Break Up!
Lampu kelap-kelip di teras rumah menyala berkedip setiap beberapa detik sekali secara bergantian. Radit tersenyum menatap sejarah bagaimana lampu itu terpasang. Ia merasa merindukan Lyla bila teringat hal itu.
Langkah Radit terhenti saat menemukan Lyla duduk di kursi teras dengan wajah tertunduk. Istri Radit itu menggenggam benda persegi panjang dengan dua garis merah.
"Let's get divorce," ucapnya lirih. Namun, apa yang Lyla ucapkan itu cukup menusuk pendengaran Radit.
"Kenapa?"
"Maaf, setelah sekian lama, ternyata gue nggak bisa cinta ke elo, Dit," lanjut Lyla sembari menghapus air mata dan tersenyum hambar.
Radit mematung. Lyla mengingkari janjinya. Janji untuk tak pernah mengatakan pisah dan bersedia menjadi teman hidup. "Apa elo nggak bisa liat keseriusan gue, La? Apa selama ini perhatian gue kurang—"
"Dan gue hamil. Tapi tenang saja, lo bisa tanda tangan surat gugatan cerai dari gue setelah anak kita lahir," sela Lyla. Wanita itu bangkit dari kursi hendak masuk rumah.
Apa? Hamil? Anak kita? Cerai? Semua kata-kata itu menghunjam batin Radit, menyempitkan pernapasan hingga ia seperti sulit bernapas. Radit mengejar Lyla yang sudah di ambang pintu kamarnya.
"Jelasin ke gue kenapa harus berakhir begini, La?" cecar Radit seraya mencekal tangan Lyla.
Lyla menampik cekalan suaminya. Ia menatap sengit ke dalam mata sehitam jelaga itu. "Gue kayak orang tolol dalam kehidupan lo, Dit! Semua tahu tentang elo! Angga, Dimas, Eyang Kasih, orang tua lo, Om Tio, termasuk Anita! Dan gue, istri lo ini merasa jadi manusia asing dalam hidup suaminya! Gue nggak bisa ngerti sama perasaan elo yang bikin gue gamang! Cuma Anita yang bisa ngertiin elo!" Lyla membeliak marah. Saat itu semua kata yang selama ini ia tekan berhamburan begiti saja dalam iringan tangis amarah dan cemburu.
"Gue terus berusaha buat menampik semua masa lalu, La. Please, dengerin gue dulu. Gue yang salah karena dulu memulainya bersama Anita," sela Radit dengan kedua tangan merengkuh bahu Lyla.
"Buang rasa bersalah elo, Dit! Persetan dengan rasa bersalah! Kalo lo terus peduli sama masa lalu karena rasa bersalah, gimana dengan gue?! Lo pikir perasaan gue ini sampah yang bisa diabaikan seenak hati, hah?! Lo nggak ngerasa bersalah sama istri lo yang tiap hari nahan cemburu?!"
Lyla menampik cengkeraman Radit di bahunya. Tangan Radit terkulai ke samping. Pasrah. Ia kalah dan merasa bersalah. Dipungutnya alat tes kehamilan yang terjatuh ke lantai. Tidak. Radit tak menginginkan anaknya merasakan perceraian kedua orang tuanya.
"Please, La, maafin gue. Gue mau anak kita lahir dalam keluarga yang utuh," lirih Radit seraya menyandarkan punggung pada daun pintu yang tertutup rapat. Tubuh Radit merapuh seketika. Kenangan masa lalu perceraian orang tuanya membayang, menyayat setiap harapan hidupnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang kecuali duduk menekuk lutut dan meremas rambutnya frustrasi.
**
Semangkuk sup ayam tersaji di meja makan lengkap dengan ayam goreng favorit Dirga. Miranti menyendok sup perlahan, menuangkan di atas mangkuk suaminya. Dirga tersenyum, mengelus perut membuncit berusia 7 bulan. Mereka baru akan memulai sarapan saat suara derap langkah cepat terdengar.
Miranti terkejut menyadari putrinya berlari dari arah ruang tamu, menaiki anak tangga menuju kamar tanpa membalas sapaan darinya.
Dirga mengelap bibir dengan lap makan di meja. "Kenapa dia, Ma?" tanyanya heran seraya memandang lantai atas khawatir.
"Nggak tahu, Pa. Perasaan semalam Lyla nggak telepon Mama kalau mau pulang ke rumah," jawab Miranti sama khawatir. "Mama tengokin dulu deh."
Dirga mengangguk. "Pelan-pelan aja naik tangganya, Ma," pesan Dirga.
Miranti tersenyum sekilas. Suaminya sudah banyak berubah. Ia berlalu menelusuri anak tangga sambil berpegangan pada pembatas tangga. Perlahan diketuknya pintu kamar Lyla yang tak terkunci.
"Mama masuk ya, La?" Miranti memohon izin. Meski tak ada jawaban, ia tetap masuk. Isak tangis Lyla terdengar. Dada Miranti seketika itu bergemuruh cemas. "Kamu kenapa?" tanya Miranti sembari duduk di tepi ranjang dan mengelus rambut putrinya.
"Maaf, Lyla nggak bisa kayak Mama. Lyla nggak sanggup mempertahankan rumah tangga Lyla. Capek," isaknya tanpa berbalik.
Miranti mengangkat tangan dari kepala Lyla. Apa yang terjadi? Mengapa bisa putrinya harus merasakan hal yang sama dengannya? Miranti tersentak saat Lyla bangkit, berbalik dan memeluknya erat.
"Lyla nggak bisa berdiri tegar melihat suami Lyla bukan milik Lyla seutuhnya." Tangis Lyla semakin pecah.
Miranti membalas pelukan erat Lyla. "Sabar, Sayang. Kamu istirahat dulu, nanti kita bicara kalau kamu udah tenah, ya?" Ibu jari Miranti menghapus air mata di pipi Lyla. Dengan sabar wanita itu menata kembali bantal, meminta Lyla berbaring. "Mama abilin minum dulu, ya," pamit Miranti.
Miranti sempat menatap Lyla melalui celah pintu yang akan ia tutup. Hatinya berdenyut, merasa tercubit.
Tuhan, jangan turunkan karma itu pada Lyla. Aku menyayanginya.
**
Seminggu sudah Lyla berpisah dengan Radit. Ia meninggalkan rumah begitu saja. Sialnya, kenapa malam ini ia begitu rindu pada laki-laki itu. Lyla benci Radit, tapi entah dari mana perasaan sialan itu muncul. Ia merindukan pelukan suaminya, rindu lengan pria itu melingkar di tubuhnya saat akan terlelap tidur.
Lyla menggigit bibir menengok jam dinding kamar. Pukul delapan malam, ia rindu melihat lampu kelap-kelip di rumahnya. Lyla tertunduk sembari mengembuskan napas lelah.
"Kenapa? Rindu?" Suara Miranti dari arah pintu membuat Lyla yang tengah duduk di kusen jendela menoleh.
Lyla tersenyum, lalu menggeleng ragu.
Miranti membuka jendela lebih lebar, menarik kursi dari meja belajar Lyla. Ia mengelus perutnya perlahan, beberapa kali terlihat berdenyut saat bayi di dalamnya menendak hebat. Miranti hanya meringis geli.
"Kamu tahu, nggak, adik kamu ini kadang suka bawa perasaan melalui Mama. Kadang rasanya ingin dekat dengan Papa, ingin semalaman di sampingnya. Kamu kelak akan merasakannya juga," cerita Miranti berusaha memancing.
Tangan Lyla terulur mengelus perut buncit Miranti. "Hai, apa kamu baik-baik saja? Cepatlah 9 bulan, aku menunggumu," racau Lyla.
Miranti terkekeh geli melihat cara Lyla yang ternyata hampir mirip dengan Dirga saat mengajak bayi mereka bicara. "Pulanglah, barangkali semua akan lebih baik saat kamu pulang dan bicarakan semuanya kembali bersama suamimu," nasihat Miranti sambil mengelus puncak kepala Lyla yang tengah menempelkan telinga di perut Miranti.
Lyla mendongak, tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya.
Dengan sekali gerakan, Mitanti mengeluarkan kunci mobil dari saku dasternya. "Pergilah, dan pulanglah ke sini bila kamu merasa tak sanggup lagi. Mama selalu siap membukakan pintu rumah lebar-lebar."
Lyla meraih kunci itu, mengecup sekali perut Miranti yang sedikit menonjol karena tendangan sang jabang bayi. Ia bangkit, bergantian mengecup pipi kanan dan kiri sang mama. Lalu berlalu dengan seulas senyum.
**
Radit baru saja pulang dari kantor. Seminggu ini agennya mulai ramai, bahkan Radit dan Pak Adam menjual bungkus paket, label alamat, dan alat tulis di depan meja admin. Pak Adam sendiri sudah meminta Agus untuk lembur malam mengecat ruangan agar tampak baru. Namun, Radit menyerah bila harus membantu Agus mengecat. Tubuhnya sudah terasa mau remuk saja seharian menjemput paket dan mengantar beberapa paket ke alamat terdekat. Bekerja tanpa Lyla yang membuatnya paling lelah adalah, ia merindukan wanita itu.
Apa kabar elo, La?
Radit berselonjor di sofa panjang raung tamu, bersandar malas menatap langit-langit rumah. Keheningan rumah itu buyar saat pintu terbuka, mata Radit mengerjap menemukan sosok itu berdiri melepas jaket di depan pintu.
"Kalo masuk rumah, jangan lupa langsung tutup pintu pagar," cerocos Lyla sembari melepas sneakers dan meletakkannya di rak sepatu samping pintu. Ia menepuk bahu Radit, memberi kode untuk segera bangkit dan memberi ruang untuknya duduk.
Radit menatap Lyla penuh tanya. Benarkah Lyla memilih pulang?
Lyla berdeham. "Gue pulang bukan karena keinginan sendiri. Mama yang minta dan ... anak elo."
Radit masih bungkam dan memilih senyum untuk menanggapi perkataan Lyla. Namun, Lyla menatap tajam kemudian. "Dan lo tetep boleh tanda tangan surat gugatan dari gue setelah bayi ini lahir," tegas Lyla.
Laki-laki itu tidak peduli dengan ancaman istrinya. Ia justru merebahkan kepala di pangkuan Lyla, mengecup lembut perut rata di hadapan wajahnya. "Terserah lo. Nggak kangen gue nggak apa, pake aja alasan anak kita yang kangen ke papanya kalo mau pulang. Gue ikhlas," kata Radit tak peduli.
**
(07-10-2018)
Ceraikan saja Radit! Ceraikan! Lyla tak sanggup lagi! :v
Jangan lupa nabung, barangkali versi cetaknya besok terbit duluan. Soalnya saya jarang buka Wattpad. Paling repost-repost Luna aja sama Miko Mei. :"D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top