yang ia mau. Haruskah ia menangis karena kehilangan kehormatannya sebagai seorang gadis? Apakah menangis bisa membuat kehormatan yang ia jaga selama ini kembali?
Salah sendiri ia menjadi pemabuk berat. Salah sendiri ia terlalu bodoh mabuk bersama seorang pria ditemani sahabatnya yang kelewat jail. Ah, tidak! Harusnya ia menyalahkan diri sendiri yang seenak jidat menenggak minuman terkutuk itu. Ah, bukan! Dirinya yang terkutuk karena tak mau mendengarkan nasihat Mama untuk berhenti pergi clubbing.
Glubrak!
Lyla berhenti menjerit dalam benaman permukaan bantal saat mendengar suara bedebam ke lantai dan suara orang merintih. Kemudian berderet kalimat umpatan terdengar samar dari balik pintu. Radit?
Sedikit tergesa, Lyla bangkit dari ranjang, melempar selimut sembarangan ke sisi tempat tidur. Sedang apa malam-malam begini laki-laki itu membuat kegaduhan di ruang santai depan kamar yang dihuni Lyla. Apa Radit belum tidur? Tapi ini sudah pukul dua pagi, bukan? Lyla sempat melirik ke arah jam di beker di atas nakas sebelum ia beranjak ke arah pintu.
Dan ketika pintu terbuka, Lyla menutup mulut agar jeritannya tak lepas begitu saja karena melihat Radit terbaring di sofa ruang santai. Pelipisnya berdarah, beberapa luka memar dan lecet juga menghiasi lengan kanannya. Radit terpejam dan sebelah telapak tangannya berusaha menahan aliran darah dari pelipis yang masih saja mengalir meski tak begitu banyak.
**
"Gila lo! Balap liar sampe babak belur gini!" gerutu Lyla sembari menghapus jejak darah di pelipis Radit dengan handuk basah.
"Namanya juga kecelakaan," ucap Radit di sela desisisan menahan perih.
Setelah semua penghuni rumah beranjak tidur, Radit sengaja keluar rumah, menemui teman-teman balap liarnya di jalanan yang sepi. Akan tetapi, konsentrasinya hari ini memang sedang buyar. Bayangan tangan mungil itu menggenggam tangan Radit di rumah sakit siang tadi membuatnya resah, berujung mengambil keputusan untuk menerima perjodohannya dengan Lyla.
"Om Radit, Mama masih mau memaafkan Papa nggak, ya?" Suara Lita, gadis berusia tujuh tahun yang terbaring di ranjang pasien itu menghunjam hati Radit.
Lita menatap ke dalam manik mata Radit, memohon pengertian, meminta kesediaan dirinya untuk mengembalikan keutuhan keluarga kecilnya. Namun, saat bibir Radit masih saja bergeming, gadis cilik itu menunduk dan melepas genggamannya.
"Aku takut Mama sama Papa pisah, Om. Aku nggak mau punya papa baru," gumamnya lirih.
Ya Tuhan ... ucapan gadis berambut ikal ini membuat pertahanan Radit untuk menjaga kesetiaan pada wanita yang ia cintai luluh lantak. Melihat keputusasaan Lita sungguh menggambarkan sosok Raditya kecil yang kerap membenci perceraian kedua orang tuanya.
Suara derit pintu terbuka membuat keduanya yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing mendongak. Sosok wanita keibuan tampak membawa sebuah amplop di tangan kanan dan handbag di tangan kiri.
"Yeay, anak Mama besok sudah boleh pulang," ucapnya lembut seraya mengusap puncak kepala Lita.
Lita dan Radit tersenyum lega mendengar kabar yang disampaikan.
"Kamu mau pulang sekarang apa mau makan di sini dulu, Dit?" Wanita itu menoleh ke arah Radit yang duduk di sisi kiri ranjang pasien.
"Ibu Anita." Sapaan seorang suster dari ambang pintu membuat wanita itu menoleh.
Radit hanya mengangguk, mengiyakan permohonan izin Anita yang hendak keluar ruangan kembali. Setelah ibu dari Lita itu pergi, Radit mendesah seraya mengusap puncak kepala gadis cilik yang seminggu ini menghuni kamar di rumah sakit.
"Om pulang dulu, ya? Sampai ketemu besok," pamit Radit. Ia sempat mendaratkan kecupan lembut di kening Lita beberapa detik.
Gadis itu hanya tersenyum samar dan mengangguk pelan.
Tepat setelah Radit keluar dan menutup pintu, Anita kembali muncul. Sedikit terkejut saat mengetahui kekasihnya hendak beranjak.
"Lho, udah mau pulang?" Kedua alisnya berkerut seolah tak rela pemuda tanggung ini pulang lebih cepat.
Simpul senyum terbit di kedua ujung bibir Radit. "Iya, hari ini Mama pulang ke rumah," sahutnya memberikan alasan.
Anita mengerutkan bibir dan mengangguk pelan. Namun, seulas lengkungan senyum muncul saat Radit menundukkan sedikit tubuhnya, kemudian menekan kecupan lembut di puncak kepala Anita.
"Sampai ketemu besok," pamitnya.
Dan saat dua kaki jenjang itu hendak melangkah berlalu dari hadapan Anita, sesosok berjas hitam dengan sebuah kotak bening berisikan boneka Barbie itu tampak tertegun. Berdiri kaku menyaksikan keduanya yang saling bersalam perpisahan. Rahangnya mengeras, gurat kekesalan muncul dari ekspresi wajah oriental yang tak kalah rupawan.
Namun, tak ada yang bisa dilakukan oleh keduanya kecuali saling melempar senyum kaku dan terkesan dipaksakan. Sementara Anita hanya terdengar menghela napas panjang dan tertunduk. Antara merasa bersalah atau justru menang bisa menunjukkan kehidupan barunya bersama Radit.
"Lo denger gue ngomong apa nggak?!" Gerutuan kesal dari bibir Lyla menyadarkan lamunan panjang Radit.
Radit berdecak pelan. Ia sama sekali tidak fokus dengan sekitar selama Lyla sibuk mengobati luka di pelipis dan lengannya.
"Lo bilang apa—auw! Sakit!" Spontan Radit menabok lengan Lyla seraya mendesis kesal.
Saking kesalnya tak didengarkan, Lyla sengaja menekan plester lebih kuat pada luka di pelipis Radit.
"Mati aja deh, lo! Gue ngomong sampe berbuih tadi!" Lyla melempar handuk basah ke baskom berisi air es, kemudian menghempaskan punggung ke sandaran sofa.
"Kalo gue mati lo gak jadi nikah. Janda sebelum waktunya." Radit sama menyandarkan punggung ke sandaran sofa, ia sempat menoleh. Menatap gadis yang kini hanya terdiam dan mengembuskan napas pasrah.
Ruangan santai di lantai dua ini terlihat redup, hanya ada sinar dari lampu kecil yang tertempel pada sisi dinding dan pencahayaan dari arah balkon. Untuk sejenak, Radit berusaha memasukkan sosok Lyla dalam benaknya. Apa pun itu, ia berharap ada sesuatu dalam diri Lyla yang sanggup membuatnya jatuh cinta, agar pernikahannya dengan gadis ini tidak sia-sia.
Namun, keseriusan Radit terpecah saat menatap penampilan asal Lyla. Kaus oblong big size dan celana pendek selutut membuat tubuh kecilnya tampak tenggelam. Wajahnya teramat polos tanpa polesan make-up, tetapi bibir mungil itu justru terlihat semakin menarik dengan sorot mata lebar. Penampilannya sama seperti waktu Radit mengajaknya minum di kafe malam itu.
Semua gadis yang kenal dengan Radit, akan malu dan mendadak merapikan segala penampilannya saat bertemu laki-laki. Akan tetapi Lyla teramat cuek. Berbeda dengan Anitanya yang selalu melarang Radit menemuinya sebelum selesai membenahi penampilannya. Dengan segudang alasan yang intinya takut terlihat jelek.
Radit mendesah. Kenapa ia jadi membandingkan dua wanita ini?
Radit berdeham sebelum membuka pembicaraan dengannya. "Lo tadi mau bilang apa?"
Lyla yang sedari tadi duduk bersandar dan menatap ke langit-langit rumah mendesah pelan. "Nggak ada. Lupain. Kayaknya otak lo lagi gak bersahabat buat diajak ngomong," dalihnya.
"Soal ... bukti kalau kita udah ngelakuin have—"
Perkataan Radit terpotong seketika, saat Lyla mendadak membungkam mulut Radit dengan sebelah telapak tangannya. Wajah gadis blasteran yang putih ini tampak bersemu merah. Mungkin jika pencahayaan di ruangan ini cukup, Radit bisa melihat jelas rona merah itu.
"Nggak usah disebutin juga kali! Gue malu ...," lirihnya di akhir kalimat. Lyla mengusap wajah pelan dan kembali bersandar di sofa.
Radit mendesah dan sama merilekskan tubuh dengan membetulkan posisi bersandarnya.
"Gue juga belum yakin sih, La. Tapi gue lupa-lupa inget. Tadinya emang yakin kita nggak mungkin ngelakuin apa-apa. Seinget gue, waktu berusaha mapah elo buat keluar dari kamar hotel itu, kita jatuh lagi ke atas ranjang. Terus ...." Radit menggantungkan kalimatnya. Ia berusaha memutar otak untuk kembali mengingat.
Hingga akhirnya semua kembali meremang, tak ada kejelasan. Atau mungkin sebenarnya Radit tahu apa yang terjadi, tapi demi mempertahankan Lyla ia lebih memilih untuk berucap, "Lupa gue!"
Lyla mendecakkan lidah. Percuma saja membicarakan ini. Selalu tak ada titik terang.
Selang beberapa menit keduanya hanya terdiam, menatap langit-langit rumah tanpa minat.
"Gue nggak tahu ke depan kita bakal gimana. Tapi ...." Radit memenggal perkataannya, kemudian ia mengepalkan tinju ke arah Lyla sebagai ajang adu tos penanda bermulanya sebuah hubungan.
"Let's be friends," sambung Radit seraya menunggu gadis di sisinya itu sama mengepalkan tinju dan menumbukkannya di kepalan tinju Radit.
Lyla menoleh dengan mata mengerjap. Ada setitik keraguan dari binar matanya. Namun, saat Radit tersenyum dan menaikkan kedua alis, perlahan Lyla mengangkat tangan.
"Kita coba jadi teman hidup. Mulai secara perlahan, saling membantu memenuhi kebutuhan. Setuju?" tutur Radit.
"Emang gue bisa nolak?"
"Enggak!" sahut Radit dengan tatapan penuh sesal.
"Oke!"
Keduanya menyatukan tinju. Berusaha ikhlas menerima semua hukuman karena itulah konsekuensi dari pergaulan mereka yang dinilai salah oleh kedua belah pihak keluarganya. Meski dalam batinnya, Radit harus berpikir keras bagaimana cara mengakhiri hubungan bersama Anita tanpa harus melukainya.
**
(19-05-2018)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top