Hangover

Ketukan lembut di depan pintu kamar Lyla terdengar samar. Bahkan suara lirih sang Mama yang memanggilnya cemas tak dihiraukan. Lyla sibuk bergelung di balik selimut selepas ia mengguyur tubuh dengan air shower dingin. Ia sedang tidak ingin diganggu bahkan dengan siang yang terik sekalipun. Tirai kamar sudah ia tutup rapat, pun sama dengan kunci yang ia kunci demi menghalangi siapa pun masuk.

Sungguh ia tak menyangka ini akan terjadi. Lyla berusaha mengingat kejadian semalam. Apakah bersama Radit semalam telah melakukan perbuat di luar batas? Ya ampun ... Lyla hampir putus asa mengingat. Mereka berdua mabuk berat dalam pesta minum semalam. Tapi gadis berbulu mata lentik itu yakin tak merasakan perubahan apa pun dari tubuhnya.

Ya, mereka semalam hanya tak sengaja tertidur satu ranjang karena ulah teman-teman kampus yang tak bertanggung jawab. Selebihnya, ia yakin mereka berdua save karena tertidur pulas. Titik. Lyla tak mau ambil pusing. Menikah?

Shut up! I don't want to think about that!

Lyla membuang pikirannya jauh-jauh. Riana. Gadis itu harus menjelaskan semua mengapa keluarga Radit tahu mereka ada di hotel semalam. Ia memilih mengabaikan Mama yang terus memanggil dan beranjak tidur meski pikirannya terus terbayang tentang Radit. Padahal sekuat tenaga ia membuang jauh nama itu. Denyutan kepala membuatnya semakin erat memejamkan mata.

I hate hangover!

Lyla menggeram kesal seraya mempererat balutan selimut di seluruh tubuh.

**

Radit baru saja menuntaskan balas dendam kurang tidur seharian. Setelah seharian tidur, ia sedikit lebih baik meski kadang nyeri kepala masih terasa. Siang tadi sekembalinya dari hotel dengan pakaian basah, ia langsung menuju kamar, dan melanjutkan tidurnya.

Setiap kali pesta minum, untuk 24 jam ke depan efek hangover sudah biasa dialami. Mual, pusing, atau bahkan muntah hebat. Ya Tuhan, manusia macam apa yang tahu efek mabuk sedemikian rupa masih mau melakukan pesta minum. Radit pikir, ia sudah mulai kecanduan.

Meski berulang kali pula Eyang Kasih menghukumnya, tetap saja kata jera tak pernah ia capai. Hukuman yang diterima? Macam-macam, mulai dari menyembunyikan kunci mobil, menyita SIM dan STNK mobil sport kesayangannya, menjaga ketat pintu kamar dengan dua orang bodyguard, atau paling parah dan paling Radit tidak suka adalah ... blokir kartu kredit.

Ralat. Hukuman paling parah adalah perjodohan konyol dengan Lyla. Astaga! Radit kembali pusing teringat kejadian tadi pagi di kamar hotel. Selimut yang semula menutup tubuh tanpa kaus itu Radit tendang hingga terjuntai ke lantai.

Bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Apa ia baik-baik saja? Apa ia juga gelisah memikirkan rencana pernikahan ini? Segenap tanya terus berputar di kepala Radit.

"Apa cuma gue yang hampir gila begini?" Radit bergumam seraya bangkit dari tiduran.

Ia meraih ponsel di nakas, kemudian jemarinya lincah mengetikkan pesan pada seseorang.

Raditya: No hape Lyla?

Riana: Wait.

Beberapa detik sebuah nomor kontak WhatsApp bertengger di notif chat ponsel Radit.

Raditya: Thanks.

Riana: Ciee....

Radit hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum sinis. Setelah itu, ia segera membersihkan diri, berpenampilan yang pantas, dan ....

Gerakan tangan Radit menata rambut dengan hairstyling cream terhenti seketika pintu diketuk. "Ya, masuk!" teriaknya.

Seorang perempuan dengan rambut putih dicepol membawa nampan berisi sepiring telur mata sapi dan segelas susu hangat memasuki kamar. Dari aroma susu itu tercium sedikit aroma jahe. Radit tersenyum menghampiri minuman yang di letakkan di nakas.

"Bi Siti tahu aja Radit habis kobam," celetuk Radit disusul cengiran khas.

Wanita tua itu hanya menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan sabar. Bi Siti adalah salah satu asisten rumah tangga sekaligus pengasuh Radit sejak kecil. Kenapa pakai pengasuh? Mama? Sibuk. Ia hampir tak pernah pulang menjeguk putra pertamanya. Semenjak wanita yang ia sebut Mama menikah lagi dan memiliki bayi, keduanya hampir tak memiliki kontak batin apa pun. Marah? Tentu. Bagaimana mungkin seorang anak tidak marah saat dirinya harus menerima perceraian orang tua? Dan parahnya, Mama menikahi laki-laki yang jauh dari kata lebih baik dari Papa. Begitu adik bayi itu lahir, laki-laki itu ... pergi. Dan beginilah Radit. Ia lebih memilih melupakan kebahagiaan omong kosong dalam keluarganya. Ia berusaha rileks, menikmati hidup, dan enggan mengurusi kedua orang tuanya. Radit tak pernah mengharapkan perhatian mereka lagi.

"Lusa Nyonya sama Tuan katanya mau pulang, Den."

Informasi dari Bi Siti hanya mendapatkan kedikan alis pertanda tak peduli. Ia meletakkan gelas ke nampan kembali dan berlanjut menyendok telur dari piring.

"Eyang ke mana?" tanya Radit mengalihkan pembicaraan.

"Tidur lebih awal. Eyang seharian uring-uringan mikirin Den Radit." Bi Siti mulai bercerita. "Kalau aja, Den Radit mau sedikit berubah. Jangan kebanyakan minum, nggak sehat," lanjutnya.

Radit meletakkan sendok ke piring, meneguk kembali susu jahenya hingga tandas. "Nggak apa, ada Bi Siti yang rajin bikin makanan dan minuman penawar mabuk begini sih," ungkapnya, sembari menggulung lengan kaus v-neck biru tua hingga siku. Ia tersenyum setelah membersihkan bibir basahnya dengan lap makan di nampan.

Pemuda tanggung itu meraih jaket dan kunci mobil di meja belajarnya, sekilas menepuk kedua bahu Bi Siti untuk menenangkan, lalu pergi begitu saja. Sementara Bi Siti hanya bisa mengembuskan napas sabar kembali seraya membereskan sisa makanan putra keluarga Bagaskara.

"Sudah jam sembilan malam mau ke mana lagi dia?" gumamnya sembari menggeleng kepala tak habis pikir.

**

Pukul sembilan malam, Lyla telah tuntas menikmati tidur seharian. Ia baru saja menyelesaikan ritual berendam air hangat, kemudian duduk di balkon kamar. Entah sudah berapa botol air mineral yang ia minum. Kali ini perut sudah terasa kembung. Ia lapar, tapi perut terus bergejolak.

Dengan sebelah tangan menenteng botol mineral yang tinggal sedikit itu, Lyla turun ke lantai bawah, menuju dapur. Sebenarnya, sejak pukul enam sore mamanya sudah menyiapkan makan malam untuknya. Namun, gadis bermata lebar itu sedang enggan menerima perhatian ibu tirinya. Tidak. Sampai wanita itu bertindak membujuk sang papa untuk membatalkan perjodohan konyol ini.

Rumah yang tampak luas dan megah ini terlihat sepi. Papa selalu pulang tengah malam dengan alasan sibuk di kantor. Mama setiap jam sembilan malam pasti sudah beranjak ke kamar. Semua asisten rumah tangga hanya bekerja sampai pukul enam sore setelah usai menyiapkan makan malam bersama Nyonya Mahendra.

Lyla duduk di kursi menghadap mini bar di pantry, meraih roti gandum dan membuka toples selai cokelat favoritnya. Apa pun yang terjadi, perut harus terisi karena seharian belum menjejalkan makanan sedikit pun. Ia hampir melahap roti saat ponsel di saku hot pants-nya berbunyi. Lidah Lyla mendecak kesal, membanting roti di atas piring, lalu membuka notif chat dari ponselnya. Sebuah kerutan di kening gadis blasteran itu tampak ketika membaca pesan nomor tak dikenal.

Gue di depan rumah lo. Keluar sebentar. (Raditya)

Astaga. Berani benar laki-laki itu memerintah tanpa bilang tolong lebih dulu. Seketika Lyla bangkit dari duduk bersila di kursi pantry seraya membawa sekaleng minuman ringan berperisa kopi. Ia sempat membuka kaleng minumannya sembari berjalan dan menegukknya sedikit.

Satpam di depan rumah sempat mengangguk padanya, namun Lyla hanya membalasnya dengan senyuman samar.

Tepat di depan pagar rumahnya, duduk sesosok laki-laki di kap mobil sport berwarna hitam. Laki-laki itu sedang mengepulkan asap rokok ke udara. Tanpa suara, Lyla hanya duduk di sisinya, enggan memulai pembicaraan.

Radit sempat menyentil abu rokok sebelum ia meraih kaleng minuman dari tangan Lyla. "Jangan minum minuman ringan mengandung kafein kalo lagi hangover," sergahnya.

"Langsung aja," sahut Lyla ketus.

"Gue mau ngajakin lo minum sesuatu, mau?" tanya Radit. Ia membuang puntung rokok ke aspal dan menginjaknya hingga padam.

Lyla menoleh, kedua alis gadis itu terangkat bingung. "Maksud lo?"

"Bantuin lo ngilangin hangover. Gue tahu lo pusing, mual, atau bahkan hari ini entah sudah berapa kali bolak-balik ke toilet buat muntahin isi perut lo."

Tanpa pikir panjang dan menanggapi celoteh Radit, Lyla turun dari kap mobil, menuju pintu mobil. Ia tahu Radit akan mengajaknya bicara banyak hal. Jadi, Lyla sama sekali tak ingin membuang waktu. Pun sama dengan Radit yang terdiam dan bergegas masuk ke dalam mobil.

"Lo cewek yang nggak harus pamit setiap saat ke orang tua kalo keluar malam, kan?" tanya Radit memastikan sembari fokus ke jalanan saat menyetir.

Lyla hanya mendesah dan menggeleng, masih malas bicara. Sesekali ia memainkan jemari di atas perut, namun sesekali ia juga memijit kepalanya yang berdenyut.

Tiga puluh menit mereka sampai di sebuah kafe dan keduanya masih saling bungkam. Lyla memilih tempat duduk di luar kafe yang memang tersedia meja dan tempat duduk yang ingin melihat jalanan kota Jakarta di malam hari. Sementara Radit pergi ke meja kasir, menyapa seseorang yang mungkin mengenalnya.

Pemuda dengan jaket berlogo Nike itu kembali diiringi seorang pelayan wanita dengan sebuah nampan dan dua gelas minuman.

"Waah, kok, beda, Dit? Yang tante-tante cantik itu ke mana?" kelakar si pelayan berseragam cokelat muda dengan topi cokelat tua di kepala.

Lyla mengerjap sebentar, namun saat Radit menatap dirinya, ia urung untuk menanggapi pertanyaan si pelayan meski tahu maksudnya.

Setelah pelayan itu pergi, bibir Lyla sibuk meniup minuman hangat dari sebuah gelas beraroma mint dan jahe. Matanya sebentar-sebentar memejam, merasakan hangat dan sedikit pedas dari minuman yang dipesan Radit. Ia memang pernah dengar kalau jahe bisa menghilangkan mual, tapi baru kali ini tahu jahe bisa mengobati hangover.

Beberapa menit keduanya hanya terdiam. Lima menit pertama Lyla masih bisa bertahan. Namun, di lima menit kedua, ia semakin tak nyaman saat Radit hanya menatapnya hampir tak berkedip entah apa yang sedang dilihat. Apakah pakaian gadis yang duduk berseberangan dengannya terlihat aneh?

Sweater kebesaran yang kerahnya sedikit melorot ke samping kanan, sehingga memperlihatkan bahunya. Celana pendek yang membuat kaki seputih susu itu terekspose sempurna di bawah meja. Atau bahkan wajah polos Lyla yang tanpa make up. Mana yang membuat laki-laki ini betah menatapnya sedemikian rupa?

Spontan Lyla berdeham dan menegakkan tubuh seraya membenarkan kerah sweaternya yang melewati batas.

"Lo mau ngomong apa sih?" cecar Lyla.

Radit mendesah, mengusap tengkuknya sebentar yang mungkin meremang karena udara dingin di luar ruangan.

"Soal rencana Eyang. Lo mau nikah sama gue?"

Lyla mengerjap, mengeratkan pegangan pada gelas yang hangat di meja. Laki-laki ini sedang bicara apa? Kenapa setiap kali bertanya soal perjodohan itu, justru seolah sedang memberikan tawaran padanya? Ya Tuhan, sebaiknya mungkin Lyla pingsan saja. Karena saat Radit bertanya hal itu dan menatap ke manik mata Lyla, tiba-tiba saja ia seperti hilang kendali dan bingung.

**

Radit berdeham. Lagi-lagi dirinya merasa salah bicara. Anehnya, kesalahan bicara itu terjadi saat ia terlalu lama menatap ke dalam manik mata gadis berpenampilan girly ini.

"Lo punya rencana buat nolak nggak?" Radit buru-buru meralat pertanyaannya.

Lyla bergeming beberapa detik, kemudian mengembuskan napas kasar. "Terserah lo," pungkasnya. Gelas yang semula dipegang kembali ia tempelkan ke bibir, lalu menyesap kembali minuman hangat itu. Matanya kembali memejam merasakan efek jahe di mulut.

Stop! Oke! Radit mengakuinya! Sekian lama satu kampus dengan gadis ini, ternyata otaknya baru terpikir dan menyadari bahwa gadis ini menarik. Hanya saja kecantikannya itu tertutup oleh sikap jutek dan pendiamnya selama ini di kampus.

"Maksudnya?" tuntut Radit.

"Ya ... gue belum ada rencana apa pun. Nggak mungkin juga gue kabur. Lo pikir gampang." Lyla menggeser gelas ke samping kiri, kemudian ia menyangga kepala dengan tangan kanan di atas meja. Rambut kecokelatannya menjadi sedikit berantakan saat ia mengacaknya pelan karena bingung.

"Masalahnya, gue nggak mungkin langsung menerima tawaran Eyang secepat itu," kata Radit, "gue udah ...."

Lyla yang semula santai secara tiba-tiba menegakkan tubuh. Ia berusaha menembus iris mata Radit dan beberapa detik kemudian mengangguk. "I know about your rumor," ucapnya secara fasih. Gadis ini masih membawa bahasa ibunya meski telah bertahun-tahun tinggal di Indonesia.

"Jadi?"

Sebuah kedikan dari kedua bahu Lyla sudah menunjukkan bahwa ia belum memiliki rencana apa pun untuk bertindak. Sehingga mereka hanya terdiam, saling menatap bingung, lalu menghela napas frustrasi secara bersamaan.

**

Bibir Lyla masih asyik mengisap batang bernikotin di antara kepitan dua jarinya. Radit sedikit terkejut saat menyaksikan gadis ini ternyata juga penikmat rokok. Awalnya Lyla merasa kikuk dan canggung meminta sebatang rokok darinya. Namun, sepertinya ia sedikit tidak tahan saat seharian ini—menurut pengakuannya—sama sekali belum menyentuh rokok.

"Sejak kapan jadi perokok?" Pertanyaan Radit membuyarkan kenikmatan sesaat Lyla.

Si Jutek ini hanya membuang muka ke luar jendela mobil yang terbuka dan jemari lentiknya menyentil abu rokok. Radit pikir Lyla enggan menjawab. Namun, Radit menoleh saat ia mengisap rokok terakhir kali kemudian membuangnya sembarangan.

"Nggak sering, kok. Sehari sekali. Itu pun ngumpet-ngumpet," ceritanya pendek. Lyla membenarkan kerah sweaternya sebelum mobil Radit berhenti tepat di depan rumah. "Thanks buat traktiran minumnya. Minuman rekomendasi lo bisa juga diandelin kalo habis kobam." Lyla mengakhiri pertemuan malam itu.

"Kalo lo mau, gue kasih tahu yang lebih enak dari itu."

Lyla menoleh dan mengangguk sekali. Kemudian ia turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh untuk sekadar melambaikan tangan pun tidak.

Radit tersenyum simpul. Kenapa mendadak dirinya jadi absurd begini? Demi membuang jauh-jauh ketidakjelasannya itu, Radit buru-buru menyalakan kembali mesin mobilnya. Semoga esok semua hukuman konyol ini segera teratasi dan mereka bisa kembali hidup normal, tanpa harus berpusing ria menerima paksaan keputusan Eyang Kasih.

**

(26-04-2018)

Halo, selamat sore. Terima kasih masih mengikuti Radit-Lyla.

Oh ya, ada penawaran buku Arimbi saya yang go mayor. Bila menginginkan versi bertanda tangan, sila order melalui WA: 0857-9916-3380

Stock terbatas hanya ada 20 eks. Buku akan dikirim secara kolektif pada hari Sabtu, 28 April 2018.

Terima kasih. Vote Courier of Love bagi yang berkenan ya.

Selamat sore. :))

*) Cuplikan cerita Arimbi bisa dibaca di work saya dengan judul Arimbi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top