Delay

Pukul sebelas siang merupakan jadwal mobil pick up paket seharusnya datang. Sudah dua hari ini ada beberapa paket yang berstatus tertunda atau delay mengingat alamat yang dituju tak ada yang sama lagi.

Pak Adam sudah berulang kali menelepon kantor cabang, tetapi tak ada tanggapan berarti. Bila sudah seperti ini tentu akan banyak status paket yang terlambat sampai. Terang saja hal ini berpengaruh pada kepercayaan kosumen. Mereka pasti akan berbondong-bondong pindah ke agen lain.

Melihat Pak Adam yang lain cemas dan hanya uring-uringan di kantor, Radit merogoh ponsel dari saku celananya. Ini bukan karena dendam pribadi, kan? Kenapa Tio seperti mempersulit dirinya untuk menghidupi rumah tangganya.

"Suruh mobil pick up ke agen dengan coordinator Pak Adam. Sekarang," tegas Radit dengan emosi tertahan.

Lyla yang sedari tadi duduk di meja admin bersama Widia sambil mengetuk-ngetuk pena ke meja, menegakkan tubuh.

"Sekarang, Berengsek! Lo tahu gue butuh pekerjaan ini buat ngidupin istri gue!" Radit memekik.

Kontan seisi ruangan menjadi tegang mendengar pekikan Radit. Radit keluar ruangan, membanting pintu dengan keras, membuat kaca jendela di ruang kantor bergetar. Lyla menutup mata seketika pintu berdebum. Widia dan Agus berjingkat terkejut, sementara Pak Adam mengelus dada.

Lyla bergegas menyusul Radit yang sedang memundurkan mobil ke arah warehouse di belakang kantor.

"Mau ke mana?" tanya Lyla dengan kedua tangan mencekal lengan Radit yang sedang mengangkat beberapa paket.

"Anter paket ke kantor cabang," sahut Radit tanpa basa-basi.

"Ikut, ya?" bujuk Lyla sembari menahan langkah Radit.

Radit menghela napas. Namun, setelah ia pikir-pikir tidak ada salahnya Lyla ikut. Radit mengangguk pasrah.

"Oke, gue bantu ambilin paketnya," ujar Lyla semangat.

**

Tio masih berada di kantor operasional ketika Radit datang membawa setumpuk paket diikuti Lyla. Tio membenarkan posisi dasi seraya memberikan laporan bermap merah pada sekretaris di belakangnya. Warehouse di kantor cabang memang tampak lebih luas daripada agen. Bisa lebih banyak menampung berkotak-kotak paket.

Persetan bila alasan Tio men-delay paket dari agen Radit hanya karena alamat berbeda-beda dan tak searah. Kalaupun iya, seharusnya mereka ambil dahulu dan mereka tampung di sini, bukannya membiarkan teronggok di gudang agen yang tergolong kecil.

Radit meletakkan paket di lantai, diikuti Lyla. Wanita di sisi Radit itu mengangguk dan tersenyum pada Tio.

"Tugas selesai. Jika paket tak sampai tepat waktu, pecat saja dirimu sendiri yang tak becus membuat kebijakan," tekan Radit sembari berlalu diikuti Lyla.

"Sampai kapan hubungan kita akan terus begini, Dit?" tanya Tio setengah berteriak.

Radit berbalik. Kedua manik matanya menatap sengit. "Sampai ada kata rujuk dalam rumah tangga Om Tio," pungkas Radit. Sebelum ia beranjak, digandengnya tangan Lyla yang sibuk mencerna kejadian itu.

"Kasih tahu gimana supaya Anita bisa membuka pintu maaf dan kembali?!" Tio berteriak putus asa. Ia bahkan melemparkan tinju ke udara saat Radit dan Lyla pergi begitu saja tanpa menjawab segala tanya.

Semua karyawan yang ada di warehouse itu mematung menyaksikan perdebatan antara paman dan keponakan. Sejak cucu Eyang Kasih itu beranjak dewasa, pertikaian itu kerap terjadi, mengembuskan cercaan dalam rahasia umum yang sering dipergunjingkan.

**

Lyla menggosok kedua telapak tangan. Ia masih duduk di dalam mobil menunggu Radit yang menembus gerimis membeli dua paper cup kopi. Lyla tahu suaminya sedang dalam kondisi pikiran yang teramat kacau. Sama halnya dengan Lyla seminggu yang lalu saat berusaha menuliskan surat pengajuan ganti dosen.

Semua sudah usai saat Lyla dialihkan pada Pak Haryadi—dosen pembimbing Radit. Lyla sendiri tidak tahu mengapa semudah itu. Adakah campur tangan Radit di dalamnya? Lyla mengembuskan napas pasrah.

Senyum di bibir wanita yang kedinginan itu mengembang ketika Radit masuk lagi ke dalam mobil dengan dua gelas kopi. Mereka sedang dalam perjalanan ke Puncak. Tadi sepulang dari kantor cabang Radit secara sepihak membelokkan keputusan untuk pergi kencan katanya.

"Lo kalo mau ngajakin ke Puncak bilang-bilang dong. Nggak bawa jaket gue," protes Lyla.

Radit terkekeh, ia melepas jaket dan memberikannya pada Lyla. "Entar beli di jalan. Kirain udah tahunan tinggal di Ausy, jadi lebih kebal dingin."

"Itu tahun kapan coba? Gue masih ingusan." Lyla mencebik seraya mengenakan jaket.

Radit menaikkan ritsleting, memasangkan hodie ke kepala Lyla. "Gue penasaran kayak apa Lyla waktu masih ingusan," celetuk Radit. Ia mengaduh saat Lyla melayangkan pukulan ke bahunya.

Lyla meraih kopi dari dashboard, menghirup aroma kopi hangat sebelum menyesapnya pelan. "Lo kayaknya udah banyak tahu soal hidup gue deh. Elo tuh, yang nggak pernah terbuka ke gue. Syok gue tadi pas tahu Bu Anita ternyata istri Om Tio."

Radit mendesah sembari menyandarkan kepala ke kepala jok mobil. "Iya, maaf. Hidup gue terlalu rumit, La. Tahu sendiri kan lo, perceraian orang tua bikin gue putus asa waktu itu. Dan saat itu cuma Anita yang sanggup kasih perhatian ke gue. Gue ngerti itu salah, tapi saat itu juga Anita yang hidup sebatang kara butuh tempat buat mencurahkan ketidakmampuan Om Tio memberi ruang di hatinya."

Lyla mengembuskan napas lelah. "Kok, gue berasa dimanfaatin buat mengalihkan jalan elo yang telanjur berbelok, ya?" Lyla tertunduk. Ada rasa sedikit perih saat ternyata demikian adanya.

Radit meraih kopi dari genggaman tangan Lyla dan meletakkan kembali di atas dashboard.

"Kenapa jadi berbalik ke awal lagi sih? Kan kita udah janji buat memulai dari awal, jadi teman hidup, belajar mencintai." Radit menangkup kedua pipi Lyla, menatap manik mata hazel yang menggelap seketika Radit mendekatkan wajah padanya. "Lo udah janji nggak bakal nyesel, kan?"

Wanita dalam rengkuhan Radit itu bergeming. Berusaha meyakinkan hatinya bahwa Radit akan menetapkan hati untuknya. Namun, Lyla masih menunggu satu kalimat yang mungkin bisa membuatnya lebih yakin dan tak lagi gamang. Hanya saja Radit belum menyadari hal itu.

Dari dalam mobil, kaca jendela itu mengembun, mengaburkan dua bayangan manusia yang kembali terlena. Lyla belum juga mengucapkan janji itu saat Radit mulai tergoda untuk kembali menyentuhkan rasa di antara kedua bibir yang saling bertemu. Dan seketika itu, mereka mengabaikan hujan di luar yang semakin lebat, tak mengacuhkan kendaraan yang lewat. Yang mereka tahu, mereka ingin secepatnya melepas gejolak di dada yang semakin bergemuruh dan mendamba. Dan Lyla kembali merasa jatuh sejatuh-jatuhnya. Bimbang, resah, gelisah, dan takut. Tapi semua rasa takut itu terkalahkan bersamaan dengan sentuhan lembut Radit yang melenakan.

**

(25-08-2018)

Alhamdulillah, udah weekend lagi. :"D

Terima kasih sudah menunggu. :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top